11/16/12

mau main ke sawah

Alhamdulillah, sudah ada jadwal mengajar di Sekolah Kita Rumpin. Tema minggu ini adalah SAWAH. Pas banget sama dunia perkuliahan gue. Alhamdulillah ada ide-ide asyik mengalir dari ubun-ubun, ke otak, ke jari-jari gue. Hahaha.

Mari berkenalan dengan sawah!

Jangan lupa pakai capingnya, supaya nggak kepanasan. Ayo, pakai topeng kerbau juga!


Setelah sibuk bermain perubahan wujud zat bersama Rafi dan Farhan, serta sibuk bermain dan membuat video amatir bersama bocah-bocah TPA Al Ijabah ketika awal tahun baru Islam kemarin, akhirnya ada kesempatan gue bermain bersama adik-adik di Rumpin. Insya Allah. Yayaya, hidup gue selalu diisi dengan 'main-main', yang bermanfaat insya Allah...

Kudu siapin batre kamera penuh nih! Ziiiaaaattt!

em a ma en man je a ja

Gue kagak ngarti dah. Apakah cowok terlahir sangat manja? Atau kedua adik cowok gue aja? Buktinya? NIH! Hehehe, lagi mau curhat aja sih. Maaf nyampah. Lain kali nggak nge-post sampah ini lagi deh. Tapi, apapun yang mereka lakukan, gue tetap melabeli post ini 'keluarga'. Ecieeeehh~

Kerjaan adik gue di kaca kamar gue. Aargh. Oke, saatnya panasin kompor.

11/4/12

Jakarta Kita Tumpang Tindih

Jakarta Tumpang Tindih di Pelabuhan Sunda Kelapa (foto pribadi)

Sebuah sudut di Pelabuhan Sunda Kelapa mempresentasikan paras Jakarta yang layak dianalogikan sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, gambar seksi Jakarta menggoda investor-investor berkantong tebal untuk menanam beton di sana dan memukau wong ndeso menanam harapan mendapatkan sesuap nasi untuk sanak keluarga di desa. Di sisi lain, Jakarta memiliki angka kapasitas pendukung (carrying capacity) yang seharusnya tidak diotak-atik seenak udel manusia. Teorinya, jika suatu daerah menerima satu penghuni lagi dimana sudah tidak ada kapasitas untuk mendukung penghuni tersebut, maka akan terjadi krisis ekologi. Salah satu bentuk krisis ekologi yang sering terjadi di Jakarta yaitu banjir.

Dataran rendah Jakarta adalah tujuan akhir aliran air dari dataran tinggi Bogor. Kalau banjir sering bertamu ke Jakarta, ya jangan salahkan airnya. Memang sudah fitrahnya air mengalir dari hulu ke hilir. Sudah fitrahnya Jakarta mendapatkan kiriman air dari Bogor.

Nah, Jakarta sendiri tidak memberikan ruang bagi air. Tidak ada lagi saluran bagi air bebas mengalir ke laut. Tengok saja ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Pencakar langit bertebaran tidak mengenal batas. Aturan izin membangun bangunan hanya menambah pekerjaan saja. Mal-mal boleh dibangun asal menambah kesuburan dompet-dompet para pekerja dinas. Masalah lingkungan? Hahaha, yang penting masalah perut dulu. Rumah-rumah kumuh berjejer seperti pagar sehingga menghambat laju air. Semua berdesak-desakkan di Jakarta. Makin tua Jakarta makin banyak bangunan yang tumbuh, bagai jamur di musim penghujan. Belum lagi kebiasaan aneh warga yang gemar membuang sampah di sungai. Hihihi.

Lalu yang paling nikmat di Jakarta adalah hawa gap-nya yang tidak bisa terlepas dari tanah Betawi ini. Apartemen dan rumah kolong jembatan berlomba-lomba berkembang biak untuk menunjukkan eksistensi mereka. Mirip mau mendapatkan sertifikasi bahwa Jakarta punya si kaya atau Jakarta milik sang miskin. Campur aduk duk duk di ibu kota.

Inilah Jakarta. Mau bangunan gedong sampai rumah beratap spanduk pilkada, semua ada di situ. Ini Jakartaku. Jakarta kamu. Jakarta kita semua yang tumpang tindih! Selamat menikmati!

11/3/12

filosofi meludah

Ada yang menarik dari status Bang Tere Liye kemarin malam. Seperti yang gue tulis pada posting sebelumnya bahwa setiap tempat adalah sekolah kita, maka kita bisa menjadikan mulut kita sebagai tempat menuntut ilmu yang baru.

Kata Bang Tere Liye begini, "Belajarlah dari filosofi meludah. Apa itu filosofi meludah? Aneh sekali tabiatnya, kebalikan dari keran air, maka semakin besar membuka mulut, maka semakin susah meludah, tapi kalau kecil saja mulutnya terbuka, lancar sekali ludahnya melesat keluar. Coba praktekkan sendiri kalau tidak percaya. Nah, di dunia ini, terkadang ada yang seperti filosofi meludah. Semakin ngebet kalian, semakin pengen, semakin maksa, semakin ngaku suka, dan sebagainya, maka dia semakin menjauh tidak terjangkau. Tapi saat dijalani dengan tulus, tidak berharap banyak, malah lancar sekali urusannya."

Filosofi Bang Tere Liye ini ngena banget. Gue pernah punya ambisi dan memaksa dunia mendukung gue untuk kuliah desain. Tapi yang terjadi gue malah kuliah di pertanian. Gue sih nggak tahu gue tulus apa kagak. Gue menjalani kuliah pertanian fine-fine aja. Toh, gue masih bisa mendesain. Plus makin ketagihan sama fotografi.

Lalu adik gue yang tabiatnya sama sekali nggak ada unsur seni-seninya, malah keterima kuliah Desain Interior di salah satu sekolah tinggi di Bandung. Err. Good luck deh, brader!

11/2/12

sebab setiap tempat adalah sekolah kita

Nyokap pernah bercita-cita memiliki sekolah sendiri. Itu cita-citanya waktu SMA. Ternyata nyokap kuliah akutansi. Jauh banget dengan dunia perguruan. Tapi 30 tahun kemudian, tanpa nyokap kira, beliau bisa memiliki sekolah sendiri. Meskipun sekolahnya kecil-kecilan. Tapi sangat berarti banget buat beliau.

Toh, satu (1) nggak akan jadi sepuluh (10) kalau nggak ada angka nol (0).

Gue juga ikut-ikutan. Pengen banget punya sekolah sendiri. Kurikulumnya gue yang buat. Buku bacaannya gue yang tulis. Apa-apa hak cipta gue deh. Haha. Soalnya pendidikan Indonesia sekarang gitu sih. Kalo kata teman gue, "Kapitalis gila."

Makanya gue mau bikin sekolah gratis. Untuk siapa pun. Aamiin.

Kata bokap gue, mau bikin sekolah ya jadi guru dulu. Jangan ketinggian deh. Coba, kamu berani nggak sekolah di Rumpin?

Rumpin? Dimana tuh? Ternyata kata nyokap, Rumpin itu masih di daerah Bogor. Terpencil gitu. Hasil daging kurban gue selama idul adha sering dibagikan ke masyarakat Rumpin. Oooh. Tapi gue tetap nggak tahu Rumpin itu dimana. Dari rumah gue harus naik apa?

Di salah satu tweet kakak kelas gue, ada lowongan jadi pengajar relawan di sekolah gratis di Rumpin. Namanya Sekolah Kita Rumpin. Tag line sekolah itu keren banget. Sebab setiap tempat adalah sekolah kita. Ya, gue setuju banget. Di sudut mana pun di wajah bumi ini adalah tempat manusia belajar. Allah azza wa jalla menciptakan segala sesuatunya bukan untuk disia-siakan. Salah satunya insya Allah untuk dipelajari. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari cara semut bekerja, dari alur sungai di gunung ke kota, dari jantung kita berdegup berirama, dan dari dari yang lain.

So, gue mencoba mendaftar online kesini. Alhamdulillah keterima. Niatnya sih jadi pengajar tetap. Eh, ternyata sekalian jadi koordinator pengajar tetap dan relawan. Alhamdulillah-nya dobel tripel ini mah! Makasih ya kakak-kakak sekolah kita yang memberi kesempatan kepada saya untuk bermain dan belajar bersama adik-adik di Rumpin. Semoga saya bisa amanah, aamiin.

Mudah-mudahan ini jalan yang ditunjukkan oleh Allah SWT supaya gue bisa punya sekolah gratis sendiri. Mudah-mudahan bokap-nyokap rela akhir pekan rumah tambah sepi karena gue harus mengajar di Rumpin. Mudah-mudahan gue bisa belajar banyak dari teman-teman di sana. Aamiin.

Kondisi Sekolah Kita di Rumpun sangat mengenaskan, diisolasi TNI AU dan kurang fasilitas MCK, serta 70 anak-anak kecil rewel. Hm... Hajar lah!

Maunya sih terus up date keseruan di Sekolah Kita melalui blog ini. Pasti banyak objek fotografi menarik di sana! Supaya teman-teman juga tertarik main-main ke Rumpin.

Tapi, gue masih nggak tahu transportasi dari Tajurhalang ke Rumpin naik apa? Err.