Seorang calon mahasiswa (A) mempertanyakan idealisme orang yang
sebentar lagi meninggalkan kemahasiswaannya (B). “Lo mau ikut Indonesia
Mengajar?”
Yang ditanya dengan tegas mengangguk. “Memang kenapa?” tanyanya
setelah melihat lawan bicaranya cengengesan meremehkan. Mungkin maksudnya bukan
meremehkan, tapi ia tidak tahu lagi ekspresi apa itu: senyam-senyum
menyembunyikan tawa.
Sebulanan ini B selalu mantengin televisi swasta baru yang menayangkan
kegiatan Pengajar Muda yang tergabung dalam Indonesia Mengajar. Ia yang juga
aktif mengajar walau tidak terikat dalam organisasi manapun itu belajar banyak
tentang metode-metode pengajaran kreatif para Pengajar Muda. Selain itu,
keteguhan para Pengajar Muda menghadapi segala kondisi yang tidak biasa juga
menjadi oase bagi padang gurun yang selama ini harus ia lewati.
Tulisan ini dibuat bukan untuk promosi program televisi ataupun
gerakan non-profit. Apabila ingin lebih kenal dengan Indonesia Mengajar,
silahkan berkunjung ke sini. Mungkin ada yang mau menelurkan idealismenya
disana.
Tidak ada habis-habisnya A mencecar, “Lo yakin anak-anak itu bakal
memajukan bangsa?”
Kalau sudah mengeluarkan pertanyaan goal ini, jawaban yang keluar pasti terdengar biasa, “Yang penting
itu proses, bukan hasil.” Klise? Memang. Tapi semoga itu termasuk jawaban
orang-orang optimis, bahwa proses yang baik pasti memberikan hasil yang baik.
Izinkan saya meminjam pepatah Jawa: Sopo
nandur bakal ngundhuh. Seseorang akan menuai hasil sesuai dengan perbuatan
yang dilakukannya.
“Kayak lo nggak kenal anak zaman sekarang saja.”
Tentu saja kenal. Bahkan tanpa perlu kenalan. Media saat ini begitu
telanjang menggambarkan wajah-wajah yang katanya penerus (kini sedang up date kata pengubah) bangsa. Wajah
anak zaman sekarang itu sama. Meski tidak semua, tapi kebanyakan: sama.
Beraninya play safe. Penganut
ideologi hedonisme ulung. Hobi banget ngikut-ngikut.
Dan menurut si A, inilah yang membuat bangsa kita hanya berlari di tempat,
tidak maju-maju, bahkan mundur karena lelah sendiri (kilahnya sih mau
istirahat, tapi kesenangan istirahat, soalnya dikipasin terus sama orang asing,
ujung-ujungnya menjadi asing di negeri sendiri, edan!).
“Mereka yang di pelosok nggak terkontaminasi kayak kamu, Cak!”
Menurut B, globalisasi telah mengontaminasi otak anak-anak kota.
Perubahan ini memang telah masuk ke urat nadi negara, tapi nilai negatifnya
bisa dihentikan dengan kearifan lokal yang masih mendarah daging dalam setiap
perbuatan anak ndeso. Karena kearifan
lokal ini bentuknya abstrak di kota-kota, maka desa harus menjadi tameng dan
vitamin tubuh bangsa. Desa bisa mengembalikan kita yang kita. Segala yang besar
ada karena ada yang kecil.
“Halah, dasar mahasiswa, sok idealis. Nanti kalo sudah kerja juga
bakal kontam. Lo nggak bisa berbuat apa-apa karena terikat perusahaan yang
memberi makan keluarga lo. Waktu mahasiswa aktif banget menyuarakan safe our forest, let’s go green, dan segala tetek bengek slogan-slogan semu yang lo
koarkan di hidung publik sampai berbusa-busa. Tapi setelah harus kerja, dan
karena memang cuman dapat kerja disitu, lo harus membuka hutan jadi kebun kelapa
sawit atau karet, membunuh milyaran bakteri, makin memiskinkan orang miskin
dengan memberi uang demi menggusur suku-suku pedalaman. Melakukan kejahatan
halus itu atas nama memajukan perekonomian bangsa. Bangsa sopo? Bangsa rai’mu!” celetuk A sambil sesekali menyesap
kopinya.
Kenapa obrolan ini menjadi jauh? Si B menilai bahwa A juga termasuk
anak zaman sekarang: play safe.
Meskipun rada-rada kritis, tapi yang dia lakukan ya hanya itu, duduk-duduk ayu sambil ngopi, mempertanyakan idealisme, menghancurkan benteng keteguhan
dengan mengakarkan sifat ekstrimis: udah santai aja, hidup sudah ada Tuhan yang
mengatur, yang penting lo jadi anak baik-baik aja. Ekstrim? Iya, menurut si B
itu tuh ekstrim banget.
“Yang penting kita baik tanpa perlu orang lain menjadi baik? Hahaha,
mungkin lawan kata idealis adalah egois ya, Cak?”
Mask |
Sebetulnya si B juga pernah seperti si A, menertawai idealisme teman
SMP-nya dulu. “Saya mau jadi guru TK, mengajarkan yang baik-baik kepada yang
masih suci, biar kalau sudah gede nggak kotor kayak kita-kita.” Si B tertawa
keras saat itu, sampai seluruh anak yang memilih menghabiskan jam istirahatnya
di kelas melototi mereka. “Halah, jangan sok idealis kamu, Nai. Susah itu.
Nanti kamu capek sendiri.”
Temannya menyudahi debat kusir mereka, “Kita hidup ujung-ujung mati.
Kalau sudah mati, ya tinggal pasrah bakal hidup selamanya dimana, surga atau
neraka. Siapa pula yang mau hidup di neraka? Kalau Surga itu Roma, ada banyak
jalan baik menujunya. Salah satunya, mudah-mudahan, ya yang kata kamu idealis
itu. Masing-masing kita punya perjuangan yang berbeda, tapi tujuannya sama toh?”
Si B mengatakan hal yang sama kepada si A karena malam semakin tua. Ia
sudah mengantuk. Lebih baik ia tidur dan mengisi energi buat besok daripada
berdebat kusir terus.
“Halah, bisanya ngeles aja lo,” ujar A sambil menguap.
kakak juga dulu pengin banget ikut indonesia mengajar, walaupn harus berjuang dlm keterbatasan nti dsana.. Tp Allah memberi jalan lain
ReplyDeleteas the title I wrote, if the heaven is a Rome, there is many ways to go ^^
Delete