[harusnya sih dipublish sebelum lebaran]
Foto diambil dari sini |
Ya. Ini tentang dia yang sebentar lagi
pergi. Tanda-tandanya pun semakin jelas. Wangi rumput lapangan baru dipotong
menjelang sholat ied. Gunungan daun-daun janur di belakang jok motor. Kartu
warna-warni di parkiran kantor pos. Pamflet tidak membisu menawarkan midnight
sale. Tiga hari ini, toko yang saya kunjungi ramai dengan keluarga yang asyik
memilih peci, gamis, dan koko dengan bordiran tak biasa. Warung grosiran
kocar-kacir menerima pembeli yang akan berzakat sembako. Ini tentang dia yang
sebentar lagi datang. Juga dia yang lain yang akan pergi. Ya. Semua orang tahu,
ini tentang Idul Fitri dan Ramadhan.
Saya termasuk lagi banyak hati yang agak
tidak tega kehilangan Ramadhan. Oke, mungkin dia tidak hilang. Ramadhan hanya
sembunyi di hati-hati yang sabar akan kedatangannya setahun kemudian. Tapi,
siapa yang kuat menunggu setahun lagi? Siapa yang bisa meyakinkan diri sendiri
apakah tahun depan menikmati teduh Ramadhan lagi? Hidup kita semenit lagi pun
tidak bisa kita prediksi.
Selama Ramadhan ini, saya banyak bertemu
dengan orang-orang hebat: mereka yang dengan kecintaan terbesarnya menyambut
bulan suci ini. Mari saya sebutkan yang masih terkenang. Semoga dengan
mengenalkan mereka, kita, khususnya saya, semakin termotivasi untuk memperbaiki
diri.
Salma, gadis 8 tahun bermata sipit berpipi
tembem, murid ngaji Mama yang kalau pakai mukena pasti terbalik, selalu
ditertawakan teman sejawatnya, tapi tidak pernah malu untuk datang lagi sholat
tarawih berjamaah di mushola, masih dengan mukena terbalik.
Nenek Kardi, wanita yang setiap kali saya
cium tangan, saya bisa merasakan jalur urat nadinya yang timbul ke permukaan
kulit. Nenek 70an itu selalu jadi jamaah wanita pertama yang datang untuk
sholat tarawih dan shubuh di mushola. Nenek yang ditinggal anak-anaknya hidup
hanya berdua bersama Kakek Kardi: pasangan paling romantis di antara tetangga
saya. Nenek yang selalu bilang, “Maafin Nenek ya, Nis.” Padahal beliau tidak
pernah punya salah kepada saya. Nenek yang selalu bilang, “Biar lancar sekolahnya.
Biar jadi orang.” Padahal saya nulis skripsi saya masih harus ‘dicambuk
deadline’ dulu, hehe, maaf ya, Nek. Nenek yang tidak luput dari keluhan,
“Pinggang nenek sakit.” Tapi tidak pernah bolos tarawih berjamaah yang bacaan
suratnya panjang-panjang. Saya saja pegel, tapi nenek kuat. Mantaaaap!
Elang, bocah 6 tahun yang nakalnya minta
ampun tapi luluh kalau sudah ditawari ‘mainan’ prosummer saya. Aduh itu kamera
mahal jadi bahan rebutan. Bocah Magelang yang terdampar di Bojong yang selalu
bertanya, “Iki piye?” sambil menunjukkan berbagai ‘barang baru’ di rumah saya
yang belum pernah ia gunakan. Elang yang banyak dimusuhi teman sepantarannya
tapi selalu bisa mengambil hati mereka dengan bermacam buku cerita bergambar
yang menarik anak-anak. “Ini aku bawa buku lampu dan serigala,” katanya di
suatu sore sambil berlari melambaikan dua buku punya ibu gurunya setelah hampir
menangis dijahili teman-teman. Ya Allah, Elang romantis banget ^^
Nenek Uda. Ini kenapa saya banyak berteman sama nenek-nenek begini? Asam
uratnya yang suka kambuh tidak bilang-bilang dulu memaksa nenek harus sholat
sambil duduk. Dan tetap berjamaah. Berjalan hampir 200 meter ke mushola dari
rumahnya yang hanya dihuni berdua dengan Tante Eva yang selalu memanggil saya
“Adik”.
Dika dan Faris. Kedua adik cowok saya yang
makin kece membahana. Dika yang dulunya ‘geuleuh’ terlibat dengan dunia saya,
akhirnya nyemplung juga. Elang, Dinda, Mpil, Safina, Iki, dan adiknya Iki yang
rambutnya keriting domba menjadi teman barunya. Ketika orang-orang ngabuburit,
geng bocah-bocah bakal teriakin rumah kami, “Mas Dika, main yuuuuuk.” Tiap
selesai sholat Ashar, hancur sudah beranda rumah. Lalu Faris yang berani
mengambil keputusan ikut organisasi kerohanian Islam di SMA barunya di saat
banyak teman-temannya yang memandang miring anak-anak Rohis. Waaaah, harus
tahan iman nih, Is. Ramadhan memang seolah sengaja menyediakan waktu luang
untuk banyak beribadah. Senang rasanya mendengar mereka rajin membaca Al Qur’an
dan grasak-grusuk menjelang tengah malam
pergi i’tikaf di mushola. Tawa membuncah ketika mereka ketakutan
berkata, “Kayak ada yang ngikutin aku malam-malam.” Hiiiiiii, apaan tuh Dik?
Selanjutnya adalah Sari. Niatnya sih mau
bikin tulisan khusus tentang gadis 8 tahun ini. Mudah-mudahan kesampaian ya. Maklum,
lagi ngejar draft 1 yang belum kelar-kelar (lah ini bukannya kelarin skripsi
malah nulis ginian? Hehehe represing lah represing). Sari adalah anak petugas
foto kopian perpustakaan kampus (itu loh yang ada di lantai atas pojok dekat
ruangan tesis, nggak tau? Bukan anak IPB ya? Anak IPB? Wah, nggak gaul nih. Eh
apa sih ini -___-). Pengen banget cerita banyak tentang anak ini. Sari banyak
mengajarkan saya bagaimana sebaiknya bertoleransi, harus berani bertanya ini
itu biar bertambah pengetahuan kita, berani mencari, berani ‘tidak
mendengarkan’ ayahnya dan melanjutkan ‘bermain’ dengan saya, dan berani
bermimpi tinggi. Pokoknya Sari sang pemberani deh! Dia yang mengajari saya, secara
tidak langsung, untuk jangan takut menjalani hal yang kita sukai meskipun itu
bertentangan dengan keputusan orang lain. Ya, tidak jarang kita lihat banyak
orang yang berhenti mengejar cita-cita karena keputusan orang lain, atau karena
anggapan orang lain tidak sependapat dengan kita. Padahal kalau masih bisa
dikejar, kenapa harus berhenti mengejar?
Banyak sekali orang di sekitar saya yang
menunjukkan perbaikan, mulai dari kualitas ibadah hingga kuantitas mengejar
kebaikan. Saluuuut. Nah, saya gimana? Ya nggak tahu juga, sulit kalau harus
mengaca pada diri sendiri, biar Gusti Allah yang menilai. Kayaknya masih banyak
alpa yang saya lakukan Ramadhan tahun ini. Banyak target Ramadhan yang belum
tercapai. Mudah-mudahan saya masih diizinkan bertemu dengan bulan Ramadhan
tahun depan dengan kualitas diri yang makin jempol. Aamiin.
Banyak do’a yang tercurahkan selama
Ramadhan, mudah-mudahan dikabulkan oleh Allah Sang Maha Pengabul Do’a. Terutama
tentang masa depan kita, permohonan maaf karena banyak nyeleneh, dan pastinya
keselamatan dunia dan akhirat serta terhindar dari siksa kubur. Semoga setelah
Ramadhan, hal-hal buruk yang biasa kita lakukan berkurang intensitasnya,
hal-hal baik yang baru dikerjakan selama Ramadhan bisa terus istiqomah
dilakukan setelahnya.
Saya bakal kangen banget nih sama teduhnya
malam Ramadhan. Kalau kata Ayah, “Langit seakan ikut ber-Ramadhan. Pagi cerah.
Siang mendung. Sore hujan. Malam sejuk terang.”
Semakin mendekati akhir Ramadhan tahun
ini, semakin terharu saya mendengar Nenek Kardi berujar, “Sebentar lagi kita
sampai puncak menuju kemenangan,” dengan nadanya yang bergetar. Aduh, Nek,
jangan bikin sedih dong. Eh, bagaimana Ramadhan kalian? ^^
ramadhan awak ni juga berkesan, dari awal hingga hampir ampe akhir di hutan.
ReplyDeleteuntungnya kedengeran adzan ^^
Delete