8/14/13

Yang Pergi dan Datang



[harusnya sih dipublish sebelum lebaran]

Foto diambil dari sini

Ya. Ini tentang dia yang sebentar lagi pergi. Tanda-tandanya pun semakin jelas. Wangi rumput lapangan baru dipotong menjelang sholat ied. Gunungan daun-daun janur di belakang jok motor. Kartu warna-warni di parkiran kantor pos. Pamflet tidak membisu menawarkan midnight sale. Tiga hari ini, toko yang saya kunjungi ramai dengan keluarga yang asyik memilih peci, gamis, dan koko dengan bordiran tak biasa. Warung grosiran kocar-kacir menerima pembeli yang akan berzakat sembako. Ini tentang dia yang sebentar lagi datang. Juga dia yang lain yang akan pergi. Ya. Semua orang tahu, ini tentang Idul Fitri dan Ramadhan.

Saya termasuk lagi banyak hati yang agak tidak tega kehilangan Ramadhan. Oke, mungkin dia tidak hilang. Ramadhan hanya sembunyi di hati-hati yang sabar akan kedatangannya setahun kemudian. Tapi, siapa yang kuat menunggu setahun lagi? Siapa yang bisa meyakinkan diri sendiri apakah tahun depan menikmati teduh Ramadhan lagi? Hidup kita semenit lagi pun tidak bisa kita prediksi.

Selama Ramadhan ini, saya banyak bertemu dengan orang-orang hebat: mereka yang dengan kecintaan terbesarnya menyambut bulan suci ini. Mari saya sebutkan yang masih terkenang. Semoga dengan mengenalkan mereka, kita, khususnya saya, semakin termotivasi untuk memperbaiki diri.

Salma, gadis 8 tahun bermata sipit berpipi tembem, murid ngaji Mama yang kalau pakai mukena pasti terbalik, selalu ditertawakan teman sejawatnya, tapi tidak pernah malu untuk datang lagi sholat tarawih berjamaah di mushola, masih dengan mukena terbalik.

Nenek Kardi, wanita yang setiap kali saya cium tangan, saya bisa merasakan jalur urat nadinya yang timbul ke permukaan kulit. Nenek 70an itu selalu jadi jamaah wanita pertama yang datang untuk sholat tarawih dan shubuh di mushola. Nenek yang ditinggal anak-anaknya hidup hanya berdua bersama Kakek Kardi: pasangan paling romantis di antara tetangga saya. Nenek yang selalu bilang, “Maafin Nenek ya, Nis.” Padahal beliau tidak pernah punya salah kepada saya. Nenek yang selalu bilang, “Biar lancar sekolahnya. Biar jadi orang.” Padahal saya nulis skripsi saya masih harus ‘dicambuk deadline’ dulu, hehe, maaf ya, Nek. Nenek yang tidak luput dari keluhan, “Pinggang nenek sakit.” Tapi tidak pernah bolos tarawih berjamaah yang bacaan suratnya panjang-panjang. Saya saja pegel, tapi nenek kuat. Mantaaaap!

Elang, bocah 6 tahun yang nakalnya minta ampun tapi luluh kalau sudah ditawari ‘mainan’ prosummer saya. Aduh itu kamera mahal jadi bahan rebutan. Bocah Magelang yang terdampar di Bojong yang selalu bertanya, “Iki piye?” sambil menunjukkan berbagai ‘barang baru’ di rumah saya yang belum pernah ia gunakan. Elang yang banyak dimusuhi teman sepantarannya tapi selalu bisa mengambil hati mereka dengan bermacam buku cerita bergambar yang menarik anak-anak. “Ini aku bawa buku lampu dan serigala,” katanya di suatu sore sambil berlari melambaikan dua buku punya ibu gurunya setelah hampir menangis dijahili teman-teman. Ya Allah, Elang romantis banget ^^

Nenek Uda. Ini kenapa saya banyak berteman sama nenek-nenek begini? Asam uratnya yang suka kambuh tidak bilang-bilang dulu memaksa nenek harus sholat sambil duduk. Dan tetap berjamaah. Berjalan hampir 200 meter ke mushola dari rumahnya yang hanya dihuni berdua dengan Tante Eva yang selalu memanggil saya “Adik”.

Dika dan Faris. Kedua adik cowok saya yang makin kece membahana. Dika yang dulunya ‘geuleuh’ terlibat dengan dunia saya, akhirnya nyemplung juga. Elang, Dinda, Mpil, Safina, Iki, dan adiknya Iki yang rambutnya keriting domba menjadi teman barunya. Ketika orang-orang ngabuburit, geng bocah-bocah bakal teriakin rumah kami, “Mas Dika, main yuuuuuk.” Tiap selesai sholat Ashar, hancur sudah beranda rumah. Lalu Faris yang berani mengambil keputusan ikut organisasi kerohanian Islam di SMA barunya di saat banyak teman-temannya yang memandang miring anak-anak Rohis. Waaaah, harus tahan iman nih, Is. Ramadhan memang seolah sengaja menyediakan waktu luang untuk banyak beribadah. Senang rasanya mendengar mereka rajin membaca Al Qur’an dan grasak-grusuk menjelang tengah malam  pergi i’tikaf di mushola. Tawa membuncah ketika mereka ketakutan berkata, “Kayak ada yang ngikutin aku malam-malam.” Hiiiiiii, apaan tuh Dik?

Selanjutnya adalah Sari. Niatnya sih mau bikin tulisan khusus tentang gadis 8 tahun ini. Mudah-mudahan kesampaian ya. Maklum, lagi ngejar draft 1 yang belum kelar-kelar (lah ini bukannya kelarin skripsi malah nulis ginian? Hehehe represing lah represing). Sari adalah anak petugas foto kopian perpustakaan kampus (itu loh yang ada di lantai atas pojok dekat ruangan tesis, nggak tau? Bukan anak IPB ya? Anak IPB? Wah, nggak gaul nih. Eh apa sih ini -___-). Pengen banget cerita banyak tentang anak ini. Sari banyak mengajarkan saya bagaimana sebaiknya bertoleransi, harus berani bertanya ini itu biar bertambah pengetahuan kita, berani mencari, berani ‘tidak mendengarkan’ ayahnya dan melanjutkan ‘bermain’ dengan saya, dan berani bermimpi tinggi. Pokoknya Sari sang pemberani deh! Dia yang mengajari saya, secara tidak langsung, untuk jangan takut menjalani hal yang kita sukai meskipun itu bertentangan dengan keputusan orang lain. Ya, tidak jarang kita lihat banyak orang yang berhenti mengejar cita-cita karena keputusan orang lain, atau karena anggapan orang lain tidak sependapat dengan kita. Padahal kalau masih bisa dikejar, kenapa harus berhenti mengejar?

Banyak sekali orang di sekitar saya yang menunjukkan perbaikan, mulai dari kualitas ibadah hingga kuantitas mengejar kebaikan. Saluuuut. Nah, saya gimana? Ya nggak tahu juga, sulit kalau harus mengaca pada diri sendiri, biar Gusti Allah yang menilai. Kayaknya masih banyak alpa yang saya lakukan Ramadhan tahun ini. Banyak target Ramadhan yang belum tercapai. Mudah-mudahan saya masih diizinkan bertemu dengan bulan Ramadhan tahun depan dengan kualitas diri yang makin jempol. Aamiin.

Banyak do’a yang tercurahkan selama Ramadhan, mudah-mudahan dikabulkan oleh Allah Sang Maha Pengabul Do’a. Terutama tentang masa depan kita, permohonan maaf karena banyak nyeleneh, dan pastinya keselamatan dunia dan akhirat serta terhindar dari siksa kubur. Semoga setelah Ramadhan, hal-hal buruk yang biasa kita lakukan berkurang intensitasnya, hal-hal baik yang baru dikerjakan selama Ramadhan bisa terus istiqomah dilakukan setelahnya.

Saya bakal kangen banget nih sama teduhnya malam Ramadhan. Kalau kata Ayah, “Langit seakan ikut ber-Ramadhan. Pagi cerah. Siang mendung. Sore hujan. Malam sejuk terang.”

Semakin mendekati akhir Ramadhan tahun ini, semakin terharu saya mendengar Nenek Kardi berujar, “Sebentar lagi kita sampai puncak menuju kemenangan,” dengan nadanya yang bergetar. Aduh, Nek, jangan bikin sedih dong. Eh, bagaimana Ramadhan kalian? ^^

2 comments:

  1. ramadhan awak ni juga berkesan, dari awal hingga hampir ampe akhir di hutan.

    ReplyDelete