5/16/13

Terima Kasih Keluarga Pak Dadang


Perjalanan yang nggak memberikan pelajaran, menurut saya, ibarat kerupuk kulit sapi. Enak sih, selalu dicari tiap kali ke rumah makan padang, bikin nagih, tapi bolong kosong melompong. Lalu, perjalanan itu nggak mesti harus keluar kota atau daerah lain, nggak harus jauh dan menyisakan peluh. Dua meter berjalan keluar rumah juga boleh disebut perjalanan. Saya percaya, perjalanan bukan hitung-hitungan angka, bukan juga sekedar berpengalaman, melainkan proses kita berpindah.

Tulisan ini saya dedikasikan kepada Bapak Dadang beserta keluarganya yang hebat. Memang beliau tidak mungkin membaca tulisan saya (malah saya malu kalau beliau membacanya hehe). Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi pengingat saya untuk selalu memosisikan diri sebaik-baiknya, aamiin.

Anggun, teman saya yang sudah saya bikin nge-top di tulisan-tulisan sebelum ini (royalti mana royalti?) memberi kabar tidak bagus kemarin pagi mendekati siang. “Pak Dadang masuk rumah sakit, Nis.” Dan lebih tidak bagusnya lagi, saya antara ingat-tidak ingat dengan bapak yang dimaksud. Setelah Anggun memperlihatkan foto beliau di foto dinding kampus, saya rada-rada ingat. Setidaknya pernah lah saya lihat. Lalu dia mengajak saya menjenguk Pak Dadang. “Dirawat di Marzuki Ali,” kata Anggun. Haaaaa??? Mana ada Rumah Sakit Marzuki Ali woooii? Ada juga Marzuki Mahdi. Ckckckck. Alhasil pagi tadi kami pergi ke rumah sakit yang namanya diubah semena-mena oleh Anggun. Ruang Bisma kamar 9-10 hanya berpenghuni satu pasien. Sang kakek yang tangannya dililit selang infus dengan bergetar memberi tahu kami bahwa Pak Dadang sudah pulang dari Selasa kemarin. Lah ini mau menjenguk tapi yang dijenguk sudah pulang. Maka kami menghubungi kerabat terdekat untuk mencari alamat rumah Pak Dadang. Ketemu! Yuhuuuu, mainlah, eh salah, menjenguklah kami ke sana hahaha.

FYI, Pak Dadang adalah laboran di Laboratorium Mikologi IPB. Bukan lab penelitian saya, sih. Namun beliau suka membantu menyiapkan kebutuhan saya dan teman-teman saat praktikum penyakit tanaman prapenelitian dulu. Menjadi laboran memang tidak pernah ditulis dalam biodata anak SD sebagai cita-cita. Tapi nggak disangka pekerjaan ini keren sekali. Saya nggak bisa mengira, gimana kalo nggak ada laboran ya? Yang membantu mencari lahan ataupun tanaman untuk penelitian siapa? Pekerjaan menjadi laboran, sepemahaman saya, adalah pekerjaan ikhlas. Tugasnya bejibun, belum selesai tugas A datang tugas B lalu C dan D, jam kerjanya melebihi kerja dosen, tapi gajinya cukup rendah. Kalo nggak ikhlas, rugi bandar. Jadi, kebayang kan kerjanya Pak Dadang? Apalagi beliau sudah 9 tahun bekerja sekeras itu, dan akan ada 4 tahun lagi. insya Allah sehat ya, Pak!

Harus melewati dua komplek perkuburan agar bisa menemukan rumah Pak Dadang. Seperti stempel di surat kelurahan, bukan rumah orang yang kerja di bidang pertanian kalo nggak ada tanamannya. Rumah Pak Dadang penuh ditumbuhi tanaman hias di pot-pot hitam yang menggantung. Meski tidak berhalaman luas, rumah beliau asri dan sejuk. Beda banget deh suasana di rumah Pak Dadang dengan di luar. Sepertinya penghuni rumah itu baik-baik semua ya, sampai-sampai hawa rumahnya nyaman nian. Subhanallah.

Bersalaman dengan Pak Dadang mengingatkan saya saat bersalaman dengan Ayah. Telapak tangan mereka sama-sama kasar. Pekerjaannya pasti berat. Juga agak gemetar. Mungkin Pak Dadang masih belum bisa mengontrol gerak tubuhnya yang melemah akhir-akhir ini. Hampir seminggu beliau dirawat karena penyakit jantungnya kambuh. Ia bisa tiba-tiba drop, bahkan pingsan, bila terlalu senang ataupun terlalu sedih. Mungkin aneh, seperti di film korea, tapi ini menyakitkan. Bersyukurlah kita yang masih bisa leluasa berekspresi. Hampir 5 tahun penyakit ini mengidap di tubuh beliau yang gagah. Dan kejadian kemarin bukan kali pertama. Dari raut mukanya, ia mulai lelah dengan semua ini. Bolak-balik jatuh. Bolak-balik ke rumah sakit. Siapa yang tahan kecuali punya ketegaran batu karang? Saya juga pernah berada di posisi beliau. Bolak-balik masuk rumah sakit bukan sesuatu yang mengasyikkan, seganteng apapun dokter yang pernah merawat saya hehehe.

“Nggak coba pengobatan alternatif, Pak?”

Setelah menyuguhkan bolu pisang dan air mineral, istri Pak Dadang bergabung bersama kami. Wanita yang memberitahu arah rumah mereka itu menjelaskan bahwa mereka sudah tidak percaya lagi dengan pengobatan seperti itu. Kedua anak mereka sejak umur 8 bulan menderita hernia dan sakit di kelenjar tiroid. Dua tahun berobat dan mengantre panjang di rumah terapi tidak memberikan hasil yang positif. Ujung-ujungnya harus dioperasi dan makan obat dari resep dokter.

Sejak zaman krisis moneter keluarga kecil namun berhati besar ini telah merasakan asam garamnya kehidupan. Bahwa kesehatan itu penting. Kalo badan nggak sehat, susah mau ibadah. Istri Pak Dadang bercerita, “Bahkan dulu bayar pengobatan pakai dolar. Periksa darah harus dikirim ke luar negeri, soalnya peralatan di Indonesia tidak memadai.” Coba tolong Bapak dan Ibu Menteri, mbok yo uang rakyat dari pada dimakan untuk spanduk partai, mending untuk beli alat uji darah, manfaatnya bisa dirasakan orang banyak lho (woi Nis, mana ada menteri baca tulisan lo? *tabokbiarsadar*).

Saya merasakan menjadi istri yang suami dan anak-anaknya memiliki penyakit yang berat tidaklah mudah. Meski samar, tatapan istri Pak Dadang agak berkaca-kaca. Saya ikut-ikutan mau menangis. Beliau melanjutkan bercerita setelah menawarkan kami asinan buatan beliau. Aduh, jadi banyak makan nih saya dan Anggun hehe. “Rasa-rasanya Ibu pengen banget nangis. Tapi gimana? Bapak malah tanya, ‘Ibu kenapa nangis?’. ‘Nggak, Ibu nggak nangis’. Ibu sedih tapi nggak mau Bapak lihat Ibu menangis. Anak-anak bilang, ‘Aku nggak usah kuliah aja, biar uang kuliah buat biaya pengobatan Bapak’. Ibu tetap keras mereka harus kuliah. Jangan mau berpendidikan rendah kayak orang tuanya. Ibu yakin, Allah mah sae (baik). Allah teh Maha Pemberi rezeki. Alhamdulillah, sekarang sudah ada yang lulus sarjana, adiknya juga kuliah. Penyakit mereka pun hilang.”

Saya percaya kalau Allah Azza wa Jalla begitu memuliakan wanita, khususnya istri Pak Dadang. Beliau diembani tugas yang sulit sebagai istri dan juga ibu dari anak-anaknya. Insya Allah, ada hadiah besar kalo Ibu bisa menyelesaikan ujian ini dengan baik ya, Bu. Saya banyak belajar dari Ibu, menjadi wanita harus kuat, seperti yang Ayah saya selalu pesankan.

“Bapak tuh susah kalo harus berhenti merokok dan minum kopi,” canda istri Pak Dadang sambil menyenggol bahu suaminya. Aiih mesranya. Tawa renyah membuncah ke seisi ruang tamu.

Wah, saya juga susah tuh, Bu, mengontrol minum kopi. Dipelototin sebesar apapun sama Ayah, tetep weh itu sumber penyakit asam lambung saya minum hehehe. Harus jadi pelajaran, Nis. Ulah ngopi wae maneh teh ah!

“Si kakak pernah menawarkan biaya pengobatan Bapak biar dia yang bantu bayar asalkan Bapak berhenti merokok. Ibu bilang, ‘Jangan keras-keras gitu. Biar Bapak pelan-pelan berhenti merokok, jangan langsung gitu’. Kan, Ibu nggak mau rasa sayangnya Bapak ke Ibu berkurang karena dipaksa berhenti merokok dan ngopi. Jadi sekarang kalo Bapak mau ngopi harus bikin sendiri, Ibu nggak mau bikinin. Biar Bapak rasain sendiri akibat Bapak sering ngopi. Orang mau sembuh kan harus dari diri sendiri dulu.”

Bagaimana rasanya berada di posisi Ibu? Sulit. Banget. Serba salah. Tapi tetap cinta. Harus sabar segede Gunung Salak, kalo kata Mama saya. Harus belajar bersabar nih saya biar siap menghadapi kehidupan di masa mendatang kalo masih diizinkan hidup bersuami insya Allah. Semoga saya bisa memosisikan diri sebaik-baiknya, aamiin.

Pak Dadang angkat suara, “Memang susah banget lepas dari rokok itu. Saya pernah coba berhenti. Tapi tengah malam saya keliling cari warung buat beli rokok. Nikotin memang bikin candu. Gimana pakai narkoba? Jangan sampai deh kena narkoba. Bahaya. Mudah-mudahan Bapak bisa berhenti merokok dan ngopi. Tapi kalo berhenti makan asinan, kayaknya nggak bisa. Asinan Ibu paling enak. Yang di Sukasari mah lewat. Enakan yang di sini,” pujinya.

Ibu merona. “Ih Bapak mah merayu aja.”

“Lho, kalo bukan suaminya yang bilang enak, siapa lagi?”

Hahaha, mereka romantis sekali. Semoga makin berkah ya hubungan beliau berdua. Mesra-mesraan kalau sudah halal kan menambah pahala. Keluhan Bapak dan curhatan Ibu tentang penyakit jantung sudah menguap entah kemana. Hari semakin siang dan saya harus kembali ke kampus, kembali ke rutinitas penelitian yang … yang … hehehe. Ditawari makan siang dulu di rumah Pak Dadang. Nah lho. Tapi nggak enak ah, udah makan lumayan banyak di rumah Bapak hehe.

“Meskipun sibuk penelitian, tetap makan harus teratur. Jangan mentang-mentang bentar lagi beres atau lagi asyik pengamatan, eh lupa makan, sakit deh. Kan sayang. Apalagi kalo sakitnya lama. Penelitian malah nggak keurus. Lalu harus mengulang. Sayang waktu banyak terbuang. Bilangin ke adik-adik kelasmu yang mau penelitian, ya,” begitu pesan Pak Dadang.

Insya Allah, jaga kesehatan ya semua ^^

Jalan Kita Masih Panjang

2 comments: