4/30/14

Today is Last Day



Bagaimana kalau setiap hari adalah hari terakhir kita?

Cuaca Bogor minggu ini lucu sekali. Pagi hari, semburat cahaya matahari dengan gagah menelusup di sela dedaunan trembesi. Ia terang mencapai terik. Padahal masih pukul delapan. Gunung yang dekat sekali dengan tempat saya mengajar disinarinya hingga terlihat pucuk-pucuk pohonnya. Siang menuju sore, ketika kelas tambahan hampir berakhir, langit tetiba menghitam. Kilat dan petir saling mendahului. Hujan semerta-merta tumpah ruah membasahi bumi. Hanya beda beberapa jenak saja, wajah Bogor berubah. Hanya dengan membahas satu bab pelajaran saja, panas pagi mudah berganti dengan dingin sore.

Ya. Waktu dan peristiwa memang secepat itu berkelebat di kolong langit. Di bumi ini, tanpa sadar semuanya berubah seperti berlari. Satu masa berakhir berganti masa yang lain. Masa yang lain berakhir dan berganti dengan masa yang lainnya lagi. Begitu saja terus. Hingga masa benar-benar berakhir dan tidak menyisakan apapun lagi.

Selain cuaca Bogor yang lucu, ada satu hal lagi yang menghibur, bahkan menyenangkan saya minggu ini. Saya sebut dengan mereka. Mereka yang paling malas menulis teori pembentukan benua dan samudera di buku, tapi paling rajin menulis curhat berlembar-lembar. Mereka yang berkata, “Tenang, Kak, ujian nanti aku bakal asal-asalan menjawab bahasa Inggris,” tapi juga rajin sekali bertanya, “Kak, apa artinya ‘you and me live happily ever after?’ Aku pengen nulis itu buat seseorang” dengan cengkok bahasa Inggris yang belepotan. Mereka yang ogah-ogahan ketika saya mengajak belajar tambahan tapi selalu menahan saya untuk pulang lebih lama dengan cerita-cerita. “Makanya Kak nginap aja disini.”

Satu hal yang menyenangkan saya adalah mereka yang biasanya duduk paling belakang tidak memperhatikan tiba-tiba menarik kursi, duduk berhadapan dengan papan tulis, dan bangga sekali berteriak, “Diam, mau belajar nih!” kepada teman-temannya yang asyik menggodanya. Mereka yang (akhirnya) semangat belajar ^^

“Kok tumben?” Saya tidak tahan menggoda. Dalam hati bersorak riang, “Hore, anak-anak itu membawa modul!”

“Kan ini yang terakhir, Kak.” Begitu kira-kira pengakuannya. “Aku habis ngaji belajar sampai jam 10 loh, Kak.” Membusung dada. Seolah itu adalah rekor terlama mereka membaca pelajaran.

“Keren itu. Allah emang lihat usaha kalian.” Lalu saya tambahkan kisah teman-teman saya yang begadang sampai waktu tahajud saat musim ujian.

Mereka geleng-geleng kepala. “Bisa tahan begitu, Kak?”

“Ya bisa. Mereka punya ambisi. Nggak cuman mimpi lalu dinikmati sambil bengong. Mereka total. Kalian juga harus total. Kan insya Allah ini yang terakhir.” Duh, jadi sedih.

Aamiin panjang menggema di ruang kelas.

Kadang, atau bahkan sering (?), kalimat “ini yang terakhir” punya kekuatan memunculkan energi lebih agar yang kita lakukan benar-benar memberikan hasil yang sempurna, tentu yang sesuai keinginan. “Ini yang terakhir” memang bisa membuat kita jadi total mengerahkan yang kita bisa. Sampai sepayah apapun kita kerahkan, karena berharap ini yang terakhir. Akhir yang baik. Dan mereka, harus kuakui, sudah tersihir oleh kalimat yang mereka ciptakan sendiri. “Ini yang terakhir.” Mereka berubah. Bangga deh.

Di akhir kelas sebelum kami benar-benar pulang, saya dan mereka melingkar. Melebur sudah strata guru dan murid.

“Kak, ibuku nanti mau kesini.”

“Oh ya. Kapan?”

“Sebelum ujian. Mau syukuran.”

“Loh. Ujiannya kan belum, kok syukuran?”

“Iya. Syukuran akhirnya aku ujian akhir juga.”

Entahlah. Tiba-tiba dada sesak saja. Membayangkan perasaan seorang ibu yang akhirnya mendapat kabar anaknya bisa ikut ujian kelulusan. Bahagia pasti. Tidak perduli hasilnya bagaimana. Anaknya bisa ikut ujian saja, sang ibu rela menghampiri gunung, melakukan selebrasi bersama yang dicinta.

“Setelah lulus, kalian mau kemana?”

Lalu mimpi-mimpi membumbung tinggi ke angkasa yang menggelegar. Petir di luar jendela mulai menakutkan. Tapi saya masih tertahan disini, bersama mimpi mereka yang perlu dihimpun dan diwadahi biar tidak lumer dan menghilang mudah.

Saya mulai pembicaraan yang mengundang sunyi. “Yang terpenting itu kalian bisa mempertanggungjawabkan kelulusan kalian.” Mungkin terdengar berat bagi anak seusia mereka. Tapi dunia di luar sana lebih berat lagi. Bisa tewas mereka kalau tidak berani menanggung resiko.

Ya. “Ini yang terakhir” bisa mengubah diri seseorang, melawan sisinya yang hina, demi mencapai mimpinya yang semanis surga. “Hei dunia, aku juga bisa loh jadi baik!”

last, out, and go

Selain mereka. Ada lagi makhluk melankolis yang, saya tahu, sedang berpayah tertatih melantangkan tanpa kata “Ini terakhirku. Aku harus all out.” Ya. Beliau yang diam-diam menangis di sunyi sepertiga malam dan menyantap teh tawar sehabis sarapan seraya berlirih, "Tugasku hampir selesai." Hhhhmmm. Rasanya setelah ini dunianya berakhir, maka ia harus memberikan yang terbaik. Segalanya harus sempurna. Bahkan satu kata di kertas, satu angka di perhitungan.

Pun sama wanita yang selalu saya puji ketangguhannya. Beliau rajin sekali berdoa, “Semoga ini yang terakhir untukmu.” Hujan. Panas. Motor mogok. Banjir. Belanjaan menggunung. Kepayahan yang ia alami tidak ada artinya dengan akhir yang ia harap di setiap senja malu-malu pulang ke peraduan.

Yang lebih penting dari ini semua adalah: Bagaimana kalau setiap hari adalah hari terakhir kita? Bagaimana kalau tidak ada besok? Apa yang kita sudah kita lakukan demi akhir kita hari ini? Akan dimana kita berakhir?

4/11/14

Rumah Kosong

Hampir sebulan tidak mengisi rumah ini. Bukan sengaja saya tinggalkan dan biarkan kosong. Justru saya bingung harus memenuhi rumah ini dengan tulisan yang mana dulu. Tulisan-tulisan saya pindahkan dulu di buku abu-abu bergambar rumah kebesaran India. Nanti jika waktunya tepat, tentu akan terhidangkan di rumah ini. Tentu menjadi menu pembuka kehidupan baru saya, menu utama yang memberi energi saya, dan menjadi menu penutup yang paling nikmat. Insya Allah.


Waktu berjalan cepat. Banyak kisah berkelebat. Beribu emosi memenuhi sudut-sudut tempat tinggalku. Sesak. Sesal. Tangis. Tawa. Cemberut. Teriak riang. Semua rasa melebur jadi satu hingga saya tidak menemukan satu kata yang pas untuk menggambarkan semuanya.

Sabar. Ada saatnya rumah ini akan terisi kembali dengan peristiwa yang menggiring saya menjadi lebih matang, insya Allah. Ya. Akan ada saatnya, insya Allah. Untuk sementara, saya biarkan rumah ini kosong. Beri saya waktu untuk mencari pengisi rumah yang tepat. Bismillahirrahmaanirrahiim.