6/12/13

Main ke Posko



Harusnya tulisan ini dirilis akhir Januari lalu, tapi baru bisa diselesaikan sekarang. Tukang ketik yang payah memang saya ini. Ya, tidak apa-apa lah, dari pada tidak menulis sama sekali *ngeles*. Terima kasih kepada Arini, Neng Eci, dan Dek Tri. Tanpa ajakan nekat mereka, tulisan ini tidak bakal ada. Dengan bermalu-malu ria bawa-bawa carrier ke kota (ada gitu yang bawa gendongan gunung ke kota? Ada. Saya *tutupmuka*), akhirnya kita bisa merasakan gegap gempita tiada henti menjadi relawan gadungan yang berhasil bikin badan pegal-pegal. Terima kasih yaaaa *taburbunga*. Tulisan ini menandakan bahwa kita pernah susah bersama. Hahaha, terus kenapa?

Saya melambaikan tangan melihat tiga wanita berjajar mendekati tempat saya duduk. Saya janjian di Stasiun Duren-Kalibata dengan mereka. Cipika cipiki bentar. Eh, ternyata sebenarnya kami satu kereta. Tahu gitu saya samperin ke gerbong mereka. Tapi tetap tidak bisa deng. Waktu itu lagi rush hour. Ibarat makanan, saya sudah jadi pepes tahu kali di antara ribuan pekerja kota. Di dalam gerbong tidak bisa bergerak sedikit pun, kecuali ketika kereta mengerem. Gimana mau pindah gerbong? Pindah selangkah aja sulitnya minta ampun.

Belum lima menit menginjakkan kaki di bilangan Jakarta Timur, gerimis mulai membasahi bumi Kalibata. Nikmat Allah yang satu itu memang lagi demen banget mampir di Jakarta. Memang waktu itu musim hujan sih. Saking demennya, eh air hujan numpang tinggal dan menggenang. Bikin lumpuh satu ibu kota. Jakarta kebanjiran. Padahal angin ribut kagak main di Bogor. Ini kenapa jadi nyanyi begini?

“Nah loh, jangan-jangan kita kena banjir, nih.”
“Aduh, jangan dong. Hujannya jangan bikin air naik dong, ya Allah.”

Angkot menurunkan kami di tempat yang sesuai dengan petunjuk kenalan mereka. Celingak celinguk kita kebingungan sendiri harus berjalan kemana. Ini nggak lucu banget dah, niatnya mau nolong malah nyasar, di kota pula, ckckckck. Ibu-ibu yang dipertemukan Allah kepada kita akhirnya menunjukkan jalan yang benar.

“Oh, HT ya? Kejauhan ini mah. Adek harus mundur lagi kesitu. Nyebrang terus kolongin jembatan aja.”

Okelah kami menyebrang dan menelusuri kolong jembatan. Hujan semakin deras. Berjalan beriringan di bawah satu payung dengan Arini itu menyusahkan. Beginilah nasib orang yang jarang bawa payung. Apalagi kami harus memilih jalan yang baik. Sampah bekas banjir besar hampir seminggu yang lalu masih nangkring di pinggir jalan. Kami tidak mungkin berjalan di tengah jalan, mau diserempet mobil? Maka kami harus berbagi jalan dengan sampah. Mulai dari botol minuman sampai guling kapuk, semuanya berkumpul di pinggir jalan. Aroma busuk menyelusup ke dalam hidung kami. Uuuuuhh. Air berlumpur masih menggenang. Salah melangkah sedikit, byuuuur, kotor sudah sepatu. Akhirnya payung tidak berguna juga, toh kami tetap kebasahan.

Masih Menggenang

Terdampar Arus


Sampah Menumpuk

Siapapun yang melewati daerah bencana pasti hatinya berdesir. Dengan satu terjangan air saja, manusia tidak bisa berbuat apapun. Harta-harta yang mereka kumpulkan tidak mampu melindungi mereka. Bahkan benda itu tidak bisa melindungi benda itu sendiri. Sofa cantik, guci porselen, spring bed jutaan rupiah, semua hanyut terbawa aliran banjir. Allah benar-benar punya cara untuk memperingatkan hambaNya. Buat apa kita susah-susah mencari kenikmatan dunia yang fana, toh pada akhirnya akan ludes juga? Pakaian-pakaian yang kalau di-laundry mahal banget pun kotor juga terciprat lumpur. Lalu kalau sudah begitu, manusia tidak bisa apa-apa.

Ruang Istirahat

Mencari tempat istirahat sulit, semua sudut kota metropolitan kotor, tidak nyaman untuk ditempati. Jangankan tempat singgah, mendapatkan air bersih untuk minum saja harus menunggu bantuan dari orang lain. Itu pun tidak bisa segera terbantu. Akses menuju titik bencana tidak mudah dicapai. Ya Allah, mau minum saja harus mengantri. Biasanya manusia membuang-buang air begitu gampangnya.

Sebagian menganggap bencana sebagai azab dan karma atas perbuatan yang dibuatnya, sebagian lagi menganggap musibah itu sebagai ujian keimanan, apakah setelah ini kita akan menyalahkan Tuhan tidak berlaku adil padahal hanya Allah lah Sang Maha Adil? Apapun anggapan kita, bencana bisa menimpa siapa saja dimana saja kapan saja. Tidak memandang berharta banyak, bertitel pak haji, atau berumah tingkat tiga. Bencana tidak hanya datang di gubuk tua, tetapi juga mesjid megah dan kantor kedutaan. Apakah itu ketika kita sedang asyik bermain atau terlelap di sepertiga malam, bencana bisa bertamu kapan saja. Menghabiskan semua yang sudah tertulis harus habis. Memusnahkan yang harus musnah. Mempertahankan apapun yang diberi penangguhan.

Allah menganugerahkan manusia rasa saling mengasihi satu sama lain, tidak membedakan golongan. Setelah musibah datang, adalah fitrah manusia bahwa mereka yang tidak menjadi korban akan tergerak hatinya untuk membantu. Mungkin ini juga cara Allah memperbaiki organ yang rusak. Sungguh Ia punya kuasa untuk menyeimbangkan segala sesuatu. Dan semua itu mudah saja bagi Sang Pencipta.

Ratusan media mengabarkan daerah-daerah yang belum terjamah bantuan. Ribuan relawan turun ke jalan. Baik dari organisasi besar, partai baru, himpunan mahasiswa, anggota OSIS SMP A, rombongan arisan istri pejabat, bahkan sampai orang luar seperti empat wanita yang ber-aduh-aduh menghindari genangan lumpur. Menurut saya, siapapun kita, punya pengalaman jadi relawan atau belum, di saat genting seperti itu siapa saja diperlukan. Jadi, kalau fitrah kalian sudah berancang-ancang akan keluar dari zona aman kalian, keluarkan saja. Siapa tahu ada hal baik di luar zona aman itu?

“Gue nggak tahu harus ngapain nanti.”
“Iya, ini pertama kalinya, nih.”
“Tapi yang pasti ada lah yang bisa kerjain. Bantu-bantu apa kek.”

Apapun yang terjadi, life must goes on. Itu pelajaran pertama yang saya dapatkan hari itu. Setelah mengalami bencana, seburuk apapun kondisinya, kita tidak bisa hidup terus dalam kepasrahan. Harus ada yang kita lakukan untuk bertahan hidup, bahkan untuk menambal alpa yang diakibatkan. Korban bencana banjir Jakarta, sepanjang yang saya amati, tidak hanya tinggal diam meminta bantuan. Mereka, baik sendiri atau dilakukan bersama-sama, ada yang membersihkan jalan, diskusi santai tentang pendistribusian bantuan agar adil dan merata, masuk kantor, bahkan mulai ada yang berjualan.

Membersihkan Jalan

Mengais Rejeki

Berteduh


Berbagi Ruang

Seorang bapak memanggil kami ketika langkah kami mendekati sebuah bangunan semi permanen yang terbuat dari lembar-lembar poster dan spanduk. Ternyata itu adalah poskonya. Alhamdulillah ya, akhirnya sampai juga.

Posko

“Kami dari IPB, Pak.”
“Ya, bantu itu ya. Banyak yang harus dikerjakan disini.”

Tanpa lama-lama berkenalan, menyerahkan bantuan pakaian, dan beristirahat, kami langsung berhadapan dengan tugas yang bejibun. Kami membantu di sebuah posko dapur umum. Kerjaannya tentu saja memasak. Sesuatu yang mudah? Memang. Tapi tidak akan mudah jika berada dalam kondisi setiap detiknya makanan dan minuman harus tersedia di meja.

Empat kompor gas tidak pernah mati. Panci-panci besar berisi air dipanaskan. Kami tidak menghitungnya, tapi mungkin ratusan lebih gelas plastik tersajikan untuk para korban. Hujan terus mengguyur. Mereka yang kehilangan tempat tinggal kedinginan. Butuh minuman hangat. Berbondong-bondong datang ke posko kami. Ya, didihkan air lagi. Kopi. Teh. Susu. Air jahe. Energen. Apa saja diseduh. Tidak hanya minuman, makanan pun juga wajib dibuat. Makanan pengungsian identik dengan mie instan. Berkardus-kardus mie instan berbagai merk terkumpul. Bermacam rasa mie yang ada dicampur. Kalau sudah begini, rasa tidak begitu diperhatikan. Yang penting perut terisi daripada kelaparan. Tapi ya tetap jangan sampai keasinan atau hambar juga sih.

Suasana Dapur Umum

Lahap

Terbersit di pikiran, “Ini baru satu posko, sampah plastik dan styrofoamnya banyak banget. Gimana kalau ditambah posko yang lain? Gimana kalau dijumlah satu Jakarta? Ini baru sampah satu hari. Sudah banyak posko yang berdiri dari jauh-jauh hari, bahkan akan berlanjut mungkin sebulan lagi. Berapa banyak sampah yang dihasilkan? Kok semacam rantai yang nggak akan putus ya? Niatnya membantu korban bencana, tapi ada kemungkinan menciptakan bencana baru.” Dan kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh pemulung sampah. Terima kasih Pak Pemulung. Setidaknya sampah-sampah relawan tidak menumpuk dan mudah-mudahan jadi tambahan rejeki ya.

Mencari Berkah

Pelajaran kedua yaitu menjadi relawan bencana alam melatih kita untuk kerja taktis, efisien, efektif, dan harus siap fisik serta mental kerja banyak. Sambil menunggu air mendidih, buka-bukain bungkus minuman. Setelah itu gunting-guntingin bungkus mie, remuk-remukkin mie, menyiapkan mangkok styrofoam, masukin sendok, lalala yeyeye banyak banget. Dan itu dilakukan tanpa henti. Kerja hanya berhenti ketika istirahat sholat dan makan siang. Itu pun sebentar, lanjut heboh lagi di dapur.

Pelajaran ketiga yaitu bagaimana mengendalikan emosi menghadapi pengungsi yang tidak sabaran. Kalian lagi sibuk banget kerjain ini itu, eh ‘disemprot’ sama ibu-ibu, “Aduh dek, lama banget sih mienya”. Sambil senyam-senyum gondok berkata, “Sabar ya bu, emang belum matang, nanti ibu malah sakit perut”. Tapi tetap saja mengomel. Hadeeeeeh, ini mah harus kita yang sabar, mau marah malah bikin dosa. Silahkan rasakan sensasinya ^^

Selain korban, yang mampir ke posko kami juga ada tentara relawan. Dua tentara datang. It’s ok lah tidak menambah kerjaan. Eh tidak lama kemudian, satu batalyon datang. Maaaak. Genjot semangat lagi!

Tentara Relawan

Untungnya relawan lain datang membantu. Kerjaan kami jadi longgar sedikit. Waktu istirahat kami manfaatkan untuk mengobrol dan berkenalan dengan korban di sekitar. Posko kami bergabung dengan rumah warga yang merangkap usaha agensi travel dan isi ulang air minum. Ibu pemiliki toko bercerita kejadian saat terjadinya bencana. Banjir kemarin itu bukan kali pertama melanda Kalibata. Namun termasuk yang terparah. Rumah beliau dua tingkat. Tingkat pertama yang dijadikan tempat tinggal berada di dalam bawah tanah. Air dari kali belakang masuk memenuhi bagian rumah tingkat pertama hingga ke langit-langit. Hantaman air menimbulkan suara gemuruh besar yang menyeramkan. Semuanya penuh lumpur. Kotor. Basah. Dokumen penting telah diselamatkan lebih dulu sebagai antisipasi awal. Tetapi perabotan, baju-baju, AC, kasur, lemari, semuanya berlumpur. Saya merinding melihat sisa sampah menyangkut di baling-baling AC. Cat dinding melepuh kebasahan. Lantai menjadi licin, saya hampir terpeleset berkali-kali. Bau tanah masih menempel di setiap sudut ruangan. Saya merinding membayangkan suasana ketika air berlumpur masuk memenuhi ruangan. Bersyukur sekali saya belum (dan mudah-mudahan tidak) pernah mengalami hal itu.

Di Dalam Posko
Selain sebagai dapur umum, posko ini juga menerima sumbangan pakaian, alat kebersihan, dan obat-obatan. Tidak jarang kami harus membagi konsentrasi antara menyiapkan minuman dengan mengambil pasta gigi. Kalau sampai salah kasih, malu juga hehe. Dan Alhamdulillah sekali, posko kami mendapat bantuan satu tangki besar air bersih dari Kuwait yang bekerja sama dengan Dewan Da’wah Islamiyah dan periksa kesehatan gratis bagi pengungsi dari Masyarakat Relawan Indonesia (MRI).

Bantuan Air

Bantuan Kesehatan

Sebuah bencana memang bisa menjadi pelajaran dan menumbuhkan rasa syukur bagi orang lain. Tapi apakah pelajaran dan syukur harus ada setelah memakan korban? Tidak selalu. Allah punya caraNya sendiri. Saya yakin, selain sebagai pengingat, bencana alam juga terjadi sebagai proses menyeimbangkan ekologi. Wallahu’alam bishshowab.

No comments:

Post a Comment