8/11/15

Pulang Kampung: Menuju Bogor

Hahaha ini skip banyak peristiwa banget nih, dari tulisan Merantau langsung loncat ke Pulang Kampung. Berasa merantaunya cuman sehari. Hehehe sebenarnya banyak banget kejadian seru selama kami merantau. Apalagi suami tukang jalan-jalan, jadilah sang istri ini suka diajak kemana-mana. Niatnya mau diceritakan disini, tapiiii nanti ya kapan-kapan entah kapan ^^

Setelah merasakan juga yang namanya merantau, saya baru sadar ternyata rumah atau kampung bisa juga dikangenin. Biasanya dulu mau ngobrol sama orangtua atau pun isengin adik bisa asal saya lakukan. Tapi sekarang? Mau dengar suara keluarga saja harus beradu silat dengan sinyal dan pulsa hehehe.

Dan bulan Ramadhan menjadi yang paling ditunggu-tunggu karena ada tradisi mudik alias pulang kampung yang nggak bisa dilewatkan begitu saja oleh para perantau. Alhamdulillah rejeki Allah kami bisa ikutan mudik.

Rencana mudik ini sudah tersusun jauh sebelum saya hamil. Dan timbul perasaan worry karena harus mudik ketika hamil muda. Kata kawan-kawan sih lebih baik jangan. Tapi tiket sudah dibeli, dan kapan lagi kami bisa pulang kampung? Akhirnya ibu hamil dan bapak hamil (hehehe *pegang perut suami*) tetap nekat untuk berangkat mudik.

Empat jam sebelum travel datang, saya drop banget. Setelah seharian membersihkan rumah dan menyiapkan bawaan mudik, badan ini tak kuasa lagi untuk bergerak. Pandangan menguning. Kepala pusing. Suami dan rumah kami seolah berputar-putar. Saya berhenti memotong sayur untuk buka puasa dan suami yang ambil alih memasak (alhamdulillah suami jago juga urusan gituan, biasa masak kalo naik gunung soalnya – eits, ini pelajaran buat calon suami nih, jangan cuman istri yang bisa masak ya). Akhirnya saya diantar suami ke kamar untuk rebahan. Tapi nggak lama, saya muntah berkali-kali. Uuuuggh parah banget deh itu. Nggak pernah selama hamil saya sepayah itu. Sekali muntah, suami bersihkan, eh nggak lama muntah lagi, dibersihkan lagi, muntah lagi, huuuuaaaaa. Mana nanti malam mau perjalanan jauh pula. Bisa nggak ya?

“Kita tunda aja pulangnya. Tunggu kamu mendingan,” kata suami mengelus kepala.
“Tapi tiket pesawatnya?” Saya merasa bersalah.
“Nanti dicari lagi. Yang penting kamu sehat dulu.”
Tetap saja saya tidak mau banyak uang terbuang hanya karena saya muntah. “Say,” suara saya parau. “Travel nggak ada yang lebih malam ya? Biar aku bisa istirahat sebentar dan tetap pergi malam ini.”

Mau mendekati waktu berbuka, suami cari mobil travel lain yang akan membawa kami ke Kota Jambi. Pengen banget peluk suami saat itu. Cekatan dan membantu banget. Tapi katanya semua travel berangkat paling malam jam 8. Terpaksa saya harus menguatkan diri berangkat sesuai jadwal semula. Saya elus perut untuk saling menguatkan dengan janin.

Lima jam perjalanan menuju Jambi terlewati dengan payah. Pusing mual dan muntah di jalan. Ya ampun ibu hamil pulang kampung gini amat dah hahaha, soalnya saya termasuk nggak suka mabok perjalanan. Mana jalanan jelek banget, abang supir bawa mobilnya ngebut, musik di mobil dinyalakan hampir memecah gendang telinga, ingin sekali rasanya nonjokin pak supir. Tapi apa daya. Yang bisa saya lakukan hanya merutuk diri dan membungkus mulut dengan kantong plastik. Huuuueeekk!

Sampai di Kota Jambi hampir jam 2 pagi. Bandara Sultan Thaha masih tutup. “Kita manjat pagar ya, aku selalu begitu kalo pergi,” ajak suami. Whaaat?! Setelah terguncang di travel, ibu hamil ini harus manjat pula kayak pencuri. Duuuh Gusti, baik nian nasib awak nih -_____-  Mau bagaimana lagi? Berhasil manjat, kami tidur dulu di mushola bandara menunggu waktu sahur. Haaai dedek bayi, apakah kamu baik-baik sajaaa? ^^

Jam 5 pagi kami check in. Perjalanan naik pesawat tak kalah payahnya. “Tuh simpan kantung muntahnya,” suruhnya sambil tersenyum mengejek. Aaaakk kalo udah sehat, pengen banget acak-acak rambut suami >.<

go home


Menuju pukul 8 pagi kami tiba di Jakarta. Akhirnyaaaa setelah sekian lama, ketemu juga gedung-gedung pencakar langit. Nungguin damri Soekarno Hatta-Bogor kayak nungguin arak-arak penganten kesultanan, lamaaaa beneeer. Panas pula. Kepala pusing. Perut lapar. Sempurna sudah. Namun kami sampai juga di Bogor. “Akhirnya nggak lihat pohon karet doang,” kata suami sumringah. Kangen dengan rimbun pohon pinggir jalan khas Kota Hujan ini terbayar lunas nas nas!

Tapi pulang tidak dimaknakan sekedar kembali ke rumah dan selonjoran seenak kaki kita. Mudik di Indonesia digambarkan sebagai peristiwa silaturahim berkepanjangan yang insya Allah memperlancar rejeki kita sesuai ucapan Rasul. Selain ke Bogor, janin di dalam perut punya pengalaman mudik pertama yang seru banget. Setelah ini ada edisi perjalanan ke Jawa Timur, sekitar Surabaya, Kediri dan Kertosono. Ditunggu ya kisah janin muda itu berkelana. Hehehe. Emaknya mau nyuci baju dulu *IRT kembali ke fitrah* ^^