Mama saya percaya, "Semakin tua seseorang, hal-hal yang pernah terjadi sewaktu mudanya pasti terserap kembali, tertarik kembali ke masa tuanya. Semacam memori yang mau diulang tanpa reka." Secara tidak langsung Ibu mengakui usianya semakin senja. Tidak apa-apa, Ma. Langit senja kan langit indah.
Lalu segala hal yang terjadi dan terceritakan olehnya memaksa saya untuk ikut meyakininya. Semacam bukti akan sebuah teori anyar.
Mulai dari teman lama beliau yang sudah 30 tahun hilang komunikasi, tiba-tiba meneleponnya. Mama lupa bertanya darimana temannya mendapatkan nomor ponselnya saking tidak percaya. "Dulu suaranya cempreng, Kak. Sekarang tetap aja begitu walau agak bergetar di ujungnya."
Pendukung teorinya yang lain adalah ketemunya foto-foto masa kecilnya yang sudah lama terselip di antara tumpukan buku-buku tua yang tersusun tidak rapih di rumah kami. Dulu Mama seorang penari tradisional, tari Jaipong sampai tari Bali pernah ia kuasai. Mama juga pernah melakoni Ramayana pada perhelatan wayang orang di TVRI. Sebuah foto usang melukiskan ketampanan Ramayana pada paras cantik Mama.
"Menari itu melatih kesabaran," ucap beliau lirih sambil memandangi kertas 3R yang dipenuhi warna coklat daun tua. Di akhir cerita pertunjukkannya, beliau menyesali tidak mewariskan bakat menari kepada saya. "Lihat saja sekarang, kamu kan keras kepala, nggak sabaran, hatinya kayak batu. Harusnya kamu belajar menari kayak Mama, Kak."
Bibir saya mengerucut. "Kakak bisa kok menari." Saya melenggak-lenggokkan kedua tangan saya yang masih pegal-pegal. Kata Mama tarian saya mirip belalang ranting keseleo. Err.
Hingga sebuah merk roti konvensional favoritnya semasa beliau belajar di taman kanak-kanak (TK). Lauw Bakery namanya.
"Ya Allah, Kak. Mbah Uti Depok selalu sangu-in Mama roti ini kalau mau berangkat sekolah. Mama kaget sekarang masih eksis. Kemarin Mama lihat gerobaknya masih sama kayak Mama TK dulu. Waaah." Mama terpesona oleh sebuah roti. Semacam kagum yang aneh.
Saya mengambil roti tawar yang tersaji cantik di meja jati kami. Roti itu berselimut mentega dan mesis ceres dengan pinggiran roti sengaja dibakar. Rasanya biasa aja, sih. Lebih enak roti-roti lain bahkan. Tapi mungkin karena terbawa suasana, saya mengunyah pelan-pelan roti gigitan kedua, mencoba mencari rasa yang tericip oleh Mama. Ada rasa yang berbeda. Rasa masa lalu, mungkin. Boleh dibilang nikmat. Pinggiran roti yang dibakar terasa pahit dan tercium bau arang. Maklum, masih panas. Baru keluar dari oven kayaknya.
"Rasanya masih sama kayak dulu," Mama mengingat dengan mudah.
Terhipnotis oleh gigitan kedua, saya menghabiskan roti pertama dan membuat roti kedua. Kali ini bertabur susu bubuk coklat kesukaan adik ketiga saya.
Saya pernah baca tulisan Dee berjudul Madre. Cerpen itu mengisahkan kehidupan Tansen (pemuda gimbal keturunan Tiong Hoa yang menjalani hidup serba tidak teratur) yang berubah sejak dikenalkan oleh Pak Hadi kepada Madre (sebuah warisan berupa biang roti) di toko roti pinggiran Kota Tua Jakarta, Tan De Baker.
Mungkin Lauw Bakery juga punya Madre yang lain sehingga rasanya tidak tergerus zaman seperti Tan De Baker. Lalu kemungkinan ini menjadi hipotesis saya dan Mama sebelum berpergian ke bilangan Fatmawati tempat Lauw Bakery berdiri tegap meski sudah renta.
Bolehlah saya kenalkan Lauw Bakery yang berhasil memutar ulang memori Mama dan merasuknya ke ingatan saya.
Lauw Bakery sudah berdiri sejak tahun 1960an. Tepatnya ketika Mama saya lahir. Perusahaan ini memproduksi roti dengan cara konvensional dan masih tetap bertahan seperti itu hingga sekarang. Katanya sih untuk mempertahankan cita rasa yang sudah dikenal baik oleh para pecinta roti Lauw, termasuk Mama. Kalau Ronico Yuswardi bilang, "Roti yang kami buat masih mempertahankan resep dan juga tampilan yang
sama seperti Lauw di tahun-tahun sebelumnya. Karena kami sadar bahwa
itulah identitas yang harus kami tunjukkan kepada masyarakat Jakarta
yang gemar makan roti.” Lelaki yang akrab disapa Nico ini merupakan penerus generasi kedua Lauw Bakery.
Berdiri pertama kali di Jl. R.S. Fatmawati No. 42A, Jakarta, kini roti Lauw sudah menjelajah ke seantero Jakarta. Tempat produksi dan gerai-gerainya menjamur di Pulo Gadung, Pondok Aren, Boplo, dan Bintaro. Sampai sekarang sudah ada 300 gerobak yang membantu roti Lauw membentangkan sayapnya ke Jabotabek.
Lauw Bakery memproduksi berbagai macam roti. Roti gambang layaknya tanda tangan khas nama lama ini. Selain itu, Lauw Bakery juga menciptakan roti buaya yang banyak berenang di pernikahan orang-orang Betawi, roti tawar, roti abon, roti daging, dan roti bergaya Taiwan lainnya. Baca-baca di internet, katanya Lauw Bakery mau mengeluarkan produk baru sejenis bread crumb bernama Panko. Wah, adik kecil, tumbuhlah besar dan bisa melalang buana ke kota saya ya. Mau banget saya memakan Panko.
Mama terakhir ke toko Lauw Bakery di Fatmawati waktu reunian tahun kapan tahu. Sudah lama banget. Kata beliau, bentuk tokonya masih sama. Bedanya cuman ada tambahan kusen kaca sebagai pembatas antara dunia fantasi roti Lauw dengan kesemrawutan Fatmawati. Mama mengajak saya mampir ke dunia fantasi itu pada reunian berikutnya. Kapan itu, Ma? Saya mau banget jadi telinga perjuangan eksistensi sebuah toko roti.
kaya apa ya rasanya, ?
ReplyDeletekayak enak kak
Delete