Angkringan:
Sebuah Perubahan Sosial
Mengawali bulan ini dengan wisata kuliner
adalah kegiatan yang menyenangkan, bahkan mengenyangkan! Tapi tidak
kenyang-kenyang banget sih, karena setelah makan, asupan saya terkuras dengan
cepat. Kok bisa? Ya karena setelah makan, saya harus jalan kaki ke Kaliurang,
lapar lagi deh. Haha. Maklum, tidak bawa kendaraan pribadi, dan di tempat saya
menginap itu sulit transportasi umum.
Sepanjang Jalan Kaliurang hanya ada titik
transit transjogja. Titik transit ini tidak bisa digunakan untuk menaikkan
penumpang, jadi hanya bisa turun saja. Kalau mau naik transjogja ya harus ke
halte dulu karena beli tiketnya di sana. Beda dengan transpakuan di Bogor,
titik transit mana pun penumpang boleh naik dan turun karena bisa beli karcis
di dalam bus. Awalnya agak bingung juga sih. Terpaksa harus jalan kaki kalau
mau pergi kemana-mana. Taksi? Mahal booo, mending buat makan seminggu disini.
Niatnya mau mlaku-mlaku wareg (jalan-jalan kenyang), akhirnya jadi mlaku-mlaku luwe (jalan-jalan lapar).
Tidak lama setelah makan, luwe maneh luwe
maneh. Yo ora opo-opo lah, wareg ora
wareg sing penting mangan ^^
Yogyakarta, selain terkenal sebagai Kota
Pelajar (karena banyak sekali kampus), juga terkenal dengan Kota Seribu
Angkringan. Gerobak dorong penyaji berbagai macam makanan itu memang menjamur
di kota ini. Tiap tikungan jalan raya pasti ada angkringannya.
Konsep warung makan angkringan ini
akhirnya merambah ke kota lainnya, salah satunya di Bogor. Di kampus saya juga
ada angkringan jogja-nya. Kini banyak mahasiswa berkumpul disana. Ketika saya
menceritakan hal ini kepada Ayah, ada satu fenomena sosial yang kami
diskusikan. Obrolan berikut kami lakukan jauh sebelum saya main ke Yogyakarta.
“Tetap saja makna angkringan zaman
sekarang beda dengan zaman ayah kuliah dulu.”
“Yeah, kakak tahu. Anak sekarang
menganggap angkringan itu sebagai gaya hidup, bukan kebutuhan, ya kan?” Saya
melanjutkan, tidak perlu menunggu persetujuan Ayah. “Orang langsung update facebook, twitter, upload foto di
instagram. Merasa dirinya keren dengan merakyat, jadi ndeso makan di
angkringan. Eh, iya nggak sih, Yah? Atau prasangka kakak aja?”
Ahaha, ini mah sayanya aja kali nih yang
iri karena tidak punya akun twitter dan instagram. Kemarin juga update status
facebook *nyodorin pipi* *minta ditampar* ^^
“Waktu ayah kuliah dulu, angkringan sudah
kayak rumah, nggak bisa lagi kita makan kalau nggak disana. Kiriman dari bapak
ayah kan terbatas.”
See? Mahasiswa zaman dulu tuh memang butuh
angkringan, beda banget sama zaman sekarang. Mungkin memang butuh, tapi
ditambah sebagai gaya-gayaan.
“Dan lihat juga tuh, karena zaman dulu belum
ada internet, kita kalau ke angkringan ya ngobrol, dol-dol-an, ngalor ngidul
sampai pagi. Sekarang? Memang sih ke angkringannya bareng-bareng, tapi setelah
sudah sampai, pada sibuk sama hp-nya masing-masing, padahal di sebelah ada
temennya bisa diajak ngobrol. Eh, nggak bisa ngobrol juga deng, wong temennya juga asyik hp-an sendiri. Akhirnya
jadi sendiri bersama-sama. Sebenarnya nggak cuman di angkringan, di tempat lain
juga sama, sekarang manusia cenderung gemar menjauhkan yang dekat, tapi yang
jauh juga nggak dekat-dekat amat.”
“Mungkin sudah saatnya angkringan
menyediakan jasa charge hp,” saya menyinggung.
Sudahlah. Dari pada heboh membicarakan
orang lain (yang entah orangnya yang mana), lebih baik saya perkenalkan
beberapa makanan yang saya makan selama tinggal sebentar di Yogyakarta. Lets krauk!
Bernostalgia
di Soto Sulung Stasiun Tugu
Kalau ke Yogyakarta menumpang kereta dan
berhenti di Stasiun Tugu, jangan buru-buru sampai ke tempat tujuan. Mampirlah
dulu ke warung Soto Sulung di parkiran selatan Stasiun Tugu. Dari pintu keluar
stasiun, ambil kiri, lihat jajaran toko. Nah di toko kedua dari ujung lah
kuliner asli Madura ini berada. Madura? Iya. Walaupun soto ini khas Madura,
tapi terkenal di seantero Yogyakarta. Bahkan orang luar Yogya sengaja berwisata
kuliner disini, seperti saya.
Warung Soto Sulung Stasiun Tugu |
Salah satu faktor yang membuat makanan ini
terkenal, menurut saya, adalah cerita dari orang tua. Ayah saya memang kuliah
di Yogyakarta. Kalau kiriman uang sedang hangat-hangatnya, ayah dan
teman-temannya tancap gas ke Stasiun Tugu, nongkrong deh di warung Soto Sulung.
Lalu ayah cerita kalau ada soto enak di Yogya. Penasaranlah saya. Main juga deh
kesana. Dan ternyata kisah seperti ini tidak saya saja yang mengalami. Pegawai
warung juga bilang kalau banyak orang yang membawa anak dan cucunya karena
waktu jadi mahasiswa dulu sering makan disini. Hhhmmm… Harum nostalgia sering
kali menempel di dinding warung yang berlumut.
Menunggu panas |
Soto Sulung Stasiun Tugu ini sudah berdiri
sejak 1968 oleh Almarhum Bapak Marjuddin. Kini yang memegang nama kuliner
terkenal ini adalah anaknya, Bapak Ridwan. Soto Sulung ini sebenarnya flat saja. Tidak pakai bihun, toge, atau
kol seperti yang biasa saya makan di Bogor. Bedanya Soto Sulung dengan soto
biasa ya itu. Hanya ada daging sapi, jeroan, daun bawang, dan kuah bening. Kita
bisa minta ditambah telur rebus. Tapi sepertinya telur bukan bahan utama soto
ini, karena pelayannya tanya, “Nganggo
endog ora? (pakai telur tidak?)”
Satu porsi soto campur |
Yang unik dari hidangan ini adalah nasinya
yang dijual terpisah, tidak langsung semangkok dengan sotonya. Kalau mau pakai
nasi, ambil sendiri di meja. Kalau yang tersedia di meja hanya nampan dengan
belasan bungkus koran, nah ambil itu. Memang nasinya dibungkus kecil-kecil
dalam koran, sebelumnya juga dibungkus dengan daun pisang. Jadilah nasi panas
beraroma daun pisang siap dilahap bersama daging empuk dan potongan telur.
Tambahkan emping kalau suka. Uuuuuuhh, maknyoooos! Kurang asin? Minta saja
garam yang ukurannya sebesar batu kerikil. Hahaha serius ini. Jangan kebablasan
kasih garam, nanti dikira kebelet kawin eh.
Nasi bungkus |
Kalau kata supir taksi saya sih,
sebenarnya rasanya lebih maknyos yang dulu. Kalau beliau coba makan sekarang,
berasa ada bumbu yang kurang. “Maklum, sudah bukan Pak Marjuddin yang meracik
bumbunya, jadi ya beda rasanya. Walaupun resepnya turun menurun, beda tangan ya
beda kelezatan. Kalau tangan kan kayak ada selera sendiri, gitu lho Mbak,”
ceritanya. Aduh, mana tahu saya. Rasa sekarang saja sudah begitu enaknya,
gimana kalau yang buatan asli tangan Pak Marjuddin? Baru turun dari kereta lagi
lapar-laparnya, tidak peduli deh itu rasanya beda kayak zaman dulu atau tidak,
yang penting makan ^^
“Satu lagi,” tambah bapak supir, “dulu itu
warungnya sering nyalain musik jawa, suaranya sengaja dikerasin. Kalau sekarang
tidak lagi, sayang saja.”
Sebelum lupa. Saya mau cerita sedikit
tentang taksi di Jogja. Biasanya susah kalau tungguin taksi asli dari Stasiun
Tugu. Apalagi kalau musim liburan begini. Jadilah yang bersedia menjadi taksi
saya adalah bapak penyewa mobil APV. Alhamdulillah, lega boo hahaha. Ongkosnya
memang Rp 80.000 sih, tapi ya mau bagaimana lagi? Tunggu taksi asli kosong?
Nanti keburu malam. Kan mau jelajah kuliner lainnya ^^
Kalau saya bandingkan harga dengan review
dari internet, ternyata sudah jauh berbeda. Lebih mahal bro. Hiks. Awal Januari
2014, harga soto daging Rp 12.000, soto campur Rp 8.000, telur Rp 5.000, nasi
Rp 1.000, teh atau jeruk dingin dan panas Rp 2.000, es batu Rp 500, dan kopi
susu Rp 3.000. Yang naik drastis ya harga sotonya, mungkin karena harga daging
semakin melonjak. Hiks. Tapi tenang saja, Kawan. Kau lapar? Tidak sampai lima
menit setelah pesan, semangkok soto sulung siap terhidang. Asapnya yang
mengangkasakan aroma bumbu khas Madura, widiiiiih, membuat cacing berontak!
Daftar menu |
Terakhir yang membuat saya kagum dengan
warung makan ini adalah banyaknya asesoris atau kenang-kenangan dari berbagai
universitas di Indonesia. Mulai dari jam dinding Universitas Jayabaya sampai
Universitas Islam Indonesia. Sepertinya mahasiswa banyak yang melakukan praktik
lapangan di warung ini. Mungkin meneliti bagaimana resepnya sebuah soto bisa
terkenal lebih dari 45 tahun? Amazing!
Poster UII |
Gudeg
Yu Djum
Apa yang membedakan Gudeg Yu Djum dengan
gudeg lainnya? Pertama, gudeg ini melegenda karena sudah lebih dari 40 tahun
memanjakan lidah penikmat kuliner Yogyakarta. Kedua, gudeg ini termasuk gudeg
kering. Ramuan daun jati memberikan warna coklat pada potongan nangka muda yang
tidak dimasak basah. Sambal kreceknya pun kering. Tambahan tempe dadu membuat
cita rasa gudeg semakin tinggi.
Ada berbagai macam lauk sebagai tambahan.
Yang paling murah kalau ditambah telur pindang. Harnya Rp 10.000. Bisa juga ditambah
ayam suwir, paha, dan dada ayam. Untuk porsi besar, ditambah ayam utuh juga
boleh dicoba. Hanya saja harganya juga lebih mahal.
Gudeg Yu Djum menawarkan paket keluarga.
Jadi kalian bisa beli untuk porsi lima orang dengan harga yang lebih hemat. Selain
itu juga ada gudeg kendil. Biasanya orang-orang membeli gudeg kendil sebagai
oleh-oleh. Gudeg dimasukkan ke dalam kendil (semacam guci tanah liat). Dengan
pemanasan yang dianjurkan pelayan, gudeg kendil tahan hingga 3 hari. Harganya
Rp 250.000. Monggo ^^
Salah satu cabang Gudeg Yu Djum yang saya
datangi terletak di Jalan Kaliurang KM 5. Plang-nya ada di pinggir jalan. Tapi
kalau mau ke warungnya harus masuk gang sekitar 30 meter. Karena dekat dengan
kos-kosan, banyak pula mahasiswa yang makan disini. Cuci mata deh eh.
Sebenarnya ada sentra gudeg dekat
Kaliurang, namanya Sentra Gudeg Sleman. Tepatnya di sepanjang Jalan Selokan
Mataram, sebelahan sama UGM. Warung-warung gudeg di sini sudah buka jam 06.00
pagi. Kalau bingung mau sarapan apa, main-mainlah kesini. Dan karena tempat
menginap saya tidak ada kendaraan umum, sekalian jogging deh. Lumayan 1 kilo
mah ada. Pulang makan sudah lapar lagi -_-
Sentra gudeg Sleman |
Ora
Kecele Mangan SGPC
Jalan-jalan ke Yogyakarta pasti sering
melihat spanduk bertuliskan SGPC. Itu adalah singkatan dari sego pecel, makanan
lain khas Yogyakarta yang wajib dicoba. Mulai dari pukul 6 pagi, warung-warung
kecil di pinggir jalan banyak menyajikan makanan yang cocok untuk sarapan ini.
Pagi-pagi sudah makan pecel? Hahaha, siap-siap aja antri kamar mandi.
Sego berarti nasi dan pecel ya tetap saja
pecel. Nasi campur pecel, yang terdiri dari toge, kacang panjang, dan daun
pepaya, ditambah bumbu kacang. Pecel yang saya makan banyak sekali daun
pepayanya sehingga ada rasa pahit sebagai pewarna rasa. Selain itu bisa
ditambah lauk seperti telur ceplok, aneka tempe dan tahu. Hhmm ora kecele (kecewa)
deh mangan SGPC ^^
Bakmi
Godog Jawa
Bakmi godog alias bakmi rebus nikmat
disantap pada malam hari, apalagi setelah Yogyakarta diguyur hujan. Hmm.. harum
tanah basah bercampur aroma bakmi menggelitik bulu hidung! Khas bakmi jawa itu
bentuk mie-nya bulat panjang dan tebal, tidak seperti mie biasa. Inilah yang
membuat perut cepat kenyang haha. Kuah bakmi godog berwarna putih, hasil
campuran bumbu tradisional jawa dengan telur bebek. Bakmi disajikan bersama
suwiran ayam, telur bebek, kol, sawi, tomat, baun bawang, dan bawang goreng.
Nyam nyam nyam.
Bakmi godog |
Bakmi godog Jumpa Pers menambah daftar
kuliner yang sayang untuk dilewatkan. Warung tenda ini berada di pinggir Jalan
Kaliurang KM 5. Yang menarik dari warung ini adalah bakmi godog-nya dimasak
dengan tungku dan berbahan bakar arang. Tentu rasanya beda dengan yang lain.
Mantap!
Tungku masak |
Salak
pondoh Sleman
Ada satu buah tradisional yang jempol
banget di Kabupaten Sleman, DIY Yogyakarta. Namanya salak pondoh. Enaknya,
kalau kita beli buah salak ini di warung-warung, pasti dibilangnya, “Baru
dipetik itu, Mbak.” Jadi rasa manisnya masih fresh. Yang bikin seru itu karena
di kulit buahnya masih ada duri-durinya. Ada sensasi tersendiri sebelum
menikmati buah khas Sleman ini. Dan karena belinya langsung dari kota asalnya,
harga per kilonya lebih murah. Oh iya, perbedaan rasa manis antara salak pondoh
Sleman dengan daerah lain itu katanya karena sifat geografis seperti pH tanah
yang berbeda. Hhmmm…
Yang menarik dari salak pondoh Sleman ini
adalah sudah ada sertifikasi HAKI alias Hak Atas Kekayaan Intelektual yang
diberikan langsung oleh Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Komunitas
Perlindungan Indikasi Geografis Salak Pondoh Sleman (KPIG-SPS) yang selama ini
telah menanam salak pondoh.
Dengan adanya HAKI ini, maka siapapun yang hendak
memproduksi atau mengeksploitasi produk salak pondoh untuk kepentingan bisnis
harus mendapat izin dari Pemkab Sleman, selain itu setiap produk olahan yang
menggunakan label salak pondoh maka bahan baku salaknya harus membeli dari
petani Sleman. Waaaaah.
Wedang
Selesai makan, ada minuman hangat yang nikmat
diteguk ketika hujan turun. Wedang! Di Yogyakarta ada berbagai macam wedang,
seperti wedang secang, wedang uwuh, dan wedang pawuran. Menurut saya sih
rasanya sama saja haha. Yang membedakan tiap-tiap wedang itu rempah-rempahnya.
Rempah-rempah wedang pawuran, kata mas-mas penjual berblangkon, lebih lengkap
dibandingkan wedang yang lain. Minuman tradisional ini asli dari Kraton
Yogyakarta dan sangat disukai Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Wedang selalu
disajikan untuk minuman sambutan selamat datang bagi tamu raja di Kraton
Yogyakarta, khususnya adalah wedang secang.
Wedang |
Wedang bisa kalian temukan di angkringan.
Mengikuti perkembangan zaman, kini wedang sudah ada bentuk kemasannya. Jadi
sudah dalam bentuk bubuk. Tinggal diseduh dengan air panas. Satu kotaknya mulai
dari Rp 14.000 sampai Rp 17.000. Pilih saja wedang yang kamu suka ^^
Es
Kencur Murni
Cuaca di Yogyakarta mirip di Bogor. Panas
dingin tak menentu. Setelah panas-panasan berjalan kaki di sepanjang Malioboro
hingga Pasar Beringhardjo, tenggorokkan saya terasa segar bila telah mencoba es
kencur murni. Jamu tradisional ini cukup banyak dijual dengan gerobak dorong.
Beli satu gelas mampu membangkitkan semangat jalan-jalan lagi hehe. Mau
dijadikan oleh-oleh juga boleh, karena ada yang menjual dengan kemasan botol. Uenak tenan!
Es kencur dorong |
No comments:
Post a Comment