9/29/13

Waltz for Debby

Tonny Bennett's Pure Smile
In her own sweet world
Populated by dolls and clowns
and a prince and a big purple bear.

Lives my favorite girl,
unaware of the worried frowns
that we weary grown ups all wear.

In the sun she dances to silent music,
songs that are spun of gold
somewhere in her own little head.

One day all too soon
she'll grow up and she'll leave her dolls
and her prince and her silly old bear.

When she goes they will cry
as she whispers "Good-bye."
They will miss her I fear

but then so will I.

 
Familiar dengan lirik tersebut? Itu liriknya Waltz for Debby yang dipopulerkan oleh penyanyi jazz favorit saya Tonny Bennett. Tapi pertama kali dengar lagu ini bukan dari Mr. Bennett, melainkan Mbak Monita Tahalea. Pertama kali dengar langsung jatuh cinta. Jempol lah jempol. 

9/24/13

Pelabuhan Sunda Kalapa: another faces in Jakarta!

Sebutkan tempat wisata yang ada di Jakarta! Ancol. Monas. Masjid Istiqlal. Dufan. Kota Tua. Yeah, nama-nama itu pasti tidak asing lagi di telinga kita. Tapi kalau Pelabuhan Sunda Kalapa? Nah loh. Memang itu tempat wisata, Nis? Iya lah. Tapi karena memang jarang ada wisatawan yang mendatangi tempat ini, tidak banyak yang tahu kalau Pelabuhan Sunda Kelapa juga mubah disebut tempat wisata. Nah, karena jarang orang itu lah, ketika saya menapaki kaki di tempat melabuhnya kapal-kapal dagang antar pulau itu saya seperti punya pelabuhan sendiri.

Hm … tapi mungkin aneh juga sih kalau disebut tempat wisata. Kenapa? Pertama, tidak ada tempat parkir khusus bagi kendaraan pribadi. Jadi parkir di mana saja boleh. Namun jangan khawatir, tetap ada penjaga kendaraan yang akan memastikan keamanan kendaraan kita. Selain itu tidak ada retribusi atau biaya karcis masuk ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Begitu saya sampai disana, mau lari-lari atau joget sekali pun nggak akan diminta uang tiket. Mungkin karena inilah orang merasa tidak ada yang spesial dengan pelabuhan ini. Ya layaknya terminal bus, cuman jadi tempat pemberhentian transportasi umum. Padahal kalau mau melangkah sebentar dan berbincang dengan warga sekitar, kontan saya bisa menyimpulkan kalau Pelabuhan Sunda Kalapa bisa menjadi alternatif destinasi wisata di Jakarta. Tempat ini keren bangeeeeettt ^^

Lanskap Pelabuhan Sunda Kalapa

Namanya juga pelabuhan, bising mesin kapal acap kali memanjakan gendang telinga kita. Oh iya, panasnnya udara pinggir laut memaksa Anda harus membawa payung. Lumayan boo panasnya. Tapi karena kemarin-kemarin saya dadakan mau ke sini dan sama sekali tidak ada pengetahuan tentang tempat ini, jadi ya persiapan seadanya: kamera dan uang. Eeeerrr.

Banyak objek menarik yang membuat rana kamera saja tidak berhenti menangkap cahaya. Kita boleh membawa sepeda atau sekedar jalan kaki menyusuri tiap bata pinggir pelabuhan. Kapal-kapal besar menepi. Pekerja sibuk membersihkan kapal, mendempul bagian kapal yang rusak, atau mengecat kembali badan kapal agar terkesan gagah menantang ombak samudera. Layar-layar digulung. Tiang penyangga diteliti kekuatannya. Jemuran-jemuran menggantung di jendela ruang khusus nahkoda. Sekelompok pelayar berbincang ringan ditemani kopi di sudut warkop yang berjejer. Seseorang asyik membaca koran, mengejar berita aktual di darat sementara ia sibuk menerka arah angin di lautan lepas.

'Parkiran' Kapal

Tenggelam dalam Berita Darat

“Mau keliling, Mbak?”

Seorang lelaki tambun dengan rokok yang ia semat di antara bibirnya menyapa. Saya mengangguk saja. Tak lama kemudian, saya mengekornya menjejak tangga yang bertengger di pinggir pelabuhan, menaiki sebuah perahu sampan, menjelajah sisi lain Pelabuhan Sunda Kapala. Yeeeeaaahh, kalau kalian berkunjung kesini, jangan lupa rasakan sensasi mengelilingi pelabuhan dari jalur laut. Sepertinya memang ada perahu kecil khusus wisatawan. Harga sewa perahu yang bisa dinaiki 3-5 orang ini hanya Rp 30.000 saja. Kalau patungan, murah bangeeeet.

Lelaki 50 tahunan itu menyalakan generator. Dengan sedikit goyangan, dan ini berhasil membuat saya ketakutan, perahu berlayar perlahan. Pemandangan pelabuhan dari laut menarik perhatian. Deretan kampung yang menyatu dengan laut dan hanya dibatasi oleh beton rendah. Perahu-perahu kecil bersandar. Tiang-tiang kapal menjulang. Truk-truk besar membongkar muatan.

Tiang Penyangga

Senyum Penjaga Kapal

Dari jendela-jendela tanpa tirai, saya dengan leluasa bisa melihat keadaan rumah-rumah di perkampungan pinggir pelabuhan. Anak-anak bermain lompat karet. Ada yang belajar. Menyetrika.  Ibu-ibu membawa cucian. Seorang nenek menggendong cucu. Ada yang melambaikan tangan kepada saya. Saya balas melambai. Senyum dan sapa mereka meneduhkan meskipun panas terik di atas kepala semakin menyengat.

Kampung Pasar Ikan

Angkutan Laut

Sambil sesekali mendayung, lelaki ubanan di hadapan saya bercerita panjang. Keputusan mengelilingi pelabuhan dengan kapal ternyata mengantarkan saya kepada suatu perjalanan akbar. “Perjalanan sejarah”, katanya. Perjalanan yang mengisahkan sejarah panjang Pelabuhan Sunda Kalapa dari zaman Kerajaan Pajajaran hingga zamannya Pak Beye. Deru mesin perahu yang kencang memaksa saya berusaha keras menangkap penjelasan Bapak Pendayung yang timbul-tenggelam.

“Dulu namanya Kalapa, Mbak, nggak ada Sunda-nya. Tapi ya karena pelabuhan ini milik Kerajaan Pajajaran alias Kerajaan Sunda, jadi dikenalnya Sunda Kalapa.”
“Wah, saya tahu tuh Kerajaan Pajajaran ibu kotanya Pakuan lho, Pak, sekarang namanya Bogor, tempat saya tinggal.” Ada gunanya juga nih saya belajar Basa Sunda belasan tahun ^^. Tapi yang saya hapal itu doang -_____-
“Oh, Mbak dari Bogor?”
“Iya Pak. Terus terus?”

Bapak Pendayung mengisap rokoknya dalam-dalam. Seolah mencari sejarah yang terlupa di antara serat tembakau dalam gulungannya. Asap rokoknya yang mengulum ke udara tidak begitu saja menghilang. Saya benci orang merokok, tapi saya tidak mungkin melarang bapak melakukan hal itu. Biarlah, sebagai bayaran lebih yang harus saya keluarkan demi mengetahui sejarah pelabuhan ini.

Bapak Pendayung

Pelabuhan Sunda Kalapa atau juga dikenal sebagai Pasar Ikan terletak di bilangan Penjaringan, Jakarta Utara. Dulunya pelabuhan ini merupakan pelabuhan penting Kerajaan Pajajaran sejak abad ke-12. Di antara berbagai pelabuhan Kerajaan Sunda lainnya, pelabuhan ini relatif lebih dekat dari pusat kerajaan dan termasuk pelabuhan lada yang sibuk, makanya disebut pelabuhan penting. Tepat di muara Sungai Ciliwung, pelabuhan ini berada.

Konon menurut Bapak Pendayung, perkampungan di pinggir pelabuhan yang saya lewati tadi merupakan cikal bakal berdirinya Jakarta. Kala itu, Kerajaan Pajajaran begitu gigih mempertahakan pelabuhan ini dari serangan musuh, khususnya dari Kerajaan Demak dan Kerajaan Cirebon. Untuk itu kerajaan Hindu ini meminta bantuan Portugis dengan memberikan loji (lokasi perkantoran dan perumahan yang dikelilingi oleh benteng pertahanan). Namun dua kerajaan Islam itu, khususnya pasukan yang dipimpin oleh Fatalehan berhasil mengusir Portugis dan menguasai daerah Sunda Kalapa. Maka pada tanggal ditaklukannya daerah tersebut yakni 22 Juni 1527 (disebut juga hari jadi kota Jakarta), bandar Sunda Kalapa diganti namanya dengan Jayakarta. Nah, mulai saat itulah nama Jakarta berasal. Namun sebelumnya berganti nama dulu menjadi Batavia oleh Belanda sebelum akhirnya diganti menjadi Jakarta oleh Jepang.

“Sama seperti pelabuhan lainnya di Indonesia, pelabuhan ini juga menjadi saksi bisu kemerdekaan Indonesia. Bapak memang hanya sebentar hidup di zaman penjajahan. Namun mengetahui sejarah pelabuhan ini dan merasakan lagi perjuangan negeri ini, membuat Bapak mengakui bahwa pelabuhan ini sangatlah besar sejarahnya.”

Saya menegak ludah. Zaman dulu sekali, di tempat saya berlayar terjadi pertempuran hebat demi mempertahankan kekuasaan dari penjajah. Sungguh, sebuah tempat berdarah lain yang pernah saya kunjungi selain situs-situs bersejarah yang pernah saya jelajahi bersama keluarga di Jawa dan Bali. Dan sebagai wisatawan sejarah, saya seperti tidak punya kekuatan apa-apa. Saya hanya mampu melihat-lihat. Merasa prihatin dengan pejuang dulu. Menikmati keindahan alam yang pernah terjajah dan berhasil dimerdekakan. Yeah, saya hanya seorang penikmat. Sedangkan menurut teman intelektual saya, negara ini pun meski sudah merdeka tapi tetap terjajah. Soft war. Atau meminjam kalimat Mama saya, “Kita sedang mengalami perang pemikiran.” Dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Miris kah?

Perahu saya berputar. Kami sudah sampai di ujung trayek. Saatnya kembali menuju tempat perahu ini memulai menderu.

“Sekarang tempat ini menjadi tempat melabuh kapal-kapal pengangkut kayu dari Kalimantan ke Jawa, atau sebaliknya. Walau namanya tidak setenar Pelabuhan Tanjung Priok, pelabuhan ini juga turut andil dalam perekonomian kita. Cuman ya itu, Mbak …”

Lautan Sampah

Bapak Pendayung menggantungkan kalimatnya. Oh, ternyata beliau sedang membetulkan mesin bagian bawah yang tersangkut oleh botol plastik. Sepertinya saya tahu kalimat penyambungnya.

“Semuanya dari Ciliwung, ya Pak? Nggak ngerti juga saya bagaimana bagusinnya. Kalau Fatalehan masih hidup, mungkin kita bakal dimarahin. Pelabuhan sebegini pentingnya kok jorok.”

“Yah mau bagaimana lagi?” Sebagai generasi tua, saya memaklumi beliau yang sudah menyerah dengan kebersihan Sungai Ciliwung dari tumpukan sampah yang beribu ton beratnya. Harusnya sebagai anak muda, saya bisa bergerak untuk … yah … setidaknya nggak bikin Fatalehan marah lah. Tapi gimana ya?

Kapal Khusus Pembersih Sampah Laut

Gampang menjawabnya. Butuh campur tangan pemerintah, pihak swasta, organisasi perduli lingkungan, dan masyarakat yang serius mengurus kesehatan sungai. Klise. Sampai saat ini pun telah banyak agenda dan berbagai rencana kegiatan membersihkan Sungai Ciliwung dari hulu ke hilirnya. Kita patut mengapresiasi. Apalagi kalau bisa berkontribusi, pasti keren banget. Yeah, ini semua tanggung jawab kita. Pasalnya warga penghuni kampung pinggir Pelabuhan Sunda Kalapa memanfaatkan sebagian besar air laut yang tercemar sampah untuk kebutuhan hidup mereka. Yuk jaga kebersihan laut kita ^^

9/12/13

Riwayat Hidup

Mahasiswa uzur seperti saya pasti tidak jauh-jauh dari menulis skripsi. Saya tidak ingin curhat tentang bagaimana saya banting tulang putar otak demi menulis satu paragraf tulisan ilmiah. Yaeyalah, elo kan nggak banting tulang putar otak, Nis. Saya cuman teringat saja kepada satu lembar yang pasti selalu ada di skripsi atau tesis atau disertasi. Satu lembar yang seringnya sih saya temukan tersimpan di halaman paling belakang. Lembar yang memperkenalkan pembaca kepada penulis hebat yang bisa menambah pengetahuan baru bagi dunia sains. Lembar yang membuat saya berdecak kagum, "Wiiiih, dia pernah ke luar negeri. Waaaah, pernah juara nasional." dan wah wih lainnya. Lembar bernama Riwayat Hidup.

Jujur, selama mengutip dari skripsi ataupun tesis orang kampus, hal yang menyenangkan dari membaca skripsi tidak hanya ketika, "Yes, gue dapat literaturnya!" tetapi juga mengetahui sepecah kaca hidup peneliti yang keren-keren. Lalu ketika hari ini bosan merevisi kalimat yang itu-itu lagi, saya mencoba menulis Riwayat Hidup saya. Bingung harus memulai dari mana. Mencontek sedikit skripsi orang, mulai tertulislah riwayat hidup saya dari tempat dan tanggal lahir.

Yang banyak tertulis di lembar riwayat hidup adalah bagaimana kita mengisi rata-rata 4 tahun atau 1460 hari atau 35.040 jam atau 2.102.400 menit atau 12.6144.000 detik dengan berbagai kegiatan organisasi kampus dan prestasi-prestasi yang telah dicapai. Karena menyontek yang begitulah, saya ikutan menulis segala kegiatan di dalam dan di luar kampus yang saya lakukan semasa kuliah, plus gelar juara yang pernah teraih.

Yeah, yang saya lakukan. Yang mereka lakukan. Tapi tidak semua yang saya lakukan saya tulis. Saya tidak menulis beli pepaya di gerobak buah dekat pagar Berlin tiap pagi atau menitip makan siang yang belum habis di warteg karena tiba-tiba dosen minta ketemu. Yang tertulis adalah hal-hal yang saya dan mereka anggap penting. Keren. Bermanfaat. Bernilai suci. Dan perlu saya tambahkan: kegiatan yang menurut saya menambah nilai pujian dari orang yang membaca karya ilmiah kita.

Hampir bahkan tidak ada yang menulis hal-hal yang jelek. Mungkin memang bukan tempatnya. Tapi apakah salah? Hehehe, tidak tahu sih. Saya belum pernah baca peraturan yang mengharuskan kita menulis Riwayat Hidup dengan hal-hal yang baik. Tapi kebanyakan memang yang ditulis itu ya begitu. Saya pernah jadi lalala di organisasi yeyeye.

Terus yang tidak pernah ikut organisasi mau menulis apa? Saya tidak pernah jadi lalala di organisasi mana pun. Titik. Riwayat hidup selesai.

Sebagai mahasiswa yang tidak suka terikat dengan peraturan kelompok, saya hanya aktif jadi kepanitiaan acara saja, itu juga pasti tingkat awal doang. Tidak benar-benar masuk dan tenggelam lama di bawah kepemimpinan satu orang khusus. Malas saja saya masuk ke dalam dunia orang-orang yang punya mimpi tinggi dengan segala visi dan misi yang kalimatnya di AD/ART sulit saya pahami.

Tidak apa-apa ada yang menganggap saya egois. Lalu hal ini lah yang pernah saya tanyakan kepada seorang teman, "Yaaaah, gue nulis apa dong di Riwayat Hidup gue?" Jadilah saya menulis yang biasa-biasa saja. Nggak ada keren-kerennya.

Berjalan Bersebrangan

Menulis riwayat hidup itu menampilkan memori tua tentang hidup yang sudah terlanjur, menelisik apa saja yang sudah dilakukan di masa dulu. Empat tahun ditulis singkat dalam selembar kertas, atau mungkin hanya dua paragraf.

Sepertinya perlu juga kita menulis riwayat hidup setiap harinya. Menulis apa saja yang kita lakukan seharian penuh. Baik buruknya. Manfaat mudharatnya. Memang tidak akan selengkap yang ditulis malaikat. Daya ingat manusia lemah. Apalagi manusia punya sifat menyembunyikan yang buruk-buruk, tidak hanya kepada orang lain, tapi juga kepada diri sendiri. Kita bisa saja mengelak hal A itu masih bisa dibilang boleh walau menurut syari'atnya tidak boleh dilakukan.

Terlepas dari sikap kita yang akan menafikkan perilaku pribadi, menulis riwayat hidup setiap hari bukan hal yang buruk. Bahkan bisa jadi bahan evaluasi diri, hari ini kok saya sedekahnya kurang dari biasanya, hari ini kok malas rapiin buku, besok-besok nggak gini lagi deh. Hehehe, asal besoknya nggak besok besok besok besoknya lagi  -_____-

The Lowest Altitude



See the Unseen

Ini kali kesekian Bara menjemput matahari terbit di puncak Mahameru. Kalau pelan-pelan ia mau mengingat, mungkin yang keenam, dan adalah yang ketiga ia mendaki sendirian. Namun saat ini, ia tidak mau menghitung-hitung. Pikirannya terlalu sibuk. Bahkan untuk membalas sapa wedus gembel saja, tidak ia sediakan waktu. Ada yang mengusiknya fajar itu. Bukan. Bukan bising takbir dari sekelompok pendaki yang baru saja menginjakkan kaki di ketinggian 3676 mdpl. Ini adalah bising yang lain. Bising yang tidak bersumber dari siapapun di lanskap dewa-dewa itu. Bising dari seseorang yang ketika turun nanti, mungkin tidak akan bisa Bara lacak jejaknya. Sebuah bising di antara kabut yang menggantung rendah dan menahan diri menyatu dengan riak Ranu Kumbolo.

***

“Akhirnya aku tahu siapa kamu. Ya Allah, bagaimana bisa aku tidak mengenalmu?”

Sebatang rokok baru saja tersentuh api. Bara mengapitnya di antara bibir keringnya. Mendengar sapaan yang tidak biasa itu, cepat-cepat Bara menjauhkannya dari jangkauan tamu tak diundang itu. Si pemilik sapa tersenyum kecil sebelum akhirnya duduk sedikit jauh dari Bara.

“Muhammad Bara Ash Shiddiq. Ya kan?”
“Iya. Hm … Sha … sha …” Mengingat nama bukan hal mudah bagi Bara.
“Shakila Rizki Prameswari. Panggil Kila saja.”
“Iya, gue Bara, Kila. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sebenarnya tidak. Tapi sebagai orang yang mengikuti setiap catatan perjalananmu, aku merasa bodoh karena tidak langsung mengenalmu.”

Bara memilih mematikan bara api di ujung rokoknya.

“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke Semeru? Bukankah tengah tahun kemarin baru saja mampir?”

Bara mengangkat tengkuknya. Mata elangnya tajam memandang sebuah wajah yang buru-buru terpalingkan ke dua bukit yang memeluk Ranu Kumbolo. Mengajak bicara tapi tidak mau bertatap muka. Perempuan aneh, pikir Bara.

“Gue lupa sudah berapa kali ke Semeru.”
“Aku kan sudah bilang, aku selalu mengikuti catatan perjalananmu. Di majalah travelling mana pun tidak mungkin tidak ada inisial BR milikmu. Ya kan?”

Bara mengingat sudah kemana saja tulisannya ia kirimkan. Entah kenapa tidak ada satu majalah pun yang pernah menolaknya. Hal ini pernah mengusik Bara. Apa tulisan sejenis catatan perjalanan atau ya kalau mau disebut petualangan sedang mainstream saat ini? Majalah mana pun jarang menolak tulisan lepas semacam itu, apalagi tulisan Bara. Tentu dengan sentuhan fotografi lanskap yang mainstream pula. Yeah di majalah mana pun. Bara bukan penulis tetap di majalah tertentu. Pemimpin redaksi menyebutnya penulis lepas. Bara menyebutnya orang yang siap dibayar berapa pun di majalah mana pun yang penting tulisannya terbit. Seseorang yang mengaku teman penulisnya pernah bertanya, “Kenapa tidak stay di majalah tertentu? Pasti dibayar lebih mahal. Trip kemana pun kau suka juga pasti dikasih ongkos.” Dengan santai Bara menjawab, “Itu nggak bikin gue bebas.”

“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke Semeru, Bara? Kenapa melamun begitu?” Kila menaikkan nadanya, namun tetap mengontrol gelombang suara yang tidak melewati batas.

“Gue lagi nggak bertugas.”
“Lantas?”
“Ha? Lantas?”
“Iya. Lantas ngapain kamu ke Semeru?”
“Lah, elo sendiri ngapain ke sini?”
“Aku kan memang ada tugas disini. Kurasa tadi siang kamu menyimak, kami sedang mendata satwa khususnya serangga indikator kesehatan lingkungan di Ranu Kumbolo.”
“Oh iya gue lupa.”
“Kamu?”

Mega merah mulai merendah. Langit hitam di batasnya terlalu berat menindih. Kabut yang menggelayut menandakan bahwa malam ini akan benar-benar dingin. Bara menurunkan penutup tangan jaketnya yang ia lipat. Sementara perempuan di sebelahnya tampak tidak bergeming. Antara menunggu jawaban Bara atau sengaja membiarkan dingin menelusuri tubuhnya yang memang sudah tertutup sejak pertama mereka bertemu di surganya pendaki Semeru itu.

“Kalau kamu hm… jalan-jalan karena mau bikin tulisan lagi, ya aku paham. Maksudku, aneh saja kalau ada orang yang berpergian tapi tidak tahu mau ngapain.”

Haruskah melakukan perjalanan ada alasannya?

“Atau seperti tulisanmu tempo dulu: lalu kenapa kalau saya bisa mencapai suatu tempat tertentu yang bahkan presiden negara ini saja tidak tahu kalau daerah itu ada? Lalu kenapa kalau saya punya foto-foto keren, objek yang tidak mainstream, mengabadikan wajah-wajah pedalaman, gigi memerah mengunyah sirih, telinga-telinga panjang suku Dayak? Prestis? Orang akan menganggap saya pejalan sejati?”

Perempuan ini, bagaimana mungkin ia menghapal paragraf terakhir itu?

“Apakah pendakian kali ini ada hubungannya dengan tulisan yang membuat heboh industri pariwisata itu? Sebagai orang yang, entah harus berapa kali aku mengatakan ini, mengikuti perjalananmu tanpa kita harus berjalan bersisian, sungguh kamu membuatku kaget. Seperti … ya … seorang pejalan yang menemukan jalan buntu. Atas semua perjalanan dan petualangan yang pernah kamu lalui, kamu merasa sia-sia saja?” Kila bangkit dari duduknya. Alarm adzan magrib dari ponsel pendaki lain menyadarkan kalau ia harus segera bersuci. “Apa tebakanku salah?”

“Mau kemana?”

“Kemana?” Kila bingung. “Sholat lah. Yuk, aku duluan. Kalau mau gabung, jemaahan saja sama kami. Pak Bony giliran yang kasih wejangan sore ini. Kujamin seru.”

Balutan baju panjang tidak menyusahkan Kila beranjak dari tepi Ranu Kumbolo menuju komplek tenda rombongannya. Bara memilih menekuni rokoknya yang tidak sempat terhisap. Merah yang semakin menghilang di cakrawala danau tidak membuat Bara kembali ke tenda solonya atau memenuhi undangan sholat berjamaah Kila.

Sholat berjamaah? Sebagai pembaca setia tulisan gue, elo nggak tahu satu hal, Kila. Gue nggak ngerti apa itu sholat. Oh yeah, gimana mungkin elo tahu hal ini kalau gue nggak pernah menuliskannya? Mengajak gue sholat? Elo sedang bergurau, hah?!

Tepat pukul tujuh malam carrier tinggi Bara sudah terisi penuh. Mulai saat itu ia putuskan tidak akan istirahat hingga mencapai puncak Mahameru. Ia sudah mempertimbangkan dengan matang. Berkali-kali mendaki Semeru, bukan hal sulit baginya menentukan kapan harus berhenti dan memulai berjalan untuk menggapai momen istimewa di puncak. Sebelum menapakkan langkah tegasnya di Bukit Cinta, nalurinya mengajak untuk pamitan dengan rombongan Kila.

“Kalo elo nyariin Kila, dia baru aja berangkat pasang perangkap di sana,” ujar Mas Rudi, ketua kelompok peneliti organisasi konservasi dimana Kila menjadi anggotanya.

“Gue nggak nyariin dia. Gue pamit sama kalian aja. Terima kasih sudah ngajak makan siang tadi.”

“Ya sama-sama. Oh iya, sebenarnya Kila titipin ini buat elo, tapi gue lagi sibuk masak, belum sempat kasih ke elo. Nih. Kalau pendakian ini mau elo terbitin juga, jangan lupa tulis nama-nama kita ya, terutama organisasi ini, biar orang lain tahu kalau alam juga perlu dijaga, bukan dinikmatin doang, oke? Cari di internet aja kalau butuh informasi tentang kita. Hati-hati di jalan, bro.”

***

Sebuah bising dari perempuan aneh yang hapal sekali paragraf terakhir di tulisan yang sempat ia urungkan untuk diterbitkan. Sebuah bising yang membuat keindahan samudera awan di bawah kakinya tidak cukup bernilai. Sebuah bising yang mengingatkannya pada secarik kertas dari Mas Rudi. Kertas yang hanya ia simpan di saku jaketnya sejak detik pertama mendaki dan tak pernah berhenti lebih dari lima menit. Kertas titipan Kila.

Cahaya matahari yang mulai meninggi membuat Bara mematikan head lamp-nya. Terbaca sebuah tulisan tangan di kertas itu. Sebuah paragraf yang tidak Bara mengerti maksudnya. Runutan kalimat yang menjadikan ia menjadi manusia terendah di pasir tertinggi di Pulau Jawa.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. “Apabila shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (TQS Al Jumu’ah ayat 10). Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

9/2/13

Dunia Besar Sari Kecil



Di meja panjang seberang meja saya, ia terlihat sedang menekuni sesuatu. Mengerjakan apa, saya tidak tahu. Ia hanya berteman sebuah pulpen dan secarik kertas. Menuliskah? Wah, gadis kecil seperti dia sedang menulis apa? Seperti menanggapi tanda tanya saya, sesekali ia menoleh ke belakang, mengamati saya dengan mata kecilnya yang menyipit.

Gadis di Seberang Meja

Saya melambaikan tangan seolah bertemu teman lama. Hahaha teman lama? Tahu namanya saja tidak. Itu kali pertama saya melihatnya. Teman baru? Yeah, detik berikutnya saya berharap kami menjadi sepasang teman baru di dunia.

“Hai, kamu. Sini sama aku,” ajak saya setengah berbisik. Di perpustakaan kampus, adalah haram kau membuat berisik.

Gadis di seberang saya terdiam. Mungkin menganggap saya aneh. Malu-malu, ia kembali menekuni kedua teman matinya: pulpen dan kertas. Usaha saya tidak terhenti di situ. Menulis skripsi kadang membuat bosan. Sama seperti saat itu. Saya butuh hiburan. Playlist di laptop juga sudah malas diputar. Dan menurut saya, gadis di seberang meja bisa menjadi hiburan baru. Atau setidaknya penghilang penat.

Ia menoleh lagi. Dengan senyum sok dimanis-maniskan, saya merayu, “Sini sama kakak aja.”

Ia berdiri. Yes. Usaha saya berhasil. Sambil membawa kertas dan pulpen, ia menarik kakinya yang beralas sandal merah dan duduk berhadapan dengan saya.

“Kamu sedang apa?”
“Menggambar Afgan.”
“Siapa Afgan?”
“Adik Sari.”
“Oh kakak kira penyanyi yang ganteng itu, hehe. Eh nama kamu Sari?”
“Iya, teh.”
“Sari sama siapa ke LSI?”
“Sama Bapak. Tuh.”
Ujung pulpennya mengarah pada suatu sudut perpustakaan di lantai 3: mesin foto kopi.
“Bapak Sari kerja di foto kopian. Sari nemenin Bapak kerja.”
“Memang nggak sekolah?”
“Kan sekarang libur, teteh.”
Saya tertawa bodoh. Yeah, tidak ada hari libur bagi mahasiswa tingkat akhir. Nasib -___-

Sambil menyelesaikan gambarnya, Sari bercerita panjang kepada saya. Cerita tentang dunianya yang besar. Dunia besar dalam imajinasi anak 8 tahun. Sari dilahirkan dari rahim seorang penjual sayur di Bara. Sebenarnya Sari adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Namun, kakaknya meninggal ketika ia belum lahir. Jadilah ia menjadi anak sulung di keluarga kecilnya. Siang itu, ternyata Sari sedang menggambar keluarganya dengan rumah sederhana mereka.

Menggambar Rumah

“Rumah teteh ada pohon pepayanya tiga. Di rumah Sari ada nggak?”
Rambut merahnya bergoyang ketika Sari menggeleng. “Di rumah Sari adanya pohon mangga. Manis-manis lho, teh.”
“Iya kah? Waaah, teteh minta lah.”
“Belum musimnya teh.”
Nah loh, Nis. Anak kecil aja tahu kalo sekarang bukan musim mangga. Masa elo jebolan pertanian kagak tahu sih? Payah ah -___-
“Tapi di rumah Abah ada pohon pepaya. Bahkan ada kebun kangkung. Mama kan jualan kangkungnya Abah.”
“Lho, memang Sari nggak tinggal di rumah Bapak?”
“Iiiih teteh, nih Sari kasih tahu ya. Bapak dan Abah itu beda. Bapak itu ya Ayah Sari yang kerja di foto kopian itu. Kalo Abah Sari kayak kakek angkat gitu. Abah yang bantu keluarga Sari supaya bisa jualin sayur kebunnya Abah.”
Mulut saya membulat. Oooooh.

“Eh ngomong-ngomong, puasa Sari udah bolong belum?”
Sari terdiam sebentar. Seperti mencari kalimat yang pas.
“Teh, Sari kan beda sama teteh.”
“Ha? Apanya?”
Ia menunjuk kerudung saya. “Sari nggak pake itu.”
“Ha?” Saya masih belum mudeng. Apa sih ini? -___-
Ia menyembunyikan mulutnya dengan kedua tangannya. Posisi duduknya ia dekatkan kepada saya. Berbisik ia berkata, “Sari Kristen.”
“Oooooalaaah.”
Sari mengangguk-angguk. Bingung juga sih saya, kenapa ia harus berbisik untuk mengatakan hal itu?

“Eh Sari nggak apa-apa nih main sama kakak? Dimarahin Bapak nggak?” Sekarang saya yang ragu. Takut aja dikirain Bapaknya bakal macam-macam sama anaknya hehe.
“Nggak apa-apa, teh. Sari udah biasa.”
“Biasa?”
“Iya. Sari kan udah biasa nemenin Bapak kerja. Main sama mahasiswa kayak Teteh. Bahkan Sari pernah ikut aja disuruh sholat. Diajarin wudhu. Pakai mukena. Mereka nggak tahu kalo Sari beda sama mereka. Sari cuek aja.”
“Iya kah?”

Andai Sari kecil tahu. Hal yang ia anggap cuek itu, bagi orang dewasa di luar sana, bisa menjadi sumbu api perkelahian. Bahkan ribuan nyawa manusia melayang. Tiba-tiba saya ingat ketiga teman SD saya yang berasal dari Ternate. Ketika usia mereka sama dengan usia Sari, mereka terpaksa merantau ke Bogor, dipesantrenkan di tempat saya sekolah karena orangtuanya meninggal pada perang antara dua agama besar. “Ibu Bapak kami dipotong-potong, dipajang di jalan-jalan. Surau-surau dibakar. Cuman di sini kami punya naungan.” Di akhir ceritanya, Amir (salah satu teman saya yang sekarang kuliah di STPDN) memberitahu ada satu lagu yang sampai sekarang saya ingat satu bait saja. “Kerusuhan yang terjadi di kota Ambon maniseeee.” Sudahlah, sedih saya jadinya. Mari kita kembali ke dunia Sari.

Gambar rumah dan keluarga Sari selesai. Jam di dinding foto kopian masih menunjukkan pukul 2 siang. Ia mencari kesibukan lain, mengamatiku membolak-balikkan majalah travelling.
“Wah, itu pencuri, teh?”
Sari menunjuk gambar lelaki yang pasti dikenal para pecinta mountainering Indonesia. Idhan Lubis. “Dia bukan pencuri, Sari. Dia pendaki gunung.” Saya tertawa. Balutan syal yang menutupi wajahnya memang tampak menyeramkan. Nah, sekarang Sari tahu deh kalau Idhan Lubis itu pendaki gunung, bukan pencuri ^^

Saya menyerahkan majalah itu kepada Sari, membiarkan ia menikmati keindahan Indonesia dalam berlembar-lembar majalah lama. Banyak nama-nama baru yang menghuni dunianya. Palangkaraya. Ancol. Bali. Bulukumba. Padang. Dan pertanyaan yang paling sering ia tanyakan adalah “Itu dimana, teh?” Berbekal ilmu seni dan geografi yang cetek banget, saya menggambarkan peta Indonesia di ruang sisa kertas gambarnya. “Ini Jawa, tempat kita tinggal. Ini Sumatera. Di sana ada Padang, ada Aceh yang dulu kena tsunami. Sebelahnya Kalimantan, ada Palangkaraya. Ini Sulawesi, pulaunya seperti huruf K. di Sulawesi ada Bulukumba. Tempat pembuatan kapal pinisi yang ada di uang itu loh. Lucu kan Indonesia?” Semoga penjelasan kecil saya makin membesarkan dunia kecilnya ^^

Menjelajahi Indonesia

“Sari cari majalah lain, teh.”
Wah kayaknya Sari penasaran melihat Indonesia yang lain. Mata saya mengikuti langkahnya mendatangi satu per satu rak buku di perpustakaan yang didominasi oleh kumpulan penelitian kakak kelas. Sari kembali dengan wajah murungnya.
“Nggak ada. Adanya majalah orang gede semua.”
Hahaha, yeah selain skripsi, tesis dan disertasi, rak buku perpustakaan laintai 3 disesaki majalah ekonomi dan politik. Saya saja malas bacanya, bagaimana Sari?

“Yaudah, Sari gambar lagi aja. Teteh yang bikinin gambarnya. Sari yang warnai. Mau?”
“Siap! Sari minta kertas lagi sama Bapak.”
Sari berlari membawa kertas gambar baru. Agak lama memang. Ia harus menghadapi Bapaknya yang sepertinya keberatan kalau Sari bermain sama saya. Saya mendengar, “Kamu nanti ganggu kakaknya belajar.” Sari menyanggah, “Enggak. Sari nggak ganggu kok.”
“Nih teteh bawa krayon. Tapi cuman warna merah.”
“Kenapa warna merah aja, teh? Teteh suka warna merah?”
“Ha? Nggak. Teteh suka pake krayonnya buat tandain kalimat penting di buku yang teteh baca. Warna merah biar kelihatan aja mana kalimat yang penting.”
“Nggak apa-apa ya, teh, keluar garis dikit?” tanya Sari malu-malu. Sebaris giginya yang berwarna kuning melengkungkan senyum polos.
“Iya, nggak apa-apa.” Itu kalimat kesekian saya menanggapinya yang sedari tadi merasa bersalah kalau cara mewarnainya salah. Gambar yang saya buat kini berwarna.
“Teteh, sudah jam setengah empat. Sudah waktunya sholat, teh,” kata Sari mengingatkan sambil menggaruk-garukkan pensil saya di antara rambutnya yang kemerahan.
“Iya, teteh tunggu Sari selesai deh. Bentar lagi, kan?”
Sari mengangguk. “Wah, berarti Sari harus cepat-cepat ya, biar teteh nggak ketinggalan sholatnya.”

Teman Baru

Sambil menunggu saya selesai sholat Ashar, Sari saya biarkan menggambar dengan media baru: aplikasi Paint di laptop saya. Sebelum main dengan Paint, takut-takut ia menoleh ke mesin foto kopian. Bapaknya terlihat agak khawatir Sari akan merusak laptop saya. Hehehe, nggak apa-apa, Pak, laptop saya emang sudah rusak, maklum sudah uzur. Tapi rasa penasarannya membuat Sari tidak menanggapi larangan manis Bapaknya. Hasilnya bagus. Baru diajari sebentar, dia sudah mahir memanfaatkan bentuk dan warna yang tersedia. Mau tahu Sari menggambar apa? Sari menggambar polisi!
“Sari gambar polisi. Cita-cita Sari kan jadi polisi, teh.”

Polisi Sari

Siang hingga sore itu, Sari mengisi ruang penat saya dengan caranya yang menyenangkan. Saya berharap, semoga apa yang kami mainkan hari itu menjadi bagian dari masa depan dunianya. Sebelum berpisah, kami foto narsis via webcam. Nggak ada foto yang cantik. Masing-masing kami bingung bagaimana memosisikan dan mengekspresikan muka kami, apalagi saya harus membagi fokus antara memencet tombol foto dan berpose  -____-

Sari dan Saya

Mungkin tidak ada hal penting yang saya ajarkan kepada Sari. Tapi Sari menyadarkan saya satu hal. Anak-anak punya caranya sendiri agar dunianya berkembang. Mungkin ia malu bahkan takut karena Bapaknya berkali-kali melarang Sari bermain dengan saya. Tapi Sari tetap bertahan dengan dunianya. Merasuk ke dunia saya. Semoga dari itu, ia banyak belajar. Dan sebagai orang tua, tak perlu lah terlalu merasa khawatir bahkan banyak melarang anaknya bermain. Memang itulah dunia anak kecil. bagi orang dewasa, bermain adalah hal yang sia-sia. Tapi bagi anak kecil, saat itu ia belajar dengan cara yang ia suka. Belajar banyak hal. Terutama belajar berkomunisi dengan orang lain.

Sore semakin menua. Saya sudah harus pulang. Di akhir pertemuan kami, Sari berpesan, “Teh, kalo kesini lagi, duduk disini lagi ya. Nanti Sari kesini, main sama teteh lagi. Pokoknya harus di meja ini. Nih, Sari tandain pake ini.”

Sari mengambil papan peringatan ‘meja ini bebas dari makanan dan minuman’ dan menaruhnya di meja kami. Hari-hari berikutnya hingga saat ini, saya duduk di tempat yang sama: meja panjang di perpustakaan kampus lantai 3 dekat dengan foto kopian. Tapi tidak pernah lagi saya temui Sari. Yaaah, mungkin Sari sudah sibuk sekolah. Selamat belajar Sari. Jadilah polisi wanita yang berani!