Harusnya tulisan ini dirilis akhir Januari lalu, tapi baru bisa
diselesaikan sekarang. Tukang ketik yang payah memang saya ini. Ya, tidak
apa-apa lah, dari pada tidak menulis sama sekali *ngeles*. Terima kasih kepada
Arini, Neng Eci, dan Dek Tri. Tanpa ajakan nekat mereka, tulisan ini tidak
bakal ada. Dengan bermalu-malu ria bawa-bawa carrier ke kota (ada gitu yang bawa gendongan gunung ke kota? Ada.
Saya *tutupmuka*), akhirnya kita bisa merasakan gegap gempita tiada henti
menjadi relawan gadungan yang berhasil bikin badan pegal-pegal. Terima kasih
yaaaa *taburbunga*. Tulisan ini menandakan bahwa kita pernah susah bersama.
Hahaha, terus kenapa?
Saya melambaikan tangan melihat tiga wanita berjajar mendekati tempat
saya duduk. Saya janjian di Stasiun Duren-Kalibata dengan mereka. Cipika cipiki
bentar. Eh, ternyata sebenarnya kami satu kereta. Tahu gitu saya samperin ke
gerbong mereka. Tapi tetap tidak bisa deng. Waktu itu lagi rush hour. Ibarat makanan, saya sudah jadi pepes tahu kali di
antara ribuan pekerja kota. Di dalam gerbong tidak bisa bergerak sedikit pun,
kecuali ketika kereta mengerem. Gimana mau pindah gerbong? Pindah selangkah aja
sulitnya minta ampun.
Belum lima menit menginjakkan kaki di bilangan Jakarta Timur, gerimis
mulai membasahi bumi Kalibata. Nikmat Allah yang satu itu memang lagi demen
banget mampir di Jakarta. Memang waktu itu musim hujan sih. Saking demennya, eh
air hujan numpang tinggal dan menggenang. Bikin lumpuh satu ibu kota. Jakarta
kebanjiran. Padahal angin ribut kagak main di Bogor. Ini kenapa jadi nyanyi
begini?
“Nah loh, jangan-jangan kita kena banjir, nih.”
“Aduh, jangan dong. Hujannya jangan bikin air naik dong, ya Allah.”
Angkot menurunkan kami di tempat yang sesuai dengan petunjuk kenalan
mereka. Celingak celinguk kita kebingungan sendiri harus berjalan kemana. Ini
nggak lucu banget dah, niatnya mau nolong malah nyasar, di kota pula, ckckckck.
Ibu-ibu yang dipertemukan Allah kepada kita akhirnya menunjukkan jalan yang
benar.
“Oh, HT ya? Kejauhan ini mah. Adek harus mundur lagi kesitu. Nyebrang
terus kolongin jembatan aja.”
Okelah kami menyebrang dan menelusuri kolong jembatan. Hujan semakin
deras. Berjalan beriringan di bawah satu payung dengan Arini itu menyusahkan.
Beginilah nasib orang yang jarang bawa payung. Apalagi kami harus memilih jalan
yang baik. Sampah bekas banjir besar hampir seminggu yang lalu masih nangkring
di pinggir jalan. Kami tidak mungkin berjalan di tengah jalan, mau diserempet mobil?
Maka kami harus berbagi jalan dengan sampah. Mulai dari botol minuman sampai
guling kapuk, semuanya berkumpul di pinggir jalan. Aroma busuk menyelusup ke
dalam hidung kami. Uuuuuhh. Air berlumpur masih menggenang. Salah melangkah
sedikit, byuuuur, kotor sudah sepatu. Akhirnya payung tidak berguna juga, toh
kami tetap kebasahan.
Sampah Menumpuk |
Siapapun yang melewati daerah bencana pasti hatinya berdesir. Dengan
satu terjangan air saja, manusia tidak bisa berbuat apapun. Harta-harta yang
mereka kumpulkan tidak mampu melindungi mereka. Bahkan benda itu tidak bisa
melindungi benda itu sendiri. Sofa cantik, guci porselen, spring bed jutaan rupiah, semua hanyut terbawa aliran banjir. Allah
benar-benar punya cara untuk memperingatkan hambaNya. Buat apa kita susah-susah
mencari kenikmatan dunia yang fana, toh pada akhirnya akan ludes juga?
Pakaian-pakaian yang kalau di-laundry
mahal banget pun kotor juga terciprat lumpur. Lalu kalau sudah begitu, manusia
tidak bisa apa-apa.
Mencari tempat istirahat sulit, semua sudut kota metropolitan kotor,
tidak nyaman untuk ditempati. Jangankan tempat singgah, mendapatkan air bersih
untuk minum saja harus menunggu bantuan dari orang lain. Itu pun tidak bisa segera
terbantu. Akses menuju titik bencana tidak mudah dicapai. Ya Allah, mau minum
saja harus mengantri. Biasanya manusia membuang-buang air begitu gampangnya.
Sebagian menganggap bencana sebagai azab dan karma atas perbuatan yang
dibuatnya, sebagian lagi menganggap musibah itu sebagai ujian keimanan, apakah
setelah ini kita akan menyalahkan Tuhan tidak berlaku adil padahal hanya Allah
lah Sang Maha Adil? Apapun anggapan kita, bencana bisa menimpa siapa saja
dimana saja kapan saja. Tidak memandang berharta banyak, bertitel pak haji,
atau berumah tingkat tiga. Bencana tidak hanya datang di gubuk tua, tetapi juga
mesjid megah dan kantor kedutaan. Apakah itu ketika kita sedang asyik bermain
atau terlelap di sepertiga malam, bencana bisa bertamu kapan saja. Menghabiskan
semua yang sudah tertulis harus habis. Memusnahkan yang harus musnah.
Mempertahankan apapun yang diberi penangguhan.
Allah menganugerahkan manusia rasa saling mengasihi satu sama lain,
tidak membedakan golongan. Setelah musibah datang, adalah fitrah manusia bahwa
mereka yang tidak menjadi korban akan tergerak hatinya untuk membantu. Mungkin
ini juga cara Allah memperbaiki organ yang rusak. Sungguh Ia punya kuasa untuk
menyeimbangkan segala sesuatu. Dan semua itu mudah saja bagi Sang Pencipta.
Ratusan media mengabarkan daerah-daerah yang belum terjamah bantuan.
Ribuan relawan turun ke jalan. Baik dari organisasi besar, partai baru,
himpunan mahasiswa, anggota OSIS SMP A, rombongan arisan istri pejabat, bahkan
sampai orang luar seperti empat wanita yang ber-aduh-aduh menghindari genangan
lumpur. Menurut saya, siapapun kita, punya pengalaman jadi relawan atau belum,
di saat genting seperti itu siapa saja diperlukan. Jadi, kalau fitrah kalian
sudah berancang-ancang akan keluar dari zona aman kalian, keluarkan saja. Siapa
tahu ada hal baik di luar zona aman itu?
“Gue nggak tahu harus ngapain nanti.”
“Iya, ini pertama kalinya, nih.”
“Tapi yang pasti ada lah yang bisa kerjain. Bantu-bantu apa kek.”
Apapun yang terjadi, life must
goes on. Itu pelajaran pertama yang saya dapatkan hari itu. Setelah
mengalami bencana, seburuk apapun kondisinya, kita tidak bisa hidup terus dalam
kepasrahan. Harus ada yang kita lakukan untuk bertahan hidup, bahkan untuk
menambal alpa yang diakibatkan. Korban bencana banjir Jakarta, sepanjang yang
saya amati, tidak hanya tinggal diam meminta bantuan. Mereka, baik sendiri atau
dilakukan bersama-sama, ada yang membersihkan jalan, diskusi santai tentang
pendistribusian bantuan agar adil dan merata, masuk kantor, bahkan mulai ada yang
berjualan.
Berbagi Ruang |
Seorang bapak memanggil kami ketika langkah kami mendekati sebuah
bangunan semi permanen yang terbuat dari lembar-lembar poster dan spanduk.
Ternyata itu adalah poskonya. Alhamdulillah ya, akhirnya sampai juga.
“Kami dari IPB, Pak.”
“Ya, bantu itu ya. Banyak yang harus dikerjakan disini.”
Tanpa lama-lama berkenalan, menyerahkan bantuan pakaian, dan
beristirahat, kami langsung berhadapan dengan tugas yang bejibun. Kami membantu
di sebuah posko dapur umum. Kerjaannya tentu saja memasak. Sesuatu yang mudah?
Memang. Tapi tidak akan mudah jika berada dalam kondisi setiap detiknya makanan
dan minuman harus tersedia di meja.
Empat kompor gas tidak pernah mati. Panci-panci besar berisi air
dipanaskan. Kami tidak menghitungnya, tapi mungkin ratusan lebih gelas plastik
tersajikan untuk para korban. Hujan terus mengguyur. Mereka yang kehilangan
tempat tinggal kedinginan. Butuh minuman hangat. Berbondong-bondong datang ke
posko kami. Ya, didihkan air lagi. Kopi. Teh. Susu. Air jahe. Energen. Apa saja
diseduh. Tidak hanya minuman, makanan pun juga wajib dibuat. Makanan
pengungsian identik dengan mie instan. Berkardus-kardus mie instan berbagai
merk terkumpul. Bermacam rasa mie yang ada dicampur. Kalau sudah begini, rasa
tidak begitu diperhatikan. Yang penting perut terisi daripada kelaparan. Tapi
ya tetap jangan sampai keasinan atau hambar juga sih.
Terbersit di pikiran, “Ini baru satu posko, sampah plastik dan
styrofoamnya banyak banget. Gimana kalau ditambah posko yang lain? Gimana kalau
dijumlah satu Jakarta? Ini baru sampah satu hari. Sudah banyak posko yang
berdiri dari jauh-jauh hari, bahkan akan berlanjut mungkin sebulan lagi. Berapa
banyak sampah yang dihasilkan? Kok semacam rantai yang nggak akan putus ya?
Niatnya membantu korban bencana, tapi ada kemungkinan menciptakan bencana
baru.” Dan kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh pemulung sampah. Terima kasih
Pak Pemulung. Setidaknya sampah-sampah relawan tidak menumpuk dan mudah-mudahan
jadi tambahan rejeki ya.
Pelajaran kedua yaitu menjadi relawan bencana alam melatih kita untuk
kerja taktis, efisien, efektif, dan harus siap fisik serta mental kerja banyak.
Sambil menunggu air mendidih, buka-bukain bungkus minuman. Setelah itu
gunting-guntingin bungkus mie, remuk-remukkin mie, menyiapkan mangkok
styrofoam, masukin sendok, lalala yeyeye banyak banget. Dan itu dilakukan tanpa
henti. Kerja hanya berhenti ketika istirahat sholat dan makan siang. Itu pun
sebentar, lanjut heboh lagi di dapur.
Pelajaran ketiga yaitu bagaimana mengendalikan emosi menghadapi
pengungsi yang tidak sabaran. Kalian lagi sibuk banget kerjain ini itu, eh
‘disemprot’ sama ibu-ibu, “Aduh dek, lama banget sih mienya”. Sambil
senyam-senyum gondok berkata, “Sabar ya bu, emang belum matang, nanti ibu malah
sakit perut”. Tapi tetap saja mengomel. Hadeeeeeh, ini mah harus kita yang
sabar, mau marah malah bikin dosa. Silahkan rasakan sensasinya ^^
Selain korban, yang mampir ke posko kami juga ada tentara relawan. Dua
tentara datang. It’s ok lah tidak
menambah kerjaan. Eh tidak lama kemudian, satu batalyon datang. Maaaak. Genjot
semangat lagi!
Untungnya relawan lain datang membantu. Kerjaan kami jadi longgar
sedikit. Waktu istirahat kami manfaatkan untuk mengobrol dan berkenalan dengan
korban di sekitar. Posko kami bergabung dengan rumah warga yang merangkap usaha
agensi travel dan isi ulang air minum. Ibu pemiliki toko bercerita kejadian
saat terjadinya bencana. Banjir kemarin itu bukan kali pertama melanda
Kalibata. Namun termasuk yang terparah. Rumah beliau dua tingkat. Tingkat
pertama yang dijadikan tempat tinggal berada di dalam bawah tanah. Air dari
kali belakang masuk memenuhi bagian rumah tingkat pertama hingga ke
langit-langit. Hantaman air menimbulkan suara gemuruh besar yang menyeramkan.
Semuanya penuh lumpur. Kotor. Basah. Dokumen penting telah diselamatkan lebih
dulu sebagai antisipasi awal. Tetapi perabotan, baju-baju, AC, kasur, lemari,
semuanya berlumpur. Saya merinding melihat sisa sampah menyangkut di
baling-baling AC. Cat dinding melepuh kebasahan. Lantai menjadi licin, saya
hampir terpeleset berkali-kali. Bau tanah masih menempel di setiap sudut
ruangan. Saya merinding membayangkan suasana ketika air berlumpur masuk
memenuhi ruangan. Bersyukur sekali saya belum (dan mudah-mudahan tidak) pernah
mengalami hal itu.
Selain sebagai dapur umum, posko ini juga menerima sumbangan pakaian,
alat kebersihan, dan obat-obatan. Tidak jarang kami harus membagi konsentrasi
antara menyiapkan minuman dengan mengambil pasta gigi. Kalau sampai salah
kasih, malu juga hehe. Dan Alhamdulillah sekali, posko kami mendapat bantuan
satu tangki besar air bersih dari Kuwait yang bekerja sama dengan Dewan Da’wah
Islamiyah dan periksa kesehatan gratis bagi pengungsi dari Masyarakat Relawan
Indonesia (MRI).
Sebuah bencana memang bisa menjadi pelajaran dan menumbuhkan rasa
syukur bagi orang lain. Tapi apakah pelajaran dan syukur harus ada setelah
memakan korban? Tidak selalu. Allah punya caraNya sendiri. Saya yakin, selain
sebagai pengingat, bencana alam juga terjadi sebagai proses menyeimbangkan
ekologi. Wallahu’alam bishshowab.
No comments:
Post a Comment