Ayah bilang ke Mama, “Mau ngapain sih anakmu itu? Cari mati? Bosan
hidup?” Matanya yang merah kelelahan tersapu debu Jakarta melotot. Mama
mengelus dada. Saya, sampai malam pengakuan Mama, masih tenang-tenang saja.
Malam itu langit menggantung
indah. Bintang, bulan sabit, dan awan tampak segar dipandang. Mereka jelas menghiasi
langit. Tidak seperti malam-malam biasanya. Tidak seperti malam lima tahun
lalu. Ya. Langit-langit yang terlihat lima tahun lalu di Kandang Babi hanyalah
dahan-dahan pohon hutan yang gemerisiknya menciptakan harmoni bersama nyanyian
serangga malam. Bintang, bulan, apalagi awan memang berusaha menyusup di antara
sela daun tua pohon, tapi tetap tersembunyikan. Cahaya yang mereka pantulkan
sedikit banyak membantu penglihatan saya dan teman-teman mencari ranting untuk
membuat api unggun.
“Di atas sana nggak ada suara
klakson, Ma. Tenang. Paling yang menyeramkan itu suara pohon bergoyang. Angin
waktu itu kencang. Maklum musim hujan. Kita agak khawatir pohon-pohon di atas
kita tumbang,” cerita saya cengengesan. Mata Mama melotot. Mungkin bulatannya
sebesar pelototan Ayah.
“Lagian kamu ngapain naik
gunung musim hujan gitu? Nyusahin aja.”
Lima tahun lalu saya juga
menganggap kegiatan naik gunung di musim hujan itu menyusahkan. Menyusahkan
teman. Membuat khawatir orang tua. Menjengkelkan diri sendiri. Tapi sekarang
saya dapat jawabannya. Mungkin memang itu yang saya cari. Kesusahan itu yang
saya inginkan. Sehingga saya akhirnya mendapatkan cara bertahan di tengah
kesusahan.
Waktu itu saya masih SMA.
Zamannya sok-sok-an dan mau mengeksiskan diri. Kemana saya melampiaskan naluri
alamiah itu? Ke gunung. Bersama teman-teman yang jumlahnya bisa dihitung jari.
Tanpa persetujuan dari pihak sekolah. Juga tanpa persetujuan penuh dari orang
tua. Naik gunung secara ilegal sudah kayak tanda tangan. Satu sekolah sudah tahu
kalo anak-anak penggiat alam sekolah saya kerjaannya ya gitu-gitu.
Nekat-nekatan. Bergantung di jembatan, panjat tebing kapur, naik gunung tanpa
surat izin dari sekolah, menelusup ke perut bumi melalui goa-goa gelap.
“Ampun,” kata mereka.
Tapi saya bangga. Setidaknya
saya tidak mengisi waktu dengan hal-hal negatif seperti yang banyak dilakukan
teman-teman saya yang penganut hedonisme nomor wahid. Sambil bergelantungan di kolong
jembatan selagi istirahat kecapekan rapeling dan prusiking, saya pernah bergidik
mengingat teman sekelas saya dipanggil guru karena ketahuan ikut tawuran.
Mereka yang belum mengerti,
mungkin, mulai melakukan penolakan terhadap saya karena kegiatan yang saya
lakukan. Apalagi setelah kejadian itu. Kejadian itu? Iya, kejadian itu. Hahaha
njlimet sampeyan!
Tidak ada yang tahu bagaimana
alam bekerja kecuali penciptanya, Allah Azza wa Jalla. Gunung terlihat diam.
Tapi siapa yang tahu kalau di dalamnya bergejolak magma yang siap menyembur ke
permukaan? Laut tampak tenang. Tapi siapa yang tahu ribuan hiu siap menerjang
penghuni pelabuhan?
Pagi itu kompleks Gunung Salak
sangat cerah. Sesekali terdengar ringkikan monyet di sela desahan napas
pendek-pendek saya dan teman-teman yang mulai kelelahan setelah semalaman tidur
di dalam bivak (semacam tenda kecil dari ponco atau jas hujan) untuk belajar
survival. Dari Kandang Babi kami mundur ke Kawah Ratu untuk latihan navigasi.
Disebut mundur karena kalau maju harusnya menuju puncak. Nah kalo mundur
berarti mendekati pintu masuk jalur pendakian. Ya walaupun tidak dekat-dekat
amat sih hehehe. Cuaca di Kawah Ratu juga bagus. Melihat sekeliling semuanya
tampak sama. Putih mendominasi warna kuning sulfur yang mengalir
sedikit-sedikit di celah batu bekas letusan Gunung Salak bertahun-tahun yang
lalu.
Semuanya tampak baik-baik saja,
awalnya. Alam berdiskusi dengan bahasanya sendiri. Entah membicarakan apa, karena
tiba-tiba alam berputar. Memutih. Menguning. Menggelap. Saya pingsan. Setelah
disadarkan dengan susah payah (kata teman sependakian sih), saya meminum susu.
Kata mereka saya menghirup gas belerang yang memang tidak berbau, tidak
berwarna, dan tidak terlihat. Kalau tidak segera disadarkan, entah apa yang
terjadi dengan saya. Mungkin saya tidak bisa membuat tulisan ini hehe. Gunung
Salak merupakan gunung berapi yang masih aktif. Ikon kota Bogor ini bisa kapan
saja menyemburkan dahaknya. Kejadian ini akhirnya mengurungkan niat dadakan
kami untuk muncak alias mendaki
sampai puncak. Kalau tidak salah ada 3 sampai 4 orang yang pingsan. Kalau
dipaksakan, bisa berabe hehehe.
Hingga berbulan-bulan
setelahnya saya tidak menceritakan kejadian ini kepada keluarga. Ada satu nama
lagi yang ingin saya kunjungi. Puncak Gunung Gede. Apa jadinya kalau saya
menceritakan kejadian heboh itu sebelum ke Gede? Ya saya tidak akan foto-foto
di ketinggian 2978 mdpl. Hehehe.
Alhamdulillah pendakian ke
Gunung Gede lancar. Gunung ini memang difasilitasi jalur pendakian yang mudah.
Di awal perjalanan agak landai. Jalan berbatu memudahkan pendaki sehingga tidak
perlu mencari jalan lain. Air pun melimpah hingga ke Kandang Badak yang
merupakan percabangan antara jalur pendakian ke Gunung Pangrango dan Gunung
Gede. Ada sungai kecil di Kandang Batu. Kami istirahat dan mengisi botol air
minum. Bahkan ada teman-teman yang mandi.
Yang masih saya ingat, saya
pernah istirahat bersama rombongan pendaki dari luar negeri. Lupa dari negara
mana. Enaknya mendaki ya itu. Kita bisa ketemu, kenalan, mengobrol sebentar
bersama rombongan pendaki lain. Melepas lelah dengan orang yang tidak dikenal
itu asyik sekali. Dengan bahasa Inggris yang lancar, salah satu pendaki bule
itu mengagumi jalur pendakian gunung-gunung di Indonesia. Tetumbuhan di
hutan-hutan tropis yang pernah ia jelajah sangat beragam dan cantik-cantik
katanya. Wah, memang subhanallah
sekali deh negara saya ini!
Ada dua bagian perjalanan yang
menegangkan sekaligus menyenangkan menuju puncak Gede. Yang pertama adalah
Jalur Air Panas. Di jalur ini saya harus berjalan menepi di dinding-dinding
batu yang terpasang pipa-pipa gas air panas. Berjalan di jalur ini saya
merasakan kaki saya basah dan wajah saya panas. Lumayan lah sekalian sauna
haha. Saya harus hati-hati melangkah karena di ujung kelingking kaki kanan saya
jurang dalam siap menelan. Untung saja saya melalui jalur ini siang hari. Kalau
malam, wah, bisa-bisa jadi santapan jurang. Apalagi antara jalan dan jurang
hanya dibatasi tali untuk pegangan. Alhamdulillah banget deh bisa melalui jalur
ini.
Yang kedua ini paling mantap.
Namanya Tanjakan Setan. Iya betul, dia adalah tanjakan. Hahaha apa sih. Tebing
batu sih lebih tepatnya. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango menyediakan tali
untuk membantu pendaki memanjat tebing dengan kemiringan lebih dari 75 derajat
ini. Mental dan fisik yang kuat sangat diuji di jalur ini. Saya yang sudah ngos-ngosan
sejak langkah pertama mulai was-was melihat ujung tanjakan yang ya ampun susah
banget untuk saya gapai. Mau menghentikan pendakian tanggung sekali. Saya kan
tidak hapal jalan pulang. Carrier 60 liter saya membebani punggung. Saat itu
pengin banget saya lempar tuh carrier supaya saya bisa mendaki dengan mudah.
Kalau mental saya cetek, beneran dilempar deh itu tas gede. Tapi nanti saya
tidak ada perbekalan untuk turun puncak. Lagi pula harga carrier mahal, sayang
dibuang-buang. Hehehe. Dengan semangat dari teman-teman akhirnya saya tapaki
celah-celah batu hingga mencapai ujungnya. Puih. Dan segala kemelut di hati dan
rasa capek yang menggunung terbayarkan dengan pemandangan dari puncak Tanjakkan
Setan yang sangat indah. Aduh boooo, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
deh. Subhanallah pisan. Saya nge-camp sebentar di Alun-alun Surya Kencana
sebelum menuju puncak tanpa nge-camp lagi. Pemandangan di jalur pasir puncak
Gede juga dobel triple subhanallah sekali! Waaah waaaaah.
Ingatan seru itu mengambang
saja karena Mama berkata, “Kata Ayah kamu memang bosan hidup?”
Tidak lah, Ma. Saya ini belum
melakukan apa-apa, masa udah dibilang bosan hidup? Ikut rohis aja ngalor ngidul
kerjaannya. Astaghfirullah ckckck *mengelusdadasendiri*
Tapi, memang apa sih yang
sebenarnya yang saya cari?
Saya ini bukan Raja Ikhsan.
Dia punya alasan kuat hingga tidak bosan berkali-kali mendaki ke puncak
Mahameru . Ia mencari Yang Maha Tinggi di tanah tertinggi se-Jawa itu. Ia punya
pertanyaan yang hanya bisa ia dapatkan jawabannya dengan melakukan pendakian ke
puncak-puncak gunung. Tahta Mahameru yang dirangkai baik oleh Azzura Dayana
memaksa Raja Ikhsan melakukan perjalanan untuk mencairkan hatinya yang sekeras
batu. Saya punya keluarga yang baik-baik. Teman yang tidak hanya memanfaatkan.
Saya punya apa yang Raja Ikhsan tidak punya sehingga seharusnya saya tidak
perlu mendaki. Saya tidak punya pertanyaan sehingga tidak perlu mencari jawaban
di puncak gunung. Jadi sebenarnya apa yang saya cari?
Mendaki bagi saya bukan untuk
mencari, melainkan mendapatkan. Meski bukan saat itu juga. Meski harus melewati
tahun-tahun tanpa pendakian, saya mendapatkan apa yang telah perjalanan ingin
berikan untuk saya: pelajaran hidup. Yap. Saya tidak perlu berharap besar pada
yang saya cari, karena perjalanan menghantarkan pada apa yang saya butuhkan.
Seharusnya judulnya bukan
Mencari Apa ke Gunung-gunung? karena saya tidak pernah mencari, melainkan
Mendapatkan Apa ke Gunung-gunung? Kalau saja Ayah bertanya hal yang sama, maka
akan saya jawab, “Banyak.” Bagaimana membawa apa yang sekiranya saya butuhkan
dalam perjalanan. Bagaimana cara mengemas yang baik agar carrier tidak
membebani pendakian. Bagaimana mengatur waktu agar mendapat momen yang baik
untuk memulai, menunda, dan mengakhiri pendakian. Bagaimana mengontrol ego dan
emosi. Bagaimana sebaiknya kita membentuk relasi: dengan membiarkan teman yang
berjalan lambat karena kakinya bengkak, atau memaksa teman yang berjalan lambat
karena malas melangkah sehingga memperlambat perjalanan kawan yang lain.
Bagaimana membentuk mental sehingga teguh pada tujuan. Bagaimana menjawab,
“Haruskah saya berhenti, memutar arah, dan pulang sendirian?” dengan jawaban
yang tepat. Bagaimana mengikhlaskan berbagi sleeping
bag yang kita bawa berat-berat tapi kehangatannya juga harus dirasakan
teman-teman yang lain. Bagaimana cara membuat sup krim enak dengan bahan makanan
terbatas karena tidak ada Alfamart di gunung hahaha. Bagaimana merelakan bulu
kuduk naik sekujur tubuh dan bangun duluan demi menyiapkan makanan untuk
teman-teman mulai dari jam 3 pagi. Bagaimana asiknya bilang, “Cangkeul euy,” karena lama menunggu nasi
matang sambil memotong tempe tanpa harus membuat orang lain keberatan. Bagaimana
berbagi tempat sehingga semua pendaki bisa merasakan “tradisi makan besar”
untuk menghabiskan perbekalan menuju arah pintu keluar taman nasional.
Bagaimana saya mengerti alam. Bagaimana alam berbahasa. Bagaimana menikmati
cacing dan begonia di saat krusial, juga bagaimana-bagaimana lain yang sudah
saya ceritakan kepada Ayah.
“Iya Ayah tahu itu seru dan
bagus untuk membentuk kepribadian yang tangguh.”
Saya lihat ada senyum di bawah
kumis tipisnya yang kelabu. Toh Ayah juga pernah merasakannya. Bahkan lebih
dari saya. Beliau adalah pendaki yang paling keren yang pernah saya kenal. Lawu,
Merbabu, Slamet pernah ia daki. Juga gunung-gunung lain yang saya lupa namanya
beliau pernah cerita. Tetapi tetap saja ia berat hati mengizinkan saya mendaki,
sehingga selain tidak pernah dapat izin dari sekolah, saya juga hanya mendapat
izin setengah hati dari orang tua.
Kenapa? Apakah karena saya
perempuan? Bukan. Ayah tidak membedakan seseorang harus tangguh dan kuat dari
jenis kelaminnya. Ini semua bukan karena saya perempuan, tapi karena beliau
belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu dimana Ayah harus kehilangan
sahabat yang namanya menjadi nama adik kedua saya pada pendakian menuju Gunung
Slamet. Kata Ayah itu adalah kehilangan terbesar dalam hidupnya. Bahkan ia
merasa almarhum sahabatnya ikut mendaki pada pendakian menuju Pasar Setan di
Gunung Lawu. Sepertinya Allah Subhanallu wa ta’ala mengizinkan almarhum
melanjutkan pendakian yang tertunda bersama Ayah. Waullahualam.
Mungkin penolakan itu lebih
dari karena Ayah belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Ayah tidak ingin saya
bernasib sama dengan sahabatnya. Itulah mengapa yang Ayah tanyakan kepada Mama
adalah, “Cari mati?”. Maaf Ayah, saya baru tahu hal ini ketika Mama cerita
kemarin. Empat tahun ini saya berhenti mendaki. Total. Semoga bisa mendamaikan
hati kita ya, Ayah.
Tapi Ayah, saya mulai merasa
egoisme merasuk langkah-langkah saya semasa kuliah. Jadi, bolehkah saya mendaki
gunung lagi? Hehehe.
“Latihan fisik dulu sana. Kamu
kerjaannya molor aja.”
Hohoho. Lampu hijau. Insya
Allah.
Untuk hati yang menunggu. Juga
gunung yang membuat rindu.
enak dibaca
ReplyDeletenuhun
Delete