Perjalanan
yang nggak memberikan pelajaran, menurut saya, ibarat kerupuk kulit sapi. Enak
sih, selalu dicari tiap kali ke rumah makan padang, bikin nagih, tapi bolong
kosong melompong. Lalu, perjalanan itu nggak mesti harus keluar kota atau
daerah lain, nggak harus jauh dan menyisakan peluh. Dua meter berjalan keluar
rumah juga boleh disebut perjalanan. Saya percaya, perjalanan bukan
hitung-hitungan angka, bukan juga sekedar berpengalaman, melainkan proses kita berpindah.
Tulisan ini
saya dedikasikan kepada Bapak Dadang beserta keluarganya yang hebat. Memang
beliau tidak mungkin membaca tulisan saya (malah saya malu kalau beliau
membacanya hehe). Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi pengingat saya untuk
selalu memosisikan diri sebaik-baiknya, aamiin.
Anggun, teman
saya yang sudah saya bikin nge-top di tulisan-tulisan sebelum ini (royalti mana
royalti?) memberi kabar tidak bagus kemarin pagi mendekati siang. “Pak Dadang
masuk rumah sakit, Nis.” Dan lebih tidak bagusnya lagi, saya antara ingat-tidak
ingat dengan bapak yang dimaksud. Setelah Anggun memperlihatkan foto beliau di
foto dinding kampus, saya rada-rada ingat. Setidaknya pernah lah saya lihat.
Lalu dia mengajak saya menjenguk Pak Dadang. “Dirawat di Marzuki Ali,” kata
Anggun. Haaaaa??? Mana ada Rumah Sakit Marzuki Ali woooii? Ada juga Marzuki
Mahdi. Ckckckck. Alhasil pagi tadi kami pergi ke rumah sakit yang namanya
diubah semena-mena oleh Anggun. Ruang Bisma kamar 9-10 hanya berpenghuni satu
pasien. Sang kakek yang tangannya dililit selang infus dengan bergetar memberi
tahu kami bahwa Pak Dadang sudah pulang dari Selasa kemarin. Lah ini mau
menjenguk tapi yang dijenguk sudah pulang. Maka kami menghubungi kerabat
terdekat untuk mencari alamat rumah Pak Dadang. Ketemu! Yuhuuuu, mainlah, eh
salah, menjenguklah kami ke sana hahaha.
FYI, Pak
Dadang adalah laboran di Laboratorium Mikologi IPB. Bukan lab penelitian saya,
sih. Namun beliau suka membantu menyiapkan kebutuhan saya dan teman-teman saat
praktikum penyakit tanaman prapenelitian dulu. Menjadi laboran memang tidak
pernah ditulis dalam biodata anak SD sebagai cita-cita. Tapi nggak disangka
pekerjaan ini keren sekali. Saya nggak bisa mengira, gimana kalo nggak ada
laboran ya? Yang membantu mencari lahan ataupun tanaman untuk penelitian siapa?
Pekerjaan menjadi laboran, sepemahaman saya, adalah pekerjaan ikhlas. Tugasnya
bejibun, belum selesai tugas A datang tugas B lalu C dan D, jam kerjanya
melebihi kerja dosen, tapi gajinya cukup rendah. Kalo nggak ikhlas, rugi
bandar. Jadi, kebayang kan kerjanya Pak Dadang? Apalagi beliau sudah 9 tahun
bekerja sekeras itu, dan akan ada 4 tahun lagi. insya Allah sehat ya, Pak!
Harus
melewati dua komplek perkuburan agar bisa menemukan rumah Pak Dadang. Seperti
stempel di surat kelurahan, bukan rumah orang yang kerja di bidang pertanian
kalo nggak ada tanamannya. Rumah Pak Dadang penuh ditumbuhi tanaman hias di
pot-pot hitam yang menggantung. Meski tidak berhalaman luas, rumah beliau asri
dan sejuk. Beda banget deh suasana di rumah Pak Dadang dengan di luar.
Sepertinya penghuni rumah itu baik-baik semua ya, sampai-sampai hawa rumahnya
nyaman nian. Subhanallah.
Bersalaman
dengan Pak Dadang mengingatkan saya saat bersalaman dengan Ayah. Telapak tangan
mereka sama-sama kasar. Pekerjaannya pasti berat. Juga agak gemetar. Mungkin
Pak Dadang masih belum bisa mengontrol gerak tubuhnya yang melemah akhir-akhir
ini. Hampir seminggu beliau dirawat karena penyakit jantungnya kambuh. Ia bisa
tiba-tiba drop, bahkan pingsan, bila terlalu senang ataupun terlalu sedih.
Mungkin aneh, seperti di film korea, tapi ini menyakitkan. Bersyukurlah kita
yang masih bisa leluasa berekspresi. Hampir 5 tahun penyakit ini mengidap di
tubuh beliau yang gagah. Dan kejadian kemarin bukan kali pertama. Dari raut
mukanya, ia mulai lelah dengan semua ini. Bolak-balik jatuh. Bolak-balik ke
rumah sakit. Siapa yang tahan kecuali punya ketegaran batu karang? Saya juga
pernah berada di posisi beliau. Bolak-balik masuk rumah sakit bukan sesuatu
yang mengasyikkan, seganteng apapun dokter yang pernah merawat saya hehehe.
“Nggak coba
pengobatan alternatif, Pak?”
Setelah
menyuguhkan bolu pisang dan air mineral, istri Pak Dadang bergabung bersama
kami. Wanita yang memberitahu arah rumah mereka itu menjelaskan bahwa mereka
sudah tidak percaya lagi dengan pengobatan seperti itu. Kedua anak mereka sejak
umur 8 bulan menderita hernia dan sakit di kelenjar tiroid. Dua tahun berobat
dan mengantre panjang di rumah terapi tidak memberikan hasil yang positif.
Ujung-ujungnya harus dioperasi dan makan obat dari resep dokter.
Sejak zaman
krisis moneter keluarga kecil namun berhati besar ini telah merasakan asam
garamnya kehidupan. Bahwa kesehatan itu penting. Kalo badan nggak sehat, susah
mau ibadah. Istri Pak Dadang bercerita, “Bahkan dulu bayar pengobatan pakai
dolar. Periksa darah harus dikirim ke luar negeri, soalnya peralatan di
Indonesia tidak memadai.” Coba tolong Bapak dan Ibu Menteri, mbok yo uang rakyat dari pada dimakan
untuk spanduk partai, mending untuk beli alat uji darah, manfaatnya bisa
dirasakan orang banyak lho (woi Nis, mana ada menteri baca tulisan lo?
*tabokbiarsadar*).
Saya
merasakan menjadi istri yang suami dan anak-anaknya memiliki penyakit yang
berat tidaklah mudah. Meski samar, tatapan istri Pak Dadang agak berkaca-kaca.
Saya ikut-ikutan mau menangis. Beliau melanjutkan bercerita setelah menawarkan
kami asinan buatan beliau. Aduh, jadi banyak makan nih saya dan Anggun hehe.
“Rasa-rasanya Ibu pengen banget nangis. Tapi gimana? Bapak malah tanya, ‘Ibu
kenapa nangis?’. ‘Nggak, Ibu nggak nangis’. Ibu sedih tapi nggak mau Bapak
lihat Ibu menangis. Anak-anak bilang, ‘Aku nggak usah kuliah aja, biar uang
kuliah buat biaya pengobatan Bapak’. Ibu tetap keras mereka harus kuliah.
Jangan mau berpendidikan rendah kayak orang tuanya. Ibu yakin, Allah mah sae (baik). Allah teh Maha Pemberi rezeki. Alhamdulillah,
sekarang sudah ada yang lulus sarjana, adiknya juga kuliah. Penyakit mereka pun
hilang.”
Saya percaya
kalau Allah Azza wa Jalla begitu memuliakan wanita, khususnya istri Pak Dadang.
Beliau diembani tugas yang sulit sebagai istri dan juga ibu dari anak-anaknya.
Insya Allah, ada hadiah besar kalo Ibu bisa menyelesaikan ujian ini dengan baik
ya, Bu. Saya banyak belajar dari Ibu, menjadi wanita harus kuat, seperti yang
Ayah saya selalu pesankan.
“Bapak tuh
susah kalo harus berhenti merokok dan minum kopi,” canda istri Pak Dadang
sambil menyenggol bahu suaminya. Aiih mesranya. Tawa renyah membuncah ke seisi
ruang tamu.
Wah, saya
juga susah tuh, Bu, mengontrol minum kopi. Dipelototin sebesar apapun sama
Ayah, tetep weh itu sumber penyakit asam lambung saya minum hehehe. Harus jadi
pelajaran, Nis. Ulah ngopi wae maneh teh
ah!
“Si kakak
pernah menawarkan biaya pengobatan Bapak biar dia yang bantu bayar asalkan
Bapak berhenti merokok. Ibu bilang, ‘Jangan keras-keras gitu. Biar Bapak
pelan-pelan berhenti merokok, jangan langsung gitu’. Kan, Ibu nggak mau rasa
sayangnya Bapak ke Ibu berkurang karena dipaksa berhenti merokok dan ngopi.
Jadi sekarang kalo Bapak mau ngopi harus bikin sendiri, Ibu nggak mau bikinin.
Biar Bapak rasain sendiri akibat Bapak sering ngopi. Orang mau sembuh kan harus
dari diri sendiri dulu.”
Bagaimana
rasanya berada di posisi Ibu? Sulit. Banget. Serba salah. Tapi tetap cinta.
Harus sabar segede Gunung Salak, kalo kata Mama saya. Harus belajar bersabar nih
saya biar siap menghadapi kehidupan di masa mendatang kalo masih diizinkan
hidup bersuami insya Allah. Semoga saya bisa memosisikan diri sebaik-baiknya,
aamiin.
Pak Dadang
angkat suara, “Memang susah banget lepas dari rokok itu. Saya pernah coba
berhenti. Tapi tengah malam saya keliling cari warung buat beli rokok. Nikotin
memang bikin candu. Gimana pakai narkoba? Jangan sampai deh kena narkoba.
Bahaya. Mudah-mudahan Bapak bisa berhenti merokok dan ngopi. Tapi kalo berhenti
makan asinan, kayaknya nggak bisa. Asinan Ibu paling enak. Yang di Sukasari mah
lewat. Enakan yang di sini,” pujinya.
Ibu merona.
“Ih Bapak mah merayu aja.”
“Lho, kalo
bukan suaminya yang bilang enak, siapa lagi?”
Hahaha,
mereka romantis sekali. Semoga makin berkah ya hubungan beliau berdua.
Mesra-mesraan kalau sudah halal kan menambah pahala. Keluhan Bapak dan curhatan
Ibu tentang penyakit jantung sudah menguap entah kemana. Hari semakin siang dan
saya harus kembali ke kampus, kembali ke rutinitas penelitian yang … yang …
hehehe. Ditawari makan siang dulu di rumah Pak Dadang. Nah lho. Tapi nggak enak
ah, udah makan lumayan banyak di rumah Bapak hehe.
“Meskipun
sibuk penelitian, tetap makan harus teratur. Jangan mentang-mentang bentar lagi
beres atau lagi asyik pengamatan, eh lupa makan, sakit deh. Kan sayang. Apalagi
kalo sakitnya lama. Penelitian malah nggak keurus. Lalu harus mengulang. Sayang
waktu banyak terbuang. Bilangin ke adik-adik kelasmu yang mau penelitian, ya,”
begitu pesan Pak Dadang.
Jalan Kita Masih Panjang |
aku komen nih :P
ReplyDeleteyaelah yang agak penting dikit kek komennya neng
ReplyDelete