Saya, kamu, semua orang tahu, masing-masing dari kita pasti harus
pindah. Kita tidak mungkin tinggal di satu tempat yang sama sampai selamanya.
Hidup itu dinamis. Ia bergerak. Pergerakan hidup mengantarkan kita kepada
kematian. Mati pun juga bergerak. Kita tidak selamanya menetap di dalam tanah.
Ada dunia bernama akhirat yang siap menampung kita. Hidup di akhirat juga tidak
ada yang diam. Di surga ada sungai-sungai yang mengalir. Di neraka ada perpindahan
gelombang suara teriak milik mereka yang gemar membantah Tuhan ketika di dunia.
Naudzubillahi min dzalik. Jangan sampai kita ujung-ujungnya berpindah ke
neraka.
Kata pindah selalu melekat dengan asal perpindahan. Tidak akan disebut
berpindah kalau tidak ada tempat berasal. Izinkan saya menyebutnya rumah.
Sebelum kita menempati rumah di alam abadi kelak, memang kita menetap di rumah
dunia. Banyak teman saya yang berkata, “Dunia itu semacam pitstop-nya Valentino Rossi pas lomba Moto GP. Dunia itu layaknya
pom bensin dalam perjalanan mudik. Ibaratnya adalah tempat lo isi bahan bakar
kendaraan biar nggak mogok, tempat lo makan karena di jalan tol Cikampek nggak
ada warung pinggir jalan, juga tempat lo istirahat sebentar supaya mengemudi lo
nggak bikin kecelakaan.”
Dunia cuman tempat singgah dalam perjalanan akbar manusia ke alam
akhirat. Pertanyaannya: tempat singgah seperti apa yang memang benar
mengantarkan kita kepada surga? Perbekalan apa saja yang harus kita siapkan
agar tidak melenceng ke neraka? Patuhi diri kepada Islam. Itu jawaban mudahnya.
Sebenarnya saya tidak ingin menulis tentang hakikat hidup di dunia
menuju akhirat. Ilmu saya masih cetek banget. Secetek kolam renang anak TK.
Kamu pasti lebih paham. Tiga paragraf tadi hanya pengingat saya saja sih,
karena apa yang mau saya tulis wajib bercermin pada pengantar barusan.
Apa yang mau saya tulis? Hhmm. Bukan sesuatu yang penting sih. Toh
saya juga tidak tahu, apa yang tertulis nanti bakal terealisasikan atau tidak. Namun
mungkin suatu saat nanti, ketika saya masih ingat blog ini dan membacanya lagi,
saya bisa mesem-mesem sendiri karena punya keinginan aneh seperti ini.
Seperti apa? Seperti inilah ^^
Saya dan kamu tahu, kalau sudah matang nanti, kita tidak mungkin
tinggal selamanya bersama orang tua. Kalau kata Mama, yang merujuk dari hadist
yang saya tidak hapal, orang yang tidak menikah tidak termasuk umat Nabi
Muhammad. Tahu arah tulisan ini akan kemana? Hehehe. Bukan bukan. Bukannya
ngebet nikah. Cuman ya siapa sih yang tidak mau menikah? Harganya sebanding
dengan setengah keimanan booo. Ini jual beli yang mahal dan sayang untuk
dilewatkan.
Kalau kata Ayah, orang yang sudah menikah harus tinggal pisah dengan
orang tuanya. Itu artinya ya harus punya rumah sendiri. Nah ini dia yang mau
saya tulis. Sama seperti judulnya: Rumah Impian.
Perjalanan singkat dari Departemen ITSL menuju Perpustakaan kampus
Kamis kemarin menggenapkan rumah impian yang mau saya tempati kelak. Haaa, apa
hubungannya? Begini hubungannya. Anak IPB atau yah yang pernah ke IPB deh,
pasti tahu ada jalan tercepat dari Fakultas Pertanian menuju Perpustakaan IPB.
Yap, lewat kantin Fakultas Teknik Pertanian (Fateta). Saya sering melewati
kantin ini. Hanya saja kalau sedang tidak ada teman berjalan dan tidak dikejar
waktu, saya suka memutar lewat ITSL menuju perpustakaan.
Penting banget nggak sih ini?
Alasan utama saya lewat jalan memutar karena ada Arboretum Fakultas
Kehutanan yang kece banget! Kalau ada yang bingung, arboretum itu seperti hutan
kecil-kecilan gitu. Setiap lewat Aboretum Fahutan, saya ingat pembicaraan tidak
penting saya kepada teman, “Gue pengen banget punya rumah di gunung.” Dan
langsung ditimpali tatapan nyeleneh dari teman saya, “Ah elo mah, kebiasaan.”
Hahaha, ada yang salah kah? Tentu tidak. Toh tiap orang punya seleranya
masing-masing.
Dulu saya pernah mau punya rumah yang dindingnya terbuat dari kaca
semua, jadi transparan gitu. Tidak perlu lampu karena bakal ada sinar matahari
dan bulan sebagai penggantinya. Saya juga bisa semau saya melihat keindahan
dunia kapan saja. Tidak perlu pakai tembok karena harga batu bata mahal
katanya. Tapi ya malu juga sih kalau lagi asyik selonjoran di kursi dilihatin
orang dari luar. Hehehe.
Dan selera saya tentang rumah berubah. Seperti apa? Seperti ini.
Saya pengen banget punya rumah kayu. Kecil aja, jangan besar-besar,
malas bersih-bersihnya hehe. Setiap saya melangkah, lantainya berderit kayak
rumah mau roboh. Ruangannya juga jangan banyak-banyak. Standar aja sih. Kamar
tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang keluarga. Ruang makan dan ruang tamu jadi
satu dengan ruang keluarga. Biar semuanya tumplek blek di situ. Tapi yang
penting harus ada perpustakaan dan kamar gelapnya.
Perpustakaan? Iya. Dari dulu tuh saya pengen banget punya ruangan
khusus perpustakaan. Di rumah yang sekarang saya tempati, buku bejubel
dimana-mana nggak karuan. Di atas lemari baju, tersusun di kasur, di rak album
foto, di kolong tempat tidur, di koper bekas pindahan kostan, di meja komputer,
tergeletak di lantai. Lemari khusus buku tidak sanggup menampung jumlah buku
yang ada di rumah. Ruang baca juga dimana saja. Di kamar tidur, ruang tamu,
dapur, bahkan beranda. Suatu saat nanti, bakal bersyukur sekali punya rumah
yang ada perpustakaannya. Oh iya, perpustakaannya harus besar. Kalau bisa lebih
luas dari ruangan lain. Saya penggemar buku. Pasti banyak buku yang akan
menggenapi tiap sudut perpustakaan. Kalau bisa ada satu lemari khusus berisi
buku-buku yang saya dan suami tulis. Selain itu, perpustakaan ini mau saya
jadikan tempat sholat juga. Sholat itu enak banget kalau di tempat yang sunyi,
salah satunya di perpustakaan kampus, dan insya Allah calon perpustakaan
pribadi saya. Kayaknya bakal seru kalau setelah sholat berjamaah dengan
keluarga baru kita membahas satu halaman tafsir tiap harinya. Kalau mau diskusi,
tinggal ambil di lemari ^^
Satu ruangan lagi: kamar gelap. Apakah itu? Itu loh ruangan kedap
cahaya tempat mencetak foto dari film kamera analog. Nah nantinya foto-foto
jepretan saya akan saya tempel di dinding tiap ruangan. Rumah saya nantinya bisa
jadi ruang pameran juga hehe.
Saya tidak peduli rumahnya harus bergaya Eropa atau India atau Papua.
Sederhana saja deh. Jangan banyak ukiran dan perabot saja. Ribet bersihinnya.
Yeeee, ini dari tadi malas banget sih bersih-bersih. Hahaha. Ngelesnya sih biar
nggak banyak debu. Nanti jadi sarang penyakit.
Rumah yang mau saya tempati nanti kecil saja. Tapi halamannya luas
banget, seluas-luasnya luas. Halaman depan ditanami rumput gajah juga berbagai
tanaman obat dan sayur. Halaman belakangnya kalau bisa ada danaunya. Hahaha,
ini mah harus nikah sama tukang sewa bebek air.
Kalau boleh, saya pengen banget punya rumah di Ranu Kumbolo. Setahu
saya di sana ada bangunan tidak terpakai. Harusnya sih buat pos pemantau gitu.
Nggak tahu deh kenapa sekarang kosong (apa sudah dirobohin? Nggak tahu. Belum
pernah kesana. Kapan-kapan kalau diizinkan ke Semeru, harus di-cek nih). Nah,
boleh lah ya itu bangunan jadi rumah saya aja. Pas banget kan dengan cita-cita
saya punya rumah di gunung. Apalagi dikelilingi hutan. Wah, nggak perlu
pindahin arboretum Fahutan tuh. Hahaha, ngarep banget ini. Kayaknya nggak
mungkin deh. Ya udah sih, namanya juga impian. Mengkhayal dikit lah. Bang,
pesen satu kavling di Ranu Kumbolo ya ^^
Terlepas dari
khayalan tingkat tinggi yang lupa daratan ini, rumah kita di dunia haruslah
tidak lepas dari hakikatnya sebagai pom bensin menuju rumah abadi di akhirat.
Bakal keren banget kalau rumah kita tidak berhenti melatunkan ayat suci Al
Qur’an. Tidak dengan suaranya saja, hawanya, dan segala perilaku yang dilakukan
di dalam rumah ya sesuai dengan yang diajarkan di Al Qur’an. Apakah ini bakal
sulit? Ya sulit kalau tidak dilakukan bersama-sama seisi rumah. Harus tercipta
satu tim yang klop banget agar rumah kita nantinya jadi salah satu rumah di
surga, atau segala aktifitas di rumah akan menambah langkah kita mendekati
komplek di surga. Bagaimana meng-klop-kannya? Ya masing-masing penghuni
selayaknya meng-klop-kan hatinya kepada Allah semata, insya Allah ^^
No comments:
Post a Comment