2/11/14

Kampung Code: Melawan Desakan Kota


Yogyakarta tidak pernah lepas dari tujuan liburan. Berbagai jenis wisata disuguhkan kota ini. Mulai dari wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner, sampai wisata adrenalin. Tempat yang jarang sepi pengunjung di antaranya adalah Kraton Ngayogyakarta, alun-alun Yogya, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan yang paling mainstream Jalan Malioboro.

Gelombang wisatawan dari berbagai daerah memang berdampak baik bagi perekonomian kota. Namun jangan lupa, ada satu dampak buruk yang apabila dibiarkan bisa mengurangi keeksotisan Yogyakarta, namanya sampah. Yeah, tumpukan sampah di sudut jalan pasti membuat warga lokal dan wisatawan tidak nyaman. Alhasil angka pengunjung bisa menurun.

Hanya saja selama berjalan-jalan di Yogyakarta, saya jarang menemukan gunungan sampah. Memang tidak sebersih di Bali, tapi masih rapih Yogya dibanding Bogor. Selain banyak tersebarnya tong sampah dan papan peringatan untuk membuang sampah pada tempatnya, kebersihan kota ini juga merupakan hasil kerja dinas kebersihan dan pertanaman setempat. Selain itu, para pemulung juga turut andil dalam menjaga nama baik Yogyakarta.

Mungkin karena begitu masifnya promosi wisata, orang luar tidak banyak yang tahu kalau ada satu tempat menarik yang juga patut dikunjungi selama di Yogyakarta. Kampung Code. Sebagian besar penghuni kampung ini bekerja sebagai pemulung sampah. Mereka lah yang menjaga keseimbangan kota dari segi kenyamanan dan keindahannya. Di saat wisatawan riuh menikmati jajanan Yogya, mereka memungut sampah yang ada di jalan-jalan.

Tapi, apa yang bisa dinikmati jika kita pergi ke kampung para pemulung? Berkarung-karung botol bekas tentu tidak minus di penglihatan. Tapi tidak hanya itu. Lalu? Berikut ini adalah ulasan dan foto-foto ketika saya, akhirnya, bisa berkunjung ke Kampung Code. Monggo …

Kampung Code terletak di Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Sesuai dengan namanya, kampung ini berada di pinggir Kali Code, sebuah kali yang pernah menjadi jalur aliran lahar dingin ketika Gunung Merapi meletus 2010 lalu. Tidak sulit untuk menuju kampung ini karena letaknya masih di tengah kota. Namun, karena harus berdesakkan dengan gedung-gedung tinggi, pemukiman ini mudah dilupakan, dilirik pun jarang.

Di bawah Jembatan Gondolayu yang menghubungkan dua sisi Jalan Jenderal Soedirman, tepatnya di balik jajaran bengkel motor, Kampung Code berada. Tanya saja warga lokal dimana Jembatan Gondolayu, pasti banyak yang tahu. Jembatan ini punya sejarah horor yang menjadi buah bibir warga. Dinamakan Gondolayu karena ketika masih tumbuh semak belukar, tempat ini dijadikan sebagai tempat pembuangan mayat korban kejahatan. Memang Gondolayu sendiri artinya bau mayat. Mengetahui hal ini saya langsung merinding. Namun justru dianggap sebagai anugerah. Aparat tidak mau bersentuhan dengan wilayah ini. Jadilah para gelandangan yang datang dari luar Yogya memanfaatkan bantaran Kali Code sebagai tempat tinggal. Mulai tahun 1960an lahirlah pemukiman pinggir kali yang kumuh yang biasa disebut Kampung Code.

Kumuh. Kotor. Berantakan. Bau. Tidak layak menjadi tempat tinggal manusia. Itulah yang menjadi penyebab pemerintah pada masa Orde Baru ingin menggusur pemukiman Kali Code. Hingga akhirnya seorang arsitek bernama Romo Mangunwijaya menata ulang kampung tersebut. Bersama mahasiswa dari Arsitektur UGM, beliau menyihir kampung kumuh menjadi kampung unik. Unik dalam hal tata ruang, estetika, ekologi, hingga edukasi. Keunikan ini akhirnya berbuah manis. Berkat kerja kerasnya, Romo Mangunwijaya menerima penghargaan internasional dari The Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1992. Sampai sekarang, banyak mahasiswa Arsitektur dari berbagai universitas di Indonesia melaksanakan kuliah lapang di sana. Mantap!

Kalau tidak ditata dengan baik, kampung ini sudah longsor sejak bertahun-tahun lalu. Pasalnya bantaran Kali Code memiliki tapak miring yang kalau dibangun pemukiman akan merusak ekosistem dan menyebabkan longsor. Namun tim Romo Mangunwijaya memiliki cara jitu. Agar tidak mudah longsor, fondasinya dikuatkan dengan drum-drum yang diikat dan ditimbun dalam tanah. Bangunannya dibuat mengikuti kemiringan tanah. Karena banyak keluarga yang menghuni kampung ini, Romo mendesain bentuk rumah susun dan jalan yang berkelok sehingga rumah terlihat saling menindih namun tetap nyaman dihuni.

Tumpak Tindih


Menjaga Rumah

Jujur saja, alasan saya datang ke Kampung Code bukan karena arsitekturnya yang unik. Saya tidak terlalu mengerti tentang ini. Tapi karena estetika dan edukasi yang saya dengar dari seserorang. Mumpung sedang di Yogyakarta, mari merapat ke Code ^^

Seorang kakek menghampiri saya. Pas sekali, saya sedang kehilangan arah. “Pak, anu, Kampung Code …”
Tanpa menunggu kalimat saya selesai, lelaki yang saya taksir berumur 70an itu mengangkat jempolnya, menunjuk sebuah gardu tepat di belakang punggungnya. Hore, ketemu!

Gardu Kampung

“Alhamdulillah, ada yang sempat mampir,” katanya yang kemudian saya ketahui bernama Dartun. Petugas parkir ini senang sekali tiap ada orang luar yang datang. Yang paling berkesan adalah Mbah Dartun gemar memberi jempol kepada siapapun, termasuk kepada saya, ditambah senyumnya yang memamerkan giginya yang tanggal. Sebuah sambutan yang tidak neko-neko. Sebuah apresiasi sederhana yang sulit dilupa. Piye kabare, Mbah? Apik-apik wae toh? Jangan merokok terus dong ^^

Kakek Dartun

Kalimat syukurnya itu membuat saya bertanya-tanya. Jarangkah ada yang mampir kesini? Katanya tempat bagus. Yeah, mungkin wisatawan Yogya lebih senang mengunjungi tempat-tempat eksotis dari pada pemukiman pemulung. Mungkin. Tanpa banyak bertanya lagi, saya memasuki sebuah gardu yang membuat saya penasaran.

Jangan berharap akan disambut oleh tarian dan semacam upacara penyambutan tamu jika kalian mendatangi Kampung Code. Tiket masuk? Kampung Code terbuka untuk umum dan gratis, karena memang kampung ini bukan kampung wisata. Hanya saja, karena baru pertama kali kesana, saya jadi bingung harus jalan kemana. Satu-satunya yang menyambut saya hanya papan gambar seekor kura-kura cokelat bertuliskan “Alan-alon wae”. Rasanya seperti diperingatkan, “Masuk Kampung Code, kamu tidak perlu berjalan terburu-buru. Santai saja. Nikmati setiap inci langkahmu melaju. Rasakan desah napas kehidupan para detrivor di bawah riuh kendaraan kota.” Kemana saya? Ikuti saja jalan setapaknya.

Berjalan seperti Kura-kura

Seorang nenek tampak memperhatikan gerak-gerik saya. “Orang luar,” mungkin dalam hati beliau berkata begitu. Namun, tanpa memberi tabir pembatas antara orang luar dan orang dalam, nenek itu tersenyum, “Monggo.” Oh, ramah nian, awalnya takut digerebek warga, akhirnya malah melenggang kesana kemari.

Senyum Nenek Warna-warni

Berkarung-karung botol kaca bekas menjadi pertanda kalau kampung ini dihuni oleh para pemulung. Namun, karena karung hasil mulung mereka tertata rapi, maka kesan jorok pada kampung ini akan terhapus dari prasangka. Selain itu, sampah tidak bertebaran dimana-mana, sungguh beda sekali dengan beberapa kampung kumuh yang sering disorot televisi.

Mungkin salah satu alasan tidak adanya sampah berserakan di kampung ini adalah tong sampahnya yang unik. Ada satu tempat pembuangan sampah besar di belakang kampung. Sepertinya itu adalah tempat pembuangan akhir sebelum diangkut truk sampah. Tempat sampah itu dilukis dengan cat biru cerah. Terdapat ornament daun-daun putih di atasnya. Dan yang lebih menariknya lagi adalah kalimat di sisi depan tong sampah itu. Ada gambar wayang dengan balon percakapan yang berbunyi, “Buktikan cintamu padaku …” Kalimat ini tentu lebih menyenangkan dan tidak bersifat persuasif dibandingkan “Buanglah sampah pada tempatnya.” Terlalu klise dan membosankan. Dari sebuah tong sampah di Kampung Code saja, saya bisa belajar betapa pentingnya berbicara santun.

Tong Sampah Santun


“Waaaaaahh” saya semakin tercengang melihat dinding tiap rumah di Kampung Code penuh warna-warni. Keren sekali. Corak warnanya pun tidak sembarang gambar. Gareng, Petruk, Bagong, dan ayah mereka Semar, meramaikan kayu dan bambu pembatas rumah. Tokoh wayang lain pun menghiasi sudut gang Kampung Code. Ada juga yang melukis pepatah jawa. Kesannya seperti sedang berjalan-jalan di galeri kesenian, bukannya pemukiman pemulung. Jempol gajah deh buat yang melukis. Top banget!

Kampung Warna-warni

Selama berjalan-jalan di kampung ini, saya bisa simpulkan bahwa cara para pendidik (organisasi non profit yang sengaja datang ke kampung, RT/RW, dan orangtua) mengajari anak-anak atu kaum mudanya tidak dengan lisan perintah, tapi dengan media yang lebih menarik dan mudah diingat. Misalnya ya seperti lukisan pepatah jawa di sepanjang dinding pembatas jalan, stiker, hingga jam buatan yang ditempel di pohon kelapa.

Ini adalah lukisan keluarga wayang yang terkenal. Semar, sang ayah, seperti sedang mengajari para anaknya (Gareng, Petruk, dan Bagong) untuk tunduk kepadanya. Lukisan ini mengajarkan bahwa setiap anak harus menurut dengan orangtua.

Lukisan Wayang

Lukisan lainnya berbentuk wayang sekop yang bertuliskan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Penduduk Kampung Code seolah dinasihati untuk selalu giat bekerja tanpa perlu grasa-grusu meminta upeti. Bekerjalah dengan ikhlas, tidak pakai pamrih. Padahal kalau dipikir-pikir, kerja mereka sangat melelahkan, uang yang didapatkan pun tidak seberapa. Sebenarnya mereka punya hak untuk meminta penghidupan lebih kepada pemerintah yang banyak dikabarkan televisi hobinya mengambil uang rakyat. Tapi tetap saja para pemulung itu tetap tidak boleh kerja pamrih. Subhanallah.

Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe

Lukisan di salah satu dinding rumah ini bertuliskan rumekti handarbeni. Maksudnya adalah kita harus menumbuhkan rasa memiliki. Memiliki terhadap apapun. Termasuk lingkungan rumah mereka, sehingga keamanan dan kenyamanan tetap terjaga. Tidak boleh saling sikut-menyikut, karena mereka semua bersaudara, mereka saling memiliki. Teduhnya kampung ini.

Rumekti Handarbeni

Pintu-pintu rumah warga Kampung Code tidak sepi dari tempelan stiker edukasi. Salah satunya adalah stiker mengaji. Begini bunyinya: Gerakan Masyarakat Gema Mengaji “Mengaji Maghrib”, matikan TV dan stop bermain waktu maghrib! Waaah penting banget ini. Sementara banyak tayangan menghibur di layar kaca, warga kampung diajak untuk mematikan TV, hanyut dalam sejuknya kalimat Allah agar selalu ingat dengan akhirat. Stiker begini baru kali ini saya temukan. Apalagi di lingkungan kelas bawah. Patut dicontoh!

Sticker Mengaji

Stiker lain yang banyak saya temukan adalah stiker merah bergambar anak laki-kali memegang pensil raksasa di bawah lampu belajar dan sebuah buku. Dalam stiker itu terdapat tulisan wancine sinau: jam 18.00-20.00. Ada jam wajib belajar bagi anak-anak setelah maghrib. Keren banget. Walau mungkin cara ini tidak terlalu efektif, setidaknya Kampung Code sudah memberikan edukasi yang tidak harus menggurui. Cara lain untuk mengajak anak-anak belajar adalah adanya papan bergambar bertuliskan saiki sinau 18.00-20.00, sesuk sak karepmu. Hahaha kalau dibaca hari ini, tentu besok boleh belajar seenaknya saja jam berapa. Tapi kalau dibaca besok (yang artinya juga hari ini), pasti harus juga belajar jam 18.00-20.00. Ada-ada saja ^^ Selain itu juga ada jam tempel di pohon kelapa yang jarum jamnya selalu menunjuk pukul 18.30 dengan tulisan ayo sinau! Seperti sudah lumrah belajar dan mengaji antara maghrib dan isya. Waw!

Sticker Belajar

Papan Belajar

Jam Tempel

Tapi jangan kira dengan banyaknya tulisan dan stiker itu kita merasa kampung ini terlalu serius. Justru warga-warga di sini sangat ramah menyambut saya, mempersilahkan main ke rumahnya, menunjukkan jalan, memperingati agar berhati-hati karena jalanan menurun cukup licin. Apalagi setelah sampai di sebuah bale warna-warni. Bale bernama Paseban ini, ujar Kakek Dartun, sering digunakan untuk tempat berkumpul warga. “Waktu tahun baru kemarin, anak-anak kampung mengadakan konser band disini. Seru sekali. Orang bule juga pada berdatangan.”

Sumringah di Paseban


Beberapa anak berlarian menghampiri saya, serobotan, bahkan ada yang terjatuh hanya untuk mengucapkan, “Hai kakaaaak!” Hahaha kenal saja tidak, sudah panggil kakak duluan. “Hai kaliaaaan!” Lalu muka polos mereka semakin sumringah melihat saya mengangkat kamera.

Selain bale ini, ada satu tempat yang sering dikunjungi anak-anak. Namanya Perpustakaan Romomangun. Nama perpustakaan ini tentu dipilih untuk menghormati sanga arsitek yang telah berjasa besar memperbaiki Kampung Code. Bangunan bertingkat ini tidak lepas dari tangan-tangan pelukis yang membuat motif segitiga hijau kuning, sehingga kesan kaku sebuah perpustakaan bisa ditutupi. Saya tidak sempat masuk ke dalam perpustakaan itu. Namun katanya terdapat ratusan buku bacaan dan sketsa rumah karya Romomangun disana.


Perpustakaan Romomangun

Ada satu keluarga yang sedang santai duduk-duduk di bronjong batu di bawah bangunan museum. Menikmati semilir angin siang dan melepas pandangan ke penjuru Kali Code adalah bentuk refreshing sederhana yang tidak terlupakan. Sambil melepas lelah berjalan keliling kampung, saya melihat gunungan pasir di seberang. Itu adalah satu dari banyak gunungan pasir sisa lahar dingin letusan Merapi yang melewati kali ini. Katanya juga museum hampir roboh diterjang aliran air pembawa pasir. Tentu upaya renovasi telah dilakukan.

Menikmati Siang

Bagaimana pun Kampung Code harus tetap bertahan di tengah desakan modernitas kota dan bahaya lahar dingin Merapi. Banyak warga yang terhidupi di kampung unik itu.