Berdua, saya dan Anggun adalah
wanita. Sama-sama pembosan. Sama-sama menyukai kopi. Suka lho ya, bukannya
cinta. Kita tidak maniak banget terhadap minuman rakyat itu. Lambung kami
rewel, sehingga butuh frekuensi dan dosis tertentu agar perut kami tetap sehat
wal afiat.
Meskipun sama-sama penikmat
kopi, kami memiliki efek dan takaran yang berbeda. Kopi bagi Anggun adalah
teman begadang yang setia. Kopi itu minuman wajib dan penting untuk menghadapi
ujian kuliah. Nah sedangkan bagi saya, kopi tidak ampuh menghilangkan rasa
kantuk. Kafein tinggi tidak mampu menghalangi kebutuhan mata saya untuk merem.
Tidur ya tidur aja. Untuk konteks takaran, kami berdua sama-sama tidak
menyeimbangkan konsentrasi kopi dan gula dalam larutan kami. Anggun penikmat
kopi manis. Wanita metropolis itu akan menambahkan gula agar kopi dirasa cukup
untuk diminum. Kalau saya bukan penikmat kopi manis. Tapi ya tidak plain coffee juga. Dua sendok kopi dan
setengah sendok gula bagi saya sudah cukup. Meskipun racikan kami berbeda,
Anggun adalah teman ngopi yang asyik. Ihiw.
Saya lupa kapan kami
berdeklarasi untuk melakukan “kopi keliling”. Sebenarnya tidak ada nama khusus,
tapi ya mari kita sebut itu kopi keliling. Kopi keliling adalah permainan seru
di mana setiap kami pergi ke suatu tempat, baik itu lagi jalan-jalan atau
sekedar mampir istirahat, kami akan minum kopi. Aneh? Iya, freaky banget. Rasa kopi kan gitu-gitu aja. Memang. Tapi rasanya
akan lebih dari gitu-gitu aja karena ada cerita dari setiap perjalanan dan jeda
saat kami meneguknya. Halaaah~
Ada jeda nikmat di antara
peluh ketika kami ngopi di Rumpin hari Jum’at kemarin. Rumpin bukan tempat yang
mudah dituju, apalagi daerah sengketa ini jauh dari tempat tinggal kami. Sebelum
ngopi, kami juga sempat bermain bersama anak-anak kecil di sana. Maka kopi
lumayan menghilangkan peluh yang menjelma menjadi keringat.
“Sok dibikin aja sendiri. Ibu
nggak tahu takarannya. Kalo Bapak, kan sukanya pahit,” ujar Ibu Neneng seraya
menyuguhkan sebuah kaleng biskuit. Setelah membukanya, Ibu Neneng mengeluarkan
bungkus Kapal Api ukuran jumbo dan gula mini market. Dua sendok kecil dan dua
gelas kaca dibariskan.
Sambil menunggu air panas,
Anggun mulai meracik kopinya. Ia memberi tahu cara kami menakar kopi kepada Ibu
Neneng. Saya menunggu giliran, menangkap cahaya tipis, asyik memotret. Anggun
pun mencoba Canon barunya (ciiieeee) ketika saya memasukkan dua sendok kopi di
gelas saya.
Meracik dan Berkisah |
“Ibu juga difoto, dong,” celetuk Ibu Neneng. Kami tertawa. Anggun
mengabadikan momen eksis ibu empat anak itu.
Anggun Memotret |
Kopi sudah diseduh. Saatnya
diteguk. Kata Anggun kopi kami tertukar. Ia menambahkan gula. Lalu teraduklah
cerita-cerita dalam larutan kopi kami.
Kopi Ketiga |
Peluh ternyata juga dirasakan
oleh ibu-ibu Cibitung di bilangan Rumpin itu. Suami mereka kebanyakan bukan
pekerja tetap. Ibu Neneng misalnya. Suaminya adalah kuli bangunan, sehingga
baru bekerja apabila ada panggilan. Maka dari itu para istri harus bekerja
untuk menambah pendapatan keluarga.
“Ibu-ibu di sini bekerja apa,
Bu?” tanya Anggun.
Pekerjaan para istri Rumpin
bermacam-macam. Ada yang menjadi pembantu di Perumnas, pembuat tusuk sate, pengrajin
keranjang bambu, dan pengoyoh sawah.
“Ibu dimarahin Bapak pas
ikut-ikutan bikin tusuk sate. Udah mah susah, dapatnya juga dikit.” Ibu Neneng
tertawa mengingat kenekatannya mengiris-iris bambu.
Tidak mudah membuat tusuk sate
katanya. Ukuran setiap tusuk harus sama dan ujungnya tidak boleh terlalu
tumpul. Kalau tidak terbiasa, bisa-bisa malah jari kita yang teriris. Kata Ibu
Neneng, setiap 400 tusuk sate yang dibuat akan dibayar Rp 2500 saja. Nanti ada
semacam tengkulak yang mengambil dan menjual ke pasar. Kami yang mendengar
cerita Ibu Neneng terbengong-bengong. Betapa sulitnya mendapatkan uang sedikit
itu. Buat beli bakso aja tidak cukup kalau hanya bisa membuat 400 tusuk sate.
Seratus keranjang bambu yang
dianyam ibu-ibu pengrajin akan dibayar Rp 15.000. Tidak mudah juga membuat
keranjang. Harus rapi dan berbentuk. Kalau saya mencoba membuatnya, pasti
mencong-mencong. Layaknya tusuk sate, nanti ada pengumpul keranjang yang akan
menjual ke pasar.
“Yang enak itu kalau ngoyoh
sawah. Setiap hari dapat makan,” lanjut Ibu Neneng. Beliau tidak menceritakan
apa itu mengoyoh sawah. Kalau menurut saya sih ya merawat sawah, seperti
mencabut rumput, memupuk, menebar pestisida, dan lainnya. Mungkin ya.
No comments:
Post a Comment