6/4/15

#3 : Ombak



Nikah. Satu kata yang sangat krusial bagi siapa saja. Yaah meskipun mungkin ada juga orang yang masa bodoh ketika ditanya seputar kata itu, nikah pasti pernah membuat pikirannya sedikit kacau. Tak teratur dari biasanya. Tak terkecuali saya. Seseorang yang pernah tersentil dalam hatinya, “Kayaknya nggak mungkin deh gue nikah. Nggak ada yang suka sama gue. Kalo yang gue suka sih banyak.” Hahaha *sungkem suami*

Karena mudahnya saya suka dan kemudian benci pada orang yang sama tidak sampai berhari-hari, saya sempat mengira tidak mungkin saya menikah, suatu peristiwa hidup yang menuntut saya untuk mencintai orang yang sama setiap hari.




Dan setelah menikah, asumsi saya salah besar. Dengan menikah, kita tidak dituntut untuk mencintai pasangan kita setiap waktu. Justru dengan menikah, kita dituntun untuk mencintainya.

Frase ‘dituntut’ terkesan memaksa, bahwa kita harus selalu sigap dengan kejadian apapun yang menimpa kita, sebenci apapun kita pada orang itu, yaaah kita tahu tidak ada pasangan yang sempurna, kita dipaksa untuk tetap mencintainya, menanamkan pikiran bahwa kita tidak boleh tidak cinta lagi dengannya.

Sedangkan ‘dituntun’ bermakna bahwa akan ada berbagai hal ajaib, yang tak pernah terkira, menuntun kita untuk tetap selalu mencintai pasangan. Dan bukan kita yang mencari-cari hal ajaib itu. Melainkan hal ajaib itulah yang tiba-tiba akan muncul di penglihatan, sehingga kita tak perlu merasa terpaksa untuk kembali mencintai sesuatu yang tadinya kita benci.

Hahahaha ini bahasa ribet amat sih >.<

Contoh. Seorang istri tidak suka perilaku suami yang gemar menggeletakkan barang dimana saja. Sebagai istri yang perfeksionis, mungkin ada kalanya merasa terganggu ketika menemukan gunting kuku di dapur. Satu kekurangan suami, istri mulai kesal. Lalu ketika istri selesai menjemur, ia melihat suami dengan asyik mencuci piring. Sebuah kejutan manis dari suami yang tak disangka istri. Satu kelebihan suami. Lalu perkara suka asal menyimpan barang yang bikin istri geram hilang begitu saja setelah melihat piring bersih sangat apik disusun suami di hari liburnya.

Hahahaha ini bukan curhat. Suami belum pernah taruh gunting kuku di dapur kok. Tapi membantu mencuci piring, itu seriiiiing banget, apalagi pas hamil begini. Sungguh aku sangat tersentuh cintaaa ^^

Nah kan. Dengan menikah, kita tidak dituntut mencintai pasangan, terpaksa tetap cinta dengan berbagai perilaku pasangan yang baru kita ketahui setelah menikah. Tapi kita dituntun untuk terus mencintainya, karena akan selalu ada hal-hal ajaib, kejadian-kejadian manis, tingkah-tingkah lucu dari pasangan yang akan menepis rasa kesal kita pada satu sifat sepele yang menyebalkan.

Hihihi nikmatnyaaaa *ayo bikin greget yang belum nikah biar segera persiapkan diri*

Tapi yang harus disadari adalah kita tidak boleh menutup mata dan hati begitu saja. Melihat satu kejelekan pasangan, lalu buta dengan kebaikan yang ada. Kalau begitu, mau kita koar-koar berbusa supaya pasangan memperbaiki diri pun, tidak akan ada kebaikan yang terlihat di mata kita.

Ceileh, gayanya kayak udah berpengalaman aja >.<  *reminder to me juga sih ini tulisan*

Nikah tidak mungkin berjalan mulus-mulus saja tanpa kerikil yang mengganggu perjalannya. Layaknya ombak, kehidupan saat menikah kadang berupa ombak kecil dengan angin yang tenang. Kadang juga berupa ombak besar, hujan badai, bahkan hampir menghancurkan kapal. Nah, ombak itulah yang harus suami istri taklukan bersama dan dijadikan sebagai sarana untuk mengantarkan mereka ke pulau surga yang nikmatnya tak fana.

Buka mata. Buka hati. Mari berkelana!

No comments:

Post a Comment