5/30/13

Si Roti Gambang

apa lo lihat-lihat?!


Semakin kosong waktu kita yang ada, semakin lengkap terlihat. Semakin lengkap kita, entah kenapa saya semakin merasa akan ada yang hilang. Ya, saya paham bahwa segala sesuatunya butuh pergerakan. Kamu pun butuh berpindah, tidak melulu tinggal di titik ini. Kamu harus beranjak ke titik berikutnya, untuk menyiapkan perjalanan ke titik yang lainnya lagi. Ketika Juli pun kian mendekat, kehilangan ini ternyata harus mencekat.

Sore pada pertengahan bulan Rajab indah, tapi ya seperti biasa. Gumpalan awan merah merefleksikan senja yang semakin tua. Sementara langit di kananmu mendung membawa berita hujan. Kita sama-sama tahu, langit itu biangnya paradoks, semua yang bertolak belakang bisa terhidangkan di bawah tudung saji kuasa Allah.

“Aku bakal kangen banget sama Bogor, nih, Kak,” ucapanmu terdengar sayup-sayup dari balik pintu.

“Halah, sok melankolis banget, sih,” ejek saya sambil melanjutkan menyapu yang sempat terhenti oleh kalimatmu yang tidak biasa.

Kamu duduk di kursi tua yang berkali-kali kita lem di tukang reparasi rotan. Everything, in this home, is getting older. Itu yang akhir-akhir ini saya ocehkan. Si gesit irit kita mulai terbatuk-batuk. Dulu bunyinya bruuum bruuum gagah. Sekarang tek tek tek kotek tek tek. Knalpot motor tua kita tidak sanggup lagi terlentang tegak. Ia patah tulang, jaraknya tidak sampai 10 cm dari aspal jalanan. Ayah tidak bosan mengingatkan, “Ayah ini sudah nggak bisa lagi minum kopi dan makan yang pedas-pedas, nanti ujung-ujungnya ke kamar mandi terus. Kok kayaknya gampang banget ya perut ini membersihkan diri?” Tuhan, apa waktu beliau sudah dekat? Jangan dulu dong, saya belum bisa kasih apa-apa.

Sekali lagi, segalanya mulai menua di rumah kita. Kamu juga, mulai tua. Kata Ayah, “Lihat, Kak, adikmu sudah segede ini.”

Kamu mendongakkan kepala, menantang langit, menebar rindu, mencuri-curi memori. Angin kadang menggoyangkan rambutmu yang menggondrong. Ponimu 15 cm panjangnya. Saya suka memain-mainkan rambutmu. Membelah tengah. Menyematkan kacamata bingkai persegi milik Mama. Membuatmu terlihat culun. Sudahlah, kamu jadi culun saja ya.

“Aku mau pelihara kumis, ah. Kan, keren, Kak. Laki!”

Jangan cepat tua dong, nanti nggak lucu lagi.

Menjadi saya, sering saya ingin ketawa sendiri. Ternyata menjadi kakak dari dua adik laki-laki itu seru. Apalagi mengikuti perkembangan kedewasaan mereka.

“Kak, aku minta lagu-lagu di laptop Kakak dong.”
“Lagu apa?”
“Apa aja. Efek Rumah Kaca. Payung Teduh. Dialog Dini Hari enak nggak, Kak? Sore?”
“Ah, mau jadi anak kuliahan, kamu? Mulai dengerin lagu indie nih ye. Ikut-ikut Kakak mulu.”

Dan siang tadi saya tertawa di boncenganmu karena akhir-akhir ini kamu manja sekali. Memang biasanya manja, tapi sekarang manja sekali. Kamu bertingkah kekanak-kanakan. Menelusup di tengah kemacetan Jalan Sholeh Iskandar jadi tidak membosankan. Bahkan mungkin berhasil menaikkan keimanan saya. Saya harus beristighfar berkali-kali karena hampir keserempet mobil. Haduh.

“Kita makan dulu, yuk?”
“Aku nggak bawa duit.”
“Aku yang bayarin.”
“Asiiiiik.”
“Beli dua porsi aja.”
“Iya.”
“Piringnya dua, Bang.”
“Jangan, Kak, satu aja. Kita makan sepiring berdua.”
“Nggak muat somay-nya.”
“Muat, kan, Bang?”
Abang tukang somay di hadapan kita terpaksa masuk ke dalam percakapan tidak penting, antara satu piring atau dua. “Piringnya gede, kok, Mbak.”
Kamu tersenyum menang. Maksa banget, sih nih bocah.

Ini bukan kali pertama kita menyempatkan waktu bersama. Kamu pasti tahu, kalau sudah begini, saya akan berbicara apa saja. Tidak bosan, kah mendengar yang itu-itu lagi? Apa kamu sengaja?

“Jadi mahasiswa itu nggak gampang,” mulai saya. Kunyahan somay-mu melambat, saya harus masuk di jeda yang kamu buat. “Kamu bakal menentukan jam berapa bangun tidur, dimana cari makan, menyiapkan baju, mencari ikat pinggang sendiri. Nanti hidupmu akan jauh berbeda dengan hidup di rumah. Nggak ada yang bisa ambilin handuk kamu karena kamu malas bawa handuk sebelum mandi. Nggak ada yang teriak-teriak bangunin Subuh. Nggak ada yang menyimpan piring bekas kamu makan di westafel. Nggak ada yang paksa kamu belajar malam-malam. Semuanya harus kamu sendiri yang kerjain. Belajar mandiri.”

Kamu menyeruput kopi dingin saya. Hei, minum punyamu sendiri -.-‘

“Kamu harus tangguh. Belajar yang rajin. Lawan kemalasan. Ingat, kan kata Kak Azima kemarin? Anak-anak tahun pertama banyak yang ngulang karena keasyikan main, nggak ada yang kontrol soalnya. Kakak juga mau kontrol kamu gimana? SMS? Kakak nggak percaya, hehehe.”

Saya terus saja berbusa wangi. “Yang penting mata kuliah yang kamu ambil saat itu harus lulus semester itu juga. Jangan ngulang. Biayanya mahal.”

“Tapi pasti lulus, kan?”

“Ya lulus, kalo kamu belajarnya rajin. Bukan kecerdasan yang bikin Kadek memperoleh nilai UN SMA tertinggi di Indonesia, tapi ketekunan.”

“Iye.” – tidak ada cemberut di mukamu. Hihihi tumben.

“Kalo sempat, naiklah ke gunung bareng teman-teman kamu.” – hahaha, yang ini tetep ya broooo. Usaha banget nih biar ada yang mau patungan beli tenda. Err.

Kamu menggeliat. “Yeee sih kakak, aku kan bukan kakak.”

“Oh iya, kamu kuliah jangan bisnis mulu. Keasyikan jualan waktu SMA ntar kebawa-bawa pas kuliah.”

“Kan lumayan buat nambah uang jajan. Nambah relasi juga. Lagian di Bandung banyak distro bagus.”

Lalu gantian kamu menceramahi saya tentang trik strategis berbisnis. Harus punya banyak teman. Link besar. Nggak perlu barang bagus yang penting lagi in dipakai anak muda. Harus berani pasang harga tinggi biar negonya nggak bikin rugi. Hahaha apa kata sampeyan dah!

Kamu jadi orang kesekian yang saya temui punya passion di bidang yang akhirnya tidak bisa kamu pelajari di bangku kuliah. Kamu terjun ke Teknik Telekomunikasi. Hei, sepertinya kamu harus berenang lebih deras dari arus air kalo masih teguh dengan impianmu. Cita-cita kita sama: punya warung kopi. Sederhana saja. Perpustakaan di sudut ruangan (kamu benci membaca, dan ini saya yang paksa). Jajaran hasil jepretan dan lukisan saya di dinding kayu. Kamu punya sense of coffee yang berlebihan, menurut saya, tapi wajib dimiliki buat orang yang mau bikin warkop modern.

“Minum kopi itu airnya harus segini biar kopinya menang. Pake gelas yang kecil. Aku lagi cobain rasa baru, nih.”

Chocochino. Dan saya tetap tidak suka kopi instan yang isinya gula doang.

“Yang ini rasanya beda, Kak,” bela kamu. Menurutku sama saja. Terlalu manis.

Percakapan makan siang kita terus mengalir. Kalo aku kuliah disini kerjanya ngapain? Kalo kerja itu kuliah apa? Mata kuliah yang aku ambil pasti nyambung ke mata kuliah berikutnya? Kuliah yang aku ambil bakal dipakai pas kerja nggak? Dan pertanyaan lainnya yang harus sabar saya jawab. Mudah-mudahan pengetahuan kamu tentang dunia perkuliahan nggak nol lagi ya?

“Tampomas banyak nggak, Kak, di Bandung?” – lagi-lagi kopi.

“Ya banyak lah. Kafe-kafe juga banyak.”

“Ngopi di kafe mah nggak nendang. Enakan ngopi di Tampomas. Angkringan malam-malam, menikmati suasana Bandung. Apalagi kalo habis hujan. Sedaaaap.”

“Kamu bisa ngopi sepuasnya deh. Tapi jangan lupa belajar. Jangan suka pulang larut malam. Nanti dikunciin ibu kos baru tahu rasa.”

Saya akui kamu punya selera yang tinggi. Tapi kalo kulinari, ndeso tenan! Hahaha. Bagus deh, makan tempe tahu terus mboten nopo-nopo lho yo.

“Tapi Kakak nggak tahu di Bandung ada roti gambang atau nggak?”

Kita tertawa. Roti dua ribuan itu selalu kamu tunggu tiap Minggu pagi di depan pagar rumah. Apakah Minggu yang akan datang kamu juga akan menanti tukang roti warna cokelat bertabur wijen itu di kostanmu? Saya senang kalo kecintaan kamu dengan roti gambang juga berdampak pada gaya hidupmu. Menjadi mahasiswa, maka mendesa lah, merakyat saja. Kamu bisa kuliah begini juga pakai bayaran pajak orang susah. Kamu kuliah itu supaya bisa menyejahterakan yang susah. Bersusah-susahlah, Dik, hitungan Tuhan akan literan keringat yang kamu kucurkan mudah-mudahan menghadirkan kebaikan-kebaikan.

Selamat memasuki dunia perkuliahan. Kamu harus kuat!

5/28/13

See You

Nowhere to Go
Saya ingin sekali pergi ke suatu tempat, dimana tidak ada orang di sana. Saya hanya sendirian saja. Jangan ada siapa-siapa.

Ya, tidak mungkin lah.

Kenapa? Tentu saja mungkin.

Tentu saja tidak mungkin. Memang dunia ini hanya ada kamu seorang?

Memang tidak. Tapi masa di dunia seluas ini tidak ada tempat kosong? Harusnya ada satu tempat yang saya hanya manusia seorang, sejauh apapun itu.

Kenapa harus sendirian?

Kamu tahu, kan saya bukan orang yang bisa lepas dengan orang lain?  Saya tidak mudah mengutarakan apa saja, bahkan kepada orang terdekat sekalipun. Biar semua saya yang rasakan. Tidak dengan orang lain. Biar saya lepaskan semua kepada Tuhan.

Ya ya, saya tahu. Kamu memang begitu. Ramai bersama orang padahal jiwa minta sendiri. Maaf saya bertanya.

Saya mau sendirian saja mendaki hingga puncak gunung, tidak harus yang tertinggi. Atau sendirian merasa desau angin pantai, mendengar desis deru ombak. Sendirian saja. Dan, yeah, dengan Tuhan, yang selalu mengamati saya dari Arsy-nya yang tinggi di atas sana. Saya ingin berdua saja dengan Tuhan.

Kamu mau ngapain memang?

Saya mau sendirian saja ke tempat yang jauh, berbicara dengan Tuhan. Mengadu semuanya dari A sampai Z. Saya mau bilang kalau perahu saya ingin segera melabuh. Saya kira saya sudah menemukan dramaganya. Saya perlu angin dari Tuhan agar meniupkan layar saya kesana.


Tapi saya tidak tahu apakah pelabuhan ingin saya menjangkar kepadanya. Harapan kami jelas sama, tapi apakah masing-masing jelas kepada masing-masing yang lain? Saya tidak tahu. Kalau saya sih iya. Kalau dia, saya tidak tahu.

Makanya kamu memilih menghindar?

Mungkin menghindar. Saya tidak tahu pasti. Saya merasa waktunya belum sekarang. Tidak tahu kapan. Saya tahu kamu tahu, jika belum terikat syariat, tidak boleh kami tidak menjauh satu sama lain. Kekuatan Tuhan itu besar. Saya takut kenapa-kenapa kalau melanggar.

Tapi kamu manusia, bukan makhluk suci. Kenapa bila melanggar?

Toh kalau bisa dihindari, kenapa pelanggaran harus kita jalani? Ya, sebagai manusia ini tidak mudah. Saya pelan-pelan sedang menghindar.

Hm … Tapi kalau ternyata ia memang bukan pelabuhanmu, bagaimana?


Bagaimana?

Tidak tahu. Saya belum pernah merasakan yang sebesar ini. Saya terlalu yakin. Bukankah keyakinan itu baik?

Yakin atau napsu?


Sebelum kamu melabuh, selamilah kedalaman hatimu dulu. Apakah ia pelabuhan yang tepat?

Mana saya tahu. Saya rasa ia tepat. Tapi saya tidak tahu apakah memang dia? Makanya saya mau pergi ke sepi yang jauh. Ke tempat dimana tidak ada desakan orang-orang. Atau tidak ada perasaan bersalah saya kepada orang lain. Saya mau sendirian bertanya kepada Tuhan, “Apakah ia pelabuhan yang tepat? Dimanakah sebenarnya ia berada? Ia yang katanya sudah digariskan bahkan ketika saya belum bisa mengunyah.”

Lalu kalau Tuhan menjawab pertanyaan itu, apa kamu siap?

Jujur saja, saya belum siap menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi. Namun kenyataan yang selama ini mengambang, membuat saya capek. Mau tidak mau saya harus siap, meski saya belum siap. Selama berjalannya waktu, mudah-mudahan saya jadi siap.

Apa menghindar itu membuat capek?

Lebih tepatnya membuat saya tidak tahan. Kamu tahu, kan maksud saya? Ini sulit. Sekali.

Kalau begini saja kamu sudah menyerah, bagaimana nanti?

Kamu tidak tahu sih bagaimana menjadi saya?

Tentu saja saya tahu. Saya kan kamu. Kamunya saja yang selalu menolak.


Saya kira ini cara Tuhan mengujimu. Menguji kita, maksudku. Apakah kamu, eh kita, eh saya, eh siapa pun, saya pakai kamu saja ya?

Terserah.

Saya kira ini cara Tuhan menggiringmu dalam sebuah perjalanan. Bahkan semua ini mungkin perjalanan itu. Bagaimana kamu benar-benar teguh pada tujuanmu, yang menurutku, suci itu. Saya tahu kamu benar ingin melabuhkan diri. Tapi apakah kamu teguh kepadanya? Hei, selain perahu, bukannya kamu juga pendaki? Harusnya kamu paham bagaimana proses mencapai puncak, dong. Tanjakan terjal, batu licin, tertusuk duri, kehujanan, banjir keringat. Seharusnya ini mudah.

Hei, mendaki gunung itu tidak sesulit ini. Ketika mendaki gunung, saya dalam keadaan terdesak harus selalu melawan kesusahan karena saya juga harus pulang dengan selamat. Nah, kalau ini? Kenikmatan-kenikmatan yang ada malah melalaikan saya.

Makanya, Tuhan menguji keteguhanmu. Ternyata memang benar, kenikmatan itu ujian yang paling berat. Berjuang melawan kenikmatan dunia demi kenikmatan akhirat itu keren!

Dan sulit. Jangan lupa itu.

Mungkin juga ini cara Tuhan untuk membuatmu lebih siap. Kamu tahu, bukan berarti setelah melabuh, kamu bisa menjangkar dimana pun. Banyak batu-batu besar yang akan menyulitkan jangkarmu menancap. Setelah menjangkar pun, kamu akan dihadapi dengan kenyataan bahwa tidak kamu saja yang berlabuh, tapi juga kapal-kapal lain, ya walaupun kamu punya lisensi khusus. Toh dunia ini tidak hanya ada satu perahu dan pelabuhan saja. Akan banyak kapal yang berlabuh di pelabuhan. Datang. Pergi. Bahkan mungkin segera pergi, tapi mampu membuatmu sesak lagi. Akan banyak pelabuhan yang menawarkan peristirahatan untukmu, padahal kamu sudah punya pelabuhan khusus.

Tapi kan nanti kami akan terikat perjanjian. Itu tidak akan sesulit sekarang.

Lho. Mana kamu tahu? Memangnya kamu Tuhan yang bisa tahu akan bagaimana nanti? Bukan, toh? Jalan kamu masih panjang. Dan jalan yang sedang kamu tapaki ini, segala prosesnya, harus menjadi bekal untuk perjalanan selanjutnya.

Hei, sadarkah kamu pembicaraan ini terlalu jauh? Saya hanya ingin ke suatu tempat dimana saya bisa berbincang sepuasnya sendirian. Itu saja. Ada tidak? Dimana? Kenapa jadi ke pelabuhan?

Lho, bukankah kamu ingin mengadu tentang pelabuhan makanya butuh tempat menyendiri?

Iya. Dimana?

Bisa dimana saja, menurutku. Tidak harus jauh. Tidak di ketinggian gunung atau kedalaman laut. Tidak harus teriak-teriak. Tidak juga ditulis pada kertas yang dilarungkan ke riak-riak. Tuhan Melihatmu, kamu sendirian atau di keramaian pasar. Ia Mendengar ke kedalaman hatimu tanpa harus kamu ucapkan. Kamu hanya perlu menghadirkanNya dalam dirimu. Terbukalah. Mintalah ke Tuhanmu di mana saja dengan siapa saja kapan saja. Mintalah agar hatimu terbuka.


Pergulatan hatimu ini jangan membikin kamu lupa kalau Tuhan itu baik. Sembilan puluh sembilan nama baikNya jangan kamu sebut saja. Kenali, pahami, hidupkan dalam hidupmu. Sabarlah. Bersabarlah dalam menghindar agar tercipta ikatan yang terbaik. Bukankah Tuhan bersama orang-orang yang sabar? Bagaimana Tuhan menjawab nanti, itu adalah harga yang harus kamu terima. Maka jual belilah hanya kepada Tuhanmu dengan baik-baik.

Hei, terima kasih, ya. Malam ini bagus. Saya merasakan ketenangan. Percakapan kita bolehkah saya jadi pengingat bila saya lalai?

Hei, saya, kan kamu. Mari kita saling mengingatkan.


And see you at the top of nowhere to go.

5/26/13

Papandayan bagian 4: Galau? Makan Chocodot Aja!



28 April 2013

“Eh, main air, yuk,” ajak saya pagi sekali. Saya diajak melihat matahari terbit sama Kak Rahmi, Kak Sule, dan Fahmi di kawah. Aduh, males banget, hehe. Mari kita telusuri sisi Papandayan lainnya.
Elok menyanggupi, “Ayo, Nis.”
“Dimana?” Anggun tergiur.
“Ikut gue.”
“Nyeker aja tapi,” pinta Anggun. Ya sudah, sekalian menjemur sepatu.

Di sebelah area kemping kami terdapat hutan yang di dalamnya ada sungai kecil. Kaki kami yang tanpa alas  kesakitan karena jalan berkerikil. Kadang saya menginjak batu besar dan cabang cantigi. Tapi kalo sudah menceburkan kaki ke dalam air, segeeeeeerr. Kalo kalian juga mau main kesini, hati-hati yak arena batu di dalam sungai ada yang licin. Tapaki batu yang warnanya putih. Batu oranye itu yang licin. Dan jangan lupa, foto-foto. Hehe.

Main ke Sungai Bersama Elok: difoto oleh Anggun

Masih nyeker, saya, Elok, Anggun, dan kini ditambah Diska main ke Menara Pandang. Sebagai manusia yang teguh pada takut ketinggian, saya nggak berani naik ke menara. Hanya Anggun dan Diska saja. Saya dan Elok anteng menunggu di bawah, mengintip kawah dengan teropong punya Kak Sule. Kata Anggun, dari atas menara kita bisa melihat kawah, parkiran, dan tenda kami. Hm… nggak perlu naik menara untuk melihat semua itu. Saya nggak butuh perspektif lain, hehe *plak*.

Menara Pandang

Selesai puas bermain dan sarapan. Waktunya bersih-bersih dan pulang.

Dadah Papandayan: difoto oleh abang-abang yang nggak tahu namanya

Pulang: difoto oleh Anggun

Eh baru sadar kalo rain cover kami mayoritas Avtech. Wah, minta royalty jadi sponsor nih hehe.

Pulang ke Cisurupan naik kolbak lagi. Diblender jalan rusak lagi. Susah senang ditelan bersama biar kenyang rame-rame. Dibikin galau sama tukang angkot karena kita sama-sama bingung mencari pusatnya Chocodot di Garut.

Pusat Oleh-oleh Garut
 
Chocodot apa sih, Nis? Itu loh nama brand cokelat khas Garut yang ‘dinaikkin’ sama mantan wakil gubernur Dicky Candra – pelawak yang akhirnya mengundurkan diri jadi wakil rakyat gara-gara rekan kerjanya, si Aceng Fikri, suka mainin cewek. Hehe, sumpel mulut saya sini Ceng kalo berani *kaburduluan*.

Kembali ke Chocodot. Sebenarnya rasa cokelatnya biasa aja. Tapi namanya itu loh, unik-unik sekali. Kalo kamu galau, Cokelat Anti Galau siap mengusir kegalauan kalian, hehe. Benci sama orang alay? Lempar aja pakai Cokelat Cegah Alay. Bosan miskin terus? Makah tuh Cokelat Tolak Miskin. Hehehe lucu, kan? Saya beli Cokelat Cegah Alay buat Arini, hahaha damai neng. Ada juga Cokelat Cetar Membahana ala Syahrini dan cokelat rasa jahe buat keluarga di rumah.

Funny Brand
 
Selain namanya yang lucu, desain bungkusnya juga bagus. Saya bisa tahu tempat wisata seru lainnya di Garut melalui kemasan cokelat. Kapan-kapan mampir ke gunung lain di Garut deh. Cikurai! Pengen banget kesana! *berdoa*

Chocodot
 
FYI, Chocodot itu singkatan dari Chocolate with Dodol Garut. See, Garut terkenal dengan dodolnya, kan? Kalian juga bisa merasakan lezatnya cokelat dengan dodol sekaligus kalo mencoba Chocodol. Oleh-oleh Garut lainnya ada wajit dan dorokdok. Apa itu? Makanya, mainlah ke Garut, hehe *calondutawisata*. Saya pengen banget beli miniatur domba laga khas Garut. Itu loh, domba yang pakai kalung merah dan tanduknya lucu itu. Tapi uang saya nggak cukup.

Chocodol
 
Oh iya, membahas tentang uang, berapa sih harga Chocodot itu? Kalo cokelat rasa jahe yang saya beli harganya Rp 8.000. Chocodot Cegah Alay dan teman-temannya itu seharga Rp 12.000. Memang sih ukurannya lebih besar. Makanya lebih tinggi. Sebagai turis dengan keuangan menipis (maklum, masih mahasiswa), harga cokelat ini mahal banget.

Cukup ngiler dengan oleh-oleh Garut dan nggak bisa membeli banyak, tukang parkir membantu kami memanggil bus jurusan Garut-Kampung Rambutan. Label di badannya sih menawarkan AC segar, tapi kalo sudah di dalam bus, panaaaasnyaaa nggak bisa dimaafkan. AC nyala sebentar banget, ngadat-ngadat pula. Beeeuuuh. Dari Kampung Rambutan, kami naik bus AC beneran menuju Baranangsiang. Lanjut naik bus Pusaka yang sumpeknya bikin saya matang menuju Kemang. Alhamdulillah sampai ke rumah nggak terlalu malam. Cepat-cepat isi tenaga dengan tidur karena besoknya saya harus mendaki lagi di Gunung Mas *betisdrogba*.

Sebagai penutup safarnama saya yang panjang ini (sampai 4 bagian booo *tepuktangan*), saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sependakian saya karena sudah sabar dan menerima saya begini adanya. Jangan kapok mendaki bersama saya, ya. Maaf sempat bikin was-was di Hutan Mati. Terima kasih kepada supir bus dan angkot yang harus saya maklumi cara menyetirnya. Yang paling penting, terima kasih kepada Allah SWT yang memberikan saya pengetahuan baru melalui kelas Papandayan ini. Terima kasih juga kepada orang tua yang mengizinkan saya kembali mendaki gunung. Ayo kasih senyum ejekan ke Dika (adik saya) yang mukanya sebel banget melihat foto-foto seru kami. Hehehe. Kapan-kapan ya Dika ^^

Selama perjalanan menuju Kampung Rambutan, saya meminta Anggun memotret pesan dari Lao Tzu yang terjahit di tas pinggang salah satu penumpang bus. Makasih ya, Nggun. See you for our next hiking! What? Pangrango? Semeru? Everest? Nyooook *dompetkosong*.

Pesan Lao Tzu: difoto oleh Anggun

Bersama mereka lah safarnama ini ditulis.

Dari kanan ke kiri: Kak Sule, Kak Rahmi, Kak Ifa, Fahmi, Anggun, Diska, Elok, saya. Difoto oleh self timer lagi

Papandayan bagian 3: It’s Tek Tok Trekking Time!



27 April 2013

Sebelum memulai safarnama ini, akan lebih baik saya beritahu dulu. Kamera saya ngambek kemarin malam, tiba-tiba batre habis padahal baru diisi penuh. Kayaknya kena virus tuh. Inilah karma bagi manusia yang malas merawat barang elektronik seperti saya. Hp, kamera, laptop bervirus semua. Maka foto-foto yang akan disajikan berikut ini adalah hasil memotret saya menggunakan kamera Anggun. Terima kasih Anggun karena bersedia menyerahkan – hanya selama di Papandayan – kamera anyar Anda. Nah, kalo ada foto sayanya berarti bukan saya yang memotret, nanti akan saya cantumkan siapa yang memotret sebagai apresiasi dari saya. Hahaha penting banget nih, fotografer harus dihargai dong!

Karena kata teman-teman puncak Papandayan nggak sekosong puncak gunung lain, maka kami nggak mengejar matahari terbit di puncak. Kosong maksud saya itu ada lahan luas. Puncak Papandayan itu penuh pohon, susah kalo mau melihat matahari, harus manjat pohon dulu. Lagi pula, gunung tidak hanya tentang matahari terbit dan pantai tidak hanya tentang matahari terbenam. Jadi, apa yang kamu kejar di Papandayan, Nis? Hm, apa ya? Nggak tahu tuh. Pelepas kangen udah lama nggak mendaki aja.

Pagi-pagi kami memilah dan memilih barang apa saja yang akan dibawa. Minuman dan makanan. Yaiyalah. Selain itu bawa matras, perlengkapan sholat, kompor, oksigen, fly sheet, jas hujan, dll. Hanya Kak Sule, Fahmi, Kak Ifa, Kak Rahmi, dan Diska saja yang membawa gendongan. Isi tas mereka masuk ke carrier saya dan saya titip di kantor administrasi bersama tas Elok dan Anggun. Ihiiiy, mantap banget nih saya nggak bawa apa-apa. Eh eh pada akhirnya tas Diska gantian saya yang bawa. Kantong sampah hasil pungutan saya dan Kak Rahmi (nanti ada bagian khusus cerita ini) juga saya angkut. Perjalanan turun gunung giliran saya yang bawa carrier Kak Ifa. Yayaya atas nama solidaritas, gantian lah bawa beban, lagi pula nggak berat-berat amat.

Jam 8 lewat sekian kami baru melangkah keluar parkiran setelah cukup lama menunggu teman-teman PTN saya menerima panggilan alam. Hehehe, agak deg-deg-an mungkin ya karena ini pendakian pertama mereka. Untung saya sudah menerima panggilan alam kemarin malam. Jadi nggak terlalu memperlambat keberangkatan. Hahaha, nggak penting banget sih ini diceritain.

Trek Kawah

Keluar dari parkiran, jalan con block yang rusak membentang. Kami berjalan bersisian dengan suami istri petani yang juga ikut naik dalam perjalanan menuju kebun mereka. Agak bingung juga sih, dimana-mana batu dan pohon, mana kebunnya? Harus saya akui, kekuatan kaki mereka keren sekali. Setiap hari harus menyebrang kawah untuk berkebun. Apalagi sang suami, ia memanggul beban yang sangat berat di punggungnya. Peluh tak ayal menetes dari keningnya. Sang istri yang berjalan di depan sesekali menunggu sang suami.

Petani Seberang Kawah
 
Kalo sudah begini, saya suka sebel sendiri. Banyak punggung-punggung keluarga yang menanggung beban hidup di desa-desa, bahkan di tempat ekstrim seperti di kawah gunung. Melalui jalan yang sulit, membawa karung berkilo-kilo, mendapatkan hasil yang kalo di jual di pasar juga tidak seberapa, bisa membiayai anak sekolah ke kabupaten sudah untung besar. Tapi di kota, banyak sekali mereka yang berdasi kinclong kerjanya hanya duduk-duduk di belakang meja porselen sambil menikmati sejuknya AC. Kesuksesan mereka diukur dengan berapa banyak mobil pribadi yang nangkring di garasi, seberapa jauh anak Anda bersekolah ke luar negeri, seberapa tebal dompet Anda disesaki kartu ATM yang isinya berpuluh-puluh juta. Saya nggak paham adil itu apa, hanya Sang Maha Adil saja yang bisa memberi keadilan bagi kita semua dan mengadili kita di hari pengadilan nanti.

Menunggu Suami
 
Sepuluh menit berlalu, mata kami dimanjakan oleh pemandangan kawah yang bagus banget. Subhanallah! Kawah Papandayan beda banget dengan Kawah Ratu yang pernah saya sebrangi saat ke Salak dulu. Di Kawah Ratu, jejeran pohon gosong menyambut saya sebelum akhirnya mencapai kawah utama. Nah kalo di Papandayan, saya menemui kawah dulu baru hutan matinya. Keren lah.

Rombongan Unpad
 
Hm, kek mana saya mendeskripsikan Kawah Papandayan ini ya? Asap putih pekat membumbung tinggi. Wangi belerang menyengat. Jutaan batu kawah dari yang kecil banget dan bikin tergelincir sampai yang segede bentangan tangan manusia. Bunyi gemericik aliran air kecil di sela-sela batu. Suara blubuk-blubuk air abu-abu mendidih yang mungkin bisa bikin kita mateng dari dalam lubang. Seekor Scarabaeidae sebesar jempol merayap lucu. Dan ini yang paling saya suka: ratusan cantigi berumur jagung di sepanjang kawah. Dengar-dengar tahun 2007 (benar nggak?) Papandayan meletus. Nah, pohon-pohon cantigi ini baru saja ditanam sebagai usaha manusia mengonservasi daerah bekas letusan. Memang masih kecil, sih. Mudah-mudahan kalo ada izin Allah datang lagi kesini, cantiginya sudah besar-besar ya. Kan lumayan buat tempat berteduh hehe.

Generasi Baru Cantigi: difoto oleh Diska
 
Aduh maaf narsis dikit di kawah haha. Oh iya, kalo kalian lewat kawah (dan memang harus lewat kawah kalo mau tahu keindahan Papandayan lainnya), jangan lupa mengenakan masker atau bawa tisu basah wangi ya. Ini penting banget karena hawa belerangnya cukup menusuk hidung. Kalo nggak kuat bisa pusing. Tapi seingat saya, kemarin itu nggak sebau di Kawah Ratu.

Saya mengenakan pasmina bukan untuk gaya-gayaan (plis deh, siapa juga yang mau lihat saya nge-gaya di gunung? Tapi kata Kak Rahmi, “Sumpah, lo jilbaber abis.” Bodo -.-). Pasmina ini multifungsi. Selain jadi pengganti syal dan bikin hangat, kain ini bisa kalian modifikasi sesuai kebutuhan. Misalnya, penutup kepala dan wajah dari panas (padahal udah ditutup kerudung, eh), pengganti masker (ampuh nih), pelindung bagian leher (lumayan kalo ada angin lewat), penghapus peluh kalo keringatan, dan sebagai senjata kalo ada yang berani macam-macam sama saya, biar saya ikat kreeek.

Pemulung di Gunung

Trek kawah terlewati. Alhamdulillah tabung oksigen belum terpakai di sini. Perjalanan dilanjutkan melalui jalan lebar dan tetap berbatu. Kami bertemu dengan rombongan Unpad ketika hendak melewati sungai kecil. Yah, basah dong? Tenang kawan, banyak batu-batu besar yang bisa ditapaki sehingga sepatu tetap kering. Tapi tetap harus hati-hati karena licin. Kalo jatuh kan sakit (yaiyalah).

Jalan mulai menanjak. Di pinggirnya terdapat tebing tinggi dengan pipa-pipa saluran air tertambat. Kalo ada yang iseng bolongin pipa, waaaaahh minta dikeroyok satu kampung tuh! Orang di bawah susah-susah dapat air, eh pipanya malah dirusakin. Nggak berkeprikemanusiaan banget sih. Agak sebelnya lagi adalah melihat coretan nama-nama anak alay di dinding tebing. Aduh kasihan itu tebingnya kotor hei.

Dan yang paling menjengkelkan yaitu banyaknya sampah berserakan di sepanjang jalan. Kak Rahmi menggerutu nggak karuan. Teman saya selama memimpin jalan itu membungkuk dan mengambil satu-satu sampah yang terlihat. Waaah keren banget kakak yang satu ini. Selama mendaki, baru kali ini saya lihat orang yang langsung melakukan tanpa banyak bicara. Dan dia berhasil membuat saya malu untuk diam saja. Alhasil kami berdua jadi pemulung sampah dadakan di Papandayan.

“Gue pernah buang sampah di gunung soalnya, jadi merasa bersalah,” kata Kak Rahmi.
“Iya, gue juga, kak.”

Kak Rahmi's Simple Action

Plastik permen, putung rokok, bungkus mie instan, kemasan minuman saset, dan masih banyak lagi jenis sampah yang kami ‘koleksi’. Bahkan saya menemukan 2 kardus nasi liwet Seribu Satu (anak IPB pasti tahu) yang sengaja disembunyikan di antara semak-semak berduri. Sialan banget nih orang yang buang. Kagak tahu sopan santun. Mau buang sampah jangan disembunyiin dong, kan susah ambilnya.

Melihat kami ribet membawanya, Fahmi menawarkan trash bag-nya. Berasa sinterklas abal-abal, saya membawa kantong besar itu. Sayangnya isinya bukan hadiah, tapi sampah. Mudah-mudahan sih bisa jadi hadiah bagi kebersihan Papandayan ya.

Alhamdulillah ya trek Papandayan mudah, aksi bersih gunung (semampu kami, nggak bersih-bersih amat sih) ini nggak menguras tenaga. Lumayan mengisi waktu luang setelah Kak Rahmi nggak bosan-bosannya memperingatkan, “Nis, jalannya jangan cepet-cepet.” Sambil menunggu teman-teman yang tertinggal di belakang, bisa memulung sampah sambil curi-curi istirahat. Saya dan Kak Rahmi memulung hampir setengah trash bag. Kalo dijual ke tukang loak, udah dapat berapa rupiah tuh? Lumayan kayaknya buat beli nasi goreng.

Boleh lah ya saya persuasif sedikit di blog saya sendiri. Buat teman-teman pendaki, slogan “Pendaki sejati tidak meninggalkan apa pun kecuali jejak” jangan untuk keren-kerenan aja. Just do it. Jejak yang ditinggalkan tuh ya tapak kaki kita di tanah. Bukannya coretan nama di tebing atau penanda titik puncak dan sampah. Nah, mumpung trek Papandayan gampang, saya akan sangat berterima kasih sekali kalo ada Kak Rahmi-Kak Rahmi lain yang mengikuti aksinya. Apalagi kalo sengaja dibikin pendakian khusus untuk bersih-bersih gunung. Wah, mantap banget tuh ^^

Pondok Salada

Jalan menuju Pondok Salada agak sempit, menanjak, dan licin berbatu. Kami harus hati-hati, karena kalo bengong sedikit, di sebelah kiri jalan sudah menganga jurang yang siap melahap kami kapan saja. Trek ini juga dilewati pendaki yang menaiki motor gunung. Kalo mau melipir, cari jalan yang agak lebar, jangan terlalu dekat dengan bibir jurang. Kalo nggak ada jalan lebar? Ya harus jalan cepat, bahkan lari, sampai menemukan jalan yang agak lebar.

Fasilitas motor gunung ini sangat dimanfaatkan oleh romobongan Draco. Pasalnya mereka akan melanjutkan kemping berisik mereka (maaf nyablak terus) di Pondok Salada. Banyak pengendara motor gunung yang membawa tenda dan kebutuhan Draco lainnya. Bisa sampai Rp 300.000 ongkosnya. Selama perjalanan, saya harus berbagi jalan dengan motor gunung. Memang trek menuju Pondok Salada adalah ceruk tanah bekas jalan ban motor.

Entah jam berapa kami sampai di halaman luas yang mampu menampung hingga 30an tenda. Yap. Inilah Pondok Salada. Kami menemukan beberapa pohon edelweiss (eh, edelweiss pohon atau perdu?). Wah udah bikin senang mata nih. Kami tidak istirahat di Pondok Salada. Rame nian. Kami keluar dari kawasan Pondok Salada dan menepi di area sebelum sumber air.

Ngaso di Pondok Salada


Nyemil-nyemil deh. Cokelat satu-satunya yang saya bawa dihabiskan oleh teman-teman, terutama Fahmi (gantiin woi). Hiks. Padahal saya belum cobain (yaelah, rasa coklat kan gitu-gitu aja). Ditawarin gula jawa, comot. Ditawarin minum, comot. Diminta foto-foto, let’s go! Sementara itu Kak Ifa dan Kak Rahmi mengisi botol minuman dengan air. Nah, air di sini manusiawi sekali. Alhamdulillah ya, dapat air segar gratis!

Kami harus melewati sumber air untuk mencapai Hutan Mati. Dan yeah, harus memutar masuk ke hutan dan nggak tahu kemana ujungnya kalo mau menghindari basah. Berhubung di antara kami nggak ada yang tahu jalan memutar, mau nggak mau ya harus nyebur. Byuuuur. Meskipun ada alang-alang yang bisa ditapaki, kalo salah ambil jalan ya nyeblos juga. Oh iya, di tengah-tengah jalan air ini banyak beralur pipa air. Hati-hatilah dalam melangkah, nanti malah mengijak pipa air dan patah. Aduh, sayang banget nanti yang di bawah nggak kedapatan air. Nggak apa-apa lah nyebur sedikit, biar nggak mematahkan pipa dan membantu penduduk di bawah dapat air, ocreeee? Toh basah bisa kering ini kalo dijemur.

Hutan Mati

Tali rapia yang disediakan pengurus wisata Papandayan sangat membantu saya menjadi penunjuk jalan teman-teman. Mendaki sebentar keluar dari Pondok Salada, vegetasi cantigi mulai berkurang. Jalan tanah berganti dengan batu-batu kecil keputihan. Inilah spot yang paling saya suka: Hutan Mati. Yuhuuuu.

Ya Allah, sumpah tempat ini keren banget. Sesuai dengan namanya, di Hutan Mati banyak sekali pohon-pohon yang sudah mati akibat letusan sebelumnya. Yang tersisa hanya batang-batang yang gosong, warnanya hitam pekat. Hewan yang saya temukan hanya laba-laba. Tidak sedikit mereka membuat sarang di sana.


Hutan Mati: difoto oleh Anggun

Saya membayangkan dulu di jalan saya berpijak mengalir lahar dari kawah. Membakar pohon-pohon. Mematikan semua yang hidup. Pasti seram banget. Namun siapa yang mengira, bertahun-tahun berikutnya Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati. Cantigi-cantigi bermunculan. Laba-laba asyik bermain di antara cabang pohon gosong. Sedikit menoleh ke atas hutan mati, banyak pula pohon cantigi yang sudah tumbuh besar. Gradasi dari hijaunya hutan menuju hitamnya Hutan Mati membuat hati tersadar, “Ini kalo bukan karena kekuasaan Allah, nggak akan ada kayak gini.” Antara yang hidup dan mati tidak ada sekat yang jelas. Indahnya.

Kawasan Hutan Mati ini saya rekomendasikan menjadi tempat foto pernikahan yang ajib. Hahaha. Lalu teman-teman saya menambah imajinasi acara pernikahan di Hutan Mati. Haloooo, itu penghulunya udah pada gempor duluan kali jalan dari kawah, boro-boro sampai ke Hutan Mati. Hehehe. Eh, tapi boleh juga tuh ^^

Mejeng di Hutan Mati: difoto oleh Kak Rahmi

Foto-foto adalah agenda penting yang harus dilakukan. Narsis parah nih. Di Hutan Mati ini ada danau kecil di dekat bibir kawah. Pengen banget foto di sana. Namun, Tegal Alun sudah lama setia menunggu kami. Mudah-mudahan ketika pulang nanti bisa mampir ke sana.

Tegal Alun

“Nis, jaga jarak, Nis.”

Suara Kak Ifa sayup-sayup terdengar dari belakang. Saya memperlambat kecepatan. Coki-coki dari Anggun masih nangkring di mulut. Nggak kebagian Silverqueen, Coki-coki pun jadi. Jalan yang terus menanjak mulai menyusahkan kami. Keringat mengalir dari balik kerudung.

“Nis, di depan udah Tegal Alun belum?”
“Belum belum. Bentar lagi.”

Bentar lagi? Padahal saya juga belum pernah kesini. Mana saya tahu Tegal Alun sudah dekat atau tidak. Sempat saya berpikir, “Apa gue salah jalan, ya? Kok nggak nyampe-nyampe?” Tenang, Nis. Itu sugesti doang. Ikuti saja terus tali rapianya. Just enjoy it. Kata ‘bentar lagi’ saya harapkan bisa menumbuhkan optimisme teman-teman yang mulai kelelahan. Ayo jalan terus. Istirahatnya nanti aja dipuas-puasin di Tegal Alun.

Rasa khawatir tersasar hilang begitu saja ketika saya melihat papan nama bertuliskan Tegal Alun. Saya teriak sambil berlari menyerbu padang edelweiss itu.

“Mak, Tegal Alun, Maaaaaak!”
“HAHAHAHAHAHA.”

Eh, siapa itu yang ketawa? Teman-teman saya, kan masih di belakang. Jangan-jangan ada makhluk halus yang menertawai tingkah norak saya. Ternyata eh ternyata, ada rombongan pendaki lain yang lagi nge-camp di Tegal Alun. Aduh, malu boooo. Saya kira nggak ada orang lain. Langsung saya membalikkan badan.

“Malu banget lo, Nis,” ejek Kak Rahmi.
“Banget, Kaaaaak. Kalian jalan duluan aja. Gue di belakang,” ujar saya mencari perlindungan.

Udah. Malunya disimpan di trash bag aja. Waktunya foto-foto, cui!

Di Antara Edelweiss: difoto oleh Anggun

Kalo edelweiss di Pondok Salada biasa aja. Edelweiss di Tegal Alun itu luaaaarrr biasaaa. Jadi ingat Surya Kencana di Gede, nih. Berhektar-hektar edelweiss tumbuh sangat rimbun. Menyembul di antara rerumputan kecil. Sayang sekali bunganya sedang tidak mekar. “Belum musimnya, nanti Juli pada mekar,” jelas Kak Ifa.

Kak Sule mengobrol dengan pendaki lain yang berhasil menyergap kebodohan saya. Mereka nekat banget kemping di Tegal Alun. Padahal kan dilarang. Di Tegal Alun itu masih banyak berkeliaran babi hutan dan macam putih. Hiiiii, serem.

Fahmi dan Kak Ifa mencari jalan menuju puncak. Sisanya, termasuk saya, beraksi bak foto model yang nyasar ke gunung. Hohoho. Sebagai pendaki, sebaiknya jangan mengambil apapun kecuali gambar alias foto. Yo wes, jepret sana jepret sini deh.

Grab the Sky

Bersama Anggun: difoto oleh self timer haha
Lagi asyik bergaya, tiba-tiba Kak Ifa dan Fahmi berlari menghampiri kami. Meminjam kata Kak Sule, mereka lari-lari seperti di film India. Hahaha. Setelah mencari jalan menuju puncak, mereka menyarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak.

“Ada jejak binatang gitu. Mungkin babi atau macan,” Fahmi memucat ngos-ngosan.
“Lagi pula kabut tebal banget,” sambung Kak Ifa.
“Ya sudah nggak usah ke puncak. Foto-foto aja di sini,” ajak saya. Tetep ya booo, foto-foto is numero uno hehe.

Menjemur???

Lihat foto di atas? Aduh parah banget memang kelakuan Fahmi dan Kak Sule. Masa menjemur kaos kaki di atas edelweiss gitu. Kan kasihan bunganya kebauan. Nanti malah nggak mekar lagi. Jangan diikutin ya kawan-kawan hehehe.

Setelah puas foto-foto, kami berpamitan dengan rombongan yang nge-camp di Tegal Alun. Kami melanjutkan perjalanan pulang. Puncak Papandayan tidak terjajaki. Nggak apa-apa, Nis. Lain kali bawa keluarga sampai puncak ya. Aamiin ya Allah, mohon diizinkan. Aktivitas mendaki langsung turun ini dikenal dengan nama tek tok. Lucu ya?

Perjalanan Pulang

Turun gunung melalui jalan yang sama mampu memberikan nuansa yang berbeda. Bahkan lebih mencekam. Jeng jeng jeng. Kepercayaan terhadap orang lain sangat diuji dalam perjalanan pulang kami.

Kini giliran Fahmi yang berada di belakang saya. Dia mengajak turun gunung smabil lari. Oke, saya terima tantangannya. Anggun sudah mencak-mencak melihat saya nggak sabaran setiap kali berjalan. Maaf ya, Nggun hahaha. Jitak aja nih kepala saya.

Saya dan Fahmi sampai di Hutan Mati duluan.

“Kesitu dulu yuk, Nis.”

Kesitu dulu maksud Fahmi adalah bibir kawah yang dekat dengan danau di Hutan Mati. Maaak, itu kan tempat saya pengen foto-foto tadi. Siiipp. Sambil menunggu teman-teman, kami melipir dulu ke sana. Eh, ternyata yang lain menyusul dan ikutan foto-foto.

Berpose di Bibir Kawah: difoto oleh Fahmi

Saya baru tahu kalo Fahmi punya fobia terhadap ketinggian. Saya juga takut ketinggian, tapi nggak separah Fahmi. Tukang naik gunung ini bisa langsung gemetaran dan jantungnya berdetak kencang. Dan itulah yang terjadi saat kami berada di bibir kawah. Saya memperingatkan, “Udah deh, Mi. Lo jangan tinggi-tinggi naiknya, ntar gue yang repot kalo lo kenapa-napa.”

Di Tepi Danau Hutan Mati: difoto oleh Kak Rahmi
Ketika lagi heboh foto-foto di pinggir danau, Fahmi mengajak kami cepat-cepat turun. Kak Ifa mengiyakan. Untung saya dan Kak Rahmi kebagian foto di danau. Kasihan yang lain belum sempat foto. Hehehe nggak penting juga sih.

Ada yang aneh dengan Fahmi. Dia begitu mendadak buru-buru menyuruh kami turun. Ketika sudah sampai di tenda, Fahmi baru memberi tahu kalo dia digangguin. Dia memang suka dilihatin gitu kalo naik gunung. Aduh rada-rada horor nih.

Seperti sebelumnya, teman-teman mengikuti saya menyusuri jalan. Perasaan buruk mulai hinggap di pikiran saya. Ini jalannya ke arah mana? Tali rapianya mana? Saya mengikuti tali rapia, eh ujung-ujungnya jalan buntu. Kami diajak muter-muter aja sama tali rapia. Jalan yang saya ambil nggak menunjukkan kami menuju Pondok Salada.

“Ini jalannya bener nggak, sih?” Suara-suara di belakang mulai menurunkan optimisme saya.
Mampus gue, bikin nyasar anak orang! Pikir saya.
“Gara-gara Fahmi sih nih, ngajakin kita kesini dulu.”
“Nyasar deh kita.”
“Nggak kok, ini jalannya benar. Tuh dengar aja ada suara toa dari Pondok Salada. Kayaknya itu rombongan Draco, deh.” Saya mencoba mencairkan suasana. Mencairkan perasaan saya sendiri lebih tepatnya. Kami mulai saling menyalahkan. Ini nggak bagus buat kita. Ayo jalan terus, Nis. Cari tali rapia yang benar!

Waktu itu Fahmi dan saya terpecah mencari rute pulang. Di Hutan Mati yang terlihat hanya pohon gosong. Harus lewat mana, nih? Saya berprasangka buruk. Kalo saya mati di sini, gimana? Saya belum lulus kuliah. Saya belum menikah. Ya Allah, tolooong. Ampun deh kalo saya suka sombong.

Pertolongan Allah itu dekat, cui. Baru aja minta tolong, eh saya lihat dua pendaki di ujung mata. Saya kedap-kedip, “Itu beneran orang, kan?” Tanpa peduli teman-teman di belakang, saya berlari menuju kedua pendaki itu. Capek juga mendaki sambil berlari, bawa carrier pula.

“Pak, pak, Pondok Salada ke arah mana, Pak?” teriak saya mencoba menghentikan langkah mereka. Berkali-kali saya teriak. Napas sudah habis. Akhirnya mereka menoleh dan menunjukkan jalan yang benar.

Tidak lupa berterima kasih, kami melanjutkan perjalanan. Saya melihat ke belakang. Kayaknya kalo dilihat dari atas, dari tadi kami hanya berjalan disitu-situ aja, deh. Tapi perasaan saya sudah berjalan jauh banget. Mungkin inilah rasanya kalo prasangka buruk hadir dalam pikiran. Semuanya jadi sulit dan pesimistis. Astaghfirullah. Apa mungkin ini kerjaan yang mengganggu Fahmi tadi, ya? Hush hush, pergi kau tablish iblis!

Akhirnya kami keluar dari Hutan Mati. Di Pondok Salada kami istirahat sebentar lalu segera berjalan menuju kawah. Kabut semakin tebal. Awan mengabarkan akan turun hujan. Menyebrang kawah ketika berkabut sangat tidak dianjurkan. Kami mengejar waktu sebelum hujan.

Berjalan pulang melewati kawah membuat saya was-was. Saya ingin cepat-cepat sampai parkiran. Masalahnya kami belum sholat. Nggak tenang banget. Saya menuruni kawah hampir berlari. Pas menoleh ke belakang, ternyata teman-teman masih jauh sekali di belakang. Waduh. Mana kabut tebal banget di depan. Bau belerang makin menyengat. Suara blubuk air mendidih menakut-nakuti. Saya berjalan sendirian dan ini membuat saya takut meskipun saya yakin saya nggak nyasar. Kenangan buruk ketika pendakian ke Salak terputar kembali. Saya pernah pingsan di Kawah Ratu. Saya sendirian sekarang. Nggak mau pingsan lagi di Kawah Papandayan. Dengan langkah cepat saya kembali ke atas menyusul teman-teman. “Ayo buruan turun.”

Plis, Nis. Kamu tuh jangan suka ninggalin teman. Tiap orang kan punya kecepatan masing-masing.

Kawah sepi sekian lama. Namun akhirnya saya melihat pendaki lain yang baru mau naik. Alhamdulillah, ngobrol-ngobrol bentar sambil menunggu rombongan.

“Sendirian aja, Mbak?” tanya seorang pendaki.
“Nggak, Mas. Itu rombongan saya di belakang.”
“Oh.”

Menoleh lagi ke belakang, teman-teman tidak terlihat. Hahaha, berasa turun gunung sendirian. Lagian itu mas-masnya oh-oh aja, nggak ada orang juga. Yang paling keren itu saya bertemu satu keluarga yang juga baru mau naik. Dari anak kecil sampai neneknya lengkap. Aiiih, lucunya.

“Wah, satu keluarga, Bu?”
“Iya.”
“Mau ke puncak, Pak?”
“Nggak, semampunya aja.”
“Semangat, ya, Dek.”

Akhirnya saya sampai di parkiran. Teman-teman masih di belakang. Tapi ini nggak bikin takut. Setidaknya saya melihat peradaban hehe. Enaknya jalan duluan itu kita jadi punya waktu lebih banyak untuk istirahat.

Oke, langit semakin menua. Kami para wanita membuat makan malam. Saya dan Kak Rahmi memasak tempe yang mulai bau. Udahlah dimasak aja. Kalo sakit perut, toilet dekat ini hehe. Yang lain masak nasi dan lauk lainnya.

Malam kedua saya di Papandayan seru sekali. Langit waktu itu kembali terang. Bintang berserakan sesukanya. Kak Sule dengan ponsel canggihnya memperkenalkan saya aplikasi yang bagus untuk tahu nama-nama bintang. Saya jadi tahu dimana posisi bintang Sirius, bagaimana nelayan zaman dulu menentukan arah berlayar dengan melihat rasi bintang, dan jadi paham kalo bintang Vega ada di belahan bumi lain. Nggak akan kelihatan di Indonesia kalo malam-malam. Cantiknyooo. Sebagai lulusan GFM, Fahmi menjelaskan fenomena Aurora dan menjawab pertanyaan saya, “Kenapa ada pelangi kembar? Kenapa pelangi cuman setengah lingkaran? Tapi kok ada juga pelangi yang lingkaran penuh?” Alhamdulillah ya, pengetahuan saya bertambah walaupun sekarang udah rada-rada lupa hehehe. Iya, nggak, Kak Rahmi?

Waktunya tidur. Besok harus kembali ke Bogor. Eh mau mampir dulu beli Chocodot deh. Dimana itu? Keep reading ^^