10/19/14

Best Time

Kalau boleh saya tarik garis kehidupan, hidup ini berjalan seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang datang silih berganti tidak bosan-bosan. Saya rasa, kalian juga mengalami hal ini. Ketika kuliah dulu, pertanyaan mainstream yang terdengar adalah “Kapan mulai penelitian?”. Ketika penelitian, ditanya “Kapan lulus?” atau “Kapan sidang?” Setelah lulus ditanya “Kapan wisuda?” Setelah wisuda ditanya, “Kapan kerja?” Lalu pertanyaan selanjutnya adalah “Kapan nikah?” Setelah nikah, tidak mungkin tidak ditanya “Kapan punya anak?” Setelah punya anak ditanya, “Kapan punya anak kedua, ketiga, keempat, keseratus?” Nah sampai pertanyaan ini, saya tidak tahu pertanyaan apalagi yang akan ditanya. Mungkin akan ditanya “Kapan meninggal?” Hehehe sepertinya tidak ada yang bertanya seperti itu ya.

Dan hidup saya sedang dilanda (hehehe lebai amat bahasanya dilanda) pertanyaan “Kapan punya anak?” atau lebih halusnya “Udah isi?” Awalnya bingung ketika orang-orang bertanya demikian. Apanya yang diisi? Tapi karena mereka bertanya sambil melihat perut saya, saya menjawab, “Belum, Bu,” sambil senyum dilebar-lebarkan.

Sekali dua kali pertanyaan saya anggap biasa saja. Malah bahagia karena mereka juga ikut menunggu-nunggu kehadiran yang diidamkan semua pasangan yang menikah. Dan sudah lebih dari sepuluh kali ditanya pertanyaan yang sama. Mencoba tetap maklum, tapi mulai gelisah juga.

Yaaa, sama lah waktu kuliah dulu. Teman-teman sering bertanya “Kapan lulus?” Saya yang masih bergelut dengan mikroskop dan mayat-mayat serangga melengos menjawab, “Penelitian aja belum beres.” Sempat terlintas pertanyaan dalam hati, “Apa gue memang nggak bisa menyelesaikan penelitian ini ya?” Tapi daripada down, saya tekadkan dalam diri, “Slow, Nis, emang penelitian elo ribet banget, dan harus elo selesaikan skripsinya dengan nilai cemerlang, bahkan tanpa coretan revisi sama sekali. Tetap tenang dan lakukan dengan positif. Kontrol emosi elo dengan iman. Yeeaaah!!!”

Sekarang terlintas, “Kenapa ya orang lain yang baru menikah bisa langsung isi, sedangkan saya tidak?”

Apalagi ketika mereka tahu saya haid, entahlah, yang terlihat di mata saya ada ekspresi kecewa meski mereka senyam-senyum juga. Saya belum bisa membahagiakan mereka dengan tanda-tanda datangnya seorang anak. Saya telah mengecewakan mereka (?). Harus diketahui untuk kalian wanita dan lelaki yang akan menikah, pertanyaan seperti ini mempengaruhi psikologi istri dan kinerja ia dalam bekerja. Jadi para wanita, bersiap-siaplah menahan emosi ya. Dan para lelaki, kalian harus menenangkan istri kalian nanti. Hal sensitif seperti ini bisa mempengaruhi hubungan suami-istri lhooo.

Ditambah lagi, di lingkungan saya sedang banyak banget bayi-bayi baru dilahirkan. Waaaah bisa pas begini suasanya membolak-balikkan hati.

Lalu jawaban dari pertanyaan seputar kehamilan itu saya ganti, bukan lagi dengan “Belum, Bu,” melainkan dengan “Do’akan saja diisi di waktu yang terbaik ya,” sambil senyum masih dilebar-lebarkan.

Di waktu yang terbaik. Yap. Allah Maha Mengetahui yang nyata dan ghaib. Allah Maha Pengurus semua makhlukNya. Allah Maha Bijaksana tentang sesuatu di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Terhadap kehamilan seorang istri pun, Allah Mengaturnya.

Mengapa Allah belum menitipkan saya seorang anak? Apakah Allah belum percaya saya bisa mengurus anak? Apa saya masih harus fokus pada kegiatan saya saat ini, sehingga nanti ketika sudah stabil saya baru dititipkan anak oleh Allah?

Kalau melihat kondisi sekarang sih, sepertinya argumen ketiga masuk akal. Mungkin ya. Kalau iya ... aaaahhh, sungguh Maha Baik Allah. Kalau boleh curhat (hahaha) memang lagi ribet banget nih kerjaan, sedang butuh ekstra perhatian saya. Bahkan suami saja jarang diperhatikan, hehehe maaf ya sayang. Malam sudah capek duluan dan ngantuk, jadi nggak bisa menemani suami yang harus kerja lembur sebulan ini. Uuuuuggh, sayang kamu bangeeet *cium*

Sebagai istri pemula (hahaha, iyalah, saya kan belum berpengalaman jadi istri), saya ingin tahu bagaimana pendapat suami tentang anak. Lelaki terkeren di dunia saya itu menjawab, “Dengan menjadi ayah, suami telah merasa bangga dan tenang karena telah ada generasi penerusnya. Banyak ibadah-badah yang berhubungan dengan ayah-anak yang bisa dilakukan. Kata mereka yang sudah menjadi ayah, kesempurnaannya itu tidak bisa digambarkan. Bahagianya itu dobel. Punya istri. Punya anak. Nggak akan lagi merasa payah mencari nafkah. Ada selalu dua sumber kebahagiaan di rumah yang mengiasi hati.”

Saya memberi gambar cium (hehehe iya cuman bisa kasih gambarnya, maklum, suami jauh di belantara sana). Lalu suami membalas lagi sebelum akhirnya obrolan kami terhenti karena adzan magrib. “Aku baru bisa membayangkan sementara ini. Berharap Allah mulai mau mempercayakan titipannya pada kita.” Aamiin.
 

Tentang anak. Bagi saya, anak tidak hanya berguna untuk menyenangkan keluarga dan hiasan kehidupan saja. Anak itu adalah manusia lain di bumi ini yang nantinya harus bisa melaksanakan tugasnya dari Allah yaitu menjadi khalifah di bumi dan menjalani kehidupannya sesuai tujuan penciptaannya yaitu beribadah kepada Allah. Sungguh, sebenarnya berat sekali lho tugas suami-istri jika nanti berubah gelar menjadi ayah-ibu. Mereka harus bisa menjaga, mengurus, dan membinanya dengan baik dan sesempurna mungkin. Barang yang dititipkan kepada orang lain, suatu saat akan diambil dan diminta pertanggungjawabannya oleh si penitip. Begitu juga anak. Ayah dan ibu nantinya akan ditanya oleh Allah tentang bagaimana cara mereka menjaga titipan Allah berupa anak tersebut?

Bagi teman-temanku yang belum menikah, persiapkan diri kalian untuk segala macam yang berhubungan dengan pernikahan dan keluarga. Yang sudah menikah dan belum dikaruniai anak seperti saya, yuk sama-sama kita meningkatkan kualitas diri agar jika menurut Allah kita sudah siap, Allah akan menitipkan pejuang penegak agama Allah di waktu yang terbaik. Aamiin.

Lucu sih ketika mendapat pesan dari suami, “Kok tiba-tiba membicarakan anak?” setelah saya meminta, “Kalau nanti punya anak, kita urus bareng-bareng ya sayang.”