Langit kelabu di atas ubun-ubun kepala
mengiringi rasa penasaran saya melalui kemacetan Kaliurang menuju lereng Gunung
Merapi. Hari keempat awal tahun ini pada tengah hari langit seperti berat, ingin menumpahkan uap air yang tertampung di
awannya. Setelah 25 km ke arah Cangkringan terlewati, pemandangan yang
memanjakan mata sungguh berbeda. Tidak ada lagi bangunan padat khas Kaliurang.
Hanya pucuk-pucuk pohon yang sedang berkembang. Warna hijau memayungi dataran
yang didominasi pasir. Sebuah kekontrasan yang hanya Allah SWT saja yang bisa
menciptakan.
Sebelum letusan Gunung Merapi 2010 lalu, mungkin
hanya sebagian orang yang pernah mendengar kata Kinahrejo. Namun setelah
peristiwa alam yang dahsyat itu, Kinahrejo makin dibicarakan orang. Hanya perlu
membayar tiket masuk sebesar Rp 3000 di gerbang masuk Kawasan Wisata Vulcano
Tour, saya bisa melihat kekuasaan Allah SWT yang tiada duanya. Semacam tanda
tangan tuhan yang menegaskan bahwa segala yang ada di Kinahrejo, bahkan satu
semesta, berada dalam genggamanNya.
Dari gerbang masuk saja Kinahrejo sudah
menyunggingkan senyum saya. Enam remaja berseragam biru muda menyambut saya dan
wisatawan lainnya. Mereka terkoordinir dalam karang taruna, dan ternyata
kumpulan anak muda ini juga membantu mengembangkan wisata Kinahrejo. Waaah,
semangatnya patut ditiru! Rumah mereka yang telah rata bersama pasir tidak
menyurutkan api dalam jiwa mereka.
Remaja karang taruna |
Sepanjang jalan menuju parkiran Lava Tour
ada beberapa bangunan vila yang berdampingan dengan rumah tidak berpenghuni.
Memang sejak dibukanya Kinahrejo sebagai daerah wisata, vila dan rumah
penginapan layaknya jamur di awal musim penghujan. Namun tetap saja aneh, jika
saya menginap di vila itu, maka ketika terbangun dari tidur saya akan menyapa
pintu-pintu rumah kosong yang menganga atau dinding yang menghitam.
Yang tertinggal |
Sampai di parkiran saya disambut seorang
bapak yang membawa brosur. “Monggo, mbak ayu, jalan-jalan di sekitar sini.” Pak
Prayitno ini menawarkan paket wisata dengan ojek ataupun hardtop. Beliau dan
pekerja wisata lainnya tergabung dalam STMJ Ceria: jasa antar wisata merapi. Saya
mengeluarkan Rp 20.000 untuk menyewa ojek. Bila kalian ingin menaiki hardtop,
kalian harus menyewa sebesar Rp 400.000, dan satu hardtop hanya bisa diisi 5
orang saja (sudah termasuk supir). Di sana juga banyak warung suvenir.
Pak Prayitno |
Jajaran toko suvenir |
“Mbak mau setir sendiri?” tanya Mbak Dewi,
pemandu saya selama menilas Kinahrejo. Saya langsung menggeleng. Selain karena
mendung yang menyembunyikan puncak Merapi, juga karena saya tidak bisa
mengendarai motor. Dan untungnya saya tidak coba-coba belajar motor di lereng
Merapi, jalannya yang menanjak lalu tiba-tiba menikung pasti hanya akan membuat
saya menuntun motor, bukan menyetir motor.
Mbak Dewi |
Saya tidak tahu akan diajak kemana oleh
Mbak Dewi. “Terserah Mbak aja.” Maklum tidak menyiapkan itinerary apapun untuk
kesini. Dan sepanjang perjalanan yang makin menanjak, kami banyak mengobrol.
Tapi dalam hati was-was juga, takutnya mengganggu konsentrasi Mbak Dewi. Jempol
gede buat gadis yang umurnya tidak jauh berbeda dengan saya ini. Dia adalah
satu dari sedikit perempuan (saya lihat sih hanya 3) yang menawarkan jasa ojek
disana.
“Mbak Dewi asli sini?”
“Iya. Tapi rumah sudah tidak disini. Sudah
tidak ada apa-apa lagi.”
Kami baru saja melewati halaman rumah yang
tertutup oleh pasir. Dan disana hanya ada bekas kayu dan papan yang bergelimpangan,
pernah berdiri rumah penduduk disitu.
“Tapi disini sudah hijau ya. Bagus.”
“Ya kan sudah tiga tahun lalu Mbak
kejadiannya.”
“Cepat juga ya.”
“Yang kita lewati ini tadinya banyak rumah
warga dan kebun.”
Saya mengangguk melengos. Bagaimana tidak,
sekarang yang saya lihat hanya pasir, alang-alang, dan bangunan runtuh. Rasanya
seperti berjalan-jalan ke situs purbakala.
Hanya pasir |
“Sebelum meletus, biasanya Mbak Dewi
sekolah?”
“Iya, jaga warung juga. Sekarang ya begini
aja.”
“Setidaknya ada penghasilan lah ya.”
“Iya Alhamdulillah.”
“Setiap hari rame kayak tadi, Mbak?”
“Kalau musim liburan dan akhir pekan saja
yang ramai. Hari biasa ada sih yang datang, tapi tidak seramai pas libur.”
“Kalau pendakian Merapi lagi ditutup ya
Mbak?”
“Iya, sudah 3 minggu ini.”
Walau sudah meletus hebat, Merapi masih
menyisakan kekuatannya.
Mbak Dewi menghentikan laju motor.
Tangannya menunjuk ke sebuah batu di persimpangan jalan. Saya mendekat dan
membaca tulisan di batu tersebut. Monumen letusan Gunung Merapi 26 Oktober
2010. Pada batu itu tertulis 39 nama para suhada Merapi yang gugur pada saat
erupsi 26 Oktober 2010 dengan Mas Panewu
Surakso Hargo Mbah Maridjan sebagai nama pertama. Ada satu kalimat yang
menyentuh, “Sak beja bejane wong lali
isih beja wong kang iling lan waspada (sebijaksananya orang lupa, masih
bijaksana orang yang ingat dan waspada).” Monumen ini mengingatkan kita semua
untuk mencintai alam sekitar agar alam tidak murka.
Monumen letusan Gunung Merapi 2010 |
Di seberang monumen terdapat poster yang
menjelaskan kronologi erupsi Merapi yang melanda Kinahrejo 2010 lalu. Begini
tulisannya:
“Rabu
27 Oktober 2010, pukul 17.30-18.30 WIB. Kabut masih sangat tebal dan mulai
gelap. Semakin sulit untuk mengetahui apa yang terjadi di Merapi. Empat seismograf
masih saja mencatat getaran yang sangat besar dan beberapa kali jarumnya sampai
lepas. Ada 3 kali letusan serta luncuran awan panas dan kemungkinan eksplosif
menyebar ke segala arah. Petugas pusat memerintahkan petugas pos di lereng
Merapi meninggalkan pos di samping melakukan evakuasi paksa bagi warga. Bunyi
sirene meraung-raung. Beberapa petugas terlihat terus berdoa dan bertakbir.
Setelah
letusan Gunung Merapi yang melanda kawasan sekitar dusun Kinahrejo, desa
Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, dusun Kinahrejo luluh lantak
diterjang ‘wedhus gembel’. Awan panas dengan suhu sekitar 600-1000 derajat
celcius ini meluncur dari kawah Gunung Merapi dengan kecepatan sekitar 60km/jam
dan menyapu dusun serta menewaskan sejumlah orang, termasuk Mbah Maridjan.”
“Waduh, Mbak, hujan. Gimana? Mau berteduh
dulu?”
“Tidak usah, langsung jalan lagi aja.
Kemana sekarang?”
Hujan yang membasahi kerudung saya
hiraukan saja karena Mbak Dewi menjawab, “Patilasan rumah Mbah Maridjan.
Pegangan Mbak, jalannya licin.”
Oksimoron disajikan Kinahrejo dengan
poster yang sudah sobek bertuliskan “Selamat datang di rumah Almarhum Mbah
Maridjan Kinahrejo.” Biasanya orang bertamu ke rumah yang masih hidup
penghuninya. Kali itu saya datang ke rumah yang pemiliknya sudah meninggal.
Tapi sudah meninggal pun, senyum di foto Mbah Maridjan masih mempersilahkan
saya masuk. Meminjam kalimatnya Mas Bambang, “Sementara sang tuan
rumah telah tiada, ia justru menyambut tamu yang biasanya datang dengan suka
cita.” Semua rasa bercampur aduk. Senang, sedih, dan takut karena bisa
melihat sisa keganasan awan panas Gunung Merapi di rumah sang juru kunci.
Selamat datang |
Merapi memiliki ikatan khusus dengan
masyarakat Yogyakarta. Eksistensi gunung
dengan ketinggian 2968 mdpl ini bagi masyarakat Yogyakarta tak lepas dari mitos
adanya hubungan khusus antara ‘penunggu’ Merapi dengan lingkungan kraton
Yogyakarta. Kondisi ini diperkuat dengan adanya utusan dari kraton Yogyakarta yang
menjadi juru kunci Merapi.
Mbah Maridjan dititah oleh Sultan Hamengkubuwono
IX yang kala itu memimpin Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Abdi Dalem
Surakso Hargo alias Penjaga Gunung Merapi untuk menjaga kelestarian dan ayem
tentremnya Gunung Merapi. Juru kunci bertugas memberi informasi tentang gunung
yang didaki, memberi tahu apa yang dilarang, dimana jalur pendakian,
penyelamatan, dan lainnya. Selain bertugas menjaga gunung dengan terawangan
berdasar pengalaman (‘ilmu titen’) dan menggabungkannya dengan firasat sebagai
warga Merapi yang telah terasah sejak kecil. Tugas paling utama tentu saja
memberi informasi kepada penduduk sekitar bila ada aktivitas Merapi yang dirasa
membahayakan. Sebagai abdi dalem, kuncen juga melayani setiap kali keluarga
kraton melalukan ritual di Merapi.
Rumah
Mbah Maridjan terletak di Dusun Kinahrejo, Dukuh Pelemsari, Desa Umbulharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi D.I. Yogyakarta. Hampir semua
warga Kinahrejo patuh dengan nasihat beliau. Hingga seruan pemerintah untuk
mengungsi pun diacuhkannya karena menurut Mbah Maridjan Gunung Merapi baik-baik
saja. Masih ingat saya betapa layar televisi masih menyorot aktivitas warga
bertani sementara Gunung Merapi dibelakang mereka batuk-batuk, siap
menyemburkan dahaknya.
Berikut
saya tuliskan saat-saat kritis yang terjadi di Kinahrejo. Yang menulis kisah
ini adalah Agus Wiyarto dan diabadikan dalam sebuah poster besar di halaman
rumah Mbah Maridjan.
26
Oktober 2010 jam 17.30 - Agus
Wiyarto, H. Tutur Priyanto (relawan PMI) dan Yuniawan Wahyu Nugroho (Wartawan
Vivanews) tiba di Kinahrejo untuk memberi tahu warga bahwa telah terjadi erupsi
Gunung Merapi ke arah barat 7 km. Saat itu suasana Kinahrejo tampak ayem
tentram tidak mengetahui adanya ancaman erupsi Gunung Merapi yang sudah terjadi
sejak jam 17.02. Dengan segala upaya mereka bertiga meyakinkan warga untuk
segera turun meninggalkan dusun Kinahrejo ke barak pengungsian.
Jam
18.15 - Sirene tanda bahaya
berbunyi saat itu warga sedang menjalankan sholat Maghrib. Mobil Suzuki APV AB
1053 DB menjadi satu-satunya kendaraan yang dipakai untuk mengevakuasi warga
Kinahrejo. Karena keterbatasan kendaraan evakuasi, masih banyak warga yang
tidak terangkut.
Jam
18.40 - Setelah menurunkan warga
di barak pengungsian Umbulharjo, Tutur Priyanto dan Yuniawan kembali naik
menuju Kinahrejo untuk menyelamatkan lebih banyak lagi warga yang belum sempat
terangkut.
Jam
18.50 - Tutur Priyanto dan
Yuniawan gugur bersama terbakarnya mobil evakuasi ( di tempat ini) halaman
rumah Mbah Maridjan diterjang awan panas dalam upaya menyelamatkan lebih banyak
lagi nyawa manusia.
Apa
yang telah dilakukan Almarhum Tutur dan Yuniawan itu seperti mengabadikan pepeling Mbah Maridan: ajining menungsa iku gumantung ada ing
tanggung jawabe marang kewajibane (kehormatan seseorang dinilai dari
tanggung jawab terhadap kewajibannya).
Saya
cuman bisa bertanya, “Apa ini?”
Mbak
Dewi sibuk memakirkan motornya. Saya meninggalkan dia dan berlari menghindari
deras hujan menuju reruntuhan bangunan. Di depan bangunan itu terpasang kayu
bertuliskan Omahku Tinggal Kenangan. Saya tidak yakin tempat itu bisa disebut
rumah, karena tidak berdinding, berpintu, apalagi berjendela.
Omahku |
Saya
memasuki (sepertinya) bagian dapur. Yang tersisa hanya dandang, pengangas nasi,
kompor, teko, tabung gas, dan peralatan dapur lainnya yang penyok, gosong, dan
tertutup material vulkanik. Bahkan banyak benda yang tidak bisa saya terka
bentuknya, hampir mirip dengan tumpukan abu saja. Mungkin dulu di dapur ini
seorang anak pernah membuatkan kopi panas sepulang bapaknya menyawah.
Dapur |
Berjalan
ke ruangan sebelah yang hanya bersekat lemari lapuk, saya seperti masuk ke
ruang santai. Ada beberapa kursi yang tersisa rangkanya saja, salon suara, dan
toa. Lemari penyekat tadi ibarat saksi bisu kehidupan sebelum erupsi 2010 lalu.
Terdapat piring perak dengan belasan uang koin di atasnya, gagang telepon, dan
plakat kenang-kenangan dari mahasiswa Universitas 45 Surabaya yang pernah
melaksanakan kuliah lapang di Kinahrejo pada 5 Desember 2003.
Ruang santai |
Lemari |
Telepon dan koin |
Plakat |
Masih
di komplek patilasan sisa keganasan wedhus gembel Merapi, terpajang mobil APV
dan motor yang digunakan untuk mengangkut pengungsi. Kedua kendaraan itu tidak
berbeda nasibnya dengan benda lain yang ada di sana. Gosong. Berkarat. Tersisa
rangka besinya saja. Tidak terbayang betapa panasnya asap yang menyembur dari
kawah Merapi.
Dalam mobil APV |
Ruang gamelan |
Terlintas
di pikiran, “Ini baru asapnya saja sudah berdampak sebegini hancurnya.
Bagaimana kekuatan lava pijarnya? Pasti
langsung menghabiskan tak bersisa semua kehidupan. Nah itu baru dari satu
gunung. Bagaimana kalau semua gunung di Jawa disatukan? Di Al Qur’an disebutkan
kalau ketika kiamat nanti gunung-gunung akan diangkat lalu beterbangan seperti
kapas. Kapas? Gunung yang segede itu terbang seperti kapas? Nah lho, bagaimana
kekuatan panas api neraka? Bagaimana kekuatan Allah SWT yang menciptakan ini
semua? Saya bagaimana?”
Mbak
Dewi memanggil saya untuk berjalan ke Kali Opak. Untuk menuju kali ini saya
harus menuruni jalan pasir sekitar 10 meter. Banyak yang ke kali, namun tidak
sedikit yang melihatnya dari bibir jurang karena turunannya yang curam dan
licin. Kalau mau kesini, tetap waspada ya.
Agak
aneh kalau harus menyebutnya kali, karena di tempat yang sangat luas itu sama
sekali tidak saya temukan air. “Dulu orang-orang suka memancing di Kali Opak,”
cerita Mbak Dewi. Tapi sekarang, apa yang mau dipancing? Wong yang ada hanya
pasir dan batu. Mau mancing kerikil? Di seberang jauh dari Kali Opak terdapat
Kali Gendol yang terkenal itu. Banyak wisawatan yang ber-offroad di sana. Saya
tidak sempat kesana, karena cuaca tidak mendukung.
Kali Opak |
Di
Kali Opak ini terdapat Watu Tumpeng, sebuah batu yang ukurannya sangat dan
paling besar di antara batu lain yang terlontar dari mulut Merapi. Banyak pengunjung
berfoto ria di atas batu itu. Saya malah pelanga-pelongo, bingung kenapa
disebut Watu Tumpeng? Memang sih bentuknya segitiga seperti tumpeng. Mungkin
karena itu. Kata Mbak Dewi, tiga bulan setelah erupsi pasir di Kali Opak ini
masih panas. Bahkan panasnya Watu Tumpeng masih terasa pada 2012.
Watu Tumpeng dari jauh |
Kembali
naik ke bibir jurang Kali Opak, saya melihat tumpukan tulang belulang. Katanya
itu adalah sisa hewan ternak warga, seperti sapi dan kerbau. Sebenarnya ada
balai di seberang lokasi tulang itu, tapi balainya baru mau dibangun. Balai ini
digunakan pengunjung sebagai tempat berteduh dari hujan yang semakin deras.
Yang unik di balai ini adalah ada pohon pisang yang tiba-tiba tumbuh di tengah
balai. Fenomena pohon pisang ini juga saya lihat dari kumpulan foto
pascaerupsi, bahwa banyak pohon pisang yang tumbuh di antara pasir padahal
tidak ada yang sengaja menanamnya. Subahanallah ^^ Saya perhatikan, ada semacam
kendi, bunga-bungaan, dan cangkang telur di dekat pohon itu. Sepertinya ada
yang sengaja menaruhnya di sana. Saya tidak mau menuduh yang macam-macam, tapi
memang warga Kinahrejo masih menjunjung tinggi adat nenek moyang mereka. Hmmm,
sayang sekali, padahal Allah SWT sudah mengingatkan.
Tulang belulang |
Persembahan |
Membahas
fasilitas wisata, menurut saya sudah baik. Ada toilet umum yang sudah
diporselen dan masjid. Masjid ini juga punya sejarah sendiri. Sarana ibadah
umat Islam yang ada sekarang berdiri di bekas Masjid Al Amin yang biasa
digunakan warga Kinahrejo, dan tentunya Mbah Maridjan. Hanya saja bangunan
masjid masih semi permanen. Atapnya ada yang bocor, sehingga kalau sholat saat
hujan ada tetes air jatuh di kepala, mukena dan sajadah seadanya. Kalau kalian
mau menyumbang rezeki silahkan menghubungi Takmir Al Amin di 085725933009.
Masjid Al Amin |
Di
dalam masjid ini terdapat lukisan yang dibuat oleh Ki Joko Wasis. Saya suka
lukisan tersebut. Pelukis menggambar Mbah Maridjan sedang mengajari 5 anak
menanam pohon sambil tersenyum. Ada pula seorang bapak membawa anak beserta
kudanya yang memuat hasil tani. Padahal di belakang mereka berdiri Gunung
Merapi dengan lahar muncul dari kawahnya. Yang keren adalah salah satu anak
yang sedang diajari Mbah Maridjan menoleh ke arah Merapi sambil tersenyum,
seolah merasa biasa saja melihat Gunung Merapi mau meletus. Ki Joko Wasis
memilih warna gelap untuk melukis, saya taksir memiliki maksud tersendiri.
Lukisan Ki Joko Wasis |
Ada
dua warung yang kedua pemiliknya masih sedarah dengan Mbah Maridjan. Yang
pertama adalah Warung Bu Mursani Asih yang merupakan putri Mbah Maridjan.
Warung terletak di seberang rumah si mbah. Selain menjual makanan dan minuman,
Bu Mursani juga menjual berbagai cinderamata seperti miniatur Gunung Merapi
yang mengeluarkan lahar, kaos, dan buku kumpulan foto pascaerupsi Merapi. Untuk
menambah penghuni lemari di rumah, saya membeli buku itu dengan Rp 30.000.
Sambil menunggu hujan reda, saya menghangatkan diri di Warung Mbok Udi (adik
Mbah Maridjan). Tapi yang berjualan disitu adalah sepupunya. Berbeda dengan
Warung Bu Mursani, warung ini hanya menyediakan makanan dan minuman saja. Kedua
warung ini juga termasuk bangunan semi permanen. Merapi diprediksi akan meletus
lagi. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, kini tidak boleh ada
warga yang tinggal di Kinahrejo, makanya bangunan yang ada tidak permanen. Mbok
Udi sendiri cerita, kalau sudah sore ia dan keluarganya akan kembali turun, ia
hanya ke atas ketika ingin berjualan saja.
Mbak Dewi di Warung Bu Mursani |
Sepupu Mbah Maridjan |
Saya
memesan kopi panas ketika hujan mulai mereda. Khawatir akan turun hujan yang
lebih besar, saya membungkus kopi yang baru saja tertuang ke gelas. Mbak Dewi
sudah menyalakan motornya. Dengan kalimat “Sehat-sehat ya, Bu,” saya meninggalkan
sepupu Mbah Maridjan, segala kenangan yang masih berbekas di antara perabotan
hangus, dan Merapi yang ulahnya tidak bisa dihentikan manusia.
Beberapa
materi tulisan ini saya tahu dari poster yang berada di komplek sisa keganasan
Merapi. Saya ucapkan terima kasih kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman yang membuat poster
itu. Para wisatawan, khususnya saya, jadi tahu kejadian yang sebenarnya dan
bisa merasakan kembali detik-detik kelam itu. Mungkin bagi warga yang selamat
dan kini berjualan di lokasi patilasan, poster-poster tersebut seakan
mengungkap kembali kenangan pahit yang inginnya tidak diingat. Namun bagi
wisatawan, justru kisah itulah yang menarik untuk dibaca. Kontradiktif memang.
Selama menilas, saya ingat tulisan Mas
Iqbal yang berjudul Oksimoron Merapi: Geliat Wisata Bencana. Kalimat-kalimatnya
begitu menohok, tapi judul ini adalah satu tulisannya yang jadi favorit saya.
Begini ringkasnya: Wisata bencana
diharapkan bisa merasukkan kepedihan mereka (korban letusan yang kini menjadi
penggiat wisata Merapi) kepada masyarakat lain yang berkunjung. Sayangnya,
kehendak itu hanya sebatas prasangka. Wisata bencana tak ubahnya menjadi arena
hiburan. Pengunjung sangat bergembira bisa berfoto pada puing-puing kehancuran.
Itulah oksimoron!
Apakah yang saya lakukan menambah realita
oksimoron ini? Apakah ini salah? Saya mengabadikan sisa keganasan Merapi
sementara di belakang saya ada Mbak Dewi, salah satu korban bencana. Waktu itu
Mbak Dewi sedang mengendarai motor sehingga saya tidak bisa melihat ekspresinya
ketika saya bertanya tentang kejadian hitam itu. Apakah itu memutar kembali
kenangan pahitnya? Apa yang dirasakan Bu Mursani dan Mbok Udik melihat rumah
saudaranya yang menyimpan harta kebersamaan puluhan tahun itu dipotret, menjadi
objek kamera yang tidak boleh dilewatkan, menjadi mudah saja diumbar di media
sedangkan mungkin saja hati mereka tidak tega?
Tapi, bukankah dengan begitu para
wisatawan bisa membantu terpenuhinya kebutuhan ekonomi warga? Bagaimana pun
keresahan atas oksimoron itu jangan sampai malah membuat warga Kinahrejo kehilangan
semangat untuk terus memperjuangkan hidup. Yang berlalu biarlah tinggal di masa
lalu. Yang ada sekarang harus diperjuangkan untuk masa depan. Semoga ini tidak
sekedar klise.
Entah pada helaan napas ke berapa akhirnya
saya melihat jalur Kali Koneng. Ketika Merapi meletus, sungai ini dipenuhi oleh
material vulkanik. Sampai sekarang pun begitu. Banyak warga yang menambang
pasir di sana. Selain dibukanya wisata patilasan Mbah Maridjan, letusan Merapi
memberi berkah besar bagi para penambang pasir. Walaupun hanya dibayar Rp 3.000
per karung pasir, masih banyak pasir yang siap ditambang. Namun mereka tetap
siaga karena bahaya lahar dingin sewaktu musim hujan bisa mengambil nyawa
mereka.
Penambang pasir |
Melihat Kali Koneng dari atas jembatan
juga memukul jiwa. Penambang-penambang itu tampak kecil dan tak jauh beda
dengan pasir-pasir yang mereka saring. Inikah wujud kita di mata tuhan? Bahwa
manusia hanya sekecil pasir? Bagaimana kalau dibandingkan dengan luasan
semesta? Dimana kah saya?
Kali Koneng: terlihatkah para penambang pasirnya? |
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah
menciptakan Gunung Merapi.
Gunung Merapi |
“Apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dapat mengerti atau telinga yang dapat
mendengar? Sesungguhnya bukan mata yang buta, melainkan yang buta adalah hati
yang ada di dalam dada.” (TQS Al Hajj: 46)
pertama denger kata oksimoron. kalo nanti ke jogja, destinasi yang menarik dikunjungi
ReplyDeleteada satu destinasi lagi di jogja yg belum mainstream, namanya kampung code, coming soon postingannya
Deletepose yang di atas batu, di kali opak, kagak nahaann, haha
ReplyDeletenahan apaan kak? astaghfirullah, harus gue apus kayaknya nih
Deletenahan pengen ketawa, hehe, kaya liat patung dimana, gtu
ReplyDelete