Menjadi bagian dari suatu diskusi seru
adalah keseruan itu sendiri. Sabtu pagi yang berangin, ditemani segelas plastik
kopi susu dan ubi, pisang, dan jagung rebus, serta berada di antara orang-orang
yang kepada mereka saya berekspekstasi tinggi, cukup menebus penyesalan telat booking tiket bus menuju Dieng yang
penuh rindu (Gunung Prau, jangan kemana-mana ya, saya mau ke kamu kapan-kapan
^^). Salah satu orang yang masih saya ingat cara tertawanya adalah Wa Ugis.
Ikat kepala hitam yang melilit di kepalanya, batik cokelat berkerahnya, celana
bahan hitamnya yang tidak menutupi mata kaki, serta tas rajutan rotan muda yang
diselempanginya ke bahu, begitu sukses menggambarkan bahwa itulah Wa Ugis.
Sederhana dan Wa Ugis banget ^^
Wa Ugis ^^ |
Ugis Suganda biasa disapa Abah Ugis. Saya
lebih senang menyebutnya Wa Ugis. Beliau adalah perwakilan dari satuan
masyarakat Banten Kidul dan merupakan satu-satunya (menurut saya) yang mendapat
perhatian lebih dari kami semua yang hadir dalam diskusi seru Sabtu kemarin.
Bagaimana tidak kami perhatikan, Mas Bayu memperkenalkan kepada kami, “Beliau
ini sarjana muda jurusan Hubungan Internasional lho.” Kami bertepuk tangan.
Sebelum Mas Bayu memperkenalkan lebih jauh, saya hanya tahu kalau Wa Ugis adalah
wakil masyarakat adat dari Suku Baduy (mereka menyebutnya orang Kanekes),
khususnya di Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Lebak, Banten Kidul.
Wa Ugis membuka sesi obrolannya dengan
guyonan penting, “Masyarakat hukum adat, atau yah seperti saya ini, suka sulit
mencari padanan kata dari bahasa adat ke bahasa Indonesia. Jadi maklum saja
kalau ada bahasa yang tidak bisa dimengerti ya.” Peserta tertawa. Saya
tersenyum saja. Kalimat pembukanya menyadarkan saya bahwa bahasa menjadi
pembatas antara saya dan Wa Ugis, antara masyarakat ber-gadget dan masyarakat berlisan (apa maksudnya masyarakat berlisan? keep reading aja ^^). Minimnya kemampuan
berbahasa Indonesia dan berbahasa adat tak ayal menimbulkan kesalahpahaman
antar kedua belah pihak, setuju?
“Baju hitam ini, punya makna penting bagi
kami.” Wa Ugis mengganti kata ‘saya’ menjadi ‘kami’. Saya adalah kami. Dia
adalah mereka. Dia adalah orang-orang yang disebut masyarakat adat, masyarakat
yang tinggal di pedalaman, jauh dari hiruk-pikuk napsu duniawi, dan sangat
terikat dengan hukum adat. “Kata orang luar, baju hitam ini identik dengan
dukun klenik. Bagi kami, ia perlambang tanah.”
Tanah. Benda mati yang punya andil dalam
penciptaan manusia. Bagian dari ruang hidup manusia yang membuat manusia
berdaya. Tanaman-tanaman yang dimakan manusia dan binatang hidup di tanah.
Tanah memberi penghidupan. “Makanya kami sangat menghormati tanah. Ibu kami
adalah bumi, dan bapak adalah langit.”
Kalian pasti tahu kalau masyarakat adat
banyak tinggal di antara rimbun hutan. Hutan pohon ya bukan hutan beton hehe.
Wa Ugis bercerita dari sekian buku yang ia baca, “Leluhur kami tinggal di hutan
belantara, bersembunyi dari tentara Kerajaan Banten yang saat itu menyerang
Kerajaan Pajajaran.” Dan hutan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy mengenal istilah lawang (berarti pintu), leuweung (hutan), dan lawung (atau bergabung). Bagi mereka,
hutan adalah tempat bergabung dan berinteraksinya berbagai makhluk cicing, makhluk
nyaring, dan makhluk eling. Makhluk cicing adalah makhluk hidup yang
diam, seperti tumbuhan. Makhluk nyaring
berarti makhluk hidup yang bisa berjalan seperti hewan. Makhluk eling itu ditunjukkan bagi manusia, makhluk hidup yang
paling mulia karena bisa berpikir.
Masyarakat Baduy membagi hutan menjadi
tiga kategori, yakni hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan. Hutan
titipan itu ibarat hutan larangan. Masyarakat adat dilarang memasuki hutan
titipan. Hanya pemangku adat tertentu yang boleh masuk, itupun dengan
jampi-jampi khusus. Apa saja di hutan titipan ini hukumnya terlarang. Tidak
boleh ada yang diambil dari hutan ini. “Daun kering yang jatuh pun tidak boleh
diambil,” Wa Ugis memperingatkan. Kategori hutan yang kedua atau hutan tutupan
adalah hutan tabir atau pembatas antara hutan titipan dengan hutan garapan.
Nah, di hutan garapan ini napas masyarakat Baduy bisa dihembuskan. Aktifitas
mereka tumbuh di sana. Di hutan garapan, pemukiman, kuburan, sekolah, dan huma
layaknya jamur di musim penghujan. Tidak ada kepemilikan pribadi akan hutan.
Sumber kehidupan ini milik komunal. Tidak ada istilah hutan produksi. Mereka
memanfaatkan hutan sesuai kebutuhannya saja. Kalaupun ada pohon yang harus
ditebang agar kayunya bisa dijual untuk biaya sekolah, harus dengan hitungan
dan rembugan adat yang tidak bisa seenaknya.
Menurut saya, melalui pengategorian inilah
masyarakat Baduy memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga kelestarian
hutan. Jika ada yang melanggar, misalnya menebang pohon di hutan tutupan
apalagi hutan larangan, maka hukum adat berlaku tanpa pandang bulu. “Diusir
dari masyarakat adat dan pastinya mengalami kabendol.”
Kedua hukuman ini, bagi saya, tidak menyenangkan. Siapa yang mau diusir dari
masyarakat dimana sudah lama kita tinggal di dalamnya? Butuh adaptasi yang luar
biasa sulit untuk tinggal di kelompok baru, pindah ke kota misalnya, apalagi
kita tidak punya modal apa-apa. Hukuman yang kedua, ini yang menyeramkan. Wa
Ugis menjelaskan, “Kabendol adalah
kejadian dari ramalan atau hukum adat yang dilanggar.” Kalau sudah begini,
hal-hal mistis bisa membuat bulu kudukmu berdiri, bahkan sekadar mendengarnya
saja.
“Tapi bukan berarti kami membabat hutan
alam. Dalam membuat pemukiman pun kami memiliki hukum sendiri dan nilainya
wajib untuk ditaati,” tambah Wa Ugis. Masyarakat Baduy tinggal di rumah
panggung. Hal ini diyakini agar tidak merusak tanah. Mencangkul tanah saja
dilarang, apalagi mengganggu tanah untuk dibikin rumah? Kayu untuk membangun rumah juga punya ciri
khas. Kayu tidak boleh yang memiliki pucuk. Wa Ugis tidak menjelaskan
alasannya. Logika saya mengatakan bahwa pucuk itu nantinya bisa menjadi pohon
baru dan keberlangsungan hidupnya tidak boleh diganggu. Apabila ingin memotong
bambu, tidak boleh dilakukan ketika musim rebung.
Pemilihan lokasi pemukiman juga ada syarat
khusus, misalnya harus dekat dengan sumber air, dan rumah harus dibangun di
lahan datar. Jika di dalam zona hutan garapan ada bukit tinggi, maka kayu pohon
tidak boleh ditebang. Lahan dengan kemiringan 45O harus ditanami
bambu. Hukum adat mengatakan hal ini agar tidak terjadi erosi dan banjir.
Apabila ada cekungan, lahan itu boleh dibuat empang untuk memelihara ikan.
Mereka punya ilmu tata ruang yang patut diacungi jempol.
Bila dibandingkan dengan perbukitan di
daerah Puncak, Bogor, banyak sekali rumah terpahat di lahan-lahan miring.
Alhasil, bencana banjir dan longsor tidak terelakkan. Kita berdalih bahwa
jumlah penduduk di Puncak berbeda jauh dengan di Baduy? Coba lihat, rumah siapa
yang banyak menjamur di Puncak? Rumah berpenghuni kah? Atau rumah yang hanya
ditengok saat akhir pekan saja?
Wa Ugis memaksa saya menelan ludah lebih
lumat saat ia berkata, “Sungai adalah urat nadi bumi. Adanya musibah karena
seringnya limbah dibuang di sungai.” Yaaaah, bayangkan kalau urat nadi kita
tersumbat, bisakah darah kita mengalir? Mungkinkah kita hidup baik?
Tunggu tunggu. Sebelumnya Wa Ugis berkata
bahwa mencangkul tanah itu dilarang. Lalu bagaimana caranya masyarakat Baduy
bertani? Apakah mereka tidak makan? Hahahaha, tentu saja mereka makan. Dan
yeah, tentu saja mereka bertani. Mereka biasa bertani di huma alias lahan
kering. Menurut sejarah yang dikisahkan Wa Ugis, kegiatan berladang di huma ini
bermula dari tentara kerajaan yang tidak sempat pulang setelah Kerajaan
Pajajaran tumbang diserang Kerajaan Banten. Masyarakat Kerajaan Pajajaran juga
disuruh berladang di huma. Jadilah kegiatan pertanian ini dilakukan hingga
sekarang. Mereka menyebutnya ngahuma.
Kasepuhan Ciptagelar |
Mereka tidak mencangkul, tapi menugal.
Mereka tidak mengolah tanah, tapi hanya membuat lubang tanam dengan kayu. Tidak
diberi pupuk anorganik, apalagi disemprot pestisida. Namun, Wa Ugis mengabarkan
belum pernah terjadi serangan hama besar-besaran di Baduy. “Amit-amit deh,
jangan sampai ada hama,” harapnya sambil mengelus dada. Hal ini
melatarbelakangi Atsuki Watanabe dikirim pemerintah Jepang untuk belajar
menanam padi di Lebak.
Selama setahun, mereka hanya menanam padi
satu kali. Bila mereka menanam lebih dari satu musim selama setahun, “Lewat 50
tahun, air tanah sudah tidak bisa dikonsumsi karena terlalu sering
dieksploitasi,” jelas Wa Ugis. Selain itu, penanaman satu kali ini dimaksudkan
untuk menjaga kualitas tanah dan keseimbangan ekosistem. Beras yang sudah
dipanen tidak semuanya dihabiskan saat itu juga. Ada sebagian beras yang
disimpan dalam leuit, sebuah bangunan
yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan. Informasi yang saya baca, beras bisa
tahan hingga 100 tahun dan bebas dari hama gudang. Wah, sebagai mahasiswa
Proteksi Tanaman, keren banget nih kalau ada yang meneliti konstruksi bangunan leuit agar terhindar dari serangan hama.
Masyarakat Baduy menganut sistem pranata
musim dalam bertani. Mereka mengacu pada Bintang Kidang dan Bintang Kerdi
(kalau saya tidak salah dengar ya, kalau salah, monggo dikoreksi), dua rasi
bintang yang juga dipakai oleh nelayan untuk menentukan kapan harus melaut agar
mendapat ikan yang banyak. Pada bulan Juli, Agustus, dan September, perangkat
adat melihat Bintang Kerdi. Hanya orang tertentu yang sudah berpengalaman yang
bisa membedakan berbagai rasi bintang, apalagi mereka tidak menggunakan
teknologi canggih. Apabila sudah masuk tanggal Kerdi, maka sudah waktunya
membuat perkakas. Alat pertanian baru boleh digunakan untuk berladang kalau
sudah memasuki tanggal Kidang. Wa Ugis menambahkan, “Karena selalu berpatokan
dengan dua rasi bintang ini, belum pernah ada serangan hama.” Pada bulan April
hingga Mei, sudah tidak boleh ada padi di sawah. Beras sudah harus masuk
lumbung.
Dikenal sebagai penganut Sunda Wiwitan
campuran Hindu dan Islam, tiap kali ingin memulai musim tanam, mereka selalu
mengadakan upacara untuk meminta izin mengolah bumi. Upacara adat yang
menyenangkan bagi masyarakat Baduy mungkin adalah Seren Taun, atau suburan
paling akhir. Upacara ini dilakukan ketika sudah waktunya panen padi. Hasil
panen hari ini tidak boleh langsung dimakan sebelum dilakukannya Seren Taun.
Dalam upacara itu, hasil bumi ‘diserahkan’ dulu, minta izin untuk dimakan, lalu
baru boleh dimakan. Lima belas hari sebelum Seren Taun ada kegiatan ‘tobat
nasuha’. Hal ini dilakukan sebagai perlambang tobat kepada Tuhan karena telah
memanfaatkan tanahnya. Selama 15 hari itu, hak manusia atas bumi dicabut.
Itulah masa istirahat lahan. Bahasa gampangnya dibera kali ya. Lahan bisa
digarap kembali setelah upacara Seren Taun selesai. Upacara adat juga dilakukan
kalau mau menebang kayu untuk membuat rumah. “Mungkin bagi orang lain aneh,
tapi menurut kami tidak,” kilah Wa Ugis.
Wa Ugis menambah referensi saya tentang
betapa masyarakat Baduy sangat menghargai alamnya. “Hak kami hanya 15% untuk
mengelola bumi. Sisanya untuk makhluk lain. Padi yang kami tanam juga ada
bagiannya untuk burung dan walang sangit.” Binatang yang kecil saja harus
dihargai. Untuk nama-nama hewan hutan, mereka punya istilah sendiri. “Kami
menyebut harimau dengan nama kisilah.
Hm … bahasa gaulnya, kayak soulmate
lah.” Hahaha, tawa kami pecah. Harimau kok disebut teman sejiwa, wong
menyeramkan gitu. Lalu ular dengan sebutan nu
leuleus, babi disebut si monyong,
burung dipanggil kalakai. Yang lucu
adalah mereka menyebut monyet dengan kutu
daun. Hahaha, monyet sebesar itu kok disebut kutu. Yap, masing-masing punya
bahasanya sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mempelajarinya agar tidak
terjadi kesalahpahaman ^^
Dengan segala aturan adatnya, hidup dalam
lingkungan masyarakat Baduy tidak bisa semena-mena. Semua harus tunduk. Bahasa
religiusnya mungkin taat. Ya. Menurut saya mereka begitu taat pada hukum.
Itulah mengapa kelestarian hutan bisa dipertahankan. Sifat taat pada hukum
inilah, dalam pandangan saya, yang harus dimiliki oleh seluruh rakyat dan
pejabat negara agar kesejahteraan Indonesia mulus tanpa cacat. Apabila ada yang
melanggar, hukuman seberat-beratnya siap merendahkan hidup si pelanggar, tidak
ada tawar-menawar.
Pertanyaannya: bagaimana masyarakat Baduy
bisa begitu taat pada hukum adat? Mengapa hal itu sedikit dimiliki masyarakat
bukan adat? Jawabannya adalah komunikasi. Sebagai masyarakat berlisan (hehe,
masih ingat istilah ini kan?), mereka menyebarkan segala informasi dengan
ucapan. Hukum adat dikomunikasikan turun-temurun secara aktif dengan bahasa
gelombang suara sesepuhnya. Tiap bulannya pada tanggal ke-13 atau 14 ada
atraksi cerita atau pantun sebagai media penyampai informasi dan diskusi
pembangunan. Ada juga kegiatan Safar-Maulid dimana generasi muda belajar tata
nilai budaya mereka. Wa Ugis mengaku bahwa pengajaran dari orangtua kepada
anaknya punya andil besar dalam menjaga eksistensi hukum adat masyarakat Baduy.
“Hanya saja, gelombang budaya Barat begitu
deras masuk ke pelosok. Ada kekhawatiran dari kami yang tua-tua. Ini tugas
penting dan tidak mudah.” Sinar pasi memancar dari mata tua Wa Ugis. “Mereka
boleh saja tahu tentang budaya luar, apalagi yang tidak bertentangan dengan
budaya dalam. Tapi tidak boleh terbawa arus.”
Wa Ugis memberi tahu bahwa ada ramalan
yang berbunyi, “Rampak damar teu minyakan.”
Ramalan menyebutkan bahwa aka nada lampu tanpa minyak. “Lihat saja, sekarang
ada lampu dari listrik. Tidak perlu pakai minyak.” Jadi memang adanya perubahan
budaya sebenarnya sudah diramalkan dari zaman sesepuhnya.
Mendiskusikan hal ini, Mas Rizki, anggota
Komunitas Semut Universitas Pakuan, mengangkat kasus penggunaan telepon genggam
pada masyarakat Baduy Luar. Mas Rizki mengaku sedih kalau benturan budaya ini
bisa melunturkan nilai-nilai adat. Saya memandang hal ini lumrah saja, bahkan
boleh. Tentu saja masyarakat adat boleh menggunakan hp, toh mempermudah
komunikasi jarak jauh. Wa Ugis saja pakai hp, makanya bisa diundang dan berbagi
pengetahuan dengan kami hehe ^^ (yang mau nomor kontak Wa Ugis monggo hubungi saya, siapa tahu ada yang
mau penelitian di Kasepuhan Ciptagelar hehe). Pembiaran masyarakat adat agar
tidak tersentuh budaya luar, justru akan merugikan mereka. Bapak Jonny Purba
menambahkan, “Orang Asmat tidak selamanya harus berkoteka, kan? Mereka juga
perlu berpakaian.” Yang setuju, angkat tangannya ^^.
Namun Wa Ugis terkekeh sinis, “Sekarang
ibu-ibu Baduy luar jadi sering merumpi di depan hp. Padahal dulu rajin pegang
arit.” Yaaaah, sebenarnya hedonisme yang ditawarkan murah oleh budaya Barat ini
tidak hanya mengancam Baduy saja. Identitas Indonesia pun juga di ambang pintu
eksistensinya. Yang harus diciptakan adalah saringan dengan lubang sekecil
mungkin agar sehalus apapun budaya Barat yang bisa melisis budaya bangsa tidak
menetrasi. Seperti Wa Ugis bilang, “Ini tugas penting dan tidak mudah.”
Wah, kakek buyut kami orang baduy tuh,
ReplyDeletewah ngikut lah gue kalo kak imam mau nengok mbah uyut
ReplyDeleteMreka biasa nya d panggil olot, bukan mbah. pernah nginep d baduy dalem tak. ?
Deleteolot uyut? olot dari kolot? belum pernah nginep, pengen sih, tapi disana ada yang adzan kah?
DeleteGak ada uyut nya, cukup olot aja, iya dari kolot.
ReplyDeletemana ada yg adzan, wong mreka bkan islam, d baduy dalem ada 3 kampung, cibeo, cikertawana sama cikeusik. Klo mau nginep enak di cikeusik. Tapi rada jauh.
yah kalo gitu gak usah kesana lah, takut kenapa-kenapa, belum kuat iman -_-
DeleteJeh, emang mau sendirian apa ksananya?
ReplyDeleteya nggak lah kak, yang ada ntar gue nyasar
Delete