Di meja panjang seberang meja saya, ia terlihat sedang menekuni
sesuatu. Mengerjakan apa, saya tidak tahu. Ia hanya berteman sebuah pulpen dan
secarik kertas. Menuliskah? Wah, gadis kecil seperti dia sedang menulis apa?
Seperti menanggapi tanda tanya saya, sesekali ia menoleh ke belakang, mengamati
saya dengan mata kecilnya yang menyipit.
Saya melambaikan tangan seolah bertemu teman lama. Hahaha teman lama?
Tahu namanya saja tidak. Itu kali pertama saya melihatnya. Teman baru? Yeah,
detik berikutnya saya berharap kami menjadi sepasang teman baru di dunia.
“Hai, kamu. Sini sama aku,” ajak saya setengah berbisik. Di
perpustakaan kampus, adalah haram kau membuat berisik.
Gadis di seberang saya terdiam. Mungkin menganggap saya aneh.
Malu-malu, ia kembali menekuni kedua teman matinya: pulpen dan kertas. Usaha
saya tidak terhenti di situ. Menulis skripsi kadang membuat bosan. Sama seperti
saat itu. Saya butuh hiburan. Playlist di laptop juga sudah malas diputar. Dan
menurut saya, gadis di seberang meja bisa menjadi hiburan baru. Atau setidaknya
penghilang penat.
Ia menoleh lagi. Dengan senyum sok dimanis-maniskan, saya merayu,
“Sini sama kakak aja.”
Ia berdiri. Yes. Usaha saya
berhasil. Sambil membawa kertas dan pulpen, ia menarik kakinya yang beralas
sandal merah dan duduk berhadapan dengan saya.
“Kamu sedang apa?”
“Menggambar Afgan.”
“Siapa Afgan?”
“Adik Sari.”
“Oh kakak kira penyanyi yang ganteng itu, hehe. Eh nama kamu Sari?”
“Iya, teh.”
“Sari sama siapa ke LSI?”
“Sama Bapak. Tuh.”
Ujung pulpennya mengarah pada suatu sudut perpustakaan di lantai 3:
mesin foto kopi.
“Bapak Sari kerja di foto kopian. Sari nemenin Bapak kerja.”
“Memang nggak sekolah?”
“Kan sekarang libur, teteh.”
Saya tertawa bodoh. Yeah, tidak ada hari libur bagi mahasiswa tingkat
akhir. Nasib -___-
Sambil menyelesaikan gambarnya, Sari bercerita panjang kepada saya.
Cerita tentang dunianya yang besar. Dunia besar dalam imajinasi anak 8 tahun. Sari
dilahirkan dari rahim seorang penjual sayur di Bara. Sebenarnya Sari adalah
anak kedua dari tiga bersaudara. Namun, kakaknya meninggal ketika ia belum
lahir. Jadilah ia menjadi anak sulung di keluarga kecilnya. Siang itu, ternyata
Sari sedang menggambar keluarganya dengan rumah sederhana mereka.
“Rumah teteh ada pohon pepayanya tiga. Di rumah Sari ada nggak?”
Rambut merahnya bergoyang ketika Sari menggeleng. “Di rumah Sari
adanya pohon mangga. Manis-manis lho, teh.”
“Iya kah? Waaah, teteh minta lah.”
“Belum musimnya teh.”
Nah loh, Nis. Anak kecil aja tahu kalo sekarang bukan musim mangga.
Masa elo jebolan pertanian kagak tahu sih? Payah ah -___-
“Tapi di rumah Abah ada pohon pepaya. Bahkan ada kebun kangkung. Mama
kan jualan kangkungnya Abah.”
“Lho, memang Sari nggak tinggal di rumah Bapak?”
“Iiiih teteh, nih Sari kasih tahu ya. Bapak dan Abah itu beda. Bapak
itu ya Ayah Sari yang kerja di foto kopian itu. Kalo Abah Sari kayak kakek
angkat gitu. Abah yang bantu keluarga Sari supaya bisa jualin sayur kebunnya
Abah.”
Mulut saya membulat. Oooooh.
“Eh ngomong-ngomong, puasa Sari udah bolong belum?”
Sari terdiam sebentar. Seperti mencari kalimat yang pas.
“Teh, Sari kan beda sama teteh.”
“Ha? Apanya?”
Ia menunjuk kerudung saya. “Sari nggak pake itu.”
“Ha?” Saya masih belum mudeng. Apa sih ini? -___-
Ia menyembunyikan mulutnya dengan kedua tangannya. Posisi duduknya ia
dekatkan kepada saya. Berbisik ia berkata, “Sari Kristen.”
“Oooooalaaah.”
Sari mengangguk-angguk. Bingung juga sih saya, kenapa ia harus
berbisik untuk mengatakan hal itu?
“Eh Sari nggak apa-apa nih main sama kakak? Dimarahin Bapak nggak?”
Sekarang saya yang ragu. Takut aja dikirain Bapaknya bakal macam-macam sama
anaknya hehe.
“Nggak apa-apa, teh. Sari udah biasa.”
“Biasa?”
“Iya. Sari kan udah biasa nemenin Bapak kerja. Main sama mahasiswa
kayak Teteh. Bahkan Sari pernah ikut aja disuruh sholat. Diajarin wudhu. Pakai
mukena. Mereka nggak tahu kalo Sari beda sama mereka. Sari cuek aja.”
“Iya kah?”
Andai Sari kecil tahu. Hal yang ia anggap cuek itu, bagi orang dewasa
di luar sana, bisa menjadi sumbu api perkelahian. Bahkan ribuan nyawa manusia
melayang. Tiba-tiba saya ingat ketiga teman SD saya yang berasal dari Ternate. Ketika
usia mereka sama dengan usia Sari, mereka terpaksa merantau ke Bogor,
dipesantrenkan di tempat saya sekolah karena orangtuanya meninggal pada perang
antara dua agama besar. “Ibu Bapak kami dipotong-potong, dipajang di
jalan-jalan. Surau-surau dibakar. Cuman di sini kami punya naungan.” Di akhir
ceritanya, Amir (salah satu teman saya yang sekarang kuliah di STPDN)
memberitahu ada satu lagu yang sampai sekarang saya ingat satu bait saja. “Kerusuhan
yang terjadi di kota Ambon maniseeee.” Sudahlah, sedih saya jadinya. Mari kita
kembali ke dunia Sari.
Gambar rumah dan keluarga Sari selesai. Jam di dinding foto kopian
masih menunjukkan pukul 2 siang. Ia mencari kesibukan lain, mengamatiku membolak-balikkan
majalah travelling.
“Wah, itu pencuri, teh?”
Sari menunjuk gambar lelaki yang pasti dikenal para pecinta
mountainering Indonesia. Idhan Lubis. “Dia bukan pencuri, Sari. Dia pendaki
gunung.” Saya tertawa. Balutan syal yang menutupi wajahnya memang tampak
menyeramkan. Nah, sekarang Sari tahu deh kalau Idhan Lubis itu pendaki gunung,
bukan pencuri ^^
Saya menyerahkan majalah itu kepada Sari, membiarkan ia menikmati
keindahan Indonesia dalam berlembar-lembar majalah lama. Banyak nama-nama baru
yang menghuni dunianya. Palangkaraya. Ancol. Bali. Bulukumba. Padang. Dan
pertanyaan yang paling sering ia tanyakan adalah “Itu dimana, teh?” Berbekal
ilmu seni dan geografi yang cetek banget, saya menggambarkan peta Indonesia di
ruang sisa kertas gambarnya. “Ini Jawa, tempat kita tinggal. Ini Sumatera. Di
sana ada Padang, ada Aceh yang dulu kena tsunami. Sebelahnya Kalimantan, ada
Palangkaraya. Ini Sulawesi, pulaunya seperti huruf K. di Sulawesi ada
Bulukumba. Tempat pembuatan kapal pinisi yang ada di uang itu loh. Lucu kan
Indonesia?” Semoga penjelasan kecil saya makin membesarkan dunia kecilnya ^^
“Sari cari majalah lain, teh.”
Wah kayaknya Sari penasaran melihat Indonesia yang lain. Mata saya
mengikuti langkahnya mendatangi satu per satu rak buku di perpustakaan yang
didominasi oleh kumpulan penelitian kakak kelas. Sari kembali dengan wajah
murungnya.
“Nggak ada. Adanya majalah orang gede semua.”
Hahaha, yeah selain skripsi, tesis dan disertasi, rak buku
perpustakaan laintai 3 disesaki majalah ekonomi dan politik. Saya saja malas
bacanya, bagaimana Sari?
“Yaudah, Sari gambar lagi aja. Teteh yang bikinin gambarnya. Sari yang
warnai. Mau?”
“Siap! Sari minta kertas lagi sama Bapak.”
Sari berlari membawa kertas gambar baru. Agak lama memang. Ia harus
menghadapi Bapaknya yang sepertinya keberatan kalau Sari bermain sama saya.
Saya mendengar, “Kamu nanti ganggu kakaknya belajar.” Sari menyanggah, “Enggak.
Sari nggak ganggu kok.”
“Nih teteh bawa krayon. Tapi cuman warna merah.”
“Kenapa warna merah aja, teh? Teteh suka warna merah?”
“Ha? Nggak. Teteh suka pake krayonnya buat tandain kalimat penting di
buku yang teteh baca. Warna merah biar kelihatan aja mana kalimat yang penting.”
“Nggak apa-apa ya, teh, keluar garis dikit?” tanya Sari malu-malu.
Sebaris giginya yang berwarna kuning melengkungkan senyum polos.
“Iya, nggak apa-apa.” Itu kalimat kesekian saya menanggapinya yang
sedari tadi merasa bersalah kalau cara mewarnainya salah. Gambar yang saya buat
kini berwarna.
“Teteh, sudah jam setengah empat. Sudah waktunya sholat, teh,” kata
Sari mengingatkan sambil menggaruk-garukkan pensil saya di antara rambutnya
yang kemerahan.
“Iya, teteh tunggu Sari selesai deh. Bentar lagi, kan?”
Sari mengangguk. “Wah, berarti Sari harus cepat-cepat ya, biar teteh
nggak ketinggalan sholatnya.”
Sambil menunggu saya selesai sholat Ashar, Sari saya biarkan
menggambar dengan media baru: aplikasi Paint di laptop saya. Sebelum main
dengan Paint, takut-takut ia menoleh ke mesin foto kopian. Bapaknya terlihat
agak khawatir Sari akan merusak laptop saya. Hehehe, nggak apa-apa, Pak, laptop
saya emang sudah rusak, maklum sudah uzur. Tapi rasa penasarannya membuat Sari
tidak menanggapi larangan manis Bapaknya. Hasilnya bagus. Baru diajari sebentar,
dia sudah mahir memanfaatkan bentuk dan warna yang tersedia. Mau tahu Sari
menggambar apa? Sari menggambar polisi!
“Sari gambar polisi. Cita-cita Sari kan jadi polisi, teh.”
Siang hingga sore itu, Sari mengisi ruang penat saya dengan caranya
yang menyenangkan. Saya berharap, semoga apa yang kami mainkan hari itu menjadi
bagian dari masa depan dunianya. Sebelum berpisah, kami foto narsis via webcam.
Nggak ada foto yang cantik. Masing-masing kami bingung bagaimana memosisikan
dan mengekspresikan muka kami, apalagi saya harus membagi fokus antara memencet
tombol foto dan berpose -____-
Mungkin tidak ada hal penting yang saya ajarkan kepada Sari. Tapi Sari
menyadarkan saya satu hal. Anak-anak punya caranya sendiri agar dunianya
berkembang. Mungkin ia malu bahkan takut karena Bapaknya berkali-kali melarang
Sari bermain dengan saya. Tapi Sari tetap bertahan dengan dunianya. Merasuk ke
dunia saya. Semoga dari itu, ia banyak belajar. Dan sebagai orang tua, tak
perlu lah terlalu merasa khawatir bahkan banyak melarang anaknya bermain.
Memang itulah dunia anak kecil. bagi orang dewasa, bermain adalah hal yang
sia-sia. Tapi bagi anak kecil, saat itu ia belajar dengan cara yang ia suka.
Belajar banyak hal. Terutama belajar berkomunisi dengan orang lain.
Sore semakin menua. Saya sudah harus pulang. Di akhir pertemuan kami,
Sari berpesan, “Teh, kalo kesini lagi, duduk disini lagi ya. Nanti Sari kesini,
main sama teteh lagi. Pokoknya harus di meja ini. Nih, Sari tandain pake ini.”
bukan nya ngerjain skripsi malah godain anak keci, ckck
ReplyDeleterepresing. atau naluri? dipelototin bapaknya mulu pula -_-
Delete'waduhh ada penyihir d LSI ni, jangan2 mau nyulik anak kecil lagi' mungkin itu d pkiran si bapak nya,
ReplyDeletesabar nis sabar *elusdada*
Delete