7/14/13

Wajah Tengger: Edisi Pananjakan



Pukul dua pagi bumi Tengger mulai menggeliat. Menyibak selimut bulu angsa yang menyelubungi hampir seluruh tubuh. Bahkan ia seperti tersembunyi di bawahnya. Tergesa-gesa mengambil sarung yang tergantung di pegangan pintu. Langkah kakinya cepat membangunkan seisi perut Tengger.

“Hardtop siap!”

Hampir dua puluh tahunan ini, mata bumi Tengger sudah melek pada pagi buta sejak namanya aktif menyelinap di antara kuluman asap kopi wisatawan lokal maupun internasional. Meski dipaksakan. Awalnya malu-malu karena di sudut mata tertinggal kotoran kecoak. Semakin dewasa, ia tidak perduli kantung di bawah kelopak matanya makin menggelayut keberatan.

“Masa wisatawannya nungguin kita karena telat bangun? Nanti nggak ada lagi yang mau pakai kita,” alasan seorang pengemudi mobil 4WD sambil menguap. Sesekali ia memperbaiki letak kupluknya. Walaupun sudah lama pindah ke bumi Tengger, hawa dingin dataran tinggi itu tetap menusuk tidak bersahabat ke ruang-ruang kulitnya. Ia salah satu dari sekian banyak orang luar yang menyambung hidup menjadi supir. Tidak perlu cari kerjaan sampai Jakarta, disini juga lumayan, lanjutnya. Sambil tertawa yang lainnya menyela, “Lah wong Jakartanya malah kesini.”

Hardtop menjadi kendaraan wajib wisatawan untuk mencapai ketinggian tempat menemukan bintang paling besar di galaksi Bima Sakti. Mungkin ada yang nekat menggunakan mobil pribadi. Namun jangan harap akan kuat menanjak. Mesin turun. Mobil rusak. Biaya perbaikan bisa sampai jutaan. Selain memiliki mesin khusus menaklukan jalan mendaki, hardtop dengan lincah bisa berbelok di sudut kelokan bukit dengan tepat sehingga tidak perlu takut menggelinding ke dasar jurang jalan. Dengan tawar-menawar yang tidak mungkin memakan waktu yang lama, hardtop siap mengendus tiap inci jalan menuju View Point Pananjakan. Mengapa tidak memakan waktu lama? Karena wisatawan tidak akan merasa rugi meskipun harus merogoh kocek sangat dalam.

Tetap tidak punya uang untuk membayar hardtop? Fasilitas ojek lebih murah. Namun harus siap-siap membeku diterpa angin pagi buta. Bulan saja enggan muncul. Ia sedang menikmati kehangatan di balik selimut awan.

Di ketinggian 2770 mdpl lah hardtop istirahat barang satu jam. Kaki-kaki penumpang berlarian, atau hanya berjalan cepat, menuju sebuah ruang luas beratap langit menatap langit yang lain. Kursi-kursi panjang tidak lagi jadi tempat duduk, tetapi tempat berdiri, berjinjit, dan melompat. Belum pukul lima, segaris merah di ujung pandangan memekakkan telinga. Sorak sorai mereka menunggu sang dewa langit memamerkan mega merahnya. Banyak pemilik mobil berplat B yang ikut memeriahkan musim pulang kampung begitu gembira menyaksikan matahari terbit dari ketinggian yang tidak lazim dalam hidup mereka.

“Kenapa orang Jakarta wisata kesini ya? Hanya untuk melihat matahari terbit? Apa di Jakarta matahari tidak terbit?” Polos penduduk Tengger menerka-terka. Di Jakarta tentu saja matahari terbit. Tapi tidak sebagus di ranah Tengger. Terang saja. Bahkan kau bisa kabur membedakan mana matahari mana parabola.

Aneh mungkin bagi warga Tengger. Menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk selembar foto matahari terbit? Itupun kalau sedang beruntung matahari sedang bulat-bulatnya. Kalau tidak? Keanehan ini dimanfaatkan warga menjadi ladang penghidupan: supir hardtop, penunggu toilet umum, pedagang cilok panas, penyewa vila, tukang ojek, pemilik warung kopi. Bahkan ada yang rela masuk ke hutan-hutan, membawa batang edelweiss, membudidayakannya kembali di rumah untuk diperbanyak, memberi warna, membuat bentuk, menempel mata. Konon bunga legendaris itu disebut bunga abadi. Perlambang cinta yang tidak akan mati. Mitos-mitos dijual. Wisatawan tergiur. Bagi mereka, “Pokoknya yang ndeso-ndeso itu keren.” Lebih dari lima ribu rupiah per buket di tangan. Cukup buat satu kali makan.

Apakah tulisan ini terbaca bahwa Tengger tidak akan terbangun tanpa wisatawan berteriak, “Matahari whoooaaa!”? Mungkin iya benar begitu. Lahan-lahan kosong terkonversi menjadi penginapan yang bintangnya mengimbangi bintang di langit. Itu pun bisa dihitung jari yang memang milik penduduk asli. Wajah Puncak di Bogor, bisa jadi seperti itulah wajah bumi Tengger sekarang. Jumlah pekerja pertanian merosot. Petani-petani harus membuka hutan untuk membuat lahan bertani baru agar kentang dan sayuran lain tetap dapat diproduksi. Bahkan tidak sedikit yang membuat kayu-kayu menggantung untuk dijadikan tempat pembibitan, saking tinggal sedikitnya tanah perawan.

Pukul sembilan pagi. Deru hardtop mulai melemah. Wisatawan kembali ke penginapan, membayar waktu tidur mereka yang hilang pagi buat. Tengger mengantuk tapi harus terjaga. Kini giliran deru motor, kayuh sepeda, juga tepak sepatu bot membawa karung dan keranjang kosong. Sekarang waktunya petani memanen kentang yang tersisa. Sementara orang luar terhipnotis oleh kecantikan matahari pagi Tengger, penduduk asli menggenjot napas mereka hidup seperti biasa di bawah matahari yang biasa. Ini seperti dua sisi koin yang berbeda.

Meski merangkak, napas-napas leluhur masih mendarah mengalir di sela daging warga yang mayoritas pengikut Budha. Langgar-langgar tua tetap menyala lampunya. Arsitektur tempat berkumpul warga tidak tergerus modernitas yang meraja tiba-tiba. Ukiran arca-arca masih berdiri di ambang pintu rumah. Asap dupa mengangkasa. Sebuah lukisan cerita dewa di dinding pinggir jalan terjaga warnanya.Ada sebuah resah mengudara bersama angin yang mengeringkan jemuran, “Adakah tiba saatnya tradisi kami  juga akan menjadi matahari terbit? Akankah menciptakan sebuah tontonan mahal namun mereduksi nilai-nilai surgawi?”

Berikut adalah wajah Tengger di mata penulis.

Predator Matahari Terbit
Alat Buru Baru
Vandalisme Atas Nama "Gue pernah kesini"
Kamu Sayang Dia Tidak Sayang Kami
Pulang
Sampah
Pemburu Lekuk Gunung
Hardtop
Ojek
Bakso Malang
Penyuguh Kehangatan
Pembersih yang Kotor
Penawar Keabadian
Menjemput Panen
Taman Gantung
Langgar
Dewa Dalam Rumah
Arca
Pucuk
Lukisan
Gadis Tengger

No comments:

Post a Comment