See the Unseen |
Ini kali kesekian Bara menjemput matahari
terbit di puncak Mahameru. Kalau pelan-pelan ia mau mengingat, mungkin yang
keenam, dan adalah yang ketiga ia mendaki sendirian. Namun saat ini, ia tidak
mau menghitung-hitung. Pikirannya terlalu sibuk. Bahkan untuk membalas sapa
wedus gembel saja, tidak ia sediakan waktu. Ada yang mengusiknya fajar itu.
Bukan. Bukan bising takbir dari sekelompok pendaki yang baru saja menginjakkan
kaki di ketinggian 3676 mdpl. Ini adalah bising yang lain. Bising yang tidak
bersumber dari siapapun di lanskap dewa-dewa itu. Bising dari seseorang yang
ketika turun nanti, mungkin tidak akan bisa Bara lacak jejaknya. Sebuah bising
di antara kabut yang menggantung rendah dan menahan diri menyatu dengan riak
Ranu Kumbolo.
***
“Akhirnya aku tahu siapa kamu. Ya Allah,
bagaimana bisa aku tidak mengenalmu?”
Sebatang rokok baru saja tersentuh api.
Bara mengapitnya di antara bibir keringnya. Mendengar sapaan yang tidak biasa
itu, cepat-cepat Bara menjauhkannya dari jangkauan tamu tak diundang itu. Si
pemilik sapa tersenyum kecil sebelum akhirnya duduk sedikit jauh dari Bara.
“Muhammad Bara Ash Shiddiq. Ya kan?”
“Iya. Hm … Sha … sha …” Mengingat nama
bukan hal mudah bagi Bara.
“Shakila Rizki Prameswari. Panggil Kila
saja.”
“Iya, gue Bara, Kila. Apa kita pernah
bertemu sebelumnya?”
“Sebenarnya tidak. Tapi sebagai orang yang
mengikuti setiap catatan perjalananmu, aku merasa bodoh karena tidak langsung
mengenalmu.”
Bara memilih mematikan bara api di ujung
rokoknya.
“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke
Semeru? Bukankah tengah tahun kemarin baru saja mampir?”
Bara mengangkat tengkuknya. Mata elangnya
tajam memandang sebuah wajah yang buru-buru terpalingkan ke dua bukit yang
memeluk Ranu Kumbolo. Mengajak bicara
tapi tidak mau bertatap muka. Perempuan aneh, pikir Bara.
“Gue lupa sudah berapa kali ke Semeru.”
“Aku kan sudah bilang, aku selalu
mengikuti catatan perjalananmu. Di majalah travelling
mana pun tidak mungkin tidak ada inisial BR milikmu. Ya kan?”
Bara mengingat sudah kemana saja
tulisannya ia kirimkan. Entah kenapa tidak ada satu majalah pun yang pernah
menolaknya. Hal ini pernah mengusik Bara. Apa tulisan sejenis catatan
perjalanan atau ya kalau mau disebut petualangan sedang mainstream saat ini? Majalah mana pun jarang menolak tulisan lepas
semacam itu, apalagi tulisan Bara. Tentu dengan sentuhan fotografi lanskap yang
mainstream pula. Yeah di majalah mana
pun. Bara bukan penulis tetap di majalah tertentu. Pemimpin redaksi menyebutnya
penulis lepas. Bara menyebutnya orang yang siap dibayar berapa pun di majalah
mana pun yang penting tulisannya terbit. Seseorang yang mengaku teman
penulisnya pernah bertanya, “Kenapa tidak stay
di majalah tertentu? Pasti dibayar lebih mahal. Trip kemana pun kau suka juga pasti dikasih ongkos.” Dengan santai
Bara menjawab, “Itu nggak bikin gue bebas.”
“Tugas apa lagi yang mengantarmu ke
Semeru, Bara? Kenapa melamun begitu?” Kila menaikkan nadanya, namun tetap
mengontrol gelombang suara yang tidak melewati batas.
“Gue lagi nggak bertugas.”
“Lantas?”
“Ha? Lantas?”
“Iya. Lantas ngapain kamu ke Semeru?”
“Lah, elo sendiri ngapain ke sini?”
“Aku kan memang ada tugas disini. Kurasa
tadi siang kamu menyimak, kami sedang mendata satwa khususnya serangga
indikator kesehatan lingkungan di Ranu Kumbolo.”
“Oh iya gue lupa.”
“Kamu?”
Mega merah mulai merendah. Langit hitam di
batasnya terlalu berat menindih. Kabut yang menggelayut menandakan bahwa malam
ini akan benar-benar dingin. Bara menurunkan penutup tangan jaketnya yang ia lipat.
Sementara perempuan di sebelahnya tampak tidak bergeming. Antara menunggu
jawaban Bara atau sengaja membiarkan dingin menelusuri tubuhnya yang memang
sudah tertutup sejak pertama mereka bertemu di surganya pendaki Semeru itu.
“Kalau kamu hm… jalan-jalan karena mau
bikin tulisan lagi, ya aku paham. Maksudku, aneh saja kalau ada orang yang
berpergian tapi tidak tahu mau ngapain.”
Haruskah
melakukan perjalanan ada alasannya?
“Atau seperti tulisanmu tempo dulu: lalu
kenapa kalau saya bisa mencapai suatu tempat tertentu yang bahkan presiden negara
ini saja tidak tahu kalau daerah itu ada? Lalu kenapa kalau saya punya
foto-foto keren, objek yang tidak mainstream,
mengabadikan wajah-wajah pedalaman, gigi memerah mengunyah sirih,
telinga-telinga panjang suku Dayak? Prestis? Orang akan menganggap saya pejalan
sejati?”
Perempuan
ini, bagaimana mungkin ia menghapal paragraf terakhir itu?
“Apakah pendakian kali ini ada hubungannya
dengan tulisan yang membuat heboh industri pariwisata itu? Sebagai orang yang,
entah harus berapa kali aku mengatakan ini, mengikuti perjalananmu tanpa kita
harus berjalan bersisian, sungguh kamu membuatku kaget. Seperti … ya … seorang
pejalan yang menemukan jalan buntu. Atas semua perjalanan dan petualangan yang
pernah kamu lalui, kamu merasa sia-sia saja?” Kila bangkit dari duduknya. Alarm
adzan magrib dari ponsel pendaki lain menyadarkan kalau ia harus segera
bersuci. “Apa tebakanku salah?”
“Mau kemana?”
“Kemana?” Kila bingung. “Sholat lah. Yuk,
aku duluan. Kalau mau gabung, jemaahan saja sama kami. Pak Bony giliran yang
kasih wejangan sore ini. Kujamin seru.”
Balutan baju panjang tidak menyusahkan
Kila beranjak dari tepi Ranu Kumbolo menuju komplek tenda rombongannya. Bara
memilih menekuni rokoknya yang tidak sempat terhisap. Merah yang semakin
menghilang di cakrawala danau tidak membuat Bara kembali ke tenda solonya atau
memenuhi undangan sholat berjamaah Kila.
Sholat
berjamaah? Sebagai pembaca setia tulisan gue, elo nggak tahu satu hal, Kila.
Gue nggak ngerti apa itu sholat. Oh yeah, gimana mungkin elo tahu hal ini kalau
gue nggak pernah menuliskannya? Mengajak gue sholat? Elo sedang bergurau, hah?!
Tepat pukul tujuh malam carrier tinggi Bara sudah terisi penuh.
Mulai saat itu ia putuskan tidak akan istirahat hingga mencapai puncak
Mahameru. Ia sudah mempertimbangkan dengan matang. Berkali-kali mendaki Semeru,
bukan hal sulit baginya menentukan kapan harus berhenti dan memulai berjalan
untuk menggapai momen istimewa di puncak. Sebelum menapakkan langkah tegasnya
di Bukit Cinta, nalurinya mengajak untuk pamitan dengan rombongan Kila.
“Kalo elo nyariin Kila, dia baru aja
berangkat pasang perangkap di sana,” ujar Mas Rudi, ketua kelompok peneliti
organisasi konservasi dimana Kila menjadi anggotanya.
“Gue nggak nyariin dia. Gue pamit sama
kalian aja. Terima kasih sudah ngajak makan siang tadi.”
“Ya sama-sama. Oh iya, sebenarnya Kila
titipin ini buat elo, tapi gue lagi sibuk masak, belum sempat kasih ke elo.
Nih. Kalau pendakian ini mau elo terbitin juga, jangan lupa tulis nama-nama kita
ya, terutama organisasi ini, biar orang lain tahu kalau alam juga perlu dijaga,
bukan dinikmatin doang, oke? Cari di internet aja kalau butuh informasi tentang
kita. Hati-hati di jalan, bro.”
***
Sebuah bising dari perempuan aneh yang
hapal sekali paragraf terakhir di tulisan yang sempat ia urungkan untuk
diterbitkan. Sebuah bising yang membuat keindahan samudera awan di bawah
kakinya tidak cukup bernilai. Sebuah bising yang mengingatkannya pada secarik
kertas dari Mas Rudi. Kertas yang hanya ia simpan di saku jaketnya sejak detik
pertama mendaki dan tak pernah berhenti lebih dari lima menit. Kertas titipan
Kila.
Cahaya matahari yang mulai meninggi
membuat Bara mematikan head lamp-nya.
Terbaca sebuah tulisan tangan di kertas itu. Sebuah paragraf yang tidak Bara
mengerti maksudnya. Runutan kalimat yang menjadikan ia menjadi manusia terendah
di pasir tertinggi di Pulau Jawa.
Aku
berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. “Apabila shalat telah
dilaksanakan maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (TQS Al Jumu’ah ayat 10).
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
No comments:
Post a Comment