5/28/14

Makasih ya, Air ^^

Pernah tidak merasa begini? Matahari panas menyengat dan kamu sedang di sawah yang sama sekali tidak ada pohon untuk berteduh, tas di belakang punggung berat tapi tidak mungkin ditinggal, sepatu yang baru kamu jahit terperangkap dalam kotoran kerbau, semua hal jadi tidak sesuai rencanamu, total berbeda. Lalu sekelilingmu tiba-tiba menikammu, salah adalah satu-satunya kata dalam kamus besar hidupmu, hal yang kamu takutkan nyata terjadi di depanmu.

Yang kamu butuhkan sebenarnya bukan ucapan semangat atau solusi berat. Kamu hanya ingin didengarkan. Lalu diingatkan kembali tentang iman.

Dengan sepercik air di muka, segala beban tiba-tiba pecah. Luluh bersama air yang melalui tengkukmu lalu jatuh ke tanah. Hilang seketika.

Aku pernah. Seringnya setelah berwudhu,  angin kecil entah dari mana mengecup hidung, dan aaaaahh, segar sudah.

Maha Besar Allah yang Menciptakan air.

Fresh

Malam ini, air menjadi begitu penting bertautan dengan kata kuat. Ini tentang percakapan pendek kita di dunia maya. Tentang kamu yang mengalirkan air. Tentang aku yang adalah wadahnya. Makasih ya, Air. Makasih ya, Rin ^^

Gimana caranya jadi kuat?
#akuterhempaskedinding
(laaah)
Standar kuat tiap orang beda-beda. Beberapa orang bilang aku lembek. Soalnya gampang nangis. Tapi menurutku, itu bukan kriteria kuat atau lemahnya seseorang. Abu Bakar dan Utsman itu juga mudah menangis. ^^
(hiks)
Kuat itu kalau dia bertahan dan kokoh pada jalan yang sudah ia yakini benar. Caranya? Mungkin kita harus cari strong why (tips waktu dulu ikutan training). Kenapa kita memilih jalan ini ...
And what is that strong why?
Yang terkuat adalah aqidah. Banyak strong why. Misal: sulit banget nih lulus kuliah skripsi dll, strong why-nya adalah mama dan papa sudah bekerja keras. Sederhana ya begitu. Tapi yang terkuat dari segalanya adalah aqidah. Kita tahu itu dari Allah.
(melayangkan jempol)
Aja aja fighting kakak
 ^^

Percakapan ini bagaikan air wudhu di teriknya tengah sawah tidak berpohon. Menyegarkan. 
Makasih ya, Air ^^

5/22/14

Kadar Hujan dan Makhluk Asing

Tinggal bertahun-tahun di Kota Hujan tidak menyurutkan rasa kagumnya ketika hujan turun. Banyak yang bilang, kalau kita terlalu sering berinteraksi dengan satu hal terus-menerus, rasa kagum terhadap sesuatu itu perlahan sirna, merasa biasa saja, lalu bosan. Tapi tidak dengan Njani. Berinteraksi berjuta detik dengan hujan, tidak membuatnya bosan, justru semakin mengembang dan menggenap, seperti adonan roti yang dicampur permipan.

“Kok kamu bisa sih nggak bosan sama hujan?”

Njani hanya merutuk payung kecil jingganya yang rusak, lebih tepatnya payung kecil ketiga yang ia beli dengan uang sendiri yang rusak. Sudah sekian kali ia memasuki toko yang sama, membeli payung yang sama, dan mendengar celotehan penjaga toko yang sama, “Rusak lagi, neng, dijahit saja.” Lalu menanggapi dengan kalimat yang persis, “Nggak ngaruh, bang, rusak lagi.”

Hingga pada suatu hari, ya di hari ini, Njani mendeklarasikan tidak akan membawa payung. “Aku udah nggak percaya sama payung kecil.”

Lelaki di sebelahnya itu geli. “Kasihan sekali nasib si payung kecil.”

“Tapi kalo nggak gitu, kita nggak akan disini,” Njani mengibas-kibas jaket parasutnya yang bercampur lumpur.

Bara menggulung lengan kemejanya lebih tinggi. Bulir-bulir hujan mengalir dari tengkuknya. Deras di atas atap warung tempat mereka berteduh menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Njani dan Bara sama-sama memilih diam. Seperti memperhatikan sesuatu di antara garis hujan yang menghujam aspal. Sesuatu yang tak berwujud.

Njani tersadar dari lamunannya. “Hujan tuh ajaib, ya?”

“Like what?”

“Like a witch.”

“Hujan punya tongkat sihir?”

“Hhmm mungkin. Walau sebenarnya, mungkin, tak bertongkat, hujan benar-benar bisa menyihir.”

“Penyihir ulung.”

“Setuju.”

“Memang apa kemampuan sihirnya?”

Diamnya Njani membuat Bara menjadi korban sihir sang hujan. Lelaki itu sepakat dengan Njani. Hujan memang ajaib dan bisa menyihir. Datangnya hujan yang tiba-tiba selalu berhasil membuat manusia teralihkan sejenak dari kesibukannya, terpaku memperhatikan hujan jatuh membasahi bumi, berlirih dengan kesejukan yang hujan ambil dari surga, merasa lebih segar padahal manusia tidak habis mandi. Aaaah, hujan punya cara jitu mengambil perhatian orang.

Dan hujan selalu datang tiba-tiba di Kota Hujan. Ini kotanya. Hujan punya wewenang datang dan pergi seenaknya. Hujan bisa egois tetiba deras atau rintik saja. Penduduk yang lain harus ikut aturan mainnya. Sedia payung setiap saat atau siap-siap kehujanan dimana pun berada.

Terhadap perempuan yang kini sibuk bercakap-cakap dengan orang lain yang juga berteduh bersama mereka, Bara mulai bisa menebak jawaban dari pertanyaannya sendiri: “Kok kamu bisa sih nggak bosan sama hujan?”

Entah pada kesempatan kapan, Njani pernah menyatakan ini kepada Bara: “Kadar.”

Yang Bara pahami, terhadap sesuatu yang menyenangkan baginya seperti hujan, Njani memberinya kadar dengan tidak berlebihan. Ia suka seperlunya saja. Ia nikmati tanpa perlu dipamerkan. Mengatakan suka hanya dalam bentuk aksara tanpa suara. Tidak hidup dalam angan kosong. Tidak memuji hujan melebihi langit yang menurunkannya. Tidak memuji langit melebihi Tuhan yang meninggikannya. Njani suka hujan biasa saja.

Atau seperti kalimatnya: “Baiknya sih kita suka terhadap sesuatu ya sekadarnya saja. Tidak perlu dosis tinggi dalam mengagumi. Nanti overdosis. Jadi penyakit.”

Kepada hujan, rasa kagumnya tidak mau membuat Njani penyakitan.

Sepertinya aku harus belajar memberi kadar seperlunya dalam mengagumi, biar aku nggak overdosis. Aneh kalau ada nama penyakit Demam Njani. Bara terkekeh sendiri.

Kadar Rintik
 
“Aku percaya kalau ketika hujan turun, tidak hanya derasnya yang bikin berisik.”

Bara mengecak. Wanita itu selalu punya topik pembicaraan yang berat. “Klakson angkot. Umpatan orang-orang yang benci kebasahan. Apalagi?”

“Harapan manusia terhadap makhluk asing dari sejenisnya.”

“Haaaa?”

“Hahahaha maaf maaf. Duuuh.”

“Apa sih?”

Njani percaya, berdo’a ketika hujan turun kesempatan dikabulkannya lebih tinggi. Maka dari itu Njani suka hujan. Ia jadi punya kesempatan lebih tenang dan percaya terkabulkan dalam berdo’a. Seperti mendo’akan makhluk asing yang entah siapa dan kapan dipertemukan untuk melihat hujan bersama. Ia melihat celah di antara rintik hujan dan menyelipkan harapnya disana.