9/2/13

Dunia Besar Sari Kecil



Di meja panjang seberang meja saya, ia terlihat sedang menekuni sesuatu. Mengerjakan apa, saya tidak tahu. Ia hanya berteman sebuah pulpen dan secarik kertas. Menuliskah? Wah, gadis kecil seperti dia sedang menulis apa? Seperti menanggapi tanda tanya saya, sesekali ia menoleh ke belakang, mengamati saya dengan mata kecilnya yang menyipit.

Gadis di Seberang Meja

Saya melambaikan tangan seolah bertemu teman lama. Hahaha teman lama? Tahu namanya saja tidak. Itu kali pertama saya melihatnya. Teman baru? Yeah, detik berikutnya saya berharap kami menjadi sepasang teman baru di dunia.

“Hai, kamu. Sini sama aku,” ajak saya setengah berbisik. Di perpustakaan kampus, adalah haram kau membuat berisik.

Gadis di seberang saya terdiam. Mungkin menganggap saya aneh. Malu-malu, ia kembali menekuni kedua teman matinya: pulpen dan kertas. Usaha saya tidak terhenti di situ. Menulis skripsi kadang membuat bosan. Sama seperti saat itu. Saya butuh hiburan. Playlist di laptop juga sudah malas diputar. Dan menurut saya, gadis di seberang meja bisa menjadi hiburan baru. Atau setidaknya penghilang penat.

Ia menoleh lagi. Dengan senyum sok dimanis-maniskan, saya merayu, “Sini sama kakak aja.”

Ia berdiri. Yes. Usaha saya berhasil. Sambil membawa kertas dan pulpen, ia menarik kakinya yang beralas sandal merah dan duduk berhadapan dengan saya.

“Kamu sedang apa?”
“Menggambar Afgan.”
“Siapa Afgan?”
“Adik Sari.”
“Oh kakak kira penyanyi yang ganteng itu, hehe. Eh nama kamu Sari?”
“Iya, teh.”
“Sari sama siapa ke LSI?”
“Sama Bapak. Tuh.”
Ujung pulpennya mengarah pada suatu sudut perpustakaan di lantai 3: mesin foto kopi.
“Bapak Sari kerja di foto kopian. Sari nemenin Bapak kerja.”
“Memang nggak sekolah?”
“Kan sekarang libur, teteh.”
Saya tertawa bodoh. Yeah, tidak ada hari libur bagi mahasiswa tingkat akhir. Nasib -___-

Sambil menyelesaikan gambarnya, Sari bercerita panjang kepada saya. Cerita tentang dunianya yang besar. Dunia besar dalam imajinasi anak 8 tahun. Sari dilahirkan dari rahim seorang penjual sayur di Bara. Sebenarnya Sari adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Namun, kakaknya meninggal ketika ia belum lahir. Jadilah ia menjadi anak sulung di keluarga kecilnya. Siang itu, ternyata Sari sedang menggambar keluarganya dengan rumah sederhana mereka.

Menggambar Rumah

“Rumah teteh ada pohon pepayanya tiga. Di rumah Sari ada nggak?”
Rambut merahnya bergoyang ketika Sari menggeleng. “Di rumah Sari adanya pohon mangga. Manis-manis lho, teh.”
“Iya kah? Waaah, teteh minta lah.”
“Belum musimnya teh.”
Nah loh, Nis. Anak kecil aja tahu kalo sekarang bukan musim mangga. Masa elo jebolan pertanian kagak tahu sih? Payah ah -___-
“Tapi di rumah Abah ada pohon pepaya. Bahkan ada kebun kangkung. Mama kan jualan kangkungnya Abah.”
“Lho, memang Sari nggak tinggal di rumah Bapak?”
“Iiiih teteh, nih Sari kasih tahu ya. Bapak dan Abah itu beda. Bapak itu ya Ayah Sari yang kerja di foto kopian itu. Kalo Abah Sari kayak kakek angkat gitu. Abah yang bantu keluarga Sari supaya bisa jualin sayur kebunnya Abah.”
Mulut saya membulat. Oooooh.

“Eh ngomong-ngomong, puasa Sari udah bolong belum?”
Sari terdiam sebentar. Seperti mencari kalimat yang pas.
“Teh, Sari kan beda sama teteh.”
“Ha? Apanya?”
Ia menunjuk kerudung saya. “Sari nggak pake itu.”
“Ha?” Saya masih belum mudeng. Apa sih ini? -___-
Ia menyembunyikan mulutnya dengan kedua tangannya. Posisi duduknya ia dekatkan kepada saya. Berbisik ia berkata, “Sari Kristen.”
“Oooooalaaah.”
Sari mengangguk-angguk. Bingung juga sih saya, kenapa ia harus berbisik untuk mengatakan hal itu?

“Eh Sari nggak apa-apa nih main sama kakak? Dimarahin Bapak nggak?” Sekarang saya yang ragu. Takut aja dikirain Bapaknya bakal macam-macam sama anaknya hehe.
“Nggak apa-apa, teh. Sari udah biasa.”
“Biasa?”
“Iya. Sari kan udah biasa nemenin Bapak kerja. Main sama mahasiswa kayak Teteh. Bahkan Sari pernah ikut aja disuruh sholat. Diajarin wudhu. Pakai mukena. Mereka nggak tahu kalo Sari beda sama mereka. Sari cuek aja.”
“Iya kah?”

Andai Sari kecil tahu. Hal yang ia anggap cuek itu, bagi orang dewasa di luar sana, bisa menjadi sumbu api perkelahian. Bahkan ribuan nyawa manusia melayang. Tiba-tiba saya ingat ketiga teman SD saya yang berasal dari Ternate. Ketika usia mereka sama dengan usia Sari, mereka terpaksa merantau ke Bogor, dipesantrenkan di tempat saya sekolah karena orangtuanya meninggal pada perang antara dua agama besar. “Ibu Bapak kami dipotong-potong, dipajang di jalan-jalan. Surau-surau dibakar. Cuman di sini kami punya naungan.” Di akhir ceritanya, Amir (salah satu teman saya yang sekarang kuliah di STPDN) memberitahu ada satu lagu yang sampai sekarang saya ingat satu bait saja. “Kerusuhan yang terjadi di kota Ambon maniseeee.” Sudahlah, sedih saya jadinya. Mari kita kembali ke dunia Sari.

Gambar rumah dan keluarga Sari selesai. Jam di dinding foto kopian masih menunjukkan pukul 2 siang. Ia mencari kesibukan lain, mengamatiku membolak-balikkan majalah travelling.
“Wah, itu pencuri, teh?”
Sari menunjuk gambar lelaki yang pasti dikenal para pecinta mountainering Indonesia. Idhan Lubis. “Dia bukan pencuri, Sari. Dia pendaki gunung.” Saya tertawa. Balutan syal yang menutupi wajahnya memang tampak menyeramkan. Nah, sekarang Sari tahu deh kalau Idhan Lubis itu pendaki gunung, bukan pencuri ^^

Saya menyerahkan majalah itu kepada Sari, membiarkan ia menikmati keindahan Indonesia dalam berlembar-lembar majalah lama. Banyak nama-nama baru yang menghuni dunianya. Palangkaraya. Ancol. Bali. Bulukumba. Padang. Dan pertanyaan yang paling sering ia tanyakan adalah “Itu dimana, teh?” Berbekal ilmu seni dan geografi yang cetek banget, saya menggambarkan peta Indonesia di ruang sisa kertas gambarnya. “Ini Jawa, tempat kita tinggal. Ini Sumatera. Di sana ada Padang, ada Aceh yang dulu kena tsunami. Sebelahnya Kalimantan, ada Palangkaraya. Ini Sulawesi, pulaunya seperti huruf K. di Sulawesi ada Bulukumba. Tempat pembuatan kapal pinisi yang ada di uang itu loh. Lucu kan Indonesia?” Semoga penjelasan kecil saya makin membesarkan dunia kecilnya ^^

Menjelajahi Indonesia

“Sari cari majalah lain, teh.”
Wah kayaknya Sari penasaran melihat Indonesia yang lain. Mata saya mengikuti langkahnya mendatangi satu per satu rak buku di perpustakaan yang didominasi oleh kumpulan penelitian kakak kelas. Sari kembali dengan wajah murungnya.
“Nggak ada. Adanya majalah orang gede semua.”
Hahaha, yeah selain skripsi, tesis dan disertasi, rak buku perpustakaan laintai 3 disesaki majalah ekonomi dan politik. Saya saja malas bacanya, bagaimana Sari?

“Yaudah, Sari gambar lagi aja. Teteh yang bikinin gambarnya. Sari yang warnai. Mau?”
“Siap! Sari minta kertas lagi sama Bapak.”
Sari berlari membawa kertas gambar baru. Agak lama memang. Ia harus menghadapi Bapaknya yang sepertinya keberatan kalau Sari bermain sama saya. Saya mendengar, “Kamu nanti ganggu kakaknya belajar.” Sari menyanggah, “Enggak. Sari nggak ganggu kok.”
“Nih teteh bawa krayon. Tapi cuman warna merah.”
“Kenapa warna merah aja, teh? Teteh suka warna merah?”
“Ha? Nggak. Teteh suka pake krayonnya buat tandain kalimat penting di buku yang teteh baca. Warna merah biar kelihatan aja mana kalimat yang penting.”
“Nggak apa-apa ya, teh, keluar garis dikit?” tanya Sari malu-malu. Sebaris giginya yang berwarna kuning melengkungkan senyum polos.
“Iya, nggak apa-apa.” Itu kalimat kesekian saya menanggapinya yang sedari tadi merasa bersalah kalau cara mewarnainya salah. Gambar yang saya buat kini berwarna.
“Teteh, sudah jam setengah empat. Sudah waktunya sholat, teh,” kata Sari mengingatkan sambil menggaruk-garukkan pensil saya di antara rambutnya yang kemerahan.
“Iya, teteh tunggu Sari selesai deh. Bentar lagi, kan?”
Sari mengangguk. “Wah, berarti Sari harus cepat-cepat ya, biar teteh nggak ketinggalan sholatnya.”

Teman Baru

Sambil menunggu saya selesai sholat Ashar, Sari saya biarkan menggambar dengan media baru: aplikasi Paint di laptop saya. Sebelum main dengan Paint, takut-takut ia menoleh ke mesin foto kopian. Bapaknya terlihat agak khawatir Sari akan merusak laptop saya. Hehehe, nggak apa-apa, Pak, laptop saya emang sudah rusak, maklum sudah uzur. Tapi rasa penasarannya membuat Sari tidak menanggapi larangan manis Bapaknya. Hasilnya bagus. Baru diajari sebentar, dia sudah mahir memanfaatkan bentuk dan warna yang tersedia. Mau tahu Sari menggambar apa? Sari menggambar polisi!
“Sari gambar polisi. Cita-cita Sari kan jadi polisi, teh.”

Polisi Sari

Siang hingga sore itu, Sari mengisi ruang penat saya dengan caranya yang menyenangkan. Saya berharap, semoga apa yang kami mainkan hari itu menjadi bagian dari masa depan dunianya. Sebelum berpisah, kami foto narsis via webcam. Nggak ada foto yang cantik. Masing-masing kami bingung bagaimana memosisikan dan mengekspresikan muka kami, apalagi saya harus membagi fokus antara memencet tombol foto dan berpose  -____-

Sari dan Saya

Mungkin tidak ada hal penting yang saya ajarkan kepada Sari. Tapi Sari menyadarkan saya satu hal. Anak-anak punya caranya sendiri agar dunianya berkembang. Mungkin ia malu bahkan takut karena Bapaknya berkali-kali melarang Sari bermain dengan saya. Tapi Sari tetap bertahan dengan dunianya. Merasuk ke dunia saya. Semoga dari itu, ia banyak belajar. Dan sebagai orang tua, tak perlu lah terlalu merasa khawatir bahkan banyak melarang anaknya bermain. Memang itulah dunia anak kecil. bagi orang dewasa, bermain adalah hal yang sia-sia. Tapi bagi anak kecil, saat itu ia belajar dengan cara yang ia suka. Belajar banyak hal. Terutama belajar berkomunisi dengan orang lain.

Sore semakin menua. Saya sudah harus pulang. Di akhir pertemuan kami, Sari berpesan, “Teh, kalo kesini lagi, duduk disini lagi ya. Nanti Sari kesini, main sama teteh lagi. Pokoknya harus di meja ini. Nih, Sari tandain pake ini.”

Sari mengambil papan peringatan ‘meja ini bebas dari makanan dan minuman’ dan menaruhnya di meja kami. Hari-hari berikutnya hingga saat ini, saya duduk di tempat yang sama: meja panjang di perpustakaan kampus lantai 3 dekat dengan foto kopian. Tapi tidak pernah lagi saya temui Sari. Yaaah, mungkin Sari sudah sibuk sekolah. Selamat belajar Sari. Jadilah polisi wanita yang berani!

4 comments:

  1. bukan nya ngerjain skripsi malah godain anak keci, ckck

    ReplyDelete
    Replies
    1. represing. atau naluri? dipelototin bapaknya mulu pula -_-

      Delete
  2. 'waduhh ada penyihir d LSI ni, jangan2 mau nyulik anak kecil lagi' mungkin itu d pkiran si bapak nya,

    ReplyDelete