7/24/13

Satu Tubuh Versus Toleransi


Tersimpul Kuat

Pernah iseng bertanya kepada teman SMA, “Apa bedanya sih Kristen Katolik dengan Protestan?” Dia menjelaskan perbedaannya dengan menekankan bahwa Protestan itu menyimpang dari Kristen murni. Maklum, dia Katolik taat. Waktu kuliah juga pernah iseng bertanya hal yang sama. Dari mulut Protestan taat terketoklah palu bahwa Protestan itu benar, Katolik salah.

Saya tidak perduli mana yang benar mana yang salah. Yang saya perdulikan karena mengusik saya sehingga saya menulis tulisan ini adalah kalimat terakhir yang saya dengar dari orang kedua. “Ya Katolik dan Protestan itu sama kayak Islam, Nis. Ada Muhamadiyah, ada NU.” Saya tercengang dan buru-buru menjelaskan, “Islam itu cuman satu. Nggak ada Islam Muhamadiyah, Islam NU. Mereka itu cuman organisasi aja. Sama kayak di kampus, ada KSR, Lawalata, organisasi mahasiswa lain. Tapi intinya sama.”

Islam itu satu. Beberapa yang paham mungkin sudah maklum bahwa nama-nama tersebut hanya organisasi. Bukan aliran. Bukan cabang-cabang. Sehingga perbedaan itu kita terima sebagai fitrah manusia yang condong berkelompok kepada yang memang kita sreg di dalamnya. Sepemahaman saya, setiap manusia punya kecondongan masing-masing terhadap sesuatu. Saya lebih suka A. Kalian lebih demen yang B. Itu fitrah. Mesti disyukuri. Karena kalau semua lebih suka pada satu yang sama, bisa tidak seimbang, mudah untuk terjadi chaos. Misalnya, semua manusia di dunia ini hanya mau jadi tentara. Lalu siapa yang jadi dokter untuk mengobati tentara yang sakit? Lagipula perbedaan ini juga tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Dengan segala konstelasi perbedaan, Allah Sang Pengatur mudah menyeimbangkan segalanya. Tugas manusia adalah memanajemen perbedaan dan Allah sudah memberi kita modal akal dan penuntun hidup untuk melakukannya.

Lalu apa yang mengusikmu, Nis?

Adalah kalimat bahwa Muhamadiyah dan NU adalah Islam yang beda. Meskipun pendapat ini keluar dari teman saya yang pengetahuannya mungkin nol tentang hal ini. Oh iya, sebenarnya tulisan ini tidak hanya ingin membahas tentang dua organisasi besar bertitel Islam itu. Tapi juga tentang organisasi-organisasi Islam yang lain. Kalau ditelisik lebih dalam, tulisan ini juga tidak hanya membahas perbedaan organisasi Islam saja, tapi juga organisasi-organisasi lain. Contohnya, berbagai organisasi yang intinya sama-sama ingin menyejahterakan rakyat. Siapa saja mereka, saya yakin kalian punya nama-nama organisasi yang lebih banyak kalian tahu daripada saya.

Pertanyaan pertama: kok bisa ya ada orang berpikiran bahwa organisasi-organisasi Islam yang marak muncul di televisi itu adalah dari Islam yang beda? Lah wong tuhannya sama. Nah, bisa beda urusannya kalau tuhannya beda. Kalau udah keluar syariat, ya salah sih intinya, bukan Islam lagi itu. Pertanyaan ini, menurut saya, selaras dengan pertanyaan: kok bisa ya ada orang yang berpikiran bahwa PAN, Demokrat, PDI, PKS, Gerindra itu beda? Bukannya kata membangun Indonesia sama-sama ada di visi dan misi mereka? Maaf kalau ada yang tersinggung, tapi selayaknya sih tidak tersinggung, buat apa toh le?

We always just judge the book by its cover. Saya punya berbagai jawaban menurut analisis saya yang cetek ini. Pertama: media terlalu membesar-besarkan perbedaan yang ada. Kedua: memang organisasi itu sendiri yang membesarkan perbedaan mereka. Ketiga: organisasi itu saklek dengan pendapatnya sendiri dan mengesampingkan organisasi lain, pokoknya yang di luar AD/ART kelompok mereka maka itu salah. Keempat: kombinasi semuanya. Izinkan saya menguliti pendapat saya tersebut satu per satu.

Indonesia punya media. Banyak. Besar-besar. Juga bermulut besar. Apa saja yang beda, dibesarkan. Bahkan di dalam satu organisasi yang sama. Menjadi acara tiga jam tersendiri. Mengundang mulut-mulut yang tahan berkoar-koar. Seperti miskin acara, yatim berita, padahal banyak hal yang tidak terberitakan. Fungsi media saat ini sudah kabur. Ia yang seharusnya menjadi penengah, eh malah jadi hakim yang memutuskan ini benar ini salah sesuai ideologi media itu sendiri tanpa pengkajian lebih lanjut, matang, dan adil. Kini media sudah jadi alat promosi calon pemenang 2014. Ia adalah spanduk bersuara. Lebih gahar. Membajir ludah-ludah. Media adalah juri perlombaan akbar. Ini teroris, ini bukan teroris. Yang ekstrem sesat. Yang mulus baik-baik. Media sudah jadi tuhan. Yo modar!

Jawaban kedua dan ketiga sebenarnya saling mendukung. Karena organisasi itu saklek dengan ideologinya, maka mereka yang tidak segaris lurus dianggap hina, mainnya membanggakan kelompok sendiri. Cuman organisasi saya yang benar. Partai kami saja yang murni membela rakyat miskin. Hanya kelompok X yang sesuai dengan syariat tuhan. Mereka yang tidak sejalan, diberantas habis-habisan. Berperilaku seenaknya. Bunuh sana. Bom sini. Mereka berperang atas nama yang sama: rakyat, agama, sambel kacang, apapun. Dan kombinasi semua jawaban bisa memberangus sifat kemanusiaan kita. Naudzubillahi min dzalik!

Mungkin kita lupa kalau Indonesia itu satu. Mungkin kita lupa hadist Rasulullah yang mengatakan bahwa setiap Muslim itu ibarat satu tubuh. Kalau yang satu sakit, yang lain ikutan sakit. Lah sekarang, masing-masing anggota tubuh menyerang anggota tubuh yang lain. Aneh. Yaaaah, mungkin kita lupa. Atau pura-pura lupa? Atau dilupakan sistem? Atau memang tidak tahu? Yaaaah, mungkin saja selama ini kita beromong kosong. Tong kosong nyaring bunyinya. Kita banyak bicara tanpa tahu ilmunya. Manusia kah kita? Mungkin kita ingat kita satu tubuh tapi malas mengurusi. Halah, ngurus kantong sendiri saja belum betul, kok ya ngurus orang lain? Mungkin kita tidak malas, tapi mau berbuat juga susah. Bilang A tidak digubris. Menulis surat ke presiden hanya jadi pemenuh brangkas berdebu. Ini lebih menyakitkan dibanding bilang A tapi besoknya hilang.

Pertanyaan kedua: sepenglihatan saya, kenapa ya kita lebih gampang bertoleransi dengan yang memang beda 100% dengan kita ketimbang yang sama 99%? Perbedaan 1% ini bahkan mampu memecah belah inti ideologi yang sama. Toleransi menjadi begitu mahal bila kita melalui jalan yang beda untuk tujuan yang sama, dibanding kepada mereka yang memang tujuannya beda.

Pertanyaan terakhir dan paling penting: kenapa sih saya menulis ini? Kenapa sih kamu membaca ini? Mboh!

2 comments: