11/6/13

Bila (dan) Lulu Bermimpi



Lulu percaya, semakin usiamu bertambah, semakin sulit kita menjawab apa itu bahagia. Namun sebagian besar orang yang ia tanya, “Apa yang membuatmu bahagia?” menjawab, “Jika mimpiku tercapai.” Semudah itu menjawab. Memang. Tapi ketika seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu bahagia?”, Lulu berusaha dengan mudahnya menjawab, “Jika mimpiku tercapai.” Tapi temannya bertanya lagi, “Apa mimpimu?” Waktu itu Lulu sedang menunggu kereta menuju Bogor. Dia lama terdiam memikirkan jawaban fundamental itu hingga akhirnya kereta yang mereka tunggu datang. Suara bising deru peluit kereta ia harap melupakannya akan pertanyaan yang sampai sekarang belum Lulu ketahui jawaban murninya.

D’oanya tidak terkabul. Di dalam kereta temannya bertanya lagi, “Jadi, apa mimpimu?” Lulu menyibukkan diri memperbaiki letak tas yang baru ia jahit kemarin. Tapi temannya terus saja bertanya. Sambil mendengus aku menjawab, “Mimpiku banyak. Tapi aku tidak tahu akan jadi apa dengan aku yang sekarang ini. Aku nggak tahu bakal jadi apa.” Selama perjalanan mereka tidak banyak bicara. Hal ini Lulu manfaatkan untuk merenung. Mungkin temannya juga melakukan hal yang sama.

Waktu Lulu ingusan dulu, ketika definisi bahagia adalah semudah Lulu bisa membeli gulali berbentuk bunga, mimpi atau cita-cita bukan sesuatu yang menyesakkan dada seperti sekarang ini. Zaman SD adalah zamannya berbagi biodata kepada teman-teman. Salah satu bagian biodata yang ia suka adalah cita-cita. Namun bagian ini ternyata cukup membingungkan mereka, “Hei, cita-cita yang kamu kasih ke aku kok beda sama cita-cita yang kamu tulis buat Vanda? Kamu tulis mau jadi dokter, tapi di Vanda kamu tulisnya pramugari. Sebenarnya cita-cita kamu apa?” Dengan senyum memamerkan gigi ompongnya, gampang sekali Lulu menjawab, “Semuanya. Aku mau jadi semuanya!” Lalu Lulu tertawa dan berjalan sok pahlawan menuju kantin sekolah. Lulu punya segudang cita-cita, kalau dituliskan semua bisa menghabiskan seluruh kertas biodata teman-temannya, makanya ia tulis berbeda pada tiap kertas yang Lulu bagikan. Tidak hanya dokter dan pramugari, Lulu juga ingin menjadi polisi wanita, diplomat, astronot, wartawan, presiden, peragawati, penulis, arkeolog, fotografer, bahkan ingin seperti Sherina Munaf. Ya, waktu kecil dulu, Lulu dengan mudahnya menyebut semua jenis pekerjaan sebagai cita-citaku. Kamu juga kan? Hahaha, tidak apa-apa. Bercita-citalah yang banyak, sebelum kamu terjun ke dalam lingkaran realita yang membatasi cita-citamu. Seperti Lulu sekarang ini.

Sekarang yang bagaimana? Sekarang dimana Lulu tidak tahu harus ngapain dengan gelarnya saat ini (semoga ini tidak termasuk kufur nikmat, semoga ini hanya suatu proses dimana ada yang harus ia pahami dan tidak perlu dipaksakan). Atau sekarang ketika Lulu tersadar bahwa menjadi semua cita-cita yang tersebar di kumpulan biodata teman-temannya adalah tidak mungkin. Atau sekarang ketika ia berada pada kenyataan, “Udah kamu kerja yang realistis aja. Sudah bagus dapat kerja di situ, masih minta yang lain. Tugas kamu sekarang cari duit yang banyak. Manusia butuh duit toh?” Sebenarnya tidak ada orang lain yang bilang seperti itu, Lulu sendiri yang membuat kalimat ini. ia terpenjara dengan kalimat yang ia buat sendiri. Masalahnya …

Jadi di sinilah Lulu. Takdir Tuhan memutuskan dia bekerja sebagai pengajar di sebuah sekolah yang jauh dari hiruk-pikuk manusia. Sebuah sekolah yang ia kira adalah sekolah pelarian karena murid-murid yang belajar di sini adalah mereka yang dilarikan atau dikeluarkan oleh sekolah awal mereka karena berbagai masalah. Nilai rapot yang jelek, sudah 3 kali di-DO sekolah karena nakal, lambat mencerna pelajaran, tukang bolos sekolah, dan sebagainya. Lulu tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Sudah sedemikian banyak bukti menegaskan kalau sepertinya anak-anak itu tidak berniat sekolah, tapi orangtuanya tetap menginginkan anak mereka berpendidikan. Ya, disinilah Lulu (dan tentu guru-guru yang lain), menjadi sebuah lilin di pekatnya gelap.




Tapi lilin hanyalah sebuah lilin, ia mudah mati jika tertiup angin. Hari-harinya mengajar semakin tidak sesuai harapan. Nilai ujian tengah semester mereka mencengangkan dalam arti negatif. Anak-anak makin sulit diatur. Banyak yang tidak masuk sekolah dengan alasan sepele, batuk, pusing, dan alasan lainnya. Padahal jarak sekolah dengan tempat tinggal mereka hanya selemparan batu. Sering Lulu dan guru-guru lain menasehati pentingnya pendidikan, tapi seperti pepatah yang mengatakan anjing menggonggong kafilah berlalu. Buruknya, merekalah anjing itu.

Lulu adalah guru yang berputus asa? Silahkan, tampar saja Lulu. Mungkin memang itu yang ia butuhkan sekarang. Masalahnya ia berada pada titik terendahnya. Lulu hampir tidak punya harapan apa-apa pada mereka. Lulu bingung harus melakukan apa agar mereka senang belajar, atau setidaknya tahu hari ini akan belajar apa.

Hingga akhirnya datanglah hari itu. Jika hidup benar adalah roda, hari itu adalah masanya Lulu mengubah posisi, dari yang sangat dekat dengan tanah berlumpur hingga jauh dari bumi, mendekati matahari, menuju titik teratas, meski pelan sekali putarannya.

Namanya Sabila. Lulu memanggilnya Bila, mengikuti teman-temannya. Bila adalah murid baru di sekolah kami. Kepala sekolah memberitahu kalau para guru harus memberikan perhatian lebih kepadanya. Bila berkebutuhan khusus. Di bibir Luluu menyungging senyum, dalam hati dia merutuk, PR-nya semakin banyak. Sesuatu yang awalnya Lulu sayangkan, Bila datang pada lingkungan yang salah.

Siang itu pelajaran Sejarah selesai. Sementara anak-anak lain kegirangan ke luar kelas, Bila menahan Lulu untuk tetap tinggal. “Kak, bantu aku pelajaran Biologi.” Kira-kira seperti itulah yang ia dengar. Bila berbicara tidak terlalu lancar. Suaranya membulat-bulat. Lulu tidak tahu nama penyakitnya apa. Itulah kekurangan Bila yang pertama.

Bila minta dijelaskan lagi materi PR-nya untuk lusa. Sesuatu yang belum Lulu dapatkan dari murid yang lain. Bukannya membeda-bedakan, biarkan Lulu bercerita seadanya saja. Dari kalimat membulatnya itu, Lulu tersadar satu hal, apa yang ia kira selama ini adalah suatu kesalahan. Lilinnya mungkin mati, tapi Bila membawa lilin lain untuk menyalakan lilin Lulu. Bila lah sebuah gaya agar roda hidup Lulu kembali bergerak menuju titik lebih tinggi.

Di akhir penjelasan Lulu, Bila banyak bercerita, tentu dengan suara anehnya itu. Menurutnya, Bila juga kurang bisa mengontrol bicaranya. Kalimatnya lompat-lompat. Kadang bicara A belum selesai, ia mengganti ke B, lalu ke A lagi. Ini membuat Lulu sulit memahaminya. Selama berbicara, matanya juga melihat ke segala arah. Lulu pikir Bila sedang melihat apa, tapi begitulah cara Bila memandang. Bila punya cara yang unik dalam berkomunikasi.

“Aku sulit merangkum kak,” akunya. Benar. Lihat saja buku tulisnya. Tulisan-tulisannya itu bukan merangkum, tapi menyalin buku paket. Dalam menjawab pertanyaan juga begitu. Seharusnya hanya perlu dijawab satu kata, tapi dia menjawabnya satu paragraf. “Aku bingung,” katanya sambil tersenyum. Bingung bagi Bila bukan sesuatu yang salah, buktinya ia tidak takut mengakuinya. “Ini kakak garis bawahi yang sebaiknya kamu tulis ya. Nggak usah semuanya. Seperlunya saja.”

Lalu Bila bercerita film favoritnya. Perahu Kertas. Dia bisa berkali-kali memutar VCD-nya di rumah. Bahkan Bila bisa melantunkan soundtrack-nya. “Aku juga suka film Ayah Mengapa Aku Berbeda dan SLB.” Aku ragu Bila menyebut SLB atau SLD, pokoknya ada Simfoni-nya gitu, yang main Christian Bautista. “Dia jadi (Bila menyebutkan nama peran Christian yang Lulu sulit dengar). Pengajar anak-anak down syndrome gitu.” Oh, Lulu pernah nonton! Dan film favoritnya itu … Dari film-film kesukaannya, Bila seperti mencari seorang teman, atau yah seseorang yang meyakinkan bahwa dia tidak sendirian.

“Kalau jam istirahat ya aku seperti ini, seringnya main sama guru. Aku nggak suka main sama teman-teman. Apalagi sama perempuan. Aku nggak suka yang pink-pink gitu.”

“Wah, Bila tomboy dong.”

“Hehehe. Aku lebih asyik main ke ruang guru, atau jongkok saja di ruang TU, kalau tidak ya ke perpustakaan.”

Untuk apa Bila jongkok di TU? Lulu tidak menanyakannya. Biar dunia Bila saja yang menjawabnya. Mengenal orang berkebutuhan khusus bukan hal pertama baginya. Tapi bisa mengobrol sedekat ini, baru hari itu Lulu rasakan. Ternyata, Bila seru juga diajak ngobrol. Walau harus ekstra perhatian.

Bila bercerita banyak hal. Banyak sekali. Tentang buku Biologi yang dia suka karena banyak gambarnya. Tentang Matematika yang sangat dia benci. Tentang dia yang tidak mau dipanggil Tante karena kakaknya baru saja melahirkan. Tentang saudaranya yang lulusan akmil dan sekarang sedang tugas di Aceh. Tentang dia yang gampang tertidur kalau berada di dekat kakaknya yang main gitar sambil bernyanyi. Juga tentang satu hal yang sedang ia gemari dan sangat ia harapkan bisa tercapai di sekolah kami. “Aku pengen banget belajar gitar, biola, dan piano, biar kayak Kevin Aprilio. Tapi gitar harganya mahal kan, Kak? Yang asli bisa jutaan.”

Bila suka bernyanyi. Dan cita-citanya adalah, “Pengen manggung di sebuah festival musik.” Mengucapkan kalimat itu, tubuhnya bergoyang. Matanya sibuk membinarkan harapan. Lulu terka, jantungnya pasti berdegup kencang membayangkan ia bernyanyi di panggung megah dengan gitar kesayangannya. “Kemarin di Padang aku mau daftar Indonesian Idol, tapi aku harus pindah kesini. Biar saja umurku masih muda. Minimal kan 16 tahun. Aku suka banget menyanyi. Kalau mandi, aku bisa sampai dua jam. Nggak apa-apa lah umurku dinaik-naikin dikit. Aku baru 15. Hehehe.”

“Iya Pak kelapa sekolah juga cerita sama kakak kalau kamu suka bernyanyi dan main musik.”

“Oh iya? Terus bilang apa lagi kak? Aku pengen tahu orang-orang ngomongin aku kayak gimana?”

“Ya gitu. Katanya mau dicarikan guru yang bisa ngajarin gitar. Sebenarnya sih kakak punya teman yang jago banget main gitar, nyanyinya juga bagus. Dia suka manggung di kampus.”

“Aaaah, aku mau kak. Aku mau diajar kakak itu. Biarin aja kakaknya galak atau jutek, yang penting aku mau main gitar!”

“Iya sabar ya. Mudah-mudahan kakaknya bisa, soalnya dia juga mau kerja di Jakarta. Kamu berdoa aja.”

Bila menyadarkan Lulu bahwa mimpi itu tidak kenal realistis. Mimpi boleh terus dicapai setidak mampunya kamu. Mimpi tidak hanya milik anak-anak SD yang gemar berbagi biodata. Orang yang sudah besar juga boleh bermimpi. Sudah bekerja pun juga boleh bermimpi punya pekerjaan yang lain.

Tentang mimpi dan cita-cita. Sebenarnya, tidak hanya Bila. Murid lainnya juga punya mimpi yang besar dan ada caranya masing-masing untuk digapai. Misalnya Fadil. Dia pengen banget jadi pilot. Waktu Lulu minta menuliskan hal yang harus Fadil lakukan agar bisa menjadi pilot, dia menulis, “Makan wortel yang banyak.” Meskipun jawabannya mengundang gelak tawa, tapi masuk akal juga, pasalnya Fadil berkacamata. Kalau penglihatan pilot tidak jelas, nanti pesawatnya terbang tidak berarah. “Wortel ada vitamin A, kan kak? Vitamin A bagus buat mata, kan?” Lulu mengangguk membenarkan sehingga teman-teman berhenti tertawa.

Lambat laun, Lulu jadi menyalahkan diri sendiri. Sempat-sempatnya ia merasa jadi guru yang salah. Mungkin kehadiran Bila adalah tamparan Tuhan. Seharusnya menjadi posisinya sekarang ini tidak dijadikan beban. Sebagai guru, selayaknya Lulu memegang mimpi-mimpi anak muridnya dan mengingatkan kalau mereka lupa ketika malas belajar. Mereka punya mimpi yang besar. Cita-cita tambahan Lulu adalah ikut membantu mewujudkan cita-cita mereka. Yeah!!! ^^

Cita-cita tambahan? Iya dong. Dengan begininya Lulu, ia juga punya cita-cita. Mimpinya masih ada. Pertanyaannya adalah apakah dengan ingin tercapainya mimpi itu, Lulu ikhlas mengorbankan yang ada di sekitarnya? Yang ia tahu, setiap keputusan pasti membutuhkan pengorbanan. Ada yang harus dikorbankan. Sebenarnya Lulu bisa. Lingkungan juga membolehkan. Tapi, apa Lulu ikhlas? Apa Lulu tega? Apa itu egois? Apa jawabanMu Tuhan?

No comments:

Post a Comment