2/3/13

Berlian di Tambang Pasir


Sabtu itu mendung menggantung di langit. Sepertinya hujan enggan turun. Doa saya makin kuat sementara angkot yang saya tumpangi 40 menit lalu dari pertigaan Yasmin menepi di Pasar Parung. “Jangan hujan dulu, dong.” Saya tidak mau membuat ibu-ibu yang akan saya dan teman saya kunjungi nanti merasa bersalah kalau kami datang basah kuyup dan becek di sana-sini. Beliau-beliau itu memang berhati lembut dan penuh perhatian.

Janjian di pos polisi pertigaan Parung, akhirnya saya melambaikan tangan kepada Elok yang baru saja turun dari bus Pusaka. Teman perjalanan saya itu meminta maaf karena datang telat. Saya bersyukur karena dia tidak nyasar.

Tanpa pikir panjang, kami berlari menuju bus Dirgahayu. Bus umum ini tidak jauh beda dengan bus Pusaka. Hanya saja, jarang sekali bus Pusaka yang melanjutkan trayeknya sampai Tanggerang. Biasanya penumpang bus Pusaka dialihkan ke bus Dirgahayu dan Ichtra Jaya di Parung untuk melanjutkan perjalanan ke Tangerang. Siang itu bus Dirgahayu sudah penuh. Namun bapak kenek bus terus saja memasukkan penumpang ke perutnya. Dimuat-muatin deh prinsipnya. Setelah dirasa sudah kenyang, barulah kendaraan roda empat itu merayap.

Yap, merayap. Walaupun supir menancapkan gas sedalam mungkin, bus hanya bisa melaju perlahan. Jalan berlubang sepanjang Gunung Sindur memaksa bus dan kendaraan lain yang melewatinya harus bersabar meniti tiap meter lubang yang harus dilalui. Bus kami bergoyang. Otomatis semua isi bus ikutan geal-geol. Semacam atraksi dangdut tanpa musik. Saya dan beberapa penumpang hanya bisa ber-aduh-aduh ria.

Menuju Pasar Prumpung, menjamur lah tanah-tanah kosong yang akan dikonversi menjadi perumahan. Selain itu juga berserak toko-toko penjual kusen bekas dan tempat penampungan pasir. Saya mengira pasir-pasir ini berasal dari daerah yang sebentar lagi saya singgahi. Siang di luar jendela bus yang berdebu agak terik. Sepertinya hujan benar-benar tidak akan turun. Saya mengamini. Perut saya berbunyi. Antara ikut berdoa atau meminta diisi itu beda tipis. Err.

Gardu selamat datang di Kabupaten Tangerang Selatan mulai meraksasa. Pertanda saya sudah keluar dari Kabupaten Bogor. Sebelum mengolongi gardu, jalanan di daerah Puspitek banyak ditumbuhi toko-toko logam bekas. Padahal di samping toko tersebut tertancap plang pengumuman dilarang berjualan. Banyak toko ilegal di sekitar Puspitek. Kenapa mereka tetap berjualan di tempat terlarang? Mungkin mereka tidak tahu lagi harus berjualan di mana. Di Indonesia yang luas ini, ibu pertiwi masih kekurangan lahan untuk anak-anaknya membuka usaha secara legal. Kasihan …

Adzan dzuhur menyambut ketika bus sampai di Muncul. Jalan kembali tersendat. Harus manis buah sawo yang dijajakan di pinggir jalan membuat perut saya semakin bergejolak. Apakah Elok juga merasakannya? Sepertinya iya. Wanita yang mengenakan pakaian serba biru hari itu bertanya, “Nis, masih jauh ya?” Saya senyam-senyum mengiyakan. Untuk orang yang baru pertama kali melakukan perjalanan kesana adalah wajar bertanya seperti itu. Saya dulu juga gitu. Kesana tuh tidak sampai-sampai. Padahal sudah 2 jam perjalanan. Kesana kemana? Mari saya lanjutkan.

Roda bus terus berputar melewati Taman Makam Pahlawan Seribu Serpong. Kuburan itu cukup luas dilihat dari dalam bus. Saya mendumel dalam hati, “Ini tanah buat orang mati saja ada. Masa tanah buat orang hidup nggak ada, sih?” Bukannya saya tidak menghormati orang yang sudah meninggal. Tapi menurut saya agak tidak penting juga dibuat kuburan-kuburan eksklusif bertaraf internasional kayak yang sedang heboh-hebohnya dibangun di sepanjang jalan tol Cikarang, sementara ada banyak manusia hidup di tanah ilegal. Bukankah kita mati nanti cuman bisa merasakan siksa atau nikmat kubur? Mau kuburannya bersertifikat ISO atau tidak tetap saja malaikat kubur akan melaksanakan tugasnya terhadap kita. Malaikat juga tidak akan main golf meski kuburan kita ada lapangan golf-nya. Hhhh … *ngelus dada*

Setengah jam kemudian, saya dan Elok turun dari bus di Stasiun Serpong. Saya mencari angkot putih-oranye menuju Cicangkal. Perjalanan dengan angkot ini makin mengelus dada karena yang terlihat adalah perumahan-perumahan elit sebelum berakhir di Cisauk. Saya ingat perkataan dosen saya kalau pertanian di Indonesia akan bersaing dengan pembangunan perumahan karena banyak penduduk yang membutuhkan lahan untuk tempat tinggal. Pertanyaannya adalah penduduk yang mana? Penduduk yang sudah punya rumah gedong dan ingin berinvestasi dengan membeli rumah baru sih iya. Lah kan masih banyak (bahkan kebanyakan) warga Indonesia yang bertempat tinggal tidak layak dan tidak mampu membeli rumah-rumah yang sedang dibangun. Mbok yo membangun rumah tuh yang bisa dibeli orang rendah juga supaya mereka bisa hidup layak. Pembangunan di tanah lahir saya ini hanya untuk orang berdaya. Mari kita berkabung. Kibarkan bendera kuning.

Bayang-bayang kami semakin ke kanan ketika kami sampai di Cisauk. Di pinggir jalan banyak tersebar terminal pasir dan truk-truk pengangkut tertambat. Daerah Ciasuk memang dikenal dengan tambang pasirnya. Jika mendatangi toko bangunan pasti ada papan bertuliskan “Dijual Pasir Cisauk”. Nah, dari sini lah pasir itu. Cisauk berada di bilangan Rumpin. Daerah inilah tujuan perjalanan kami. Lebih tepatnya Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Sebuah kampung yang tersimpan berlian-berlian menyilaukan di antara tambang pasir yang hitam dan panas.

Kampung Cibitung salah satu dari beberapa kampung yang memiliki konflik dengan angkatan udara Atang Sendjaya akibat persengketaan lahan. Terjadi pertempuran hebat antara warga sipil dengan TNI. Mereka yang hanya bersenjatakan nekat harus berhadapan dengan puluhan tentara terlatih yang memegang senjata api. Sungguh tidak adil. Tahun 2007 lalu adalah tahun berdarah dan tidak mungkin terlupakan oleh warga Cibitung.

“Kita dulu ditembaki disini. Warga Cibitung ada yang meninggal. Katanya mah menjaga rakyat, tapi kenapa jadi begitu? Kita disetrum, diseret. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak. Semuanya,” aku seorang Ibu yang sampai sekarang saya berteman baik dengannya. “Peristiwa itu jangan sampai terulang lagi.” Ada sebulat air mengintip dari kelopak matanya yang ia tahan. Ia mencoba tegar, meski deburan napasnya yang cepat tidak bisa ia sembunyikan. Ada sakit hati di sana. Kronologis hari kelam itu dapat dibaca di sini. 

Saya dan Elok turun di depan Perumnas. Dari sini semua dimulai dengan melangkah. Dengan jalan santai, dibutuhkan 30 menit agar sampai ke Kampung Cibitung. Sebenarnya kami bisa menaiki ojek dan tidak perlu jalan kaki capek-capek. Namun dengan berjalan kaki, ada waktu bagi saya mengenalkan Kampung Cibitung kepada Elok. Teman saya dari Pati itu mengomel ketika melewati gerbang water training milik TNI AU. Kesal ia melihatnya. Dan semakin kesal setelah terbentang beberapa danau besar di retina matanya.

Water Training Spot

"Danau"

“Bukan danau sih tepatnya. Awalnya semua itu adalah tanah kosong. Lalu terjadi pengerukkan besar-besaran sehingga membentuk lubang-lubang yang akhirnya diisi air hujan. Tanah yang diambil katanya digunakan untuk membangun apartemen di Jakarta.” Saya mengangkat bahu mengakhiri pengetahuan saya. Dibuat apapun itu, saya menyayangkan karena bisa saja tanah itu digunakan warga sebagai lahan pertanian. Karena nasi sudah menjadi bubur, mungkin bisa sih danau-danau itu dijadikan wisata air. Tapi hei, itu kan statusnya masih disengketakan. Sambil menunggu hasil sidang, tidak sedikit warga kampung yang memancing di danau tersebut. Tapi ya tetap di danau yang jauh dari pengamatan tentara di pos water training.

Beberapa anak kecil meneriaki nama saya ketika langkah kami mendekati rumah tujuan perjalanan kami. Rumah yang selalu dihinggapi senyum sekembalinya sang pemilik tiba dari luar kota setelah memenuhi undangan seminar dan sidang. “Ibu selalu bersyukur rumah ini baik-baik saja selama Ibu pergi. Biarpun kecil begini, yang penting nggak dirusak tentara. Kasihan si Tika dan anak-anak Ibu suka dapat sms teror.” Saya memandangi rumah turunan sejak zaman penjajahan Jepang itu. Warna oranye pada dindingnya mengusam. Ada beberapa stiker bertuliskan penegakkan Hak Asasi Manusia di dekat pintunya. Yang terlihat mewah di rumah ini adalah kamar mandi yang baru selesai dibangun pada kunjungan terakhir saya sebelum bersama Elok.

Ibu Neneng dan Mih menyambut kami. “Aduh ini temannya malah diajak jalan kaki. Nggak naik ojek?” Nah kan, meskipun kami datang dalam keadaan utuh tidak kotor, tetap saja mereka mengkhawatirkan kami. Hehehe.

Tidak lama kami disuguhkan hidangan kampung yang nikmat. Perut saya kegirangan. Ibu Neneng mendapat telinga baru bernama Elok. Elok mendapat guru baru bernama Ibu Neneng. Setelah memberikan titipan dari Michele, Arini, Ari, Rima, dan teman kosan Elok di kampus, kami diajak Ibu Neneng mengunjungi mushola kecil tidak jauh dari rumah Mih. Melewati kandang kambing dan burung merpati yang terbang di depan kami, berdiri kokoh tempat ibadah tersebut.

Tidak seperti masjid-masjid mewah di kota yang sering terlihat lenggang, mushola kecil itu selalu berpenghuni. Apalagi pada hari Jum’at dan Minggu. Ia disesaki berlian-belian mungil hingga ke pelatarannya. Mendekati ratusan pasang sandal jepit warna-warni memenuhi halaman tanahnya. Bocah-bocah berumur 2 hingga 15 tahun memadati mushola untuk belajar. Jum’at jam 1 siang mereka belajar agama Islam karena memang semua warga kampung beragama Islam. Minggu siang mereka belajar pelajaran umum yang diasuh oleh kakak-kakak Komunitas Sekolah Kita Rumpin yang digarap oleh Ana Agustina, Rara Sekar, Jonathan Manullang, dan Ananda Badudu. Awalnya saya dikenalkan oleh mereka-mereka ini kepada Kampung Cibitung. Makasih ya Kakak-kakak! 

Ibu Neneng berterima kasih sekali banyak orang luar Rumpin yang menyempatkan waktunya berbagi ilmu di kampung kelahirannya. “Ilmu memang penting, supaya kita nggak dibodohin orang berdasi.” Ia senang anak-anak bertambah ilmunya. Kakak-kakak pengajar pun memaklumi keadaan kampung meski tiap makan siang hanya disajikan tempe tahu dan sayur seadanya.

“Cuman ya itu, tiap Jum’at juga anak-anaknya banyak, bahkan sampai ratusan. Maklum yang belajar disini kan dari 3 kampung. Yang ngajar ngaji juga hanya Ibu dan Mih aja berdua. Capek juga sih. Mana kita udah tua-tua.” Ibu Neneng tertawa di akhir curhatannya. “Mengaji juga penting. Penting banget malah. Wajib. Kan kita mah hidup buat bekal di akhirat. Ini juga supaya anak-anak hidupnya seimbang antara dunia dan akhirat.”

Inilah yang akhirnya membuat saya mengajak teman-teman lain melakukan perjalanan panjang kembali ke Kampung Cibitung dua minggu setelahnya. Saya juga tidak bisa melakukannya sendirian. Agak repot hehe.

Jum’at awal Februari kemarin mushola ramai. Membludak sudah berlian-berlian kecil itu di teras mushola. “Kak Nisa dimana? Jadi ke Rumpin? Ini anak-anaknya udah pada tungguin. Ada kali ini 80 sampai 100 anak,” suara Ibu Neneng keras di ponsel saya. Di belakangnya terdengar riuh anak-anak. Saya terbengong-bengong menanggapinya. “Iya Bu, beres sholat Jum’at kita langsung kesana.” Teman-teman saya yang tidak sholat Jum’at karena mereka perempuan (yaielah) ikutan heboh. Mungkin ini bukan pengalaman pertama mereka mengajar. Namun mengajar anak-anak yang belum pernah mereka  lihat tidak elak membuat mereka deg-deg-an. Lucu deh melihat tingkah kedua teman saya.

Melewati jalan yang sama dengan yang Elok lalui kemarin, akhirnya kami sampai di mushola. Mata-mata lugu mengintip dari balik pundak teman sebelahnya. Di antara mata itu pasti ada benak yang bertanya, “Siapa kakak-kakak itu? Kok cantik dan ganteng semua?” Eh fokus fokus.

Ibu Neneng mengenalkan teman-teman saya kepada siapa berlian-berlian lugu itu, apakah mushola itu, ada apa dengan Kampung Cibitung. Selanjutnya saya yang mengambil alih. Cailaaah. Mushola yang tadinya sumpek dan penuh itu tidak lama melenggang setelah dibagi beberapa kelas.

Di sudut mushola dekat ruangan imam ada saya bersama 7 gadis SMP hingga SMK. Kami menekuni ayat demi ayat, kata demi kata terjemahan surat Al Qiyamah. Empat puluh ayat berhasil memukau kami dengan runtutan kejadian huru-hara hari kiamat kelak. “Akan ada hari dimana nanti gunung-gunung berterbangan layaknya kapas. Bayangkan, gunung yang sebesar itu, bahkan kita tidak bisa memeluknya, tiba-tiba berterbangan di atas kepala kita. Kalau gunung itu jatuh, jadi apa kita? Dunia gelap. Bulan dan matahari bersatu. Ruh-ruh dibangkitkan. Mereka berteriak, ‘Ada apa ini? Kenapa saya bangun? Bukankah saya sudah mati? Kenapa dengan bumi?’ Ruh-ruh kebingungan. Harusnya ia sudah habis dimakan cacing tanah. Tapi ia melihat dirinya hidup kembali. Bahkan jari-jari mereka tesusun dengan baik. Mata-mata terbelalak tidak percaya. Buku-buku amalan didekatkan. Ada yang mengambilnya dengan tangan kanan. Ada juga yang mengambilnya dengan tangan kiri. Ada buku amalan yang dilempar, seolah tidak tertulis sesuatu yang berguna.”

Di kelas itu ada napas tertahan. Ludah yang sulit tertelan. Tangan yang makin erat memegang Al Qur’an. Saya pun bergidik bercerita. “Semoga langkah adik-adik yang lelah berjalan satu jam di siang terik menuju ke mushola ini tercatat pada buku amalan kita nantinya ya.” Aamiin panjang mengakhiri.

Teman saya yang entah sudah berapa kali bertanya, “Nggak ada kendaraan lain selain bus ini?” memegang kelas adik-adik 3—4 SD. Kelas Kak Anggun Agustini heboh sekali. Mulai dari rukum iman hingga tata cara berwudhu ia utarakan. Anggun terkagum-kagum pada adik-adik yang antusias belajar agama Islam. Bahkan sudah ada yang lancar membaca dan menghapal Al Qur’an. Subhanallah. Saya nggak boleh kalah sama mereka.

Di teras mushola ramai adik-adik kita terkecil diajarkan huruf hijaiyah oleh Kak Rima Yurina Nabila. Dengan bantuan papan tulis, Kak Rima juga mengajarkan huruf latin A-Z, Matematika, dan Bahasa Inggris. Wah lengkap deh!

Berjalan sebentar ke rumah Ibu Neneng, saya menemukan Kak Imam Luthfi lalala yeyeye yang nama lengkapnya sulit dihapalkan dan Kak Heru Anggara, sang korban kebajikan Kak Imam, sedang asyik mengisahkan kehidupan suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW kepada adik-adik kelas 5-6 SD. Wah mudah-mudahan kisah heroik nabi kita bisa menjadi awal kecintaan adik-adik kepada Rasulullah ya. Aamiin.

Kegembiraan dan kelelahan setelah hampir 2 jam mengajar terbayar oleh senyum adik-adik dan nasi panas buatan Ibu Neneng. Perut yang sengaja saya kosongkan dari rumah akhirnya jinak juga hehe. Ditutup dengan rambutan yang baru saja dipetik dan masih banyak semutnya, kami berlima mengobrol santai dengan Ibu Neneng dan Kak Dhito. Yap. Kampung itu juga ditandangi Kak Pradhito Harinugraha dan Kak Mirza yang sudah menginap sejak dua hari yang lalu di rumah Ibu Neneng. Mereka sedang membuat video tentang perjuangan Ibu Neneng dan kegiatan Sekolah Kita Rumpin. “Lebih bagus kalau film-nya diputar di istana,” harap Ibu Neneng.

“Iya Bu, biar langsung ke petingginya ya Bu,” saya menimpali. 

Selagi menunggu teman sholat, Ibu Neneng memperlihatkan suvenir dari sebuah televisi swasta yang baru selesai syuting di Kampung Cibitung. Satu plakat kaca dan dua gelas cantik. Kata beliau sayang kalau dibuat minum, lebih baik jadi hiasan saja. Suvenir tersebut menambah bukti penghargaan-penghargaan yang pernah diterima Ibu Neneng. Penghargaan itu ia terima karena keberanian dan kegigihannya menegakkan hak asasi manusia di bumi Rumpin. Tidak terhitung ia berada di baris depan demonstrasi di gedung parlemen. Entah sudah berapa kali ia maju di persidangan untuk mengembalikan tanah Rumpin yang sudah warga tempati sejak sebelum Indonesia merdeka. Baginya penghargaan-penghargaan itu bukan buah manis yang ingin ia petik. “Kalau kita diam saja sedangkan kita sedang ditindas, itu dosa namanya. Saya mah bukan apa-apa, Kak.”

Perjuangan Ibu Rumpin itu tidak sia-sia. Meskipun sengketa lahan belum berakhir, kini ia tidak berjuang sendiri. Ada warga yang kini tidak hanya tinggal diam menerima nasib penindasan. Penduduk di sekitar kampung pun banyak yang ikut membantu. Anak-anak Rumpin juga bisa meneguk pendidikan semanis di kota. Ya, perjuangan ini belum dan tidak akan berakhir. Insya Allah.

Cerita tentang hidup di perbatasan memang selalu tidak indah, karena pembangunan zaman sekarang terpusat di tengah. Daerah pinggiran pun terpinggirkan. Padahal bukankah juring juga termasuk bagian lingkaran?

Saya berterima kasih kepada teman-teman saya yang bersedia membantu mengajar di Kampung Cibitung, Rumpin. Walaupun mungkin awalnya agak bingung juga mau berbuat apa, toh akhirnya apapun yang kita lakukan mudah-mudahan bermanfaat bagi mereka. Melangkah saja dulu, baru kita temukan jalan.

Menulis tentang melangkah dan jalan, perjalanan Jum’at kemarin ditutup dengan berjalan di tempat yang bukan jalanan. Apa sih. Jadi, karena kami memang buta arah, mencari masjid saja ribetnya minta ampun. Sekarang giliran Kak Imam yang memimpin jalan. Dia memandu kami melewati rumah kosong di pertengahan magrib menuju Parung. Menara masjid di depan mata. Saya kira setelah rumah kosong, kami sudah sampai di masjid. Jalan kami berkelok dan menyempit. Cahaya senter Kak Imam terbentang ke tanah luas dimana menyembul nisan-nisan yang tidak berani saya lihat lama-lama. Nah loh, ini kenapa kita ada di kuburan begini? Baru saja saya menceritakan kepada anak-anak Rumpin tentang ruh-ruh yang akan dibangkitkan di hari kiamat nanti. Eh, saya sudah berada di tempat kejadian perkara. Waduuuh, merinding sudah. Anggun mengajak kembali ke tempat awal. Saya menyetujui. Rima tidak bersuara tapi pasti setuju. Kak Imam terus melangkah. Kak Heru ikut ngeloyor. Mau tidak mau wanita-wanita lemah ini mengikuti dengan hati-hati. Alamak. Entah mungkin karena otak saya dipenuhi hal-hal yang tidak masuk akal, berjalan di tengah kuburan terasa sangat panjang. Ya sebenarnya sih karena saya harus mencari jalan yang benar dan tidak merusak peristirahatan tersebut. Aduh, jadi merinding lagi nih. Tapi akhirnya kami menemukan jalan terang menuju masjid. Yayaya, melangkah saja dulu, baru kita temukan jalan.

4 comments:

  1. melangkah saja dulu, baru tersadar kita lagi jalan dimana, hahahaha, lumayan lah jadi kalian inget kematian,

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya tapi gak kayak anak pramuka juga kak hadeuh

      Delete
  2. ko kaya anak pramuka sih, kaya pencuri kain kapan mungkin

    ReplyDelete
    Replies
    1. kemarin itu macam jurit malam anak-anak pramuka. ampun. kagak lagi-lagi.

      Delete