7/3/14

Asing yang Tak Lagi Asing



Saya pernah terkaget sendiri melihat sosok laki-laki asing di dalam rumah sedangkan saya belum berhijab sempurna. Tapi beberapa detik kemudian langsung tersadar. Oh suami. Kirain siapa hehe.

Saya tidak pernah membayangkan akan tinggal dengan lelaki asing secepat ini. Lelaki yang beberapa bulan lalu tidak ada kabar. Tidak jelas bagaimana bentuknya. Tiba-tiba menghubungi kembali dan mengajak menaiki kendaraan mengarungi samudera kehidupan yang ombaknya tidak bisa kami prediksi; bahtera pernikahan.

Pernikahan awalnya adalah sesuatu yang tabu dalam kamus saya. Bahkan hampir tidak ada. Apalagi setelah makin banyaknya kawan yang menikah. Jujur saja. Saat itu saya merasa pernikahan menjadi sesuatu yang mudah diobral. Dan saya jadi malas mempersiapkan apapun yang berhubungan dengan pernikahan.

Lalu tiba-tiba ada yang mengajak menikah, jadi ketar-ketir sendiri. Hehehe. Tapi, tahukah kamu, karena kamu yang mengajak menikah, saya jadi tidak terlalu was-was menghadapinya. Bukannya menggampangkan. Tapi karena percaya. Sejak awal, aku percaya kamu.

Sempat juga terpikir begini: mereka yang telah menikah itu memang pernah berhubungan sebelumnya, hmm sebut saja pacaran. Nah aku dan dia? Kamu yakin akan menghabiskan masa tuamu dengan dia yang pengetahuanmu tentangnya mendekati nol? Aah, saya mudah sekali percaya dengan manusia. Kita serahkan saja kepada Tuhan. Jika memang lelaki itu yang tertulis dalam Lauh Mahfuz sebagai jodoh saya, pasti Allah permudah jalannya. Dan lihat sekarang, aku menyeduh teh manis hangat untukmu di sarapan pertama kita.

Terhadap hubungan lawan jenis, saya pernah habis-habisan diejek adik yang memang lebih berpengalaman, “Kakak nggak bisa ya jatuh cinta?” Jegeeeerr. Kalimat itu terlontar ketika saya marah kepada sang adik karena ceweknya gonta-ganti. “Kalau kamu menyakiti perasaan perempuan, berarti kamu menyakiti perasaan mama dan kakak.” Saya termasuk orang yang risih dengan pacaran. Cinta yang adalah fitrah suci manusia, begitu mudahnya diumbar padahal haram. Menjijikan.

Makanya saya menutup diri dan membangun pertahanan semampu saya agar tidak bersentuhan dengan lelaki asing. Dan saya menjadi tidak punya pengalaman apapun mengenai cinta mencinta.

Tapi, maukah kamu tahu? Kurasa tidak perlu pengalaman itu untuk memulai berhubungan denganmu. Kita tidak perlu ragu apakah hubungan kita akan baik-baik saja tanpa pernah kita mencobanya terlebih dahulu? Berdua. Kita menciptakan pengalaman itu. Lebih kerennya lagi, langsung dengan label halal. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.

Benar. Kamu yang tadinya asing. Kini tidak lagi asing bagiku.

Dusta jika saya mengatakan kalau saya sudah mengetahui sepenuhnya tentang lelaki itu. Pernikahan kami baru seumur jagung. Orang bijak mengatakan bahwa pernikahan adalah perkenalan yang sebenarnya. Insya Allah masih panjang hari-hari saya lebih mengenal suami saya. Saya ingin mempelajarinya lebih dalam. Saya ingin mengetahui yang ia inginkan tanpa perlu ada kata yang ia ucap. Bisa kah?

Hhmm jangan paksa aku mempelajarimu dengan cepat. Itu perlu waktu. Sama halnya ketika penggenapan perasaan kita masing-masing, perlu waktu.

Kamu mulai tidak asing bagiku.



Aku mulai terbiasa dengan suaramu. Harum permen dan kue yang melekat di pecimu. Bau minyak angin yang tertinggal di kaos bergarismu. Aku mulai tahu ukuran celanamu. Bahagia sekali menggodamu, lelaki banten sok kuat yang takut sama bawang. Aku senang tiap kali kamu meminta dipijit. Benar. Senang rasanya ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu. Lalu kita berbicara hal-hal yang ringan. Lalu terdiam dan mata kita saling bertemu. Awalnya geli dan malu bisa menatapmu selama itu tanpa ada perasaan takut salah di hadapan Allah. Tapi setelah menyadari kalau kita sudah halal, aku menikmatinya. Aku menikmati tatapanmu yang tegas namun membias sejuta kasih yang membuat bibir kehilangan kata. Aku juga mulai terbiasa dengan adanya jarimu di antara jariku. Lalu mengingat Rasulullah berkata kalau dosa-dosa kita jatuh ketika sedang berpegangan tangan, aku makin tidak mau melepas genggamanmu. Kamu, perlahan tidak asing lagi bagiku.

Terkadang, masih suka tertawa sendiri. Dulu-dulu sering takut mengangkat telepon darimu. Sekarang, ditelepon berjam-jam pun rasanya masing kurang. Hehe.

Sungguh. Super sekali hidup ini.

Hei kamu makhluk asing yang tak lagi asing, kamu adalah sebuah cerita yang ingin aku tulis. Siap-siap ya. Aku tidak mau mendustakan nikmat terbesar lain yang Allah berikan padaku: kamu.