Nikah. Satu kata yang sangat
krusial bagi siapa saja. Yaah meskipun mungkin ada juga orang yang masa bodoh
ketika ditanya seputar kata itu, nikah pasti pernah membuat pikirannya sedikit
kacau. Tak teratur dari biasanya. Tak terkecuali saya. Seseorang yang pernah
tersentil dalam hatinya, “Kayaknya nggak mungkin deh gue nikah. Nggak ada yang
suka sama gue. Kalo yang gue suka sih banyak.” Hahaha *sungkem suami*
Karena mudahnya saya suka dan
kemudian benci pada orang yang sama tidak sampai berhari-hari, saya sempat
mengira tidak mungkin saya menikah, suatu peristiwa hidup yang menuntut saya
untuk mencintai orang yang sama setiap hari.
Dan setelah menikah, asumsi
saya salah besar. Dengan menikah, kita tidak dituntut untuk mencintai pasangan
kita setiap waktu. Justru dengan menikah, kita dituntun untuk mencintainya.
Frase ‘dituntut’ terkesan
memaksa, bahwa kita harus selalu sigap dengan kejadian apapun yang menimpa kita,
sebenci apapun kita pada orang itu, yaaah kita tahu tidak ada pasangan yang
sempurna, kita dipaksa untuk tetap mencintainya, menanamkan pikiran bahwa kita
tidak boleh tidak cinta lagi dengannya.
Sedangkan ‘dituntun’ bermakna
bahwa akan ada berbagai hal ajaib, yang tak pernah terkira, menuntun kita untuk
tetap selalu mencintai pasangan. Dan bukan kita yang mencari-cari hal ajaib
itu. Melainkan hal ajaib itulah yang tiba-tiba akan muncul di penglihatan,
sehingga kita tak perlu merasa terpaksa untuk kembali mencintai sesuatu yang
tadinya kita benci.
Hahahaha ini bahasa ribet amat
sih >.<
Contoh. Seorang istri tidak
suka perilaku suami yang gemar menggeletakkan barang dimana saja. Sebagai istri
yang perfeksionis, mungkin ada kalanya merasa terganggu ketika menemukan
gunting kuku di dapur. Satu kekurangan suami, istri mulai kesal. Lalu ketika
istri selesai menjemur, ia melihat suami dengan asyik mencuci piring. Sebuah kejutan
manis dari suami yang tak disangka istri. Satu kelebihan suami. Lalu perkara
suka asal menyimpan barang yang bikin istri geram hilang begitu saja setelah
melihat piring bersih sangat apik disusun suami di hari liburnya.
Hahahaha ini bukan curhat. Suami
belum pernah taruh gunting kuku di dapur kok. Tapi membantu mencuci piring, itu
seriiiiing banget, apalagi pas hamil begini. Sungguh aku sangat tersentuh
cintaaa ^^
Nah kan. Dengan menikah, kita
tidak dituntut mencintai pasangan, terpaksa tetap cinta dengan berbagai
perilaku pasangan yang baru kita ketahui setelah menikah. Tapi kita dituntun
untuk terus mencintainya, karena akan selalu ada hal-hal ajaib,
kejadian-kejadian manis, tingkah-tingkah lucu dari pasangan yang akan menepis
rasa kesal kita pada satu sifat sepele yang menyebalkan.
Hihihi nikmatnyaaaa *ayo bikin
greget yang belum nikah biar segera persiapkan diri*
Tapi yang harus disadari
adalah kita tidak boleh menutup mata dan hati begitu saja. Melihat satu
kejelekan pasangan, lalu buta dengan kebaikan yang ada. Kalau begitu, mau kita
koar-koar berbusa supaya pasangan memperbaiki diri pun, tidak akan ada kebaikan
yang terlihat di mata kita.
Ceileh, gayanya kayak udah
berpengalaman aja >.< *reminder to
me juga sih ini tulisan*
Nikah tidak mungkin berjalan
mulus-mulus saja tanpa kerikil yang mengganggu perjalannya. Layaknya ombak,
kehidupan saat menikah kadang berupa ombak kecil dengan angin yang tenang. Kadang
juga berupa ombak besar, hujan badai, bahkan hampir menghancurkan kapal. Nah,
ombak itulah yang harus suami istri taklukan bersama dan dijadikan sebagai
sarana untuk mengantarkan mereka ke pulau surga yang nikmatnya tak fana.
No comments:
Post a Comment