3/2/13

Mencari Apa ke Gunung-gunung?



Ayah bilang ke Mama, “Mau ngapain sih anakmu itu? Cari mati? Bosan hidup?” Matanya yang merah kelelahan tersapu debu Jakarta melotot. Mama mengelus dada. Saya, sampai malam pengakuan Mama, masih tenang-tenang saja.

Malam itu langit menggantung indah. Bintang, bulan sabit, dan awan tampak segar dipandang. Mereka jelas menghiasi langit. Tidak seperti malam-malam biasanya. Tidak seperti malam lima tahun lalu. Ya. Langit-langit yang terlihat lima tahun lalu di Kandang Babi hanyalah dahan-dahan pohon hutan yang gemerisiknya menciptakan harmoni bersama nyanyian serangga malam. Bintang, bulan, apalagi awan memang berusaha menyusup di antara sela daun tua pohon, tapi tetap tersembunyikan. Cahaya yang mereka pantulkan sedikit banyak membantu penglihatan saya dan teman-teman mencari ranting untuk membuat api unggun.

“Di atas sana nggak ada suara klakson, Ma. Tenang. Paling yang menyeramkan itu suara pohon bergoyang. Angin waktu itu kencang. Maklum musim hujan. Kita agak khawatir pohon-pohon di atas kita tumbang,” cerita saya cengengesan. Mata Mama melotot. Mungkin bulatannya sebesar pelototan Ayah.

“Lagian kamu ngapain naik gunung musim hujan gitu? Nyusahin aja.”

Lima tahun lalu saya juga menganggap kegiatan naik gunung di musim hujan itu menyusahkan. Menyusahkan teman. Membuat khawatir orang tua. Menjengkelkan diri sendiri. Tapi sekarang saya dapat jawabannya. Mungkin memang itu yang saya cari. Kesusahan itu yang saya inginkan. Sehingga saya akhirnya mendapatkan cara bertahan di tengah kesusahan.

Waktu itu saya masih SMA. Zamannya sok-sok-an dan mau mengeksiskan diri. Kemana saya melampiaskan naluri alamiah itu? Ke gunung. Bersama teman-teman yang jumlahnya bisa dihitung jari. Tanpa persetujuan dari pihak sekolah. Juga tanpa persetujuan penuh dari orang tua. Naik gunung secara ilegal sudah kayak tanda tangan. Satu sekolah sudah tahu kalo anak-anak penggiat alam sekolah saya kerjaannya ya gitu-gitu. Nekat-nekatan. Bergantung di jembatan, panjat tebing kapur, naik gunung tanpa surat izin dari sekolah, menelusup ke perut bumi melalui goa-goa gelap. “Ampun,” kata mereka.

Tapi saya bangga. Setidaknya saya tidak mengisi waktu dengan hal-hal negatif seperti yang banyak dilakukan teman-teman saya yang penganut hedonisme nomor wahid. Sambil bergelantungan di kolong jembatan selagi istirahat kecapekan rapeling dan prusiking, saya pernah bergidik mengingat teman sekelas saya dipanggil guru karena ketahuan ikut tawuran.

Mereka yang belum mengerti, mungkin, mulai melakukan penolakan terhadap saya karena kegiatan yang saya lakukan. Apalagi setelah kejadian itu. Kejadian itu? Iya, kejadian itu. Hahaha njlimet sampeyan!

Tidak ada yang tahu bagaimana alam bekerja kecuali penciptanya, Allah Azza wa Jalla. Gunung terlihat diam. Tapi siapa yang tahu kalau di dalamnya bergejolak magma yang siap menyembur ke permukaan? Laut tampak tenang. Tapi siapa yang tahu ribuan hiu siap menerjang penghuni pelabuhan?

Pagi itu kompleks Gunung Salak sangat cerah. Sesekali terdengar ringkikan monyet di sela desahan napas pendek-pendek saya dan teman-teman yang mulai kelelahan setelah semalaman tidur di dalam bivak (semacam tenda kecil dari ponco atau jas hujan) untuk belajar survival. Dari Kandang Babi kami mundur ke Kawah Ratu untuk latihan navigasi. Disebut mundur karena kalau maju harusnya menuju puncak. Nah kalo mundur berarti mendekati pintu masuk jalur pendakian. Ya walaupun tidak dekat-dekat amat sih hehehe. Cuaca di Kawah Ratu juga bagus. Melihat sekeliling semuanya tampak sama. Putih mendominasi warna kuning sulfur yang mengalir sedikit-sedikit di celah batu bekas letusan Gunung Salak bertahun-tahun yang lalu.

Semuanya tampak baik-baik saja, awalnya. Alam berdiskusi dengan bahasanya sendiri. Entah membicarakan apa, karena tiba-tiba alam berputar. Memutih. Menguning. Menggelap. Saya pingsan. Setelah disadarkan dengan susah payah (kata teman sependakian sih), saya meminum susu. Kata mereka saya menghirup gas belerang yang memang tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak terlihat. Kalau tidak segera disadarkan, entah apa yang terjadi dengan saya. Mungkin saya tidak bisa membuat tulisan ini hehe. Gunung Salak merupakan gunung berapi yang masih aktif. Ikon kota Bogor ini bisa kapan saja menyemburkan dahaknya. Kejadian ini akhirnya mengurungkan niat dadakan kami untuk muncak alias mendaki sampai puncak. Kalau tidak salah ada 3 sampai 4 orang yang pingsan. Kalau dipaksakan, bisa berabe hehehe.

Hingga berbulan-bulan setelahnya saya tidak menceritakan kejadian ini kepada keluarga. Ada satu nama lagi yang ingin saya kunjungi. Puncak Gunung Gede. Apa jadinya kalau saya menceritakan kejadian heboh itu sebelum ke Gede? Ya saya tidak akan foto-foto di ketinggian 2978 mdpl. Hehehe.

Alhamdulillah pendakian ke Gunung Gede lancar. Gunung ini memang difasilitasi jalur pendakian yang mudah. Di awal perjalanan agak landai. Jalan berbatu memudahkan pendaki sehingga tidak perlu mencari jalan lain. Air pun melimpah hingga ke Kandang Badak yang merupakan percabangan antara jalur pendakian ke Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Ada sungai kecil di Kandang Batu. Kami istirahat dan mengisi botol air minum. Bahkan ada teman-teman yang mandi.

Yang masih saya ingat, saya pernah istirahat bersama rombongan pendaki dari luar negeri. Lupa dari negara mana. Enaknya mendaki ya itu. Kita bisa ketemu, kenalan, mengobrol sebentar bersama rombongan pendaki lain. Melepas lelah dengan orang yang tidak dikenal itu asyik sekali. Dengan bahasa Inggris yang lancar, salah satu pendaki bule itu mengagumi jalur pendakian gunung-gunung di Indonesia. Tetumbuhan di hutan-hutan tropis yang pernah ia jelajah sangat beragam dan cantik-cantik katanya. Wah, memang subhanallah sekali deh negara saya ini!

Ada dua bagian perjalanan yang menegangkan sekaligus menyenangkan menuju puncak Gede. Yang pertama adalah Jalur Air Panas. Di jalur ini saya harus berjalan menepi di dinding-dinding batu yang terpasang pipa-pipa gas air panas. Berjalan di jalur ini saya merasakan kaki saya basah dan wajah saya panas. Lumayan lah sekalian sauna haha. Saya harus hati-hati melangkah karena di ujung kelingking kaki kanan saya jurang dalam siap menelan. Untung saja saya melalui jalur ini siang hari. Kalau malam, wah, bisa-bisa jadi santapan jurang. Apalagi antara jalan dan jurang hanya dibatasi tali untuk pegangan. Alhamdulillah banget deh bisa melalui jalur ini.

Yang kedua ini paling mantap. Namanya Tanjakan Setan. Iya betul, dia adalah tanjakan. Hahaha apa sih. Tebing batu sih lebih tepatnya. Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango menyediakan tali untuk membantu pendaki memanjat tebing dengan kemiringan lebih dari 75 derajat ini. Mental dan fisik yang kuat sangat diuji di jalur ini. Saya yang sudah ngos-ngosan sejak langkah pertama mulai was-was melihat ujung tanjakan yang ya ampun susah banget untuk saya gapai. Mau menghentikan pendakian tanggung sekali. Saya kan tidak hapal jalan pulang. Carrier 60 liter saya membebani punggung. Saat itu pengin banget saya lempar tuh carrier supaya saya bisa mendaki dengan mudah. Kalau mental saya cetek, beneran dilempar deh itu tas gede. Tapi nanti saya tidak ada perbekalan untuk turun puncak. Lagi pula harga carrier mahal, sayang dibuang-buang. Hehehe. Dengan semangat dari teman-teman akhirnya saya tapaki celah-celah batu hingga mencapai ujungnya. Puih. Dan segala kemelut di hati dan rasa capek yang menggunung terbayarkan dengan pemandangan dari puncak Tanjakkan Setan yang sangat indah. Aduh boooo, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata deh. Subhanallah pisan. Saya nge-camp sebentar di Alun-alun Surya Kencana sebelum menuju puncak tanpa nge-camp lagi. Pemandangan di jalur pasir puncak Gede juga dobel triple subhanallah sekali! Waaah waaaaah.

Ingatan seru itu mengambang saja karena Mama berkata, “Kata Ayah kamu memang bosan hidup?”

Tidak lah, Ma. Saya ini belum melakukan apa-apa, masa udah dibilang bosan hidup? Ikut rohis aja ngalor ngidul kerjaannya. Astaghfirullah ckckck *mengelusdadasendiri*

Tapi, memang apa sih yang sebenarnya yang saya cari?

Saya ini bukan Raja Ikhsan. Dia punya alasan kuat hingga tidak bosan berkali-kali mendaki ke puncak Mahameru . Ia mencari Yang Maha Tinggi di tanah tertinggi se-Jawa itu. Ia punya pertanyaan yang hanya bisa ia dapatkan jawabannya dengan melakukan pendakian ke puncak-puncak gunung. Tahta Mahameru yang dirangkai baik oleh Azzura Dayana memaksa Raja Ikhsan melakukan perjalanan untuk mencairkan hatinya yang sekeras batu. Saya punya keluarga yang baik-baik. Teman yang tidak hanya memanfaatkan. Saya punya apa yang Raja Ikhsan tidak punya sehingga seharusnya saya tidak perlu mendaki. Saya tidak punya pertanyaan sehingga tidak perlu mencari jawaban di puncak gunung. Jadi sebenarnya apa yang saya cari?

Mendaki bagi saya bukan untuk mencari, melainkan mendapatkan. Meski bukan saat itu juga. Meski harus melewati tahun-tahun tanpa pendakian, saya mendapatkan apa yang telah perjalanan ingin berikan untuk saya: pelajaran hidup. Yap. Saya tidak perlu berharap besar pada yang saya cari, karena perjalanan menghantarkan pada apa yang saya butuhkan.

Seharusnya judulnya bukan Mencari Apa ke Gunung-gunung? karena saya tidak pernah mencari, melainkan Mendapatkan Apa ke Gunung-gunung? Kalau saja Ayah bertanya hal yang sama, maka akan saya jawab, “Banyak.” Bagaimana membawa apa yang sekiranya saya butuhkan dalam perjalanan. Bagaimana cara mengemas yang baik agar carrier tidak membebani pendakian. Bagaimana mengatur waktu agar mendapat momen yang baik untuk memulai, menunda, dan mengakhiri pendakian. Bagaimana mengontrol ego dan emosi. Bagaimana sebaiknya kita membentuk relasi: dengan membiarkan teman yang berjalan lambat karena kakinya bengkak, atau memaksa teman yang berjalan lambat karena malas melangkah sehingga memperlambat perjalanan kawan yang lain. Bagaimana membentuk mental sehingga teguh pada tujuan. Bagaimana menjawab, “Haruskah saya berhenti, memutar arah, dan pulang sendirian?” dengan jawaban yang tepat. Bagaimana mengikhlaskan berbagi sleeping bag yang kita bawa berat-berat tapi kehangatannya juga harus dirasakan teman-teman yang lain. Bagaimana cara membuat sup krim enak dengan bahan makanan terbatas karena tidak ada Alfamart di gunung hahaha. Bagaimana merelakan bulu kuduk naik sekujur tubuh dan bangun duluan demi menyiapkan makanan untuk teman-teman mulai dari jam 3 pagi. Bagaimana asiknya bilang, “Cangkeul euy,” karena lama menunggu nasi matang sambil memotong tempe tanpa harus membuat orang lain keberatan. Bagaimana berbagi tempat sehingga semua pendaki bisa merasakan “tradisi makan besar” untuk menghabiskan perbekalan menuju arah pintu keluar taman nasional. Bagaimana saya mengerti alam. Bagaimana alam berbahasa. Bagaimana menikmati cacing dan begonia di saat krusial, juga bagaimana-bagaimana lain yang sudah saya ceritakan kepada Ayah.

“Iya Ayah tahu itu seru dan bagus untuk membentuk kepribadian yang tangguh.”

Saya lihat ada senyum di bawah kumis tipisnya yang kelabu. Toh Ayah juga pernah merasakannya. Bahkan lebih dari saya. Beliau adalah pendaki yang paling keren yang pernah saya kenal. Lawu, Merbabu, Slamet pernah ia daki. Juga gunung-gunung lain yang saya lupa namanya beliau pernah cerita. Tetapi tetap saja ia berat hati mengizinkan saya mendaki, sehingga selain tidak pernah dapat izin dari sekolah, saya juga hanya mendapat izin setengah hati dari orang tua.

Kenapa? Apakah karena saya perempuan? Bukan. Ayah tidak membedakan seseorang harus tangguh dan kuat dari jenis kelaminnya. Ini semua bukan karena saya perempuan, tapi karena beliau belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Masa lalu dimana Ayah harus kehilangan sahabat yang namanya menjadi nama adik kedua saya pada pendakian menuju Gunung Slamet. Kata Ayah itu adalah kehilangan terbesar dalam hidupnya. Bahkan ia merasa almarhum sahabatnya ikut mendaki pada pendakian menuju Pasar Setan di Gunung Lawu. Sepertinya Allah Subhanallu wa ta’ala mengizinkan almarhum melanjutkan pendakian yang tertunda bersama Ayah. Waullahualam.

Mungkin penolakan itu lebih dari karena Ayah belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Ayah tidak ingin saya bernasib sama dengan sahabatnya. Itulah mengapa yang Ayah tanyakan kepada Mama adalah, “Cari mati?”. Maaf Ayah, saya baru tahu hal ini ketika Mama cerita kemarin. Empat tahun ini saya berhenti mendaki. Total. Semoga bisa mendamaikan hati kita ya, Ayah.

Tapi Ayah, saya mulai merasa egoisme merasuk langkah-langkah saya semasa kuliah. Jadi, bolehkah saya mendaki gunung lagi? Hehehe.

“Latihan fisik dulu sana. Kamu kerjaannya molor aja.”

Hohoho. Lampu hijau. Insya Allah.



Untuk hati yang menunggu. Juga gunung yang membuat rindu.

2 comments: