Nowhere to Go |
Saya ingin sekali pergi ke suatu tempat,
dimana tidak ada orang di sana. Saya hanya sendirian saja. Jangan ada
siapa-siapa.
Ya, tidak mungkin
lah.
Kenapa? Tentu saja mungkin.
Tentu saja tidak
mungkin. Memang dunia ini hanya ada kamu seorang?
Memang tidak. Tapi masa di dunia seluas
ini tidak ada tempat kosong? Harusnya ada satu tempat yang saya hanya manusia
seorang, sejauh apapun itu.
Kenapa harus
sendirian?
Kamu tahu, kan saya bukan orang yang bisa
lepas dengan orang lain? Saya tidak
mudah mengutarakan apa saja, bahkan kepada orang terdekat sekalipun. Biar semua
saya yang rasakan. Tidak dengan orang lain. Biar saya lepaskan semua kepada
Tuhan.
Ya ya, saya tahu.
Kamu memang begitu. Ramai bersama orang padahal jiwa minta sendiri. Maaf saya
bertanya.
Saya mau sendirian saja mendaki hingga
puncak gunung, tidak harus yang tertinggi. Atau sendirian merasa desau angin
pantai, mendengar desis deru ombak. Sendirian saja. Dan, yeah, dengan Tuhan,
yang selalu mengamati saya dari Arsy-nya yang tinggi di atas sana. Saya ingin
berdua saja dengan Tuhan.
Kamu mau ngapain
memang?
Saya mau sendirian saja ke tempat yang
jauh, berbicara dengan Tuhan. Mengadu semuanya dari A sampai Z. Saya mau bilang
kalau perahu saya ingin segera melabuh. Saya kira saya sudah menemukan
dramaganya. Saya perlu angin dari Tuhan agar meniupkan layar saya kesana.
…
Tapi saya tidak tahu apakah pelabuhan
ingin saya menjangkar kepadanya. Harapan kami jelas sama, tapi apakah
masing-masing jelas kepada masing-masing yang lain? Saya tidak tahu. Kalau saya
sih iya. Kalau dia, saya tidak tahu.
Makanya kamu
memilih menghindar?
Mungkin menghindar. Saya tidak tahu pasti.
Saya merasa waktunya belum sekarang. Tidak tahu kapan. Saya tahu kamu tahu,
jika belum terikat syariat, tidak boleh kami tidak menjauh satu sama lain.
Kekuatan Tuhan itu besar. Saya takut kenapa-kenapa kalau melanggar.
Tapi kamu
manusia, bukan makhluk suci. Kenapa bila melanggar?
Toh kalau bisa dihindari, kenapa
pelanggaran harus kita jalani? Ya, sebagai manusia ini tidak mudah. Saya
pelan-pelan sedang menghindar.
Hm … Tapi kalau
ternyata ia memang bukan pelabuhanmu, bagaimana?
…
Bagaimana?
Tidak tahu. Saya belum pernah merasakan
yang sebesar ini. Saya terlalu yakin. Bukankah keyakinan itu baik?
Yakin atau napsu?
…
Sebelum kamu
melabuh, selamilah kedalaman hatimu dulu. Apakah ia pelabuhan yang tepat?
Mana saya tahu. Saya rasa ia tepat. Tapi
saya tidak tahu apakah memang dia? Makanya saya mau pergi ke sepi yang jauh. Ke
tempat dimana tidak ada desakan orang-orang. Atau tidak ada perasaan bersalah
saya kepada orang lain. Saya mau sendirian bertanya kepada Tuhan, “Apakah ia
pelabuhan yang tepat? Dimanakah sebenarnya ia berada? Ia yang katanya sudah
digariskan bahkan ketika saya belum bisa mengunyah.”
Lalu kalau Tuhan
menjawab pertanyaan itu, apa kamu siap?
Jujur saja, saya belum siap menghadapi
kenyataan apapun yang akan terjadi. Namun kenyataan yang selama ini mengambang,
membuat saya capek. Mau tidak mau saya harus siap, meski saya belum siap.
Selama berjalannya waktu, mudah-mudahan saya jadi siap.
Apa menghindar
itu membuat capek?
Lebih tepatnya membuat saya tidak tahan.
Kamu tahu, kan maksud saya? Ini sulit. Sekali.
Kalau begini saja
kamu sudah menyerah, bagaimana nanti?
Kamu tidak tahu sih bagaimana menjadi saya?
Tentu saja saya
tahu. Saya kan kamu. Kamunya saja yang selalu menolak.
…
Saya kira ini
cara Tuhan mengujimu. Menguji kita, maksudku. Apakah kamu, eh kita, eh saya, eh
siapa pun, saya pakai kamu saja ya?
Terserah.
Saya kira ini
cara Tuhan menggiringmu dalam sebuah perjalanan. Bahkan semua ini mungkin
perjalanan itu. Bagaimana kamu benar-benar teguh pada tujuanmu, yang menurutku,
suci itu. Saya tahu kamu benar ingin melabuhkan diri. Tapi apakah kamu teguh
kepadanya? Hei, selain perahu, bukannya kamu juga pendaki? Harusnya kamu paham
bagaimana proses mencapai puncak, dong. Tanjakan terjal, batu licin, tertusuk
duri, kehujanan, banjir keringat. Seharusnya ini mudah.
Hei, mendaki gunung itu tidak sesulit ini.
Ketika mendaki gunung, saya dalam keadaan terdesak harus selalu melawan
kesusahan karena saya juga harus pulang dengan selamat. Nah, kalau ini?
Kenikmatan-kenikmatan yang ada malah melalaikan saya.
Makanya, Tuhan
menguji keteguhanmu. Ternyata memang benar, kenikmatan itu ujian yang paling
berat. Berjuang melawan kenikmatan dunia demi kenikmatan akhirat itu keren!
Dan sulit. Jangan lupa itu.
Mungkin juga ini
cara Tuhan untuk membuatmu lebih siap. Kamu tahu, bukan berarti setelah melabuh,
kamu bisa menjangkar dimana pun. Banyak batu-batu besar yang akan menyulitkan
jangkarmu menancap. Setelah menjangkar pun, kamu akan dihadapi dengan kenyataan
bahwa tidak kamu saja yang berlabuh, tapi juga kapal-kapal lain, ya walaupun
kamu punya lisensi khusus. Toh dunia ini tidak hanya ada satu perahu dan
pelabuhan saja. Akan banyak kapal yang berlabuh di pelabuhan. Datang. Pergi.
Bahkan mungkin segera pergi, tapi mampu membuatmu sesak lagi. Akan banyak
pelabuhan yang menawarkan peristirahatan untukmu, padahal kamu sudah punya
pelabuhan khusus.
Tapi kan nanti kami akan terikat
perjanjian. Itu tidak akan sesulit sekarang.
Lho. Mana kamu
tahu? Memangnya kamu Tuhan yang bisa tahu akan bagaimana nanti? Bukan, toh? Jalan
kamu masih panjang. Dan jalan yang sedang kamu tapaki ini, segala prosesnya,
harus menjadi bekal untuk perjalanan selanjutnya.
Hei, sadarkah kamu pembicaraan ini terlalu
jauh? Saya hanya ingin ke suatu tempat dimana saya bisa berbincang sepuasnya
sendirian. Itu saja. Ada tidak? Dimana? Kenapa jadi ke pelabuhan?
Lho, bukankah
kamu ingin mengadu tentang pelabuhan makanya butuh tempat menyendiri?
Iya. Dimana?
Bisa dimana saja,
menurutku. Tidak harus jauh. Tidak di ketinggian gunung atau kedalaman laut.
Tidak harus teriak-teriak. Tidak juga ditulis pada kertas yang dilarungkan ke
riak-riak. Tuhan Melihatmu, kamu sendirian atau di keramaian pasar. Ia
Mendengar ke kedalaman hatimu tanpa harus kamu ucapkan. Kamu hanya perlu
menghadirkanNya dalam dirimu. Terbukalah. Mintalah ke Tuhanmu di mana saja
dengan siapa saja kapan saja. Mintalah agar hatimu terbuka.
…
Pergulatan hatimu
ini jangan membikin kamu lupa kalau Tuhan itu baik. Sembilan puluh sembilan
nama baikNya jangan kamu sebut saja. Kenali, pahami, hidupkan dalam hidupmu.
Sabarlah. Bersabarlah dalam menghindar agar tercipta ikatan yang terbaik. Bukankah
Tuhan bersama orang-orang yang sabar? Bagaimana Tuhan menjawab nanti, itu
adalah harga yang harus kamu terima. Maka jual belilah hanya kepada Tuhanmu
dengan baik-baik.
Hei, terima kasih, ya. Malam ini bagus.
Saya merasakan ketenangan. Percakapan kita bolehkah saya jadi pengingat bila
saya lalai?
Hei, saya, kan
kamu. Mari kita saling mengingatkan.
And see you at the top of nowhere to go.
itulah, sebenarnya manusia sendiri sudah tau mana yg seharunya mana yg memang itu mengikuti keinginannya. Apa yg dijalankan maka itu lah yg ia pilih, hidup adl tentang pergulatan, pergulatan pemikiran, hati dan sebuah pilihan.. Gw juga pernah bergulat kyk gitu nis,,hag,hag.
ReplyDeletecurhat nih? hahaha. sebagai pegulat, pergulatan itu biasa, tapi gimana kita memenangkan pergulatan itulah yang luar biasa *kelesekmelinjo*
ReplyDeleteyups, di situlah batas seorang manusia diuji,. apalagi pas menjalani apa yg kita menangkan dlm pergulatan
ReplyDeletesetojoh!
Delete