Pukul dua pagi bumi Tengger mulai menggeliat. Menyibak selimut bulu
angsa yang menyelubungi hampir seluruh tubuh. Bahkan ia seperti tersembunyi di
bawahnya. Tergesa-gesa mengambil sarung yang tergantung di pegangan pintu.
Langkah kakinya cepat membangunkan seisi perut Tengger.
“Hardtop siap!”
Hampir dua puluh tahunan ini, mata bumi Tengger sudah melek pada pagi
buta sejak namanya aktif menyelinap di antara kuluman asap kopi wisatawan lokal
maupun internasional. Meski dipaksakan. Awalnya malu-malu karena di sudut mata
tertinggal kotoran kecoak. Semakin dewasa, ia tidak perduli kantung di bawah
kelopak matanya makin menggelayut keberatan.
“Masa wisatawannya nungguin kita karena telat bangun? Nanti nggak ada
lagi yang mau pakai kita,” alasan seorang pengemudi mobil 4WD sambil menguap.
Sesekali ia memperbaiki letak kupluknya. Walaupun sudah lama pindah ke bumi
Tengger, hawa dingin dataran tinggi itu tetap menusuk tidak bersahabat ke
ruang-ruang kulitnya. Ia salah satu dari sekian banyak orang luar yang
menyambung hidup menjadi supir. Tidak perlu cari kerjaan sampai Jakarta, disini
juga lumayan, lanjutnya. Sambil tertawa yang lainnya menyela, “Lah wong
Jakartanya malah kesini.”
Hardtop menjadi kendaraan wajib wisatawan untuk mencapai ketinggian
tempat menemukan bintang paling besar di galaksi Bima Sakti. Mungkin ada yang
nekat menggunakan mobil pribadi. Namun jangan harap akan kuat menanjak. Mesin
turun. Mobil rusak. Biaya perbaikan bisa sampai jutaan. Selain memiliki mesin
khusus menaklukan jalan mendaki, hardtop dengan lincah bisa berbelok di sudut
kelokan bukit dengan tepat sehingga tidak perlu takut menggelinding ke dasar
jurang jalan. Dengan tawar-menawar yang tidak mungkin memakan waktu yang lama,
hardtop siap mengendus tiap inci jalan menuju View Point Pananjakan. Mengapa
tidak memakan waktu lama? Karena wisatawan tidak akan merasa rugi meskipun
harus merogoh kocek sangat dalam.
Tetap tidak punya uang untuk membayar hardtop? Fasilitas ojek lebih
murah. Namun harus siap-siap membeku diterpa angin pagi buta. Bulan saja enggan
muncul. Ia sedang menikmati kehangatan di balik selimut awan.
Di ketinggian 2770 mdpl lah hardtop istirahat barang satu jam. Kaki-kaki
penumpang berlarian, atau hanya berjalan cepat, menuju sebuah ruang luas
beratap langit menatap langit yang lain. Kursi-kursi panjang tidak lagi jadi
tempat duduk, tetapi tempat berdiri, berjinjit, dan melompat. Belum pukul lima,
segaris merah di ujung pandangan memekakkan telinga. Sorak sorai mereka
menunggu sang dewa langit memamerkan mega merahnya. Banyak pemilik mobil
berplat B yang ikut memeriahkan musim pulang kampung begitu gembira menyaksikan
matahari terbit dari ketinggian yang tidak lazim dalam hidup mereka.
“Kenapa orang Jakarta wisata kesini ya? Hanya untuk melihat matahari
terbit? Apa di Jakarta matahari tidak terbit?” Polos penduduk Tengger
menerka-terka. Di Jakarta tentu saja matahari terbit. Tapi tidak sebagus di
ranah Tengger. Terang saja. Bahkan kau bisa kabur membedakan mana matahari mana
parabola.
Aneh mungkin bagi warga Tengger. Menghabiskan jutaan rupiah hanya
untuk selembar foto matahari terbit? Itupun kalau sedang beruntung matahari
sedang bulat-bulatnya. Kalau tidak? Keanehan ini dimanfaatkan warga menjadi
ladang penghidupan: supir hardtop, penunggu toilet umum, pedagang cilok panas, penyewa
vila, tukang ojek, pemilik warung kopi. Bahkan ada yang rela masuk ke
hutan-hutan, membawa batang edelweiss, membudidayakannya kembali di rumah untuk
diperbanyak, memberi warna, membuat bentuk, menempel mata. Konon bunga
legendaris itu disebut bunga abadi. Perlambang cinta yang tidak akan mati.
Mitos-mitos dijual. Wisatawan tergiur. Bagi mereka, “Pokoknya yang ndeso-ndeso itu keren.” Lebih dari lima
ribu rupiah per buket di tangan. Cukup buat satu kali makan.
Apakah tulisan ini terbaca bahwa Tengger tidak akan terbangun tanpa
wisatawan berteriak, “Matahari whoooaaa!”? Mungkin iya benar begitu. Lahan-lahan
kosong terkonversi menjadi penginapan yang bintangnya mengimbangi bintang di
langit. Itu pun bisa dihitung jari yang memang milik penduduk asli. Wajah
Puncak di Bogor, bisa jadi seperti itulah wajah bumi Tengger sekarang. Jumlah
pekerja pertanian merosot. Petani-petani harus membuka hutan untuk membuat
lahan bertani baru agar kentang dan sayuran lain tetap dapat diproduksi. Bahkan
tidak sedikit yang membuat kayu-kayu menggantung untuk dijadikan tempat
pembibitan, saking tinggal sedikitnya tanah perawan.
Pukul sembilan pagi. Deru hardtop mulai melemah. Wisatawan kembali ke
penginapan, membayar waktu tidur mereka yang hilang pagi buat. Tengger
mengantuk tapi harus terjaga. Kini giliran deru motor, kayuh sepeda, juga tepak
sepatu bot membawa karung dan keranjang kosong. Sekarang waktunya petani
memanen kentang yang tersisa. Sementara orang luar terhipnotis oleh kecantikan
matahari pagi Tengger, penduduk asli menggenjot napas mereka hidup seperti
biasa di bawah matahari yang biasa. Ini seperti dua sisi koin yang berbeda.
Meski merangkak, napas-napas leluhur masih mendarah mengalir di sela
daging warga yang mayoritas pengikut Budha. Langgar-langgar tua tetap menyala
lampunya. Arsitektur tempat berkumpul warga tidak tergerus modernitas yang
meraja tiba-tiba. Ukiran arca-arca masih berdiri di ambang pintu rumah. Asap
dupa mengangkasa. Sebuah lukisan cerita dewa di dinding pinggir jalan terjaga
warnanya.Ada sebuah resah mengudara bersama angin yang mengeringkan jemuran,
“Adakah tiba saatnya tradisi kami juga
akan menjadi matahari terbit? Akankah menciptakan sebuah tontonan mahal namun
mereduksi nilai-nilai surgawi?”
Berikut adalah wajah Tengger di mata penulis.
|
Predator Matahari Terbit |
|
Alat Buru Baru |
|
Vandalisme Atas Nama "Gue pernah kesini" |
|
Kamu Sayang Dia Tidak Sayang Kami |
|
Pulang |
|
Sampah |
|
Pemburu Lekuk Gunung |
|
Hardtop |
|
Ojek |
|
Bakso Malang |
|
Penyuguh Kehangatan |
|
Pembersih yang Kotor |
|
Penawar Keabadian |
|
Menjemput Panen |
|
Taman Gantung |
|
Langgar |
|
Dewa Dalam Rumah |
|
Arca |
|
Pucuk |
|
Lukisan |
|
Gadis Tengger |
No comments:
Post a Comment