6/16/15

#6 : Sendiri - sendiri

Setiap manusia di dunia ini lahir sendiri-sendiri. Tidak ditemani oleh siapa pun. Tidak berbarengan oleh orang lain. Tak terkecuali bayi kembar itu. Tak terkecuali aku.

Lalu ketika aku membuka mata, melihat dunia yang lain lagi dari rahim Ibu, aku bertemu dengan berbagai wajah asing. Wajah Ibu. Wajah Ayah. Wajah para kerabat. Tapi tidak ada wajahmu. Tidak, atau kurasa, belum ada.

Setahun. Sepuluh tahun. Wajah-wajah bertambah banyak yang kukenal. Namun belum kutemui wajahmu. Rupamu tak terbayang dalam pikiranku. Rupa seseorang yang kutahu telah terbisikkan namanya ketika aku berumur 4 bulan sebagai fetus. Dimana kamu? Adakah benar kamu dalam hidupku? Atau aku sudah mati duluan sebelum nama itu disebutkan di telingaku?



Dua puluh tahun berselang, aku memandangi mata aneh yang mempelajari bentuk hidungku, mungkin. "Hai," katamu. Lalu dengan kikuk kubalas sapamu. Apa kamu mendengar sapaku? Deru knalpot kendaraan di persimpangan kita bertemu begitu bising saat itu.

Setelah perjumpaan singkat itu, makin banyak persimpangan yang kita lewati bersama. Sapa-sapa pendek tumbuh menjadi obrolan yang, menurutku, terlalu masuk ke dalam hidup kita masing-masing. Puluhan percakapan tak biasa. Dan di antaranya terbesit dalam pikiranku untuk menghentikan semua ini. Kamu terlalu tak biasa lagi bagiku, dan ini aneh. Kurasa ini salah.

Sepertinya, kamu pun juga merasakan hal yang sama.

Entah bagaimana caranya, seperti ada kata sepakat untuk saling menghindar meski tidak ada janji yang terucap. Aku membangun kembali tembok pembatas yang hampir runtuh. Kamu menghilang tanpa kabar yang tak mau kutanyakan.

Kita yang pernah bertemu, kini memilih sendiri-sendiri lagi. Berfusi dengan bumi masing-masing.

Lalu di malam setelah kunobatkan kamu bukan nama yang dibisikkan itu, mudah saja bagimu meyakinkanku, "Sejauh apapun aku pergi, selama apapun aku menghilang, ketika aku harus pulang, maka aku akan pulang. Aku akan mendatangimu, hai tempatku pulang."

Sebulan. Tiga bulan. Kamu datang sendiri menemuiku yang bertiga, dengan kedua orang tuaku. Sekian juta detik kita tak berjumpa, hampir aku lupa bentuk dagumu yang berbukit. Sendiri kamu menemuiku, meminta untuk menghapus kata sendiri itu menjadi berdua.

Tak perlu merajut waktu. Takdir itu kita kejar. Aku yang sendiri. Kamu yang sendiri. Kini menjadi berdua. Aku berdua denganmu. Kamu berdua denganku. Disini, di rumah sederhana ini yang mewah dengan cinta yang sederhana.

Berdua denganmu aku hampir saja lupa : aku yang datang sendiri ke dunia ini pun akan meninggalkannya sendirian. Kamu, sebenarnya, sama seperti wajah-wajah yang telah kukenali dua puluh tahunan ini. Kamu datang lalu suatu saat akan pergi. Aku berjumpa denganmu, suatu saat akan jauh lagi denganku. Meski porsi waktumu denganku akan jauh lebih lama, mungkin melebihi setengah waktu hidupuku. Tapi aku tetap akan sendiri ketika mati nanti. Kamu pun begitu, akan sendirian nanti.

Berdua denganmu aku hampir saja lupa : kesenangan yang kita sulam bersama di bumi ini hanya fana, akan hilang, bisa saja hanya dianggap debu oleh Tuhan.

Aku dan kamu. Masing-masing dari kita, semua orang di bumi ini akan kembali lagi sendirian. Tidak bersama orang lain. Hanya bermodalkan segala sesuatunya yang telah kita lakukan dalam hidup ini.

Tak perduli Tuhan jika kita memiliki harta segunung, pasangan yang rupawan, keluarga yang sholeh. Tuhan tak melihat kesholehan keluarga kita. Tuhan melihat bagaimana kita. Tuhan tak melihat orang lain saat akan meminta pertanggungjawaban kita. Tuhan hanya melihat sendiri-sendirinya kita.

Aku denganmu saat ini, Tuhan akan menanyakan hidupku pada diriku sendiri. Karena yang kupahami, seseorang tak akan memikul dosa orang lain.

Aku akan menanggung hidupku sendiri. Kamu pun begitu. Namun karena ketika ada akad agar aku dan aku menjadi kita, tersimpul janji agar kita pun bisa tetap bersama di syurga kelak, maka saat ini kita harus bekerja sama agar tekad itu terwujud.

No comments:

Post a Comment