5/3/13

Siklus



Benar celetuk tukang sol sepatu di gerbang stasiun, “Terkadang kita tidak perlu sebatang rokok dan segelas kopi untuk memulai pembicaraan.” Toh kita sama-sama bukan penikmat nikotin dan kamu tidak terbiasa meminum kopi jenis apa pun. End of Rainbow-nya Sandy Sandoro, sekoteng, dan teduh lampu taman ini hanya bonus suasana saja. Sebetulnya kita hanya butuh jeda untuk saling mengutarakan, iya, kan?

“Bukankah semua ini harmoni? Sederhana saja untuk membentuk harmoni.”
“Saya sebut ini pelarian.” Cak Nung mengelus-eluskan luka sikutnya yang ia dapatkan sore tadi karena bertabrakan dengan mobil. Sebagai korban, ia memilih kabur dan tenggelam di harum jahe panas yang menyegarkan.
“Kenapa?”
“Mukamu menggambarkan kalau kamu sedang ingin berlari. Harusnya saya yang bertanya, kenapa, Njani?”
“Tidak apa-apa.”
“Nah, larimu sekarang semakin cepat.”
“…”
“…”
“Pernah tidak kamu merasa jenuh, Cak? Segala rutinitasmu perlahan-lahan menjeratmu ke dimensi yang tidak kamu inginkan. Ke-wah-an orang-orang makin mencidukmu bahwa kamu tidak se-wah ke-wah-an orang-orang. Ini bukan tentang bagaimana saya menurut orang-orang, melainkan saya terhadap kacamata saya sendiri. Sering dengan memakai kacamata terbalik, saya melihat saya yang bukan sebenarnya. Meski agak rabun, tapi tidak samar tampakannya.”
“Bagian dari sekoteng yang saya sukai adalah kacang ini. Maklum kalau saya menyisakannya untuk dimakan paling akhir.” Cak Nung memutar sendok alumuniumnya.
“Semua ekspektasi, rencana-rencana, kesempurnaan yang terancang, tiba-tiba malas saja untuk dibentangkan. Maunya mengulur-ulur biar lentur, mengembang, terberai, lalu lupa. Setelah itu menjadi biasa saja. Seperti tidak pernah ada ini dan itu.”
“Kapan-kapan kita makan ubi cilembu.”
“Saya ingin sekali pergi ke suatu tempat dimana tidak ada orang di sana. Lalu tersasar dan tidak kembali pulang.”
“Apa yang akan Njani lakukan?”
Yang ditanya angkat bahu. Ia menyeruput sekotengnya yang mulai mendingin. Mencari jawaban, atau mungkin sedikit alasan, di balik merah muda kue mutiara dalam mangkuknya. “Kamu, Cak, apa yang kamu lakukan kalau tersasar di gunung? Mungkin saya bisa lakukan itu.”
“Hmm …” Cak Nung mengingat-ingat. “Berputar.”
“Tapi saya tidak akan berputar, kan saya tidak mau pulang.”
“Berani pergi, maka kamu harus berani pulang, Njani.”
“Kenapa harus begitu?”
“Hukum Newton keempat.”
“Hahaha, mana ada?”
“Ada. Barusan.”
“…”

Menjenuh Siklus

“Jenuh, ya?”
“Iya.”
“Apa kalau jenuh harus berlari?”
“Tidak tahu. Maunya, sih menghilang saja. Lalu mewujud menjadi diri yang baru.”
“Apa dengan bermoksa kamu tidak akan jenuh lagi?”
“Tidak tahu. Tapi tidak mungkin tidak akan jenuh.”
“Itu siklus, menurut saya. Kamu sedang menyiklus.”
“Siklus ini membosankan.”
“Bukan siklusnya yang membosankan, tapi kamunya yang bosan.”
“Sama saja.”
“Beda.”
“Sama.”
“Terserah. Manusia mana mungkin bisa melihat hidungnya sendiri tanpa bantuan cermin. Biar saya jadi cermin kamu, sini, saya refleksikan kamu yang terpampang tanpa cacat.”
“…”
“Kalau jenuh, lihat langit.”
“Kenapa harus langit?”
“Karena langit itu luas.”
“…”
“Di luasan itu, kamu akan menemukan jawaban kejenuhan. Eh, bukan deng. Penapis kejenuhan.”
“Apa?”
“Lihat dulu langitnya.”
“Sudah.”
“Belum. Jangan lihat pakai mata, tapi pakai jiwa juga hati yang terbuka.”
“Susah.”
“Memang.”
“…”
“Njani lihat apa?”
“Langit. Sedikit bintang. Tidak ada bulan malam ini. Apa mau hujan? Kita harus cepat-cepat pulang.”
“Kenapa langit tidak runtuh? Kalau dia jenuh, bisa saja dia jatuh.”
“Kalau langit jatuh, saya bisa berabe. Sepertinya langit berat. Nanti saya mati.”
“Mungkin langit pernah jenuh, hanya bisa memata-matai bumi dari atas, tidak mencium wangi tanah, juga tidak pernah tahu rasanya tertabrak mobil. Tapi langit tidak memutuskan untuk jatuh supaya kamu tidak mati.”
“Terus?”
“Terus? Ya tidak ada terusannya. Begitu saja.”
“Tidak mengerti saya, Cak.”
“Ini sekoteng saya yang bayar. Kita harus siap-siap pulang. Sebentar lagi hujan.”

6 comments:

  1. suka dengan cerita-cerita seperti ini, dengan leluasa si pembaca dapat mengambil pesan yang ingin dia ambil..

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kak. sebagai pembaca, kak imam dapat pesan apa? kok rasa-rasanya saya nggak kasih pesan apa-apa ya, lha wong gantung gitu ending-nya hehe

      Delete
  2. ni pesan nya, kita perlu orang lain untuk melihat diri kita, refleksi cermin,
    suka kata-kata ini, kalo jenuh, liat langit, apalagi kalo langitnya di jambi sini, kereeennn,,
    sama kata2 yang ini, berani pergi ya harus berani pulang, sederhana, tapi banyak arti,
    gtu,

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh yayaya iya juga sih ya. satu lagi, langit rela gak runtuh supaya manusia gak mejret walaupun dia pengen banget menyentuh bumi, jadi orang jangan ambisian, hahaha sok tahu banget saya

      Delete
  3. tau dari mana langit pengen nyentuh bumi?
    ambisi itu perlu, hanya jangan berlebihan, dan harus diimbangi ikhtiar juga tawakal,

    ReplyDelete
    Replies
    1. perumpamaan aja sih. iya setuju setuju..

      Delete