Penulis : Tasaro
GK
Penerbit : Bentang
Pustaka
Isi cerita : 534 halaman
Harga : Rp
64.000
Sampul Depan |
Tidak sedikit jumlahnya Indonesia menelurkan novel-novel romantis dan
dipajang di toko buku besar. Dari sekian novel cinta, katanya, yang pernah saya
baca, sering saya mendapat gambaran bahwa memiliki cinta itu gampang. Cinta
banyak diceritakan begitu gamblang. Murah. Seperti barang asongan. Cinta itu
wajib saling memiliki. Cinta itu hanya berlaku kepada pasangan kekasih. Bah.
Kita kehilangan esensi cinta itu sendiri, harusnya kita sadari. Cinta sejati
layaknya jauh dari napsu. Itu yang diajarkan Tuhan kepada manusia. Baru dua
novel fiksi yang saya baca cukup berhasil menjadi buku pelajaran tentang cinta.
Pertama adalah Tahta Mahameru (mudah-mudah ada waktu bikin ulasan novel ini ^^).
Yang kedua yaitu Kinanthi (Terlahir Kembali) yang tanpa sengaja saya beli dan
mengharuskan saya makan siang hanya dengan biskuit dan segelas kopi di
perpustakaan kampus.
Sepotong tembang Kinanthi menunggang angin Gunung Kidul mengawali
kisah ini. Saya tidak tahu seperti apa nadanya, bagaimana menembangnya, apa
maknanya. Tembang Jawa itu dilantunkan Ajuj kecil kepada sahabat perempuannya,
Kinanthi, yang kemana-mana punggungnya selalu menggendong Hasto, adik kecilnya
yang tidak sanggup (namun terlihat tidak mau) dijaga Simboknya di rumah.
Persahabatan yang sulit antara Ajuj dan Kinanthi seolah tidak memberatkan
keduanya ketika tembang itu dinyanyikan dengan kunci yang tepat. Sulit? Yeah,
sulit dan rumit. Sesulit apakah? Sesulit dua kutub magnet yang berbeda untuk
saling tarik-menarik. Ya, Kinanthi dan Ajuj adalah dua kutub magnet berlawanan
yang menyalahi teori Maxwell. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Perbedaan antara
Kinanthi dan Ajuj sangat besar. Orang Gunung Kidul asli tidak punya alasan agar
mereka bisa bersama, setidaknya menjalani hari-hari persahabatan tanpa
gunjingan penduduk desa. Kinanthi berasal dari keluarga penjudi dan pelacur.
Ajuj dilahirkan dari rahim istri seorang rois (semacam kiai) yang disegani satu
kampung. Bagaimana mungkin Ajuj bisa tenang-tenang saja mencari kepiting di gua
atau mengunjungi Mbah Gogoh bersama gadis penuh aib yang sejak lama
keberadaannya tidak diakui tetangga? Apalagi Ajuj kecil memiliki pikiran yang
lebih matang tentang agama. Ajuj berani menentang bapaknya sendiri yang selalu
menjadi pemimpin ritual penyerahan sesajen atas nama balas budi kepada Gusti
Allah. Dengan lantang Ajuj memvokal bahwa Gusti Allah tidak perlu disogok
dengan nasi tumpeng supaya hasil panen musim depan melimpah. Sang rois berkilah,
“Ini pasti karena kamu berteman dengan Kinanthi.” Persahabatan mereka semakin
rumit ketika akhirnya Kinanthi dijual orang tuanya sendiri menjadi pembantu
rumah tangga. Kinanthi diiming-imingi masa depan yang cerah di Bandung agar
keluarganya tidak lagi makan dengan gaplek. Semakin jauh saja jarak antara
Kinanthi dan Ajuj. Kinanthi hanya yakin satu hal, dimanapun ia, Ajuj begitu
dekat, sedekat rasi bintang layang-layang. Karena jika ia ingin bertemu Ajuj,
tengok saja Galaksi Cinta tepat di bawah bintang Crux itu.
Novel ini tidak sepenuhnya fiksi. Meski mungkin tidak ada Kinanthi
asli, namun segala permasalahan yang dihadirkan Tasaro GK menjadi bumbu cerita
benar terjadi di sekitar kita, di Indonesia. Bahkan ia tidak hanya menjadi
bumbu, tetapi juga bahan utama. Cara Tasaro ini begitu halus dan apik.
Nilai merah tidak pernah singgah di rapotnya. Namun miskinnya keluarga
Kinanthi memaksa gadis sebelas tahun itu tidak melanjutkan pendidikan. Ia
ditukar dengan lima puluh kilogram beras supaya menjadi pembantu. Walaupun di
Bandung ia bisa sekolah juga, itu tidak sepenuhnya membebaskan. Kehidupan di
kota mengguncang batinnya. Pengalihan budaya yang begitu mendadak membikin
Kinanthi gelisah. Ia yang selalu unggul di sekolah putus asa dengan impiannya
karena sang majikan membuka kartu, “Orang Arab lebih senang punya pembantu yang
nggak bodoh-bodoh amat. Di sana kamu bakal laku.” Dipaksa terbanglah Kinanti ke
Arab sebagai TKW. Ada cahaya terang dalam batinnya. “Bukankah Nabi Muhammad,
manusia tersuci sepanjang sejarah lahir sebagai orang Arab? Apa yang harus
dikhawatirkan?” Pertanyaannya terjawab setelah ia menjalani kehidupan keras di
Riyadh. TKW adalah kasta terendah di tanah Arab. Hadirnya Kinanthi menambah
daftar panjang korban kekerasan hingga pelecehan seksual. Kabur ke SIR pun
tidak mengubah nasib buruknya. Ia ditipu oleh orang sebangsanya dijual kembali
menjadi pembantu di Mesir.
Tasaro menggambarkan nasib para TKW Indonesia di negeri kilang minyak.
Dipukuli. Disiksa. Dicemooh. Diperkosa. Direndahkan lebih rendah dari binatang.
Diperbudak. Mencari bantuan ke KBRI pun layaknya mencari jerami dalam tumpukan
jarum. Wakil Indonesia di sana bahkan tidak bisa menolong saudara sebangsanya
sendiri. Sistem TKW Indonesia begitu bobrok di luar negeri. Mereka yang hampir
gila hanya mendengar permintaan maaf yang begitu murah. Sangat menyayat hati.
Hidup di Mesir pun tidak mudah. Segala penyiksaan yang ia terima dari
keluarga ber-burqa akhirnya mematikan hati Kinanthi. Kinanthi punya senjata
rahasia, pisau kecil yang tersemat di kantung gamisnya. Pisau itu selalu ia
keluarkan setiap kali majikannya hendak memerkosanya. Kinanthi, seperti TKW
lainnya, mengancam akan bunuh diri sebagai perlindungannya. Mati menjadi tidak
menakutkan lagi. Tidak jarang ia memamerkan kerudungnya memelas, “Kita saudara
satu agama. Islam. Mengapa kalian memperlakukan saya begini buruknya?” Mesir
sudah sekuler, Thi. Senyum menjijikkan mereka berkata, “Kamu pembantu. Saya
majikan. Kamu selalu rendah di bawah saya.” Akhirnya Kinanthi tumbuh menjadi
pribadi yang tidak percaya lagi dengan Tuhan. Toh ternyata Tuhan masih di bawah
kasta majikan. Kinanthi tidak punya apa-apa lagi, bahkan Tuhan yang dulu ia
yakini selalu bisa menolong di kala makhlukNya susah tidak datang. Hanya kepada
berlembar-lembar suratlah ia tuangkan segala deritanya, amarahnya,
keputusasaannya. Surat yang selalu dia alamatkan kepada orang yang sama. Surat
yang selalu tidak pernah ia terima balasannya dari orang yang paling ia
rindukan. Ajuj.
Kinanthi seperti barang ekspor. Dijual kesana kemari. Terpaksa ia ikut
majikan Mesir ke Amerika. Menghampiri keburukan lain yang baginya sudah seperti
menu sarapan pagi. Kenapa Kinanthi tidak memilih ke Indonesia saja? Ia menjawab
sendiri, “Buat apa? Toh tidak ada yang menanti pulang.” Tidak orang tua, tidak
Ajuj. Ajuj? Hah. Bagaimana mungkin lelaki yang pernah menjadi kebahagiaan masa
lalunya itu menunggu kepulangannya? Sekadar membalas surat pun tak mampu.
Menjalani hidup di Amerika layaknya menunggu hari kematian saja bagi Kinanthi.
Dan ketika pertahanannya hancur, ia kabur. Di depan pusat aktivitas muslim Miami
lah ia ambruk.
Entahlah. Sepenelitian saya, novel fiksi tidak pernah jauh dari yang
namanya kebetulan. Ini yang saya sayangkan. Saya sudah hanyut dalam segala
kenyataan pahitnya hidup seorang TKW namun harus ditampar dengan kondisi dimana
tokoh utama akhirnya bertemu dengan malaikat penolong dan pemutus alur cerita
sendu. Yaaah, kalau tidak begini, mungkin Tasaro juga tidak tahu bagaimana
membuat cerita yang happy ending.
Mungkin lho ya, Mas.
Dengan segala kebetulan-kebetulan (ya silahkan kalau mau dikatakan
takdir pun), Kinanthi akhirnya menemukan pintu reinkarnasinya. Kesabaran sang
ibu asuh, Asma, itulah lubang kunci pintu kelahirannya. Lantunan musik klasik
dan surat kepada Ajuj adalah kuncinya. Kinanthi bangkit bersama Asma. Ia kini
berani bercita-cita: menjadi dokter seperti Asma kecil. Hingga akhirnya ia
harus berani kembali mengarungi hidup sendiri setelah tahu bahwa perbedaan
antara dirinya dengan Asma begitu besar. Perbedaan-perbedaan melahirkan
perpisahan, Kinanthi terbiasa dengan itu.
Saya menyukai bagian hidup Kinanthi bersama idealisme Asma. Tasaro
mengiring saya pada kenyataan bahwa muslim di luar negeri pun tidak ada bedanya
dengan Indonesia. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan warna kulit yang
berbeda, tetapi juga membekali dengan otak yang tak sama. Fanatisme manusia
menyikapi sesuatu, misalnya sifat feminisme Asma dan slogan hak asasi perempuan
yang selalu ia lantangkan di stasiun kereta, menciptakan gesekan keras antar sesama
pemeluk agama. Ditambah lagi muslim di Amerika termasuk minoritas, semakin
peliklah agama satu-satunya yang diridhoi Allah SWT. Perpecahan ini akhirnya
menjadi tontonan menarik di negara pemuja demokrasi. Sungguh nyata dirasa
ketika saya membaca ini. Miris semakin mengiris. Semakin jauh pula esensi
beragama bagi Kinanthi. “Terakhir kali aku cek, agama dicari orang untuk
mencari kedamaian, sedangkan yang kulihat dari apa yang Ibu jalani, ini seperti
pertunjukan sirkus saja.” Ini yang saya takutkan pada Indonesia sekarang.
Televisi banyak menayangkan aksi fanatisme atas nama agama hingga berprilaku
layaknya Tuhan. Menuduh sana melempar sini, fitnah disana sini. Hingga
terbentuklah sistem pikiran kita, yang sengaja diasah dengan perang pemikiran
Yahudi, bahwa agama toh tidak bisa menjamin hidup kita baik. Agama malah bikin
rusuh. Izinkan saya meminjam kata Kinanthi, “Yang terjadi sekarang, justru
orang-orang Islam yang ketakutan di mana pun mereka hidup karena sikap Islamophobia yang mewabah.” Astaghfirullahaladzim!
Hei, apakah kalian menyadari bahwa jalan berpikir Kinanthi semakin
dewasa? Bagaimana mungkin terlahir pertentangan atas kenyataan yang melalaikan
manusia dari seorang bekas TKW yang bahwa diprediksi tidak memiliki masa depan
dan akan mati muda karena gila? Sudah saya bilang, Kinanthi telah
bereinkarnasi! Belasan tahun kemudian Kinanthi benar telah berubah. Ia
melayangkan sayapnya menunjukkan kepada Amerika bahwa dirinya adalah elang yang
siap menguasa (dan Tasaro hanya menggambarkan perubahan waktu yang sangat
panjang ini dengan tiga kata saja, ah menyebalkan). Yap. Kinanthi berkuasa.
Namanya adalah bahan pembicaraan para intelektual Amerika. Dan ini jarang,
bahkan mungkin tidak akan ada, saya temukan pada TKW non fiktif. Sekali lagi
menyadarkan saya bahwa novel tetaplah novel.
Tasaro mengenalkan tokoh baru. Lelaki yang gemar bertopi koboi ini
pandai sekali meyakinkan saya bahwa perubahan terjadi kalau kita banyak
berinteraksi dengan orang lain. Namanya Zhaxi, lelaki metropolis yang baru
dibongkar kedoknya kalau ia asli dari Tibet oleh Kinanthi setelah sekian tahun
bekerja sama mengorbitkan tulisan spektakulernya. Menurut saya, orang yang
banyak berpengaruh pada kehidupan Kinanthi selanjutnya adalah Zhaxi. Dan yeah,
saya terkagum dengannya dan berharap ada lelaki seperti Zhaxi di kehidupan
nyata. Bukan karena ia metroseksual. Hahaha, saya suka malas kenal dengan orang
yang terlalu memperhatikan penampilannya. Melainkan karena kepala editor di
penerbitan nomor wahid Amerika itu akhirnya bisa membuat Kinanthi yang keukeuh dengan kilahannya, “Kadang Anda
sangat merindukan seseorang atau suatu tempat, tapi memutuskan untuk tidak
menengoknya demi memelihara kerinduan itu.” hingga akhirnya Kinanthi luluh
untuk melakukan pelepasan terakbar dari hidupnya. Kembali ke Indonesia.
Mengetahui kabar Hasto. Menengok kembali Galaksi Cinta yang semakin samar
cahayanya. Dan yang paling penting mendapatkan jawaban mengapa Ajuj tidak
pernah membalas 113 surat Kinanthi. Di titik itulah rahasia judul novel ini
terungkap. Kinanthi benar-benar terlahir kembali. Perlahan ia mulai menemukan
kembali Tuhan yang semasa kecilnya selalu ia agung-agungkan bersama Ajuj di
langgar.
Bagi saya, pelepasan yang ditawarkan Zhaxi kepada Kinanthi untuk
menemui Ajuj sebetulnya juga merupakan pelepasan perasaannya kepada Kinanthi. Saya
bisa menebak bahwa hubungan yang Zhaxi ambil kepada Kinanthi lebih dari
hubungan editor dengan penulis saja. Hanya, caranya memendam begitu halus
sampai tidak terlihat di permukaan hingga akhirnya Tasaro harus memaksa Zhaxi
mengutarakan perasaannya. Bagaimana akhir kisah mereka? Mungkin kalian bisa
menebak kalau saya mengutip dua kalimat dari bab Perseus berikut: “Kebahagiaan
ternyata tidak selalu berarti dua keinginan itu bertemu, bukan?” Kalimat
terakhir adalah “tidak semua perasaan harus diperjuangkan.”
Pada sampul belakang novel ini, Tasaro memperingatkan saya, juga
mungkin kalian. “Beginilah cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta. Engkau
bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika
dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan
adalah ketika engkau merasa ia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu
kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan
akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.
Berhati-hatilah …” Hei, sepertinya saya harus belajar melepas dengan Kinanthi
nih, belajar melepas untuk berhati-hati ^^
must have this book.. ^^,
ReplyDeleteand you need this book too :)
Deleteriview yang apik, saya baca Kinanti versi pertamanya. sepertinya memang banyak yang lebih lengkap ya
ReplyDeletematur nuwun sanget mbak tuti :)
Deleteowh, ini to buku yg bkin ngirit tea, nyari ah,
ReplyDeletehehe. ayo cari kak, nyampe lah buku ini di jambi mah. yang Tahta Mahameru juga bagus tuh, terbitan Republika :)
DeleteUlasan nya menarik dan objektif kebetulan saya juga sudah baca bukunya. Sempet nanya sebenrnya ke mas Tasaro, apa mau dilanjutkan? Beliau menjawa.. "hmm... mungkin saja" ....
ReplyDeletemakasih mas yudhi. kalau saya sih memilih nggak usah dilanjutkan, biar Kinanthi menggantung begitu saja hehe. tapi kalau dilanjutkan pun, pasti Tasaro nggak akan membuat alur yang murah ^^
Delete