9/12/13

The Lowest Altitude



See the Unseen

Ini kali kesekian Bara menjemput matahari terbit di puncak Mahameru. Kalau pelan-pelan ia mau mengingat, mungkin yang keenam, dan adalah yang ketiga ia mendaki sendirian. Namun saat ini, ia tidak mau menghitung-hitung. Pikirannya terlalu sibuk. Bahkan untuk membalas sapa wedus gembel saja, tidak ia sediakan waktu. Ada yang mengusiknya fajar itu. Bukan. Bukan bising takbir dari sekelompok pendaki yang baru saja menginjakkan kaki di ketinggian 3676 mdpl. Ini adalah bising yang lain. Bising yang tidak bersumber dari siapapun di lanskap dewa-dewa itu. Bising dari seseorang yang ketika turun nanti, mungkin tidak akan bisa Bara lacak jejaknya. Sebuah bising di antara kabut yang menggantung rendah dan menahan diri menyatu dengan riak Ranu Kumbolo.

***

“Akhirnya aku tahu siapa kamu. Ya Allah, bagaimana bisa aku tidak mengenalmu?”

Sebatang rokok baru saja tersentuh api. Bara mengapitnya di antara bibir keringnya. Mendengar sapaan yang tidak biasa itu, cepat-cepat Bara menjauhkannya dari jangkauan tamu tak diundang itu. Si pemilik sapa tersenyum kecil sebelum akhirnya duduk sedikit jauh dari Bara.

“Muhammad Bara Ash Shiddiq. Ya kan?”
“Iya. Hm … Sha … sha …” Mengingat nama bukan hal mudah bagi Bara.
“Shakila Rizki Prameswari. Panggil Kila saja.”
“Iya, gue Bara, Kila. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Sebenarnya tidak. Tapi sebagai orang yang mengikuti setiap catatan perjalananmu, aku merasa bodoh karena tidak langsung mengenalmu.”

Bara memilih mematikan bara api di ujung rokoknya.

“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke Semeru? Bukankah tengah tahun kemarin baru saja mampir?”

Bara mengangkat tengkuknya. Mata elangnya tajam memandang sebuah wajah yang buru-buru terpalingkan ke dua bukit yang memeluk Ranu Kumbolo. Mengajak bicara tapi tidak mau bertatap muka. Perempuan aneh, pikir Bara.

“Gue lupa sudah berapa kali ke Semeru.”
“Aku kan sudah bilang, aku selalu mengikuti catatan perjalananmu. Di majalah travelling mana pun tidak mungkin tidak ada inisial BR milikmu. Ya kan?”

Bara mengingat sudah kemana saja tulisannya ia kirimkan. Entah kenapa tidak ada satu majalah pun yang pernah menolaknya. Hal ini pernah mengusik Bara. Apa tulisan sejenis catatan perjalanan atau ya kalau mau disebut petualangan sedang mainstream saat ini? Majalah mana pun jarang menolak tulisan lepas semacam itu, apalagi tulisan Bara. Tentu dengan sentuhan fotografi lanskap yang mainstream pula. Yeah di majalah mana pun. Bara bukan penulis tetap di majalah tertentu. Pemimpin redaksi menyebutnya penulis lepas. Bara menyebutnya orang yang siap dibayar berapa pun di majalah mana pun yang penting tulisannya terbit. Seseorang yang mengaku teman penulisnya pernah bertanya, “Kenapa tidak stay di majalah tertentu? Pasti dibayar lebih mahal. Trip kemana pun kau suka juga pasti dikasih ongkos.” Dengan santai Bara menjawab, “Itu nggak bikin gue bebas.”

“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke Semeru, Bara? Kenapa melamun begitu?” Kila menaikkan nadanya, namun tetap mengontrol gelombang suara yang tidak melewati batas.

“Gue lagi nggak bertugas.”
“Lantas?”
“Ha? Lantas?”
“Iya. Lantas ngapain kamu ke Semeru?”
“Lah, elo sendiri ngapain ke sini?”
“Aku kan memang ada tugas disini. Kurasa tadi siang kamu menyimak, kami sedang mendata satwa khususnya serangga indikator kesehatan lingkungan di Ranu Kumbolo.”
“Oh iya gue lupa.”
“Kamu?”

Mega merah mulai merendah. Langit hitam di batasnya terlalu berat menindih. Kabut yang menggelayut menandakan bahwa malam ini akan benar-benar dingin. Bara menurunkan penutup tangan jaketnya yang ia lipat. Sementara perempuan di sebelahnya tampak tidak bergeming. Antara menunggu jawaban Bara atau sengaja membiarkan dingin menelusuri tubuhnya yang memang sudah tertutup sejak pertama mereka bertemu di surganya pendaki Semeru itu.

“Kalau kamu hm… jalan-jalan karena mau bikin tulisan lagi, ya aku paham. Maksudku, aneh saja kalau ada orang yang berpergian tapi tidak tahu mau ngapain.”

Haruskah melakukan perjalanan ada alasannya?

“Atau seperti tulisanmu tempo dulu: lalu kenapa kalau saya bisa mencapai suatu tempat tertentu yang bahkan presiden negara ini saja tidak tahu kalau daerah itu ada? Lalu kenapa kalau saya punya foto-foto keren, objek yang tidak mainstream, mengabadikan wajah-wajah pedalaman, gigi memerah mengunyah sirih, telinga-telinga panjang suku Dayak? Prestis? Orang akan menganggap saya pejalan sejati?”

Perempuan ini, bagaimana mungkin ia menghapal paragraf terakhir itu?

“Apakah pendakian kali ini ada hubungannya dengan tulisan yang membuat heboh industri pariwisata itu? Sebagai orang yang, entah harus berapa kali aku mengatakan ini, mengikuti perjalananmu tanpa kita harus berjalan bersisian, sungguh kamu membuatku kaget. Seperti … ya … seorang pejalan yang menemukan jalan buntu. Atas semua perjalanan dan petualangan yang pernah kamu lalui, kamu merasa sia-sia saja?” Kila bangkit dari duduknya. Alarm adzan magrib dari ponsel pendaki lain menyadarkan kalau ia harus segera bersuci. “Apa tebakanku salah?”

“Mau kemana?”

“Kemana?” Kila bingung. “Sholat lah. Yuk, aku duluan. Kalau mau gabung, jemaahan saja sama kami. Pak Bony giliran yang kasih wejangan sore ini. Kujamin seru.”

Balutan baju panjang tidak menyusahkan Kila beranjak dari tepi Ranu Kumbolo menuju komplek tenda rombongannya. Bara memilih menekuni rokoknya yang tidak sempat terhisap. Merah yang semakin menghilang di cakrawala danau tidak membuat Bara kembali ke tenda solonya atau memenuhi undangan sholat berjamaah Kila.

Sholat berjamaah? Sebagai pembaca setia tulisan gue, elo nggak tahu satu hal, Kila. Gue nggak ngerti apa itu sholat. Oh yeah, gimana mungkin elo tahu hal ini kalau gue nggak pernah menuliskannya? Mengajak gue sholat? Elo sedang bergurau, hah?!

Tepat pukul tujuh malam carrier tinggi Bara sudah terisi penuh. Mulai saat itu ia putuskan tidak akan istirahat hingga mencapai puncak Mahameru. Ia sudah mempertimbangkan dengan matang. Berkali-kali mendaki Semeru, bukan hal sulit baginya menentukan kapan harus berhenti dan memulai berjalan untuk menggapai momen istimewa di puncak. Sebelum menapakkan langkah tegasnya di Bukit Cinta, nalurinya mengajak untuk pamitan dengan rombongan Kila.

“Kalo elo nyariin Kila, dia baru aja berangkat pasang perangkap di sana,” ujar Mas Rudi, ketua kelompok peneliti organisasi konservasi dimana Kila menjadi anggotanya.

“Gue nggak nyariin dia. Gue pamit sama kalian aja. Terima kasih sudah ngajak makan siang tadi.”

“Ya sama-sama. Oh iya, sebenarnya Kila titipin ini buat elo, tapi gue lagi sibuk masak, belum sempat kasih ke elo. Nih. Kalau pendakian ini mau elo terbitin juga, jangan lupa tulis nama-nama kita ya, terutama organisasi ini, biar orang lain tahu kalau alam juga perlu dijaga, bukan dinikmatin doang, oke? Cari di internet aja kalau butuh informasi tentang kita. Hati-hati di jalan, bro.”

***

Sebuah bising dari perempuan aneh yang hapal sekali paragraf terakhir di tulisan yang sempat ia urungkan untuk diterbitkan. Sebuah bising yang membuat keindahan samudera awan di bawah kakinya tidak cukup bernilai. Sebuah bising yang mengingatkannya pada secarik kertas dari Mas Rudi. Kertas yang hanya ia simpan di saku jaketnya sejak detik pertama mendaki dan tak pernah berhenti lebih dari lima menit. Kertas titipan Kila.

Cahaya matahari yang mulai meninggi membuat Bara mematikan head lamp-nya. Terbaca sebuah tulisan tangan di kertas itu. Sebuah paragraf yang tidak Bara mengerti maksudnya. Runutan kalimat yang menjadikan ia menjadi manusia terendah di pasir tertinggi di Pulau Jawa.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. “Apabila shalat telah dilaksanakan maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (TQS Al Jumu’ah ayat 10). Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

No comments:

Post a Comment