Jika tidak ada
jika di dunia ini, semua akan terasa mudah. Tidak perlu ada yang berandai-andai
tentang masa depan, yang entah apakah masa lalu menjadi bagiannya. Tidak perlu
ada jika-jika pada masa lalu yang terlewati tanpa rasa yang manusia tidak tahu
namanya apa. Jika saja ada yang tidak berjika di hari pertama manusia-manusia
bertemu, semua tidak sesulit sekarang. Tapi jika tidak ada jika, manusia tidak
akan memahami bahwa hidup sudah tertulis.
If |
Aku
suka memanggilmu Senja. Aku suka setiap kali kamu mengelak, menjelaskan
alasan-alasan, menumpahkan rasa malu, setiap kali aku memanggilmu Senja. “Kenapa?”
Tanyamu. “Tidak apa-apa”, kataku. “Apakah pembidik cahaya sepertimu selalu
membuat orang penasaran?” Bunyi tombol ranaku sepertinya tidak memberimu
jawaban.
Di
samping kapal terakhir, saat orang-orang menanggalkan rindu di pulau seberang
dan membawa seamplop senyum untuk keluarga yang ditinggalkan, di pelabuhan bau
pesing ini, aku menjawab, “Karena kamu oranye. Bukan merah apalagi kuning.
Bukan hitam yang menyeramkan, atau putih yang sok suci. Bukan merah yang
berani. Bukan pula kuning yang ragu-ragu. Senja itu oranye. Senja itu kamu.” –
tetap seperti dulu karenaku itu.
Lalu
kamu terdiam. Aku ikut-ikutan. Aku dan kamu tahu. Ada kalimat yang harusnya
diucapkan
Namun
terlalu malu untuk dikeluarkan. Ya, karena kita masing-masing tahu. Kita ungu.
Malu-malu. Atau penuh ego?
Sudut
pelabuhan tempat kita berdiri sepi. Tak ada suara yang mengusik. Sirene
keberangkatan pun tertahan. Seolah tahu ada yang harusnya menahan. Tapi menahan
apa? Kita sama-sama tak mau mengaku, kan?
“Senja.”
“Jangan
memanggilku lagi”, katamu. Aku tertawa, sebuah marah yang bersembunyi.
“Kenapa,
Senja?”
Kamu
berdecak. Keras kepala, ya? Tapi kamu tidak marah, kali ini.
“Karena...
senja itu.. di bumi... berada sangat jauh dengan fajar. Tidak sadarkah kau,
senja tidak pernah bertemu dengan fajar? Mereka berada pada sisi yang berbeda.
Penanda pagi dan malam. Peristiwa alam yang kontras dan bertolak belakang.
Aku... tidak ingin... bertolak belakang denganmu, Fajar.”
“Jika
memang begitu, kita harus mencari bumi, menghentikan perputarannya,
bernegosiasi dengan bulan, dan menjadi matahari di derajat yang sama. Supaya
tidak ada pagi dan malam, supaya selalu siang, agar hukum fajar dan senja tidak
berlaku lagi di semesta, sehingga kita tidak bertolak belakang.”
Kamu
mendesis. “Jikamu itu tidak realistis. Bagaimana bisa kita bertemu dengan bumi,
rotasi, bulan, dan menjadi matahari di titik yang sama?”
Sekarang
senja, Senja. Apakah kita bisa melihat senja yang sama, di tempat yang berbeda?
Apakah awan-awan di sini juga terlukis di sana? Apakah angin sore ini
ternikmati juga olehmu kelak? Apakah matahari sesakit dipenggal di sini, atau
sama? Apakah kamu harus pergi?
Dan
ketika roda kopermu memaksa berderit, menuntunmu dimakan mulut pintu kapal. Aku
tidak bisa apa-apa. Kamu masuk dan menghilang. Tidak meninggalkan apa-apa.
Hitam
di batas cakrawala menaklukan semesta. Senja hilang di tempat kita berdiri. Aku
pun kehilangan Senja yang lain. Jangan salahkan aku kalau tidak bisa menahanmu.
Karena kita sama-sama berjanji, untuk membiarkan kita hidup seperti apa yang
takdir mau. Seperti apa yang tidak kita mau.
No comments:
Post a Comment