1/8/14

Mlaku-mlaku luwe nang Yogyakarta



Angkringan: Sebuah Perubahan Sosial

Mengawali bulan ini dengan wisata kuliner adalah kegiatan yang menyenangkan, bahkan mengenyangkan! Tapi tidak kenyang-kenyang banget sih, karena setelah makan, asupan saya terkuras dengan cepat. Kok bisa? Ya karena setelah makan, saya harus jalan kaki ke Kaliurang, lapar lagi deh. Haha. Maklum, tidak bawa kendaraan pribadi, dan di tempat saya menginap itu sulit transportasi umum.

Sepanjang Jalan Kaliurang hanya ada titik transit transjogja. Titik transit ini tidak bisa digunakan untuk menaikkan penumpang, jadi hanya bisa turun saja. Kalau mau naik transjogja ya harus ke halte dulu karena beli tiketnya di sana. Beda dengan transpakuan di Bogor, titik transit mana pun penumpang boleh naik dan turun karena bisa beli karcis di dalam bus. Awalnya agak bingung juga sih. Terpaksa harus jalan kaki kalau mau pergi kemana-mana. Taksi? Mahal booo, mending buat makan seminggu disini.

Niatnya mau mlaku-mlaku wareg (jalan-jalan kenyang), akhirnya jadi mlaku-mlaku luwe (jalan-jalan lapar). Tidak lama setelah makan, luwe maneh luwe maneh. Yo ora opo-opo lah, wareg ora wareg sing penting mangan ^^

Yogyakarta, selain terkenal sebagai Kota Pelajar (karena banyak sekali kampus), juga terkenal dengan Kota Seribu Angkringan. Gerobak dorong penyaji berbagai macam makanan itu memang menjamur di kota ini. Tiap tikungan jalan raya pasti ada angkringannya.

Konsep warung makan angkringan ini akhirnya merambah ke kota lainnya, salah satunya di Bogor. Di kampus saya juga ada angkringan jogja-nya. Kini banyak mahasiswa berkumpul disana. Ketika saya menceritakan hal ini kepada Ayah, ada satu fenomena sosial yang kami diskusikan. Obrolan berikut kami lakukan jauh sebelum saya main ke Yogyakarta.

“Tetap saja makna angkringan zaman sekarang beda dengan zaman ayah kuliah dulu.”

“Yeah, kakak tahu. Anak sekarang menganggap angkringan itu sebagai gaya hidup, bukan kebutuhan, ya kan?” Saya melanjutkan, tidak perlu menunggu persetujuan Ayah. “Orang langsung update facebook, twitter, upload foto di instagram. Merasa dirinya keren dengan merakyat, jadi ndeso makan di angkringan. Eh, iya nggak sih, Yah? Atau prasangka kakak aja?”

Ahaha, ini mah sayanya aja kali nih yang iri karena tidak punya akun twitter dan instagram. Kemarin juga update status facebook *nyodorin pipi* *minta ditampar* ^^

“Waktu ayah kuliah dulu, angkringan sudah kayak rumah, nggak bisa lagi kita makan kalau nggak disana. Kiriman dari bapak ayah kan terbatas.”

See? Mahasiswa zaman dulu tuh memang butuh angkringan, beda banget sama zaman sekarang. Mungkin memang butuh, tapi ditambah sebagai gaya-gayaan.

“Dan lihat juga tuh, karena zaman dulu belum ada internet, kita kalau ke angkringan ya ngobrol, dol-dol-an, ngalor ngidul sampai pagi. Sekarang? Memang sih ke angkringannya bareng-bareng, tapi setelah sudah sampai, pada sibuk sama hp-nya masing-masing, padahal di sebelah ada temennya bisa diajak ngobrol. Eh, nggak bisa ngobrol juga deng, wong temennya juga asyik hp-an sendiri. Akhirnya jadi sendiri bersama-sama. Sebenarnya nggak cuman di angkringan, di tempat lain juga sama, sekarang manusia cenderung gemar menjauhkan yang dekat, tapi yang jauh juga nggak dekat-dekat amat.”

“Mungkin sudah saatnya angkringan menyediakan jasa charge hp,” saya menyinggung.

Sudahlah. Dari pada heboh membicarakan orang lain (yang entah orangnya yang mana), lebih baik saya perkenalkan beberapa makanan yang saya makan selama tinggal sebentar di Yogyakarta. Lets krauk!

Bernostalgia di Soto Sulung Stasiun Tugu

Kalau ke Yogyakarta menumpang kereta dan berhenti di Stasiun Tugu, jangan buru-buru sampai ke tempat tujuan. Mampirlah dulu ke warung Soto Sulung di parkiran selatan Stasiun Tugu. Dari pintu keluar stasiun, ambil kiri, lihat jajaran toko. Nah di toko kedua dari ujung lah kuliner asli Madura ini berada. Madura? Iya. Walaupun soto ini khas Madura, tapi terkenal di seantero Yogyakarta. Bahkan orang luar Yogya sengaja berwisata kuliner disini, seperti saya.

Warung Soto Sulung Stasiun Tugu

Salah satu faktor yang membuat makanan ini terkenal, menurut saya, adalah cerita dari orang tua. Ayah saya memang kuliah di Yogyakarta. Kalau kiriman uang sedang hangat-hangatnya, ayah dan teman-temannya tancap gas ke Stasiun Tugu, nongkrong deh di warung Soto Sulung. Lalu ayah cerita kalau ada soto enak di Yogya. Penasaranlah saya. Main juga deh kesana. Dan ternyata kisah seperti ini tidak saya saja yang mengalami. Pegawai warung juga bilang kalau banyak orang yang membawa anak dan cucunya karena waktu jadi mahasiswa dulu sering makan disini. Hhhmmm… Harum nostalgia sering kali menempel di dinding warung yang berlumut.
 
Menunggu panas

Soto Sulung Stasiun Tugu ini sudah berdiri sejak 1968 oleh Almarhum Bapak Marjuddin. Kini yang memegang nama kuliner terkenal ini adalah anaknya, Bapak Ridwan. Soto Sulung ini sebenarnya flat saja. Tidak pakai bihun, toge, atau kol seperti yang biasa saya makan di Bogor. Bedanya Soto Sulung dengan soto biasa ya itu. Hanya ada daging sapi, jeroan, daun bawang, dan kuah bening. Kita bisa minta ditambah telur rebus. Tapi sepertinya telur bukan bahan utama soto ini, karena pelayannya tanya, “Nganggo endog ora? (pakai telur tidak?)”

Satu porsi soto campur

Yang unik dari hidangan ini adalah nasinya yang dijual terpisah, tidak langsung semangkok dengan sotonya. Kalau mau pakai nasi, ambil sendiri di meja. Kalau yang tersedia di meja hanya nampan dengan belasan bungkus koran, nah ambil itu. Memang nasinya dibungkus kecil-kecil dalam koran, sebelumnya juga dibungkus dengan daun pisang. Jadilah nasi panas beraroma daun pisang siap dilahap bersama daging empuk dan potongan telur. Tambahkan emping kalau suka. Uuuuuuhh, maknyoooos! Kurang asin? Minta saja garam yang ukurannya sebesar batu kerikil. Hahaha serius ini. Jangan kebablasan kasih garam, nanti dikira kebelet kawin eh.

Nasi bungkus

Kalau kata supir taksi saya sih, sebenarnya rasanya lebih maknyos yang dulu. Kalau beliau coba makan sekarang, berasa ada bumbu yang kurang. “Maklum, sudah bukan Pak Marjuddin yang meracik bumbunya, jadi ya beda rasanya. Walaupun resepnya turun menurun, beda tangan ya beda kelezatan. Kalau tangan kan kayak ada selera sendiri, gitu lho Mbak,” ceritanya. Aduh, mana tahu saya. Rasa sekarang saja sudah begitu enaknya, gimana kalau yang buatan asli tangan Pak Marjuddin? Baru turun dari kereta lagi lapar-laparnya, tidak peduli deh itu rasanya beda kayak zaman dulu atau tidak, yang penting makan ^^

“Satu lagi,” tambah bapak supir, “dulu itu warungnya sering nyalain musik jawa, suaranya sengaja dikerasin. Kalau sekarang tidak lagi, sayang saja.”

Sebelum lupa. Saya mau cerita sedikit tentang taksi di Jogja. Biasanya susah kalau tungguin taksi asli dari Stasiun Tugu. Apalagi kalau musim liburan begini. Jadilah yang bersedia menjadi taksi saya adalah bapak penyewa mobil APV. Alhamdulillah, lega boo hahaha. Ongkosnya memang Rp 80.000 sih, tapi ya mau bagaimana lagi? Tunggu taksi asli kosong? Nanti keburu malam. Kan mau jelajah kuliner lainnya ^^

Kalau saya bandingkan harga dengan review dari internet, ternyata sudah jauh berbeda. Lebih mahal bro. Hiks. Awal Januari 2014, harga soto daging Rp 12.000, soto campur Rp 8.000, telur Rp 5.000, nasi Rp 1.000, teh atau jeruk dingin dan panas Rp 2.000, es batu Rp 500, dan kopi susu Rp 3.000. Yang naik drastis ya harga sotonya, mungkin karena harga daging semakin melonjak. Hiks. Tapi tenang saja, Kawan. Kau lapar? Tidak sampai lima menit setelah pesan, semangkok soto sulung siap terhidang. Asapnya yang mengangkasakan aroma bumbu khas Madura, widiiiiih, membuat cacing berontak!

Daftar menu

Terakhir yang membuat saya kagum dengan warung makan ini adalah banyaknya asesoris atau kenang-kenangan dari berbagai universitas di Indonesia. Mulai dari jam dinding Universitas Jayabaya sampai Universitas Islam Indonesia. Sepertinya mahasiswa banyak yang melakukan praktik lapangan di warung ini. Mungkin meneliti bagaimana resepnya sebuah soto bisa terkenal lebih dari 45 tahun? Amazing!

Poster UII


Gudeg Yu Djum

Apa yang membedakan Gudeg Yu Djum dengan gudeg lainnya? Pertama, gudeg ini melegenda karena sudah lebih dari 40 tahun memanjakan lidah penikmat kuliner Yogyakarta. Kedua, gudeg ini termasuk gudeg kering. Ramuan daun jati memberikan warna coklat pada potongan nangka muda yang tidak dimasak basah. Sambal kreceknya pun kering. Tambahan tempe dadu membuat cita rasa gudeg semakin tinggi.

Ada berbagai macam lauk sebagai tambahan. Yang paling murah kalau ditambah telur pindang. Harnya Rp 10.000. Bisa juga ditambah ayam suwir, paha, dan dada ayam. Untuk porsi besar, ditambah ayam utuh juga boleh dicoba. Hanya saja harganya juga lebih mahal.

Gudeg Yu Djum menawarkan paket keluarga. Jadi kalian bisa beli untuk porsi lima orang dengan harga yang lebih hemat. Selain itu juga ada gudeg kendil. Biasanya orang-orang membeli gudeg kendil sebagai oleh-oleh. Gudeg dimasukkan ke dalam kendil (semacam guci tanah liat). Dengan pemanasan yang dianjurkan pelayan, gudeg kendil tahan hingga 3 hari. Harganya Rp 250.000. Monggo ^^

Salah satu cabang Gudeg Yu Djum yang saya datangi terletak di Jalan Kaliurang KM 5. Plang-nya ada di pinggir jalan. Tapi kalau mau ke warungnya harus masuk gang sekitar 30 meter. Karena dekat dengan kos-kosan, banyak pula mahasiswa yang makan disini. Cuci mata deh eh.

Sebenarnya ada sentra gudeg dekat Kaliurang, namanya Sentra Gudeg Sleman. Tepatnya di sepanjang Jalan Selokan Mataram, sebelahan sama UGM. Warung-warung gudeg di sini sudah buka jam 06.00 pagi. Kalau bingung mau sarapan apa, main-mainlah kesini. Dan karena tempat menginap saya tidak ada kendaraan umum, sekalian jogging deh. Lumayan 1 kilo mah ada. Pulang makan sudah lapar lagi -_-
 
Sentra gudeg Sleman

Ora Kecele Mangan SGPC

Jalan-jalan ke Yogyakarta pasti sering melihat spanduk bertuliskan SGPC. Itu adalah singkatan dari sego pecel, makanan lain khas Yogyakarta yang wajib dicoba. Mulai dari pukul 6 pagi, warung-warung kecil di pinggir jalan banyak menyajikan makanan yang cocok untuk sarapan ini. Pagi-pagi sudah makan pecel? Hahaha, siap-siap aja antri kamar mandi.

Sego berarti nasi dan pecel ya tetap saja pecel. Nasi campur pecel, yang terdiri dari toge, kacang panjang, dan daun pepaya, ditambah bumbu kacang. Pecel yang saya makan banyak sekali daun pepayanya sehingga ada rasa pahit sebagai pewarna rasa. Selain itu bisa ditambah lauk seperti telur ceplok, aneka tempe dan tahu. Hhmm ora kecele (kecewa) deh mangan SGPC ^^

Bakmi Godog Jawa

Bakmi godog alias bakmi rebus nikmat disantap pada malam hari, apalagi setelah Yogyakarta diguyur hujan. Hmm.. harum tanah basah bercampur aroma bakmi menggelitik bulu hidung! Khas bakmi jawa itu bentuk mie-nya bulat panjang dan tebal, tidak seperti mie biasa. Inilah yang membuat perut cepat kenyang haha. Kuah bakmi godog berwarna putih, hasil campuran bumbu tradisional jawa dengan telur bebek. Bakmi disajikan bersama suwiran ayam, telur bebek, kol, sawi, tomat, baun bawang, dan bawang goreng. Nyam nyam nyam.

Bakmi godog

Bakmi godog Jumpa Pers menambah daftar kuliner yang sayang untuk dilewatkan. Warung tenda ini berada di pinggir Jalan Kaliurang KM 5. Yang menarik dari warung ini adalah bakmi godog-nya dimasak dengan tungku dan berbahan bakar arang. Tentu rasanya beda dengan yang lain. Mantap!

Tungku masak

Salak pondoh Sleman

Ada satu buah tradisional yang jempol banget di Kabupaten Sleman, DIY Yogyakarta. Namanya salak pondoh. Enaknya, kalau kita beli buah salak ini di warung-warung, pasti dibilangnya, “Baru dipetik itu, Mbak.” Jadi rasa manisnya masih fresh. Yang bikin seru itu karena di kulit buahnya masih ada duri-durinya. Ada sensasi tersendiri sebelum menikmati buah khas Sleman ini. Dan karena belinya langsung dari kota asalnya, harga per kilonya lebih murah. Oh iya, perbedaan rasa manis antara salak pondoh Sleman dengan daerah lain itu katanya karena sifat geografis seperti pH tanah yang berbeda. Hhmmm…

Yang menarik dari salak pondoh Sleman ini adalah sudah ada sertifikasi HAKI alias Hak Atas Kekayaan Intelektual yang diberikan langsung oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Komunitas Perlindungan Indikasi Geografis Salak Pondoh Sleman (KPIG-SPS) yang selama ini telah menanam salak pondoh.

Dengan adanya HAKI ini, maka siapapun yang hendak memproduksi atau mengeksploitasi produk salak pondoh untuk kepentingan bisnis harus mendapat izin dari Pemkab Sleman, selain itu setiap produk olahan yang menggunakan label salak pondoh maka bahan baku salaknya harus membeli dari petani Sleman. Waaaaah.

Wedang

Selesai makan, ada minuman hangat yang nikmat diteguk ketika hujan turun. Wedang! Di Yogyakarta ada berbagai macam wedang, seperti wedang secang, wedang uwuh, dan wedang pawuran. Menurut saya sih rasanya sama saja haha. Yang membedakan tiap-tiap wedang itu rempah-rempahnya. Rempah-rempah wedang pawuran, kata mas-mas penjual berblangkon, lebih lengkap dibandingkan wedang yang lain. Minuman tradisional ini asli dari Kraton Yogyakarta dan sangat disukai Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Wedang selalu disajikan untuk minuman sambutan selamat datang bagi tamu raja di Kraton Yogyakarta, khususnya adalah wedang secang.

Wedang

Wedang bisa kalian temukan di angkringan. Mengikuti perkembangan zaman, kini wedang sudah ada bentuk kemasannya. Jadi sudah dalam bentuk bubuk. Tinggal diseduh dengan air panas. Satu kotaknya mulai dari Rp 14.000 sampai Rp 17.000. Pilih saja wedang yang kamu suka ^^

Es Kencur Murni

Cuaca di Yogyakarta mirip di Bogor. Panas dingin tak menentu. Setelah panas-panasan berjalan kaki di sepanjang Malioboro hingga Pasar Beringhardjo, tenggorokkan saya terasa segar bila telah mencoba es kencur murni. Jamu tradisional ini cukup banyak dijual dengan gerobak dorong. Beli satu gelas mampu membangkitkan semangat jalan-jalan lagi hehe. Mau dijadikan oleh-oleh juga boleh, karena ada yang menjual dengan kemasan botol. Uenak tenan!

Es kencur dorong

No comments:

Post a Comment