Benar celetuk tukang sol
sepatu di gerbang stasiun, “Terkadang kita tidak perlu sebatang rokok dan
segelas kopi untuk memulai pembicaraan.” Toh kita sama-sama bukan penikmat
nikotin dan kamu tidak terbiasa meminum kopi jenis apa pun. End of Rainbow-nya
Sandy Sandoro, sekoteng, dan teduh lampu taman ini hanya bonus suasana saja.
Sebetulnya kita hanya butuh jeda untuk saling mengutarakan, iya, kan?
“Bukankah semua ini harmoni?
Sederhana saja untuk membentuk harmoni.”
“Saya sebut ini pelarian.” Cak
Nung mengelus-eluskan luka sikutnya yang ia dapatkan sore tadi karena
bertabrakan dengan mobil. Sebagai korban, ia memilih kabur dan tenggelam di
harum jahe panas yang menyegarkan.
“Kenapa?”
“Mukamu menggambarkan kalau
kamu sedang ingin berlari. Harusnya saya yang bertanya, kenapa, Njani?”
“Tidak apa-apa.”
“Nah, larimu sekarang semakin
cepat.”
“…”
“…”
“Pernah tidak kamu merasa
jenuh, Cak? Segala rutinitasmu perlahan-lahan menjeratmu ke dimensi yang tidak
kamu inginkan. Ke-wah-an orang-orang makin mencidukmu bahwa kamu tidak se-wah
ke-wah-an orang-orang. Ini bukan tentang bagaimana saya menurut orang-orang,
melainkan saya terhadap kacamata saya sendiri. Sering dengan memakai kacamata
terbalik, saya melihat saya yang bukan sebenarnya. Meski agak rabun, tapi tidak
samar tampakannya.”
“Bagian dari sekoteng yang
saya sukai adalah kacang ini. Maklum kalau saya menyisakannya untuk dimakan
paling akhir.” Cak Nung memutar sendok alumuniumnya.
“Semua ekspektasi,
rencana-rencana, kesempurnaan yang terancang, tiba-tiba malas saja untuk
dibentangkan. Maunya mengulur-ulur biar lentur, mengembang, terberai, lalu
lupa. Setelah itu menjadi biasa saja. Seperti tidak pernah ada ini dan itu.”
“Kapan-kapan kita makan ubi
cilembu.”
“Saya ingin sekali pergi ke
suatu tempat dimana tidak ada orang di sana. Lalu tersasar dan tidak kembali
pulang.”
“Apa yang akan Njani lakukan?”
Yang ditanya angkat bahu. Ia
menyeruput sekotengnya yang mulai mendingin. Mencari jawaban, atau mungkin
sedikit alasan, di balik merah muda kue mutiara dalam mangkuknya. “Kamu, Cak,
apa yang kamu lakukan kalau tersasar di gunung? Mungkin saya bisa lakukan itu.”
“Hmm …” Cak Nung mengingat-ingat.
“Berputar.”
“Tapi saya tidak akan
berputar, kan saya tidak mau pulang.”
“Berani pergi, maka kamu harus
berani pulang, Njani.”
“Kenapa harus begitu?”
“Hukum Newton keempat.”
“Hahaha, mana ada?”
“Ada. Barusan.”
“…”
Menjenuh Siklus |
“Jenuh, ya?”
“Iya.”
“Apa kalau jenuh harus
berlari?”
“Tidak tahu. Maunya, sih
menghilang saja. Lalu mewujud menjadi diri yang baru.”
“Apa dengan bermoksa kamu
tidak akan jenuh lagi?”
“Tidak tahu. Tapi tidak
mungkin tidak akan jenuh.”
“Itu siklus, menurut saya.
Kamu sedang menyiklus.”
“Siklus ini membosankan.”
“Bukan siklusnya yang
membosankan, tapi kamunya yang bosan.”
“Sama saja.”
“Beda.”
“Sama.”
“Terserah. Manusia mana
mungkin bisa melihat hidungnya sendiri tanpa bantuan cermin. Biar saya jadi
cermin kamu, sini, saya refleksikan kamu yang terpampang tanpa cacat.”
“…”
“Kalau jenuh, lihat langit.”
“Kenapa harus langit?”
“Karena langit itu luas.”
“…”
“Di luasan itu, kamu akan
menemukan jawaban kejenuhan. Eh, bukan deng. Penapis kejenuhan.”
“Apa?”
“Lihat dulu langitnya.”
“Sudah.”
“Belum. Jangan lihat pakai
mata, tapi pakai jiwa juga hati yang terbuka.”
“Susah.”
“Memang.”
“…”
“Njani lihat apa?”
“Langit. Sedikit bintang.
Tidak ada bulan malam ini. Apa mau hujan? Kita harus cepat-cepat pulang.”
“Kenapa langit tidak runtuh?
Kalau dia jenuh, bisa saja dia jatuh.”
“Kalau langit jatuh, saya bisa
berabe. Sepertinya langit berat. Nanti saya mati.”
“Mungkin langit pernah jenuh,
hanya bisa memata-matai bumi dari atas, tidak mencium wangi tanah, juga tidak
pernah tahu rasanya tertabrak mobil. Tapi langit tidak memutuskan untuk jatuh
supaya kamu tidak mati.”
“Terus?”
“Terus? Ya tidak ada
terusannya. Begitu saja.”
“Tidak mengerti saya, Cak.”
“Ini
sekoteng saya yang bayar. Kita harus siap-siap pulang. Sebentar lagi hujan.”
suka dengan cerita-cerita seperti ini, dengan leluasa si pembaca dapat mengambil pesan yang ingin dia ambil..
ReplyDeletemakasih kak. sebagai pembaca, kak imam dapat pesan apa? kok rasa-rasanya saya nggak kasih pesan apa-apa ya, lha wong gantung gitu ending-nya hehe
Deleteni pesan nya, kita perlu orang lain untuk melihat diri kita, refleksi cermin,
ReplyDeletesuka kata-kata ini, kalo jenuh, liat langit, apalagi kalo langitnya di jambi sini, kereeennn,,
sama kata2 yang ini, berani pergi ya harus berani pulang, sederhana, tapi banyak arti,
gtu,
oh yayaya iya juga sih ya. satu lagi, langit rela gak runtuh supaya manusia gak mejret walaupun dia pengen banget menyentuh bumi, jadi orang jangan ambisian, hahaha sok tahu banget saya
Deletetau dari mana langit pengen nyentuh bumi?
ReplyDeleteambisi itu perlu, hanya jangan berlebihan, dan harus diimbangi ikhtiar juga tawakal,
perumpamaan aja sih. iya setuju setuju..
Delete