7/28/13

Melepas dengan Reinkarnasi Kinanthi

Judul buku   : Kinanthi (Terlahir Kembali)
Penulis         : Tasaro GK
Penerbit       : Bentang Pustaka
Isi cerita       : 534 halaman
Harga           : Rp 64.000

Sampul Depan
Tidak sedikit jumlahnya Indonesia menelurkan novel-novel romantis dan dipajang di toko buku besar. Dari sekian novel cinta, katanya, yang pernah saya baca, sering saya mendapat gambaran bahwa memiliki cinta itu gampang. Cinta banyak diceritakan begitu gamblang. Murah. Seperti barang asongan. Cinta itu wajib saling memiliki. Cinta itu hanya berlaku kepada pasangan kekasih. Bah. Kita kehilangan esensi cinta itu sendiri, harusnya kita sadari. Cinta sejati layaknya jauh dari napsu. Itu yang diajarkan Tuhan kepada manusia. Baru dua novel fiksi yang saya baca cukup berhasil menjadi buku pelajaran tentang cinta. Pertama adalah Tahta Mahameru (mudah-mudah ada waktu bikin ulasan novel ini ^^). Yang kedua yaitu Kinanthi (Terlahir Kembali) yang tanpa sengaja saya beli dan mengharuskan saya makan siang hanya dengan biskuit dan segelas kopi di perpustakaan kampus.

Sepotong tembang Kinanthi menunggang angin Gunung Kidul mengawali kisah ini. Saya tidak tahu seperti apa nadanya, bagaimana menembangnya, apa maknanya. Tembang Jawa itu dilantunkan Ajuj kecil kepada sahabat perempuannya, Kinanthi, yang kemana-mana punggungnya selalu menggendong Hasto, adik kecilnya yang tidak sanggup (namun terlihat tidak mau) dijaga Simboknya di rumah. Persahabatan yang sulit antara Ajuj dan Kinanthi seolah tidak memberatkan keduanya ketika tembang itu dinyanyikan dengan kunci yang tepat. Sulit? Yeah, sulit dan rumit. Sesulit apakah? Sesulit dua kutub magnet yang berbeda untuk saling tarik-menarik. Ya, Kinanthi dan Ajuj adalah dua kutub magnet berlawanan yang menyalahi teori Maxwell. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Perbedaan antara Kinanthi dan Ajuj sangat besar. Orang Gunung Kidul asli tidak punya alasan agar mereka bisa bersama, setidaknya menjalani hari-hari persahabatan tanpa gunjingan penduduk desa. Kinanthi berasal dari keluarga penjudi dan pelacur. Ajuj dilahirkan dari rahim istri seorang rois (semacam kiai) yang disegani satu kampung. Bagaimana mungkin Ajuj bisa tenang-tenang saja mencari kepiting di gua atau mengunjungi Mbah Gogoh bersama gadis penuh aib yang sejak lama keberadaannya tidak diakui tetangga? Apalagi Ajuj kecil memiliki pikiran yang lebih matang tentang agama. Ajuj berani menentang bapaknya sendiri yang selalu menjadi pemimpin ritual penyerahan sesajen atas nama balas budi kepada Gusti Allah. Dengan lantang Ajuj memvokal bahwa Gusti Allah tidak perlu disogok dengan nasi tumpeng supaya hasil panen musim depan melimpah. Sang rois berkilah, “Ini pasti karena kamu berteman dengan Kinanthi.” Persahabatan mereka semakin rumit ketika akhirnya Kinanthi dijual orang tuanya sendiri menjadi pembantu rumah tangga. Kinanthi diiming-imingi masa depan yang cerah di Bandung agar keluarganya tidak lagi makan dengan gaplek. Semakin jauh saja jarak antara Kinanthi dan Ajuj. Kinanthi hanya yakin satu hal, dimanapun ia, Ajuj begitu dekat, sedekat rasi bintang layang-layang. Karena jika ia ingin bertemu Ajuj, tengok saja Galaksi Cinta tepat di bawah bintang Crux itu.

Novel ini tidak sepenuhnya fiksi. Meski mungkin tidak ada Kinanthi asli, namun segala permasalahan yang dihadirkan Tasaro GK menjadi bumbu cerita benar terjadi di sekitar kita, di Indonesia. Bahkan ia tidak hanya menjadi bumbu, tetapi juga bahan utama. Cara Tasaro ini begitu halus dan apik.

Nilai merah tidak pernah singgah di rapotnya. Namun miskinnya keluarga Kinanthi memaksa gadis sebelas tahun itu tidak melanjutkan pendidikan. Ia ditukar dengan lima puluh kilogram beras supaya menjadi pembantu. Walaupun di Bandung ia bisa sekolah juga, itu tidak sepenuhnya membebaskan. Kehidupan di kota mengguncang batinnya. Pengalihan budaya yang begitu mendadak membikin Kinanthi gelisah. Ia yang selalu unggul di sekolah putus asa dengan impiannya karena sang majikan membuka kartu, “Orang Arab lebih senang punya pembantu yang nggak bodoh-bodoh amat. Di sana kamu bakal laku.” Dipaksa terbanglah Kinanti ke Arab sebagai TKW. Ada cahaya terang dalam batinnya. “Bukankah Nabi Muhammad, manusia tersuci sepanjang sejarah lahir sebagai orang Arab? Apa yang harus dikhawatirkan?” Pertanyaannya terjawab setelah ia menjalani kehidupan keras di Riyadh. TKW adalah kasta terendah di tanah Arab. Hadirnya Kinanthi menambah daftar panjang korban kekerasan hingga pelecehan seksual. Kabur ke SIR pun tidak mengubah nasib buruknya. Ia ditipu oleh orang sebangsanya dijual kembali menjadi pembantu di Mesir.

Tasaro menggambarkan nasib para TKW Indonesia di negeri kilang minyak. Dipukuli. Disiksa. Dicemooh. Diperkosa. Direndahkan lebih rendah dari binatang. Diperbudak. Mencari bantuan ke KBRI pun layaknya mencari jerami dalam tumpukan jarum. Wakil Indonesia di sana bahkan tidak bisa menolong saudara sebangsanya sendiri. Sistem TKW Indonesia begitu bobrok di luar negeri. Mereka yang hampir gila hanya mendengar permintaan maaf yang begitu murah. Sangat menyayat hati.

Hidup di Mesir pun tidak mudah. Segala penyiksaan yang ia terima dari keluarga ber-burqa akhirnya mematikan hati Kinanthi. Kinanthi punya senjata rahasia, pisau kecil yang tersemat di kantung gamisnya. Pisau itu selalu ia keluarkan setiap kali majikannya hendak memerkosanya. Kinanthi, seperti TKW lainnya, mengancam akan bunuh diri sebagai perlindungannya. Mati menjadi tidak menakutkan lagi. Tidak jarang ia memamerkan kerudungnya memelas, “Kita saudara satu agama. Islam. Mengapa kalian memperlakukan saya begini buruknya?” Mesir sudah sekuler, Thi. Senyum menjijikkan mereka berkata, “Kamu pembantu. Saya majikan. Kamu selalu rendah di bawah saya.” Akhirnya Kinanthi tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya lagi dengan Tuhan. Toh ternyata Tuhan masih di bawah kasta majikan. Kinanthi tidak punya apa-apa lagi, bahkan Tuhan yang dulu ia yakini selalu bisa menolong di kala makhlukNya susah tidak datang. Hanya kepada berlembar-lembar suratlah ia tuangkan segala deritanya, amarahnya, keputusasaannya. Surat yang selalu dia alamatkan kepada orang yang sama. Surat yang selalu tidak pernah ia terima balasannya dari orang yang paling ia rindukan. Ajuj.

Kinanthi seperti barang ekspor. Dijual kesana kemari. Terpaksa ia ikut majikan Mesir ke Amerika. Menghampiri keburukan lain yang baginya sudah seperti menu sarapan pagi. Kenapa Kinanthi tidak memilih ke Indonesia saja? Ia menjawab sendiri, “Buat apa? Toh tidak ada yang menanti pulang.” Tidak orang tua, tidak Ajuj. Ajuj? Hah. Bagaimana mungkin lelaki yang pernah menjadi kebahagiaan masa lalunya itu menunggu kepulangannya? Sekadar membalas surat pun tak mampu. Menjalani hidup di Amerika layaknya menunggu hari kematian saja bagi Kinanthi. Dan ketika pertahanannya hancur, ia kabur. Di depan pusat aktivitas muslim Miami lah ia ambruk.

Entahlah. Sepenelitian saya, novel fiksi tidak pernah jauh dari yang namanya kebetulan. Ini yang saya sayangkan. Saya sudah hanyut dalam segala kenyataan pahitnya hidup seorang TKW namun harus ditampar dengan kondisi dimana tokoh utama akhirnya bertemu dengan malaikat penolong dan pemutus alur cerita sendu. Yaaah, kalau tidak begini, mungkin Tasaro juga tidak tahu bagaimana membuat cerita yang happy ending. Mungkin lho ya, Mas.

Dengan segala kebetulan-kebetulan (ya silahkan kalau mau dikatakan takdir pun), Kinanthi akhirnya menemukan pintu reinkarnasinya. Kesabaran sang ibu asuh, Asma, itulah lubang kunci pintu kelahirannya. Lantunan musik klasik dan surat kepada Ajuj adalah kuncinya. Kinanthi bangkit bersama Asma. Ia kini berani bercita-cita: menjadi dokter seperti Asma kecil. Hingga akhirnya ia harus berani kembali mengarungi hidup sendiri setelah tahu bahwa perbedaan antara dirinya dengan Asma begitu besar. Perbedaan-perbedaan melahirkan perpisahan, Kinanthi terbiasa dengan itu.

Saya menyukai bagian hidup Kinanthi bersama idealisme Asma. Tasaro mengiring saya pada kenyataan bahwa muslim di luar negeri pun tidak ada bedanya dengan Indonesia. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan warna kulit yang berbeda, tetapi juga membekali dengan otak yang tak sama. Fanatisme manusia menyikapi sesuatu, misalnya sifat feminisme Asma dan slogan hak asasi perempuan yang selalu ia lantangkan di stasiun kereta, menciptakan gesekan keras antar sesama pemeluk agama. Ditambah lagi muslim di Amerika termasuk minoritas, semakin peliklah agama satu-satunya yang diridhoi Allah SWT. Perpecahan ini akhirnya menjadi tontonan menarik di negara pemuja demokrasi. Sungguh nyata dirasa ketika saya membaca ini. Miris semakin mengiris. Semakin jauh pula esensi beragama bagi Kinanthi. “Terakhir kali aku cek, agama dicari orang untuk mencari kedamaian, sedangkan yang kulihat dari apa yang Ibu jalani, ini seperti pertunjukan sirkus saja.” Ini yang saya takutkan pada Indonesia sekarang. Televisi banyak menayangkan aksi fanatisme atas nama agama hingga berprilaku layaknya Tuhan. Menuduh sana melempar sini, fitnah disana sini. Hingga terbentuklah sistem pikiran kita, yang sengaja diasah dengan perang pemikiran Yahudi, bahwa agama toh tidak bisa menjamin hidup kita baik. Agama malah bikin rusuh. Izinkan saya meminjam kata Kinanthi, “Yang terjadi sekarang, justru orang-orang Islam yang ketakutan di mana pun mereka hidup karena sikap Islamophobia yang mewabah.” Astaghfirullahaladzim!

Hei, apakah kalian menyadari bahwa jalan berpikir Kinanthi semakin dewasa? Bagaimana mungkin terlahir pertentangan atas kenyataan yang melalaikan manusia dari seorang bekas TKW yang bahwa diprediksi tidak memiliki masa depan dan akan mati muda karena gila? Sudah saya bilang, Kinanthi telah bereinkarnasi! Belasan tahun kemudian Kinanthi benar telah berubah. Ia melayangkan sayapnya menunjukkan kepada Amerika bahwa dirinya adalah elang yang siap menguasa (dan Tasaro hanya menggambarkan perubahan waktu yang sangat panjang ini dengan tiga kata saja, ah menyebalkan). Yap. Kinanthi berkuasa. Namanya adalah bahan pembicaraan para intelektual Amerika. Dan ini jarang, bahkan mungkin tidak akan ada, saya temukan pada TKW non fiktif. Sekali lagi menyadarkan saya bahwa novel tetaplah novel.

Tasaro mengenalkan tokoh baru. Lelaki yang gemar bertopi koboi ini pandai sekali meyakinkan saya bahwa perubahan terjadi kalau kita banyak berinteraksi dengan orang lain. Namanya Zhaxi, lelaki metropolis yang baru dibongkar kedoknya kalau ia asli dari Tibet oleh Kinanthi setelah sekian tahun bekerja sama mengorbitkan tulisan spektakulernya. Menurut saya, orang yang banyak berpengaruh pada kehidupan Kinanthi selanjutnya adalah Zhaxi. Dan yeah, saya terkagum dengannya dan berharap ada lelaki seperti Zhaxi di kehidupan nyata. Bukan karena ia metroseksual. Hahaha, saya suka malas kenal dengan orang yang terlalu memperhatikan penampilannya. Melainkan karena kepala editor di penerbitan nomor wahid Amerika itu akhirnya bisa membuat Kinanthi yang keukeuh dengan kilahannya, “Kadang Anda sangat merindukan seseorang atau suatu tempat, tapi memutuskan untuk tidak menengoknya demi memelihara kerinduan itu.” hingga akhirnya Kinanthi luluh untuk melakukan pelepasan terakbar dari hidupnya. Kembali ke Indonesia. Mengetahui kabar Hasto. Menengok kembali Galaksi Cinta yang semakin samar cahayanya. Dan yang paling penting mendapatkan jawaban mengapa Ajuj tidak pernah membalas 113 surat Kinanthi. Di titik itulah rahasia judul novel ini terungkap. Kinanthi benar-benar terlahir kembali. Perlahan ia mulai menemukan kembali Tuhan yang semasa kecilnya selalu ia agung-agungkan bersama Ajuj di langgar.

Bagi saya, pelepasan yang ditawarkan Zhaxi kepada Kinanthi untuk menemui Ajuj sebetulnya juga merupakan pelepasan perasaannya kepada Kinanthi. Saya bisa menebak bahwa hubungan yang Zhaxi ambil kepada Kinanthi lebih dari hubungan editor dengan penulis saja. Hanya, caranya memendam begitu halus sampai tidak terlihat di permukaan hingga akhirnya Tasaro harus memaksa Zhaxi mengutarakan perasaannya. Bagaimana akhir kisah mereka? Mungkin kalian bisa menebak kalau saya mengutip dua kalimat dari bab Perseus berikut: “Kebahagiaan ternyata tidak selalu berarti dua keinginan itu bertemu, bukan?” Kalimat terakhir adalah “tidak semua perasaan harus diperjuangkan.”

Pada sampul belakang novel ini, Tasaro memperingatkan saya, juga mungkin kalian. “Beginilah cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta. Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila. Berhati-hatilah …” Hei, sepertinya saya harus belajar melepas dengan Kinanthi nih, belajar melepas untuk berhati-hati ^^

8 comments:

  1. riview yang apik, saya baca Kinanti versi pertamanya. sepertinya memang banyak yang lebih lengkap ya

    ReplyDelete
  2. owh, ini to buku yg bkin ngirit tea, nyari ah,

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe. ayo cari kak, nyampe lah buku ini di jambi mah. yang Tahta Mahameru juga bagus tuh, terbitan Republika :)

      Delete
  3. Ulasan nya menarik dan objektif kebetulan saya juga sudah baca bukunya. Sempet nanya sebenrnya ke mas Tasaro, apa mau dilanjutkan? Beliau menjawa.. "hmm... mungkin saja" ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mas yudhi. kalau saya sih memilih nggak usah dilanjutkan, biar Kinanthi menggantung begitu saja hehe. tapi kalau dilanjutkan pun, pasti Tasaro nggak akan membuat alur yang murah ^^

      Delete