Seperti yang
pernah saya singgung di Mencari Apa ke Gunung-gunung? Bahwa mendaki gunung
bukan untuk mencari, melainkan mendapatkan. Maka perjalanan saya 26 sampai 28
April 2013 kemarin membuat saya mendapatkan hal-hal yang baru, terutama
pelajaran hebat tentang apa pun. Garut menjelma menjadi sekolah gratis. Di kelas
Gunung Papandayan lah nama saya terdaftar menjadi muridnya.
Apa yang
terbayang bila tersebut kata Garut? Dodol. Hahaha kagak gaul emang saya nih.
Tapi ternyata setelah singgah bentar di sana, saya menemukan banyak
‘dodol-dodol’ lain yang lebih manis. Ada Chocodot, Gunung Papandayan, Gunung
Cikurai yang puncaknya lancip seperti gunung-gunung yang sering digambar waktu
SD, Gunung Guntur dengan puncak pasirnya, Kampung Tenun Ciparungpung, lampu merah
yang menguji kesabaran karena lama banget hijaunya, Cimanuk dengan jejeran toko
meubel, juga ‘dodol-dodol’ lainnya yang akan saya sajikan sebentar lagi. Bentar
ya, sabaaaar.
Seleksi Alam
Kakak kelas
saya yang saya kenal selewat-selewat (lewat Arini, lewat Mbak Fasih, ketemu deh
hehe), Kak Ifa, mengajak saya mendaki gunung. Maaaaak, mau lah saya. Udah lama
banget nggak mendaki, tiga tahun ada kali. Ajakan itu langsung saya terima. Di
Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat lah hati kami terpaut.
Ciiieee. Menularkan virus ‘naik gunung nyooook’, terdaftarlah 9 anak IKK 45 dan
5 anak PTN 46. Cewek-cewek semua hahaha. Emang niatnya mau mendaki perempuan
semua. Kata kakak kelas saya sih, “Bisa kok Papandayan perempuan semua,
trek-nya gampang, nggak kayak trek ke Salak.” Okelah kakak, ketok palu nih ya.
Tanggal
berapa gitu, saya lupa, kami kumpul pertama. Yang datang hanya saya, Kak Ifa,
Anggun, Elok, Diska, dan Kak Aman. Hukum seleksi alam mulai bermain.
Teman-teman dari IKK 45 nggak ada yang pasti bisa ikut ke Papandayan. Mereka
malah ngeloyor ke Pangrango. Bikin iri hahaha. Anak PTN 46 juga hanya 4 orang
saja yang bisa ikut. Teman saya Amel sakit, jadi nggak bisa ikut. Yo wes,
kapan-kapan lah ya, Mel. Teman saya yang lain, Nana, juga tadinya mau ikut,
tapi akhirnya nggak jadi. Tarik ulur mencari teman, maka malam itu fix yang
ikut saya, Anggun, Diska, Elok, Kak Ifa, dan Kak Rahmi (teman Kak Ifa yang saya
tidak tahu bagaimana wujudnya hehe). Dari 14 orang jadi cuman 5 orang. No problem, berapa pun yang ikut, misi
tetap harus jalan. Selain fix orang, malam itu juga diteguhkan kalau “Ok, kita
naik cewek-cewek semua seperti niat awal saya dan Kak Ifa”. Saya sudah me-list
kebutuhan pendakian yang harus dibawa individu dan kelompok. Hasil kumpul
pertama saya bagikan via note Facebook.
Seleksi alam
yang terjadi tidak hanya menyeleksi teman-teman yang akan mendaki, tetapi juga
menyeleksi keteguhan hati kami untuk mendaki cewek-cewek semua. Nggak cuman
satu suara, yang sampai ke telinga saya sih sampai enam suara yang menggoyahkan
niat kami. “Nis, lo yakin naik gunung perempuan semua?”, “Gunung tetap gunung,
Nis, segampang apapun trek-nya.”, “Naik gunung nggak kayak jalan-jalan ke mall,
lho Nis.”, “Jangan nekat.”, “Emang kenapa, sih nggak boleh ada ceweknya? Gitu
banget. Bagaimana pun kita butuh cowok, buat bawain barang-barang kita kalo
keberatan. Lagian cowok-cowok juga nggak akan macam-macam di gunung.” Juga
suara-suara lainnya. Saya menganggap enteng saja. Bagai suara kentut, bau tapi
menyehatkan. Senang sih banyak yang mengkhawatirkan keselamatan saya. Tapi
ternyata nggak hanya saya saja yang mendengar suara panas tersebut. Halaaah,
kok yo ngene yo. Dunia seperti
kejatuhan duren busuk mendengar kami akan mendaki perempuan semua. Setelah
menimbang dan menimang, diputuskanlah mendaki bersama kaum Adam. Saya
menerimanya dengan berat hati. Tapi ya sudahlah, hitung-hitung menambah teman.
Pada kumpul
kedua, fix orang yang ikut saya, Anggun, Elok, Diska, Kak Ifa, Kak Rahmi dari
kubu wanita, dan Kak Muaz, Royake, Kak Sule, Fahmi, dan Kak Teguh. Eh, kumpul
ketiga Kak Teguh gugur. Fahmi dianggap PHP karena bisa tiba-tiba batal ikut di
hari H kata Kak Muaz, hahaha, mari kita lihat siapa yang akhirnya jadi PHP err.
Kumpul keempat alias hari H, jam 6 pagi kak Ifa sms, “Cowok yang ikut 2 orang
aja, Nis.” Hanya Kak Sule dan Fahmi saja yang terseleksi. Royake dan Kak Muaz
harus bertemu dosen. Hahaha, ini siapa yang jadi PHP ya? Saya juga mengajak
adik saya, tapi dia ragu-ragu gitu, jadi nggak ikut, deh. Akhirnya yang lolos
ikut mendaki yaitu saya, Anggun, Kak Ifa, Kak Rahmi, Diska, Elok, Fahmi, dan
Kak Sule. Setengah dari mereka, saya belum kenal banget.
Bapak Gas
Untuk
kelompok, saya bertugas berhubungan dengan gas, baik itu gas buat masak hingga
gas oksigen. Untung carrier saya nggak meledak, haha. Tabung gas oksigen saya
pinjam ke Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman. Niatnya mau isi ulang, tapi
ternyata nggak bisa, nggak boleh deng. Jadi beli deh, for your information, harganya Rp 29.500 di apotek terdekat. Nah,
kalo gas buat masak bisa diisi ulang walapun di tabungnya ada warning no refill hehe. Menurut kakak
kelas saya yang pecandu naik gunung, tempat isi ulang di Bogor itu ada di pasar
sebelah kiri setelah terminal di dekat PGB. Tepatnya di seberang truk besar
yang sering menaruh pisang-pisang, di sebelahnya ada tukang spare part motor. Tempat isi ulang gas
ini hanya sebuah gubuk kecil yang nyelip di antara gubuk-gubuk lain. Aduh mak,
sampai muter-muter PGB saya nyarinya. Alhamdulillah ketemu juga, dan yeah di
seberangnya ada truk pengangkut pisang. Well,
good signal. Isi ulang gas harus bayar Rp 4.000 per botolnya. Sambil
menunggu gas terisi penuh, saya mengobrol santai dengan tukang isi ulang gas.
Namanya Pak Setiawan, tapi maunya dipanggil Bapak Gas, hahaha. Bapak Gas ini
aslinya dari Garut. Ya Allah, dunia sempit banget boook.
“Mau buat apa
gasnya?”
“Buat masak
lah, Pak.”
“Iya.
Maksudnya buat kemping?”
“Iya, Pak.
Saya dan teman-teman mau naik gunung.”
“Kemana?”
“Ke Papandayan,
Pak di Garut.”
“Lah, itu mah
kampung saya.”
“Oh iya?
Gimana Papandayan, Pak? Gampang nggak, Pak? Teman-teman saya banyak yang pemula
soalnya.”
“Ya bagus,
tapi dingin, neng, bisa sampai 3 derajat.”
“Iya, kata
teman saya juga begitu.”
“Harus bawa
banyak baju hangat, neng.”
Saya
mengangguk.
“Cewek-cewek
semua yang mau naik gunung?”
Saya bingung.
Lho kok bapak bisa tahu?
“Niatnya
gitu, sih, Pak.”
“Jangan,
neng. Walaupun Papandayan memang bagus buat pemula, tapi harus ada cowoknya,
neng. Kan lumayan kalo ada apa-apa bisa ada yang bantu. Kasihan teman-teman
eneng kalo harus bawa berat-berat. Emang eneng mau bawain?”
“Hahaha, iya,
Pak.”
Lalu Bapak
Gas memperhatikan saya dari atas sampai bawah.
“Eneng mau
mendaki pakai itu?”
Itu maksud
Bapak Gas mungkin gamis kali ya dan juga sepatu Yongki saya yang belel hahaha.
“Iya, Pak.
Kenapa memangnya?”
“Ya walaupun
treknya gampang, lebih aman pakai celana, neng. Terus juga pakai sepatu yang
kuat, jangan kayak gitu. Nggak apa-apa nggak pantas juga, yang penting selamat.
Sepatunya jangan yang licin. Kalau bisa yang bertali.”
Petuah Bapak
Gas ini ternyata juga saya dapatkan dari teman-teman saya waktu kumpul ketiga,
“Lebih baik pakai celana dan sepatu bertali yang tidak licin.” Let see saya mengenakan apa ketika
mendaki nanti, yang pasti tertutup aurat insya Allah.
Saya
menanggapi santai saja nasihat berpakaian untuk naik gunung dari Bapak Gas.
Tabung masih banyak yang belum terisi, pembicaraan kami ngalor ngidul
kemana-mana.
“Bapak juga
suka naik gunung, neng. Di rumah ada tuh tiga set alat kemping, tenda dan
carrier-nya masih bagus. Kalo mau pinjam, silahkan.”
“Oh iya? Sudah
kemana aja, Pak?”
“Ah, saya mah
belum jauh-jauh amat. Baru ke Jaya Pura, ke Pulau Alor di NTT.”
“Wah, itu mah
udah jauh banget, Pak. Mantaaap.”
“Naik gunung
di luar Jawa tuh enak, neng. Bagusnya itu asri, cari makan di hutan gampang,
masih banyak kelinci dan rusa yang bisa diburu, kayak di Bontang, Papua, dan
NTT. Beda dengan gunung di Jawa. Bapak kalau naik gunung jarang bawa bekel.”
“Wah, lain
kali saya mendaki gunung di luar Jawa, deh, Pak. Tapi ya tetap bawa bekel, saya
nggak tega memburu rusa.”
“Lho kenapa?
Kan halal, neng.”
“Masalah
hati, Pak, bukan perut, hehehehe.”
Adzan dzuhur
berlalu. Bapak Gas dan saya masih terus berbagi cerita. Bapak Gas ini ternyata
lebih suka mendaki gunung sendirian. “Kalau pikiran lagi mumet, emang paling
enak kalau naik gunung, tiba-tiba langsung plong gitu perasaannya. Saya
senangnya naik gunung sendirian aja, sekalian meditasi.” Hahaha, Bapak Gas ini
kayak tokoh di film-film aja, mencari pelarian ke gunung-gunung. Tapi memang alam adalah psikolog ajaib untuk kita terbuka
dan melupakan masalah kita, serta membuat kita kembali pulang ke rumah dengan
semangat baru. Subhanallah.
Pakai Apa?
Untuk bagian
yang ini, maaf kalau saya nyablak ya. Baik jeleknya diterima aja hehehe. Saya
udah teguh banget bakal naik gunung pakai baju panjang alias gamis (kalau kata
teman saya sih jilbab, kalau kerudung itu yang menutupi rambut hingga ke dada,
apapun namanya pokoknya gitu lah) dan mengenakan sepatu Yongki Komaladi. Itu
sepatu Yongki udah melalang buana mendaki ke kebun teh di Gunung Mas yang dekat
hutan, makanya saya yakin banget bisa mendaki Papandayan pakai itu. Eh tapinya
banyak yang meragukan. Alhasil saya pinjam sepatu Vans adik saya. Baju? Tetap
booook pakai baju panjang. Walaupun ditawarin teman pakai celana samurai (itu
lho celana yang ada kain di depannya, jadi kelihatan seperti pakai rok), tetap we saya bersikeras pakai gamis. Niatnya
mau membuktikan kalau pakai gamis nggak akan menghambat gerak dalam mendaki,
insya Allah bisa kalau yakin dengan pertolongan Allah mah. Ayo kita dukung gerakan menutup aurat ketika mendaki gunung.
Ciiiiaaaatt! Kapan-kapan saya posting bagaimana sebaiknya wanita muslim
berpakaian deh, insya Allah kalo ingat, itung-itung sambil belajar ya.
Packing
Kalau kata
Windy Arietanty, “Berkemas adalah hal
yang paling menyenangkan ketika akan memulai suatu perjalanan. Saya harus
memasukkan semua kebutuhan selama perjalanan dalam satu tas.” Udah lama
banget saya nggak packing untuk naik
gunung. Pelajaran packing yang baik
dan benar yang saya dapatkan ketika ikut PASMA 5 (klub pecinta alam SMA 5
Bogor) udah hilang dari ingatan hahaha. Dapat pelajaran dari kakak kelas yang pecandu
naik gunung (lagi, lama-lama dia jadi guru saya deh), berikut urutan packing yang jos dari bawah sampai
kepala carrier: baju ganti yang diplastikin, sleeping bag, tabung gas yang diplastikin biar nggak bau, cemilan,
dan jas hujan.
Karena
saya harus membawa sleeping bag punya
teman saya, maka ini urutan packing
carrier saya: matras digulung hingga melingkupi tepi carrier (gulungan ini
harus besar supaya banyak ruang untuk barang lainnya, dan inilah yang membentuk
carrier kita jadi rapi), sleeping bag
saya, baju ganti yang diplastikin, sleeping
bag Diska, tabung gas yang diplastikin di sampingnya bisa disimpan kompor
gas, jaket parasut (yang akhirnya hanya dijadikan bantal oleh Kak Rahmi err)
yang bisa diempet-empetin, kupluk (bukan buat ditaro di kepala, tapi sebagai
penghangat kaki hahaha), cemilan (cuman bawa susu, coklat, dan kacang turbo,
yang lainnya tinggal minta hahaha *jangan ditiru ini mah*), dan jas hujan. Di
antara celah badan carrier dengan matras, apabila masih kosong bisa diisi
barang-barang kecil seperti peralatan jahit, peralatan mandi, peralatan makan,
dan sekop. Di kantong kanan kiri carrier disimpan aqua 1.5 liter. Ini penting
banget karena di Papandayan sulit air layak minum. Di kepala carrier saya
simpan pasmina (pengganti syal tapi lumayan bikin hangat), tabung oksigen,
senter, obat-obatan, dan webbing. Sebaiknya carrier dilindungi cover bag agar terbebas dari basah hujan
yang bisa memberatkan. Kira-kira itu aja sih yang dibutuhkan. Kalau kalian
ditugaskan bawa makanan kelompok, maka posisi tabung gas bisa diganti dengan
bahan makanan. Karena saya membawa kamera, maka mukena, uang, KTP, hp, dan
charger hp saya simpan di tas kamera. Packing
beres, capcus deeeh.
Gimana perjalanan ke Papandayannya? Tunggu ya ^^
ngahaha,,kakak jg udh bkin tulisan d blog. Ujian itu berat u/cewe semua ato ngga. Alasan utama mw ngajak cewe smua krna bharap fasih ikut..
ReplyDeleteMudah-mudahan ada lain kali ya ^^
Delete