10/16/13

Wa Ugis dan Eksistensi Suku Baduy



Menjadi bagian dari suatu diskusi seru adalah keseruan itu sendiri. Sabtu pagi yang berangin, ditemani segelas plastik kopi susu dan ubi, pisang, dan jagung rebus, serta berada di antara orang-orang yang kepada mereka saya berekspekstasi tinggi, cukup menebus penyesalan telat booking tiket bus menuju Dieng yang penuh rindu (Gunung Prau, jangan kemana-mana ya, saya mau ke kamu kapan-kapan ^^). Salah satu orang yang masih saya ingat cara tertawanya adalah Wa Ugis. Ikat kepala hitam yang melilit di kepalanya, batik cokelat berkerahnya, celana bahan hitamnya yang tidak menutupi mata kaki, serta tas rajutan rotan muda yang diselempanginya ke bahu, begitu sukses menggambarkan bahwa itulah Wa Ugis. Sederhana dan Wa Ugis banget ^^

Wa Ugis ^^

Ugis Suganda biasa disapa Abah Ugis. Saya lebih senang menyebutnya Wa Ugis. Beliau adalah perwakilan dari satuan masyarakat Banten Kidul dan merupakan satu-satunya (menurut saya) yang mendapat perhatian lebih dari kami semua yang hadir dalam diskusi seru Sabtu kemarin. Bagaimana tidak kami perhatikan, Mas Bayu memperkenalkan kepada kami, “Beliau ini sarjana muda jurusan Hubungan Internasional lho.” Kami bertepuk tangan. Sebelum Mas Bayu memperkenalkan lebih jauh, saya hanya tahu kalau Wa Ugis adalah wakil masyarakat adat dari Suku Baduy (mereka menyebutnya orang Kanekes), khususnya di Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Lebak, Banten Kidul.

Wa Ugis membuka sesi obrolannya dengan guyonan penting, “Masyarakat hukum adat, atau yah seperti saya ini, suka sulit mencari padanan kata dari bahasa adat ke bahasa Indonesia. Jadi maklum saja kalau ada bahasa yang tidak bisa dimengerti ya.” Peserta tertawa. Saya tersenyum saja. Kalimat pembukanya menyadarkan saya bahwa bahasa menjadi pembatas antara saya dan Wa Ugis, antara masyarakat ber-gadget dan masyarakat berlisan (apa maksudnya masyarakat berlisan? keep reading aja ^^). Minimnya kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa adat tak ayal menimbulkan kesalahpahaman antar kedua belah pihak, setuju?

“Baju hitam ini, punya makna penting bagi kami.” Wa Ugis mengganti kata ‘saya’ menjadi ‘kami’. Saya adalah kami. Dia adalah mereka. Dia adalah orang-orang yang disebut masyarakat adat, masyarakat yang tinggal di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk napsu duniawi, dan sangat terikat dengan hukum adat. “Kata orang luar, baju hitam ini identik dengan dukun klenik. Bagi kami, ia perlambang tanah.”

Tanah. Benda mati yang punya andil dalam penciptaan manusia. Bagian dari ruang hidup manusia yang membuat manusia berdaya. Tanaman-tanaman yang dimakan manusia dan binatang hidup di tanah. Tanah memberi penghidupan. “Makanya kami sangat menghormati tanah. Ibu kami adalah bumi, dan bapak adalah langit.”

Kalian pasti tahu kalau masyarakat adat banyak tinggal di antara rimbun hutan. Hutan pohon ya bukan hutan beton hehe. Wa Ugis bercerita dari sekian buku yang ia baca, “Leluhur kami tinggal di hutan belantara, bersembunyi dari tentara Kerajaan Banten yang saat itu menyerang Kerajaan Pajajaran.” Dan hutan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Baduy.

Masyarakat Baduy mengenal istilah lawang (berarti pintu), leuweung (hutan), dan lawung (atau bergabung). Bagi mereka, hutan adalah tempat bergabung dan berinteraksinya berbagai makhluk cicing, makhluk nyaring, dan makhluk eling. Makhluk cicing adalah makhluk hidup yang diam, seperti tumbuhan. Makhluk nyaring berarti makhluk hidup yang bisa berjalan seperti hewan. Makhluk eling itu ditunjukkan bagi manusia, makhluk hidup yang paling mulia karena bisa berpikir.

Masyarakat Baduy membagi hutan menjadi tiga kategori, yakni hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan. Hutan titipan itu ibarat hutan larangan. Masyarakat adat dilarang memasuki hutan titipan. Hanya pemangku adat tertentu yang boleh masuk, itupun dengan jampi-jampi khusus. Apa saja di hutan titipan ini hukumnya terlarang. Tidak boleh ada yang diambil dari hutan ini. “Daun kering yang jatuh pun tidak boleh diambil,” Wa Ugis memperingatkan. Kategori hutan yang kedua atau hutan tutupan adalah hutan tabir atau pembatas antara hutan titipan dengan hutan garapan. Nah, di hutan garapan ini napas masyarakat Baduy bisa dihembuskan. Aktifitas mereka tumbuh di sana. Di hutan garapan, pemukiman, kuburan, sekolah, dan huma layaknya jamur di musim penghujan. Tidak ada kepemilikan pribadi akan hutan. Sumber kehidupan ini milik komunal. Tidak ada istilah hutan produksi. Mereka memanfaatkan hutan sesuai kebutuhannya saja. Kalaupun ada pohon yang harus ditebang agar kayunya bisa dijual untuk biaya sekolah, harus dengan hitungan dan rembugan adat yang tidak bisa seenaknya.

Menurut saya, melalui pengategorian inilah masyarakat Baduy memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga kelestarian hutan. Jika ada yang melanggar, misalnya menebang pohon di hutan tutupan apalagi hutan larangan, maka hukum adat berlaku tanpa pandang bulu. “Diusir dari masyarakat adat dan pastinya mengalami kabendol.” Kedua hukuman ini, bagi saya, tidak menyenangkan. Siapa yang mau diusir dari masyarakat dimana sudah lama kita tinggal di dalamnya? Butuh adaptasi yang luar biasa sulit untuk tinggal di kelompok baru, pindah ke kota misalnya, apalagi kita tidak punya modal apa-apa. Hukuman yang kedua, ini yang menyeramkan. Wa Ugis menjelaskan, “Kabendol adalah kejadian dari ramalan atau hukum adat yang dilanggar.” Kalau sudah begini, hal-hal mistis bisa membuat bulu kudukmu berdiri, bahkan sekadar mendengarnya saja.

“Tapi bukan berarti kami membabat hutan alam. Dalam membuat pemukiman pun kami memiliki hukum sendiri dan nilainya wajib untuk ditaati,” tambah Wa Ugis. Masyarakat Baduy tinggal di rumah panggung. Hal ini diyakini agar tidak merusak tanah. Mencangkul tanah saja dilarang, apalagi mengganggu tanah untuk dibikin rumah?  Kayu untuk membangun rumah juga punya ciri khas. Kayu tidak boleh yang memiliki pucuk. Wa Ugis tidak menjelaskan alasannya. Logika saya mengatakan bahwa pucuk itu nantinya bisa menjadi pohon baru dan keberlangsungan hidupnya tidak boleh diganggu. Apabila ingin memotong bambu, tidak boleh dilakukan ketika musim rebung.

Pemilihan lokasi pemukiman juga ada syarat khusus, misalnya harus dekat dengan sumber air, dan rumah harus dibangun di lahan datar. Jika di dalam zona hutan garapan ada bukit tinggi, maka kayu pohon tidak boleh ditebang. Lahan dengan kemiringan 45O harus ditanami bambu. Hukum adat mengatakan hal ini agar tidak terjadi erosi dan banjir. Apabila ada cekungan, lahan itu boleh dibuat empang untuk memelihara ikan. Mereka punya ilmu tata ruang yang patut diacungi jempol.

Bila dibandingkan dengan perbukitan di daerah Puncak, Bogor, banyak sekali rumah terpahat di lahan-lahan miring. Alhasil, bencana banjir dan longsor tidak terelakkan. Kita berdalih bahwa jumlah penduduk di Puncak berbeda jauh dengan di Baduy? Coba lihat, rumah siapa yang banyak menjamur di Puncak? Rumah berpenghuni kah? Atau rumah yang hanya ditengok saat akhir pekan saja?

Wa Ugis memaksa saya menelan ludah lebih lumat saat ia berkata, “Sungai adalah urat nadi bumi. Adanya musibah karena seringnya limbah dibuang di sungai.” Yaaaah, bayangkan kalau urat nadi kita tersumbat, bisakah darah kita mengalir? Mungkinkah kita hidup baik?

Tunggu tunggu. Sebelumnya Wa Ugis berkata bahwa mencangkul tanah itu dilarang. Lalu bagaimana caranya masyarakat Baduy bertani? Apakah mereka tidak makan? Hahahaha, tentu saja mereka makan. Dan yeah, tentu saja mereka bertani. Mereka biasa bertani di huma alias lahan kering. Menurut sejarah yang dikisahkan Wa Ugis, kegiatan berladang di huma ini bermula dari tentara kerajaan yang tidak sempat pulang setelah Kerajaan Pajajaran tumbang diserang Kerajaan Banten. Masyarakat Kerajaan Pajajaran juga disuruh berladang di huma. Jadilah kegiatan pertanian ini dilakukan hingga sekarang. Mereka menyebutnya ngahuma.

Kasepuhan Ciptagelar

Mereka tidak mencangkul, tapi menugal. Mereka tidak mengolah tanah, tapi hanya membuat lubang tanam dengan kayu. Tidak diberi pupuk anorganik, apalagi disemprot pestisida. Namun, Wa Ugis mengabarkan belum pernah terjadi serangan hama besar-besaran di Baduy. “Amit-amit deh, jangan sampai ada hama,” harapnya sambil mengelus dada. Hal ini melatarbelakangi Atsuki Watanabe dikirim pemerintah Jepang untuk belajar menanam padi di Lebak.

Selama setahun, mereka hanya menanam padi satu kali. Bila mereka menanam lebih dari satu musim selama setahun, “Lewat 50 tahun, air tanah sudah tidak bisa dikonsumsi karena terlalu sering dieksploitasi,” jelas Wa Ugis. Selain itu, penanaman satu kali ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas tanah dan keseimbangan ekosistem. Beras yang sudah dipanen tidak semuanya dihabiskan saat itu juga. Ada sebagian beras yang disimpan dalam leuit, sebuah bangunan yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan. Informasi yang saya baca, beras bisa tahan hingga 100 tahun dan bebas dari hama gudang. Wah, sebagai mahasiswa Proteksi Tanaman, keren banget nih kalau ada yang meneliti konstruksi bangunan leuit agar terhindar dari serangan hama.

Masyarakat Baduy menganut sistem pranata musim dalam bertani. Mereka mengacu pada Bintang Kidang dan Bintang Kerdi (kalau saya tidak salah dengar ya, kalau salah, monggo dikoreksi), dua rasi bintang yang juga dipakai oleh nelayan untuk menentukan kapan harus melaut agar mendapat ikan yang banyak. Pada bulan Juli, Agustus, dan September, perangkat adat melihat Bintang Kerdi. Hanya orang tertentu yang sudah berpengalaman yang bisa membedakan berbagai rasi bintang, apalagi mereka tidak menggunakan teknologi canggih. Apabila sudah masuk tanggal Kerdi, maka sudah waktunya membuat perkakas. Alat pertanian baru boleh digunakan untuk berladang kalau sudah memasuki tanggal Kidang. Wa Ugis menambahkan, “Karena selalu berpatokan dengan dua rasi bintang ini, belum pernah ada serangan hama.” Pada bulan April hingga Mei, sudah tidak boleh ada padi di sawah. Beras sudah harus masuk lumbung.

Dikenal sebagai penganut Sunda Wiwitan campuran Hindu dan Islam, tiap kali ingin memulai musim tanam, mereka selalu mengadakan upacara untuk meminta izin mengolah bumi. Upacara adat yang menyenangkan bagi masyarakat Baduy mungkin adalah Seren Taun, atau suburan paling akhir. Upacara ini dilakukan ketika sudah waktunya panen padi. Hasil panen hari ini tidak boleh langsung dimakan sebelum dilakukannya Seren Taun. Dalam upacara itu, hasil bumi ‘diserahkan’ dulu, minta izin untuk dimakan, lalu baru boleh dimakan. Lima belas hari sebelum Seren Taun ada kegiatan ‘tobat nasuha’. Hal ini dilakukan sebagai perlambang tobat kepada Tuhan karena telah memanfaatkan tanahnya. Selama 15 hari itu, hak manusia atas bumi dicabut. Itulah masa istirahat lahan. Bahasa gampangnya dibera kali ya. Lahan bisa digarap kembali setelah upacara Seren Taun selesai. Upacara adat juga dilakukan kalau mau menebang kayu untuk membuat rumah. “Mungkin bagi orang lain aneh, tapi menurut kami tidak,” kilah Wa Ugis.

Wa Ugis menambah referensi saya tentang betapa masyarakat Baduy sangat menghargai alamnya. “Hak kami hanya 15% untuk mengelola bumi. Sisanya untuk makhluk lain. Padi yang kami tanam juga ada bagiannya untuk burung dan walang sangit.” Binatang yang kecil saja harus dihargai. Untuk nama-nama hewan hutan, mereka punya istilah sendiri. “Kami menyebut harimau dengan nama kisilah. Hm … bahasa gaulnya, kayak soulmate lah.” Hahaha, tawa kami pecah. Harimau kok disebut teman sejiwa, wong menyeramkan gitu. Lalu ular dengan sebutan nu leuleus, babi disebut si monyong, burung dipanggil kalakai. Yang lucu adalah mereka menyebut monyet dengan kutu daun. Hahaha, monyet sebesar itu kok disebut kutu. Yap, masing-masing punya bahasanya sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mempelajarinya agar tidak terjadi kesalahpahaman ^^

Dengan segala aturan adatnya, hidup dalam lingkungan masyarakat Baduy tidak bisa semena-mena. Semua harus tunduk. Bahasa religiusnya mungkin taat. Ya. Menurut saya mereka begitu taat pada hukum. Itulah mengapa kelestarian hutan bisa dipertahankan. Sifat taat pada hukum inilah, dalam pandangan saya, yang harus dimiliki oleh seluruh rakyat dan pejabat negara agar kesejahteraan Indonesia mulus tanpa cacat. Apabila ada yang melanggar, hukuman seberat-beratnya siap merendahkan hidup si pelanggar, tidak ada tawar-menawar.

Pertanyaannya: bagaimana masyarakat Baduy bisa begitu taat pada hukum adat? Mengapa hal itu sedikit dimiliki masyarakat bukan adat? Jawabannya adalah komunikasi. Sebagai masyarakat berlisan (hehe, masih ingat istilah ini kan?), mereka menyebarkan segala informasi dengan ucapan. Hukum adat dikomunikasikan turun-temurun secara aktif dengan bahasa gelombang suara sesepuhnya. Tiap bulannya pada tanggal ke-13 atau 14 ada atraksi cerita atau pantun sebagai media penyampai informasi dan diskusi pembangunan. Ada juga kegiatan Safar-Maulid dimana generasi muda belajar tata nilai budaya mereka. Wa Ugis mengaku bahwa pengajaran dari orangtua kepada anaknya punya andil besar dalam menjaga eksistensi hukum adat masyarakat Baduy.

“Hanya saja, gelombang budaya Barat begitu deras masuk ke pelosok. Ada kekhawatiran dari kami yang tua-tua. Ini tugas penting dan tidak mudah.” Sinar pasi memancar dari mata tua Wa Ugis. “Mereka boleh saja tahu tentang budaya luar, apalagi yang tidak bertentangan dengan budaya dalam. Tapi tidak boleh terbawa arus.”

Wa Ugis memberi tahu bahwa ada ramalan yang berbunyi, “Rampak damar teu minyakan.” Ramalan menyebutkan bahwa aka nada lampu tanpa minyak. “Lihat saja, sekarang ada lampu dari listrik. Tidak perlu pakai minyak.” Jadi memang adanya perubahan budaya sebenarnya sudah diramalkan dari zaman sesepuhnya.

Mendiskusikan hal ini, Mas Rizki, anggota Komunitas Semut Universitas Pakuan, mengangkat kasus penggunaan telepon genggam pada masyarakat Baduy Luar. Mas Rizki mengaku sedih kalau benturan budaya ini bisa melunturkan nilai-nilai adat. Saya memandang hal ini lumrah saja, bahkan boleh. Tentu saja masyarakat adat boleh menggunakan hp, toh mempermudah komunikasi jarak jauh. Wa Ugis saja pakai hp, makanya bisa diundang dan berbagi pengetahuan dengan kami hehe ^^ (yang mau nomor kontak Wa Ugis monggo hubungi saya, siapa tahu ada yang mau penelitian di Kasepuhan Ciptagelar hehe). Pembiaran masyarakat adat agar tidak tersentuh budaya luar, justru akan merugikan mereka. Bapak Jonny Purba menambahkan, “Orang Asmat tidak selamanya harus berkoteka, kan? Mereka juga perlu berpakaian.” Yang setuju, angkat tangannya ^^.

Namun Wa Ugis terkekeh sinis, “Sekarang ibu-ibu Baduy luar jadi sering merumpi di depan hp. Padahal dulu rajin pegang arit.” Yaaaah, sebenarnya hedonisme yang ditawarkan murah oleh budaya Barat ini tidak hanya mengancam Baduy saja. Identitas Indonesia pun juga di ambang pintu eksistensinya. Yang harus diciptakan adalah saringan dengan lubang sekecil mungkin agar sehalus apapun budaya Barat yang bisa melisis budaya bangsa tidak menetrasi. Seperti Wa Ugis bilang, “Ini tugas penting dan tidak mudah.”

Memetik Pucuk Kehidupan 2: Perempuan Tangguh!



Pagi di Kampung Gunung Mas, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor sukses membuat saya kembali meringkuk selepas subuh, tenggelam dalam hangatnya selimut tebal. Hawa sisa semalam mendinginkan besi bingkai kasur. Saya bergerak ke kiri dan kanan, mencari posisi yang enak agar tidak satu pun dingin menaikkan bulu kuduk. Dari celah tirai ungu yang terbuka, terlihat sekelompok ibu dengan gendongan khasnya berjalan berbaris menerobos sejuk yang menusuk tulang menuju lanskap perkebunan teh. Merekalah yang disebut para pemetik teh.

Kabut hari itu tidak setebal hari kemarin, tapi tetap mengganggu pandangan saya mendaki bukit. Oksigen yang tipis mengeringkan hidung. Suara batuk saya menggenapi dengung orkestra burung kebun. Sesekali saya bertemu rombongan pemetik teh. Sambil tersenyum, mereka mengajak, “Istirahat dulu, neng. Jangan dipaksa.” Saya mengangguk saja dan terus melangkah. Tidak jarang kaki saya terpeleset saat menyebrangi sungai bekas longsoran tengah malam 4 Januari 2013 silam. Musibah malam jum’at itu kini dimanfaatkan warga untuk memecah batu longsor dan menjualnya sebagai bahan bangunan.

Prasasti Batu Longsor
 
Bekas Longsoran
Tidak ada lelah di lukisan wajah para pemetik teh. Padahal, berjalan saja mereka membungkuk. Keranjang besar berisi daun teh membebani tulang punggung. Satu daun teh memang tidak berat. Kalau satu keranjang? Mungkin ada seribu daun disana. Mereka saja bisa sesantai itu mendaki bukit, menghalau batang-batang teh yang membuat lebam kulit paha, tidak goyah berdiri di kemiringan yang curam. Dan yeah, kalau saya diizinkan main gender, mereka semua perempuan! Masa saya yang hanya membawa tas saja sudah menyerah? -___-

 
Pemetik Teh
Rest Time

Bercengkrama

 
Pipi Merah

Menunggu Truk Pengangkut

Tiga bulan penelitian lapang di kebun teh memberikan saya pengalaman berharga. Pelajaran hidup tentang keikhlasan dalam bekerja. Kalau kamu mau belajar ikhlas, saya rekomendasikan sekolah lah ke perkebunan teh (kalau ada yang mau menginap di rumah salah satu pekerja disana, monggo bisa menghubungi saya ^^). Lihat bagaimana keringat meluncur dari balik caping lebar para pemetik teh sedangkan tidak ada peluh di antara sela bibir bergincu. Rasakan bagaimana mereka menahan panas matahari sedang mereka harus tetap memakai baju panjang biar kulit tidak gosong. Amati bagaimana merahnya pipi-pipi mereka, bukan karena tersentuh blush on, melainkan hasil reaksi sinar ultraviolet dengan kulit putih mereka yang mulus. Perhatikan cara mereka berjalan dengan sepatu boot agar terhindar dari lintah, hewan pengisap darah manusia. Ikuti jalan pikiran mereka saat tersadar bahwa penghasilan dari memetik teh tidak mencukupi kebutuhan sehar-hari dan mereka harus mencari cara lain agar bisa memetik rupiah dan menyekolahkan anaknya.

Lalu dari mana penghasilan tambahan mereka? Sepulang menimbang daun teh hasil petikan hari itu, tidak sedikit perempuan-perempuan itu mengambil kayu bakar dari hutan dekat kebun. Selain sebagai bahan bakar memasak, kayu tersebut juga bisa dijual. Ada juga yang mengambil kulit kayu tertentu dan benalu teh untuk dijadikan obat tradisional. Yang menarik perhatian saya adalah sebagian besar rumah pekerja kebun teh terdapat sarang lebahnya. Madu hutan yang dipanen tiap kali ada yang mau beli menjadi sumber penghasilan tambahan mereka. Hanya saja ya itu, penghasilan ini sifatnya kondisional, kalau ada yang mau beli saja.

Menimbang

Membawa Kayu


Sarang Lebah

Di ujung siang, mereka kembali dari kebun menuju rumah. Tidak ada waktu untuk berlama-lama istirahat. Asap dapur mereka harus mengepul agar cacing di perut suami dan anak-anak tidak protes. Menjelang sore, mereka juga harus menyiapkan anak-anaknya yang akan berangkat mengaji di langgar dekat rumah mereka, mengambil jemuran yang sudah kering, atau mencuci di kamar mandi umum. Langit hitam yang menggantung mengantarkan malam ke peraduan, suatu sisa hari dimana para perempuan-perempuan tangguh itu merenggangkan otot sebelum pagi buta mengomando mereka berjalan bersisian mendaki perbukitan kebun teh.

Halaman Belakang

Hasil Tebang Hari Ini
Bermain Kuda

Bersepeda

Bersiap Mengaji


Oia, jangan lupa baca tulisan saya yang berjudul Memetik Pucuk Kehidupan 1: Menegakkan Benang Basah(?) disini ya ^^

10/6/13

Tempat Bercerita

Jika bersabar membuat mukenamu basah, tidak mengapa. Lepaskan saja. Allah yang Maha Pendengar adalah tempat bercerita yang paling baik. Ia akan mendengar apapun, tanpa memerdulikan kecacatan kisahmu, karena kamu manusia, karena kamu punya cacat. Maka di akhir ceritamu, mintalah akhir yang terbaik. Allah pasti mendengar permintaanmu.

Allah Maha Tahu kedalaman hatimu. Allah Maha Tahu. Dari hatimu yang rapuh, ada setitik harap yang kamu impikan bisa menjawab semua tanya, Allah Tahu itu. Allah Maha Tahu bagaimana nantimu. Maka bersabarlah dalam menanti, karena Allah Dekat denganmu. Ketika kamu berjalan sendiri di peron kereta, Allah bersisian denganmu, lebih dekat dari yang kamu bayangkan. Bahkan ketika kamu berbisik dengan gelombang suaramu yang paling rendah dan suaramu tenggelam dalam peluit masinis, Allah Tahu itu, Allah sangat Tahu kalimatmu, karena Allah Dekat.

Bimbang itu sifat manusiamu. Satu waktu kamu merasa tanda itu menuju kesitu. Satu waktu kamu mengira tidak. Iya atau tidak. Atau di-iya-iya-kan. Juga di-tidak-tidak-kan. Layaknya kamu berjalan di gurun. Kamu melihat sumber air dengan dua pandangan: fatamorgana atau benar sebuah surga di tengah dahaga. Mungkin mendekat akan memberimu sebuah tahu. Ya, mungkin mendekat akan memberimu jawaban, tentang tanya yang selama ini kamu gaungkan: benarkah punggung itu, Tuhan?

Tapi mendekat jangan sampai melenakan. Karena yang melihat sumber air di padang gurun tidak hanya kamu, tetapi juga hyena liar yang mudah saja menerkammu. Maka di realita ini, mendekat juga jangan sampai melenakan. Melupakanmu tentang musuh-musuh nyata. Setan, kamu tahu itu namanya. Maka mendekatlah dengan pertahananmu yang paling canggih. Mendekatlah bersama Allah Yang Maha Dekat.

 
Where will we go?

Suatu hari kamu berlirih, “I have to go to somewhere. I want to ask and get the answer. Tapi kemana?” Ya, tapi kemana? ‘Tapi kemana’ adalah jawaban kemana kamu harus pergi. ‘Tapi kemana’ adalah pemahamanmu, bahwa kemana pun kamu, kamu juga akan ingin kemana-mana yang lain. ‘Tapi kemana’ berarti kamu tidak perlu kemana-mana. Dimanapun kamu, itulah kemanamu. Kamu tidak perlu kemana-mana, karena jawabanmu dekat. Jawabanmu ada di dirimu, di kedalaman hatimu. Hanya saja, sekarang ini sedang ada tabir yang menutup kedalaman hatimu. Tabir yang berupa iya atau tidak. Tabir yang berupa menang atau kalah. Tabir yang harusnya kamu sibakkan sehingga kamu tahu jawaban benarkah punggung itu, Tuhan?