Lulu percaya, semakin usiamu bertambah,
semakin sulit kita menjawab apa itu bahagia. Namun sebagian besar orang yang ia
tanya, “Apa yang membuatmu bahagia?” menjawab, “Jika mimpiku tercapai.” Semudah
itu menjawab. Memang. Tapi ketika seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang
membuatmu bahagia?”, Lulu berusaha dengan mudahnya menjawab, “Jika mimpiku
tercapai.” Tapi temannya bertanya lagi, “Apa mimpimu?” Waktu itu Lulu sedang
menunggu kereta menuju Bogor. Dia lama terdiam memikirkan jawaban fundamental
itu hingga akhirnya kereta yang mereka tunggu datang. Suara bising deru peluit
kereta ia harap melupakannya akan pertanyaan yang sampai sekarang belum Lulu
ketahui jawaban murninya.
D’oanya tidak terkabul. Di dalam kereta
temannya bertanya lagi, “Jadi, apa mimpimu?” Lulu menyibukkan diri memperbaiki
letak tas yang baru ia jahit kemarin. Tapi temannya terus saja bertanya. Sambil
mendengus aku menjawab, “Mimpiku banyak. Tapi aku tidak tahu akan jadi apa
dengan aku yang sekarang ini. Aku nggak tahu bakal jadi apa.” Selama perjalanan
mereka tidak banyak bicara. Hal ini Lulu manfaatkan untuk merenung. Mungkin
temannya juga melakukan hal yang sama.
Waktu Lulu ingusan dulu, ketika definisi
bahagia adalah semudah Lulu bisa membeli gulali berbentuk bunga, mimpi atau
cita-cita bukan sesuatu yang menyesakkan dada seperti sekarang ini. Zaman SD
adalah zamannya berbagi biodata kepada teman-teman. Salah satu bagian biodata
yang ia suka adalah cita-cita. Namun bagian ini ternyata cukup membingungkan
mereka, “Hei, cita-cita yang kamu kasih ke aku kok beda sama cita-cita yang
kamu tulis buat Vanda? Kamu tulis mau jadi dokter, tapi di Vanda kamu tulisnya
pramugari. Sebenarnya cita-cita kamu apa?” Dengan senyum memamerkan gigi
ompongnya, gampang sekali Lulu menjawab, “Semuanya. Aku mau jadi semuanya!”
Lalu Lulu tertawa dan berjalan sok pahlawan menuju kantin sekolah. Lulu punya
segudang cita-cita, kalau dituliskan semua bisa menghabiskan seluruh kertas
biodata teman-temannya, makanya ia tulis berbeda pada tiap kertas yang Lulu bagikan.
Tidak hanya dokter dan pramugari, Lulu juga ingin menjadi polisi wanita,
diplomat, astronot, wartawan, presiden, peragawati, penulis, arkeolog, fotografer,
bahkan ingin seperti Sherina Munaf. Ya, waktu kecil dulu, Lulu dengan mudahnya
menyebut semua jenis pekerjaan sebagai cita-citaku. Kamu juga kan? Hahaha,
tidak apa-apa. Bercita-citalah yang banyak, sebelum kamu terjun ke dalam
lingkaran realita yang membatasi cita-citamu. Seperti Lulu sekarang ini.
Sekarang yang bagaimana? Sekarang dimana
Lulu tidak tahu harus ngapain dengan
gelarnya saat ini (semoga ini tidak termasuk kufur nikmat, semoga ini hanya
suatu proses dimana ada yang harus ia pahami dan tidak perlu dipaksakan). Atau
sekarang ketika Lulu tersadar bahwa menjadi semua cita-cita yang tersebar di
kumpulan biodata teman-temannya adalah tidak mungkin. Atau sekarang ketika ia
berada pada kenyataan, “Udah kamu kerja yang realistis aja. Sudah bagus dapat
kerja di situ, masih minta yang lain. Tugas kamu sekarang cari duit yang
banyak. Manusia butuh duit toh?” Sebenarnya tidak ada orang lain yang bilang
seperti itu, Lulu sendiri yang membuat kalimat ini. ia terpenjara dengan
kalimat yang ia buat sendiri. Masalahnya …
Jadi di sinilah Lulu. Takdir Tuhan
memutuskan dia bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah yang jauh dari
hiruk-pikuk manusia. Sebuah sekolah yang ia kira adalah sekolah pelarian karena
murid-murid yang belajar di sini adalah mereka yang dilarikan atau dikeluarkan
oleh sekolah awal mereka karena berbagai masalah. Nilai rapot yang jelek, sudah
3 kali di-DO sekolah karena nakal, lambat mencerna pelajaran, tukang bolos
sekolah, dan sebagainya. Lulu tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Sudah
sedemikian banyak bukti menegaskan kalau sepertinya anak-anak itu tidak berniat
sekolah, tapi orangtuanya tetap menginginkan anak mereka berpendidikan. Ya,
disinilah Lulu (dan tentu guru-guru yang lain), menjadi sebuah lilin di
pekatnya gelap.
Tapi lilin hanyalah sebuah lilin, ia mudah
mati jika tertiup angin. Hari-harinya mengajar semakin tidak sesuai harapan. Nilai
ujian tengah semester mereka mencengangkan dalam arti negatif. Anak-anak makin
sulit diatur. Banyak yang tidak masuk sekolah dengan alasan sepele, batuk,
pusing, dan alasan lainnya. Padahal jarak sekolah dengan tempat tinggal mereka
hanya selemparan batu. Sering Lulu dan guru-guru lain menasehati pentingnya
pendidikan, tapi seperti pepatah yang mengatakan anjing menggonggong kafilah
berlalu. Buruknya, merekalah anjing itu.
Lulu adalah guru yang berputus asa? Silahkan,
tampar saja Lulu. Mungkin memang itu yang ia butuhkan sekarang. Masalahnya ia
berada pada titik terendahnya. Lulu hampir tidak punya harapan apa-apa pada
mereka. Lulu bingung harus melakukan apa agar mereka senang belajar, atau
setidaknya tahu hari ini akan belajar apa.
Hingga akhirnya datanglah hari itu. Jika hidup
benar adalah roda, hari itu adalah masanya Lulu mengubah posisi, dari yang
sangat dekat dengan tanah berlumpur hingga jauh dari bumi, mendekati matahari,
menuju titik teratas, meski pelan sekali putarannya.
Namanya Sabila. Lulu memanggilnya Bila,
mengikuti teman-temannya. Bila adalah murid baru di sekolah kami. Kepala
sekolah memberitahu kalau para guru harus memberikan perhatian lebih kepadanya.
Bila berkebutuhan khusus. Di bibir Luluu menyungging senyum, dalam hati dia
merutuk, PR-nya semakin banyak. Sesuatu yang awalnya Lulu sayangkan, Bila
datang pada lingkungan yang salah.
Siang itu pelajaran Sejarah selesai.
Sementara anak-anak lain kegirangan ke luar kelas, Bila menahan Lulu untuk
tetap tinggal. “Kak, bantu aku pelajaran Biologi.” Kira-kira seperti itulah
yang ia dengar. Bila berbicara tidak terlalu lancar. Suaranya membulat-bulat.
Lulu tidak tahu nama penyakitnya apa. Itulah kekurangan Bila yang pertama.
Bila minta dijelaskan lagi materi PR-nya
untuk lusa. Sesuatu yang belum Lulu dapatkan dari murid yang lain. Bukannya
membeda-bedakan, biarkan Lulu bercerita seadanya saja. Dari kalimat membulatnya
itu, Lulu tersadar satu hal, apa yang ia kira selama ini adalah suatu
kesalahan. Lilinnya mungkin mati, tapi Bila membawa lilin lain untuk menyalakan
lilin Lulu. Bila lah sebuah gaya agar roda hidup Lulu kembali bergerak menuju
titik lebih tinggi.
Di akhir penjelasan Lulu, Bila banyak
bercerita, tentu dengan suara anehnya itu. Menurutnya, Bila juga kurang bisa
mengontrol bicaranya. Kalimatnya lompat-lompat. Kadang bicara A belum selesai,
ia mengganti ke B, lalu ke A lagi. Ini membuat Lulu sulit memahaminya. Selama
berbicara, matanya juga melihat ke segala arah. Lulu pikir Bila sedang melihat
apa, tapi begitulah cara Bila memandang. Bila punya cara yang unik dalam
berkomunikasi.
“Aku sulit merangkum kak,” akunya. Benar.
Lihat saja buku tulisnya. Tulisan-tulisannya itu bukan merangkum, tapi menyalin
buku paket. Dalam menjawab pertanyaan juga begitu. Seharusnya hanya perlu
dijawab satu kata, tapi dia menjawabnya satu paragraf. “Aku bingung,” katanya
sambil tersenyum. Bingung bagi Bila bukan sesuatu yang salah, buktinya ia tidak
takut mengakuinya. “Ini kakak garis bawahi yang sebaiknya kamu tulis ya. Nggak
usah semuanya. Seperlunya saja.”
Lalu Bila bercerita film favoritnya.
Perahu Kertas. Dia bisa berkali-kali memutar VCD-nya di rumah. Bahkan Bila bisa
melantunkan soundtrack-nya. “Aku juga
suka film Ayah Mengapa Aku Berbeda dan SLB.” Aku ragu Bila menyebut SLB atau
SLD, pokoknya ada Simfoni-nya gitu, yang main Christian Bautista. “Dia jadi
(Bila menyebutkan nama peran Christian yang Lulu sulit dengar). Pengajar
anak-anak down syndrome gitu.” Oh,
Lulu pernah nonton! Dan film favoritnya itu … Dari film-film kesukaannya, Bila
seperti mencari seorang teman, atau yah seseorang yang meyakinkan bahwa dia
tidak sendirian.
“Kalau jam istirahat ya aku seperti ini,
seringnya main sama guru. Aku nggak suka main sama teman-teman. Apalagi sama
perempuan. Aku nggak suka yang pink-pink gitu.”
“Wah, Bila tomboy dong.”
“Hehehe. Aku lebih asyik main ke ruang
guru, atau jongkok saja di ruang TU, kalau tidak ya ke perpustakaan.”
Untuk apa Bila jongkok di TU? Lulu tidak
menanyakannya. Biar dunia Bila saja yang menjawabnya. Mengenal orang
berkebutuhan khusus bukan hal pertama baginya. Tapi bisa mengobrol sedekat ini,
baru hari itu Lulu rasakan. Ternyata, Bila seru juga diajak ngobrol. Walau
harus ekstra perhatian.
Bila bercerita banyak hal. Banyak sekali.
Tentang buku Biologi yang dia suka karena banyak gambarnya. Tentang Matematika
yang sangat dia benci. Tentang dia yang tidak mau dipanggil Tante karena
kakaknya baru saja melahirkan. Tentang saudaranya yang lulusan akmil dan
sekarang sedang tugas di Aceh. Tentang dia yang gampang tertidur kalau berada
di dekat kakaknya yang main gitar sambil bernyanyi. Juga tentang satu hal yang
sedang ia gemari dan sangat ia harapkan bisa tercapai di sekolah kami. “Aku
pengen banget belajar gitar, biola, dan piano, biar kayak Kevin Aprilio. Tapi
gitar harganya mahal kan, Kak? Yang asli bisa jutaan.”
Bila suka bernyanyi. Dan cita-citanya
adalah, “Pengen manggung di sebuah festival musik.” Mengucapkan kalimat itu,
tubuhnya bergoyang. Matanya sibuk membinarkan harapan. Lulu terka, jantungnya
pasti berdegup kencang membayangkan ia bernyanyi di panggung megah dengan gitar
kesayangannya. “Kemarin di Padang aku mau daftar Indonesian Idol, tapi aku
harus pindah kesini. Biar saja umurku masih muda. Minimal kan 16 tahun. Aku
suka banget menyanyi. Kalau mandi, aku bisa sampai dua jam. Nggak apa-apa lah
umurku dinaik-naikin dikit. Aku baru 15. Hehehe.”
“Iya Pak kelapa sekolah juga cerita sama
kakak kalau kamu suka bernyanyi dan main musik.”
“Oh iya? Terus bilang apa lagi kak? Aku
pengen tahu orang-orang ngomongin aku kayak gimana?”
“Ya gitu. Katanya mau dicarikan guru yang
bisa ngajarin gitar. Sebenarnya sih kakak punya teman yang jago banget main
gitar, nyanyinya juga bagus. Dia suka manggung di kampus.”
“Aaaah, aku mau kak. Aku mau diajar kakak
itu. Biarin aja kakaknya galak atau jutek, yang penting aku mau main gitar!”
“Iya sabar ya. Mudah-mudahan kakaknya bisa,
soalnya dia juga mau kerja di Jakarta. Kamu berdoa aja.”
Bila menyadarkan Lulu bahwa mimpi itu
tidak kenal realistis. Mimpi boleh terus dicapai setidak mampunya kamu. Mimpi
tidak hanya milik anak-anak SD yang gemar berbagi biodata. Orang yang sudah
besar juga boleh bermimpi. Sudah bekerja pun juga boleh bermimpi punya
pekerjaan yang lain.
Tentang mimpi dan cita-cita. Sebenarnya, tidak
hanya Bila. Murid lainnya juga punya mimpi yang besar dan ada caranya
masing-masing untuk digapai. Misalnya Fadil. Dia pengen banget jadi pilot.
Waktu Lulu minta menuliskan hal yang harus Fadil lakukan agar bisa menjadi
pilot, dia menulis, “Makan wortel yang banyak.” Meskipun jawabannya mengundang
gelak tawa, tapi masuk akal juga, pasalnya Fadil berkacamata. Kalau penglihatan
pilot tidak jelas, nanti pesawatnya terbang tidak berarah. “Wortel ada vitamin
A, kan kak? Vitamin A bagus buat mata, kan?” Lulu mengangguk membenarkan
sehingga teman-teman berhenti tertawa.
Lambat laun, Lulu jadi menyalahkan diri
sendiri. Sempat-sempatnya ia merasa jadi guru yang salah. Mungkin kehadiran
Bila adalah tamparan Tuhan. Seharusnya menjadi posisinya sekarang ini tidak
dijadikan beban. Sebagai guru, selayaknya Lulu memegang mimpi-mimpi anak
muridnya dan mengingatkan kalau mereka lupa ketika malas belajar. Mereka punya
mimpi yang besar. Cita-cita tambahan Lulu adalah ikut membantu mewujudkan
cita-cita mereka. Yeah!!! ^^
Cita-cita tambahan? Iya dong. Dengan
begininya Lulu, ia juga punya cita-cita. Mimpinya masih ada. Pertanyaannya
adalah apakah dengan ingin tercapainya mimpi itu, Lulu ikhlas mengorbankan yang
ada di sekitarnya? Yang ia tahu, setiap keputusan pasti membutuhkan
pengorbanan. Ada yang harus dikorbankan. Sebenarnya Lulu bisa. Lingkungan juga
membolehkan. Tapi, apa Lulu ikhlas? Apa Lulu tega? Apa itu egois? Apa jawabanMu
Tuhan?
No comments:
Post a Comment