7/9/13

Tamu Musim Gugur


Daun Terakhir


Kami kenal sekali tandanya. Jemuran-jemuran lambat mengering. Tawa renyah bocah dengan bandana ungu tua menanti hari ekuinoks. Sambil berlari menuju rumahnya di perbatasan antara rumah kami dengan terminal bus, ia menanggalkan baju seragam kebesarannya. Pedagang asongan di pusat perpindahan pun ikut menyakinkan kami akan kedatangannya. Cesnut berbagai rasa terbungkus kertas warna-warni. Mulai dihargai sekian sen hingga sekian yen. Jengkerik menggelar orkestra pukul delapan malam. Bajing-bajing berisik berlarian di beranda rumah kami, mencuri biji-biji yang tidak pernah kami semai. Ya, tidak pernah lagi disemai sejak hari kelabu itu.

Tepatnya 23 September tahun lalu. Di hari berbahagia itu, ketika guru-guru mengumumkan hari libur, anak-anak bersorak kegirangan, tempat wisata ramai dikunjungi orang. Orang-orang ramai mengunjungi tempat wisata. Orang-orang hanya berlalu saja melalui rumah kami. Menengok barang seperdetik. Menggumamkan belas kasihan. Lalu berlalu ke tempat wisata. Sungguh, memang gulali lebih menggoda kemanusiaan dibanding lelaki yang terbujur kelu di beranda rumah kami. Lagi-lagi beranda. Ruangan tak berdinding itu adalah bab tersendiri yang sangat bersejarah pada lembaran buku keseharian kami.

Dengan suara terberatnya, ia akhirnya berkata “Pada hari pertama musim gugur nanti.”
“Hari ekuinoks, Kek? Kata Bu Guru, aku diajak jalan-jalan ke pusat kota. Asyik, Kek.  Kakek harus ikut! Aku mau main sama kakek. Layang-layang!”

Kami yang lebih tua dan mengenali tandanya menyuruh yang paling bungsu bermain bersama ayam di luar. Biarkan kami menyesap lanjutan kalimat Kakek Ahn.

“Pada hari pertama musim gugur nanti, yang indah harus berguguran untuk menciptakan keindahan lain. Mungkin juga waktuku untuk menggugurkan diri. Bersatu bersama yang merah-merah. Merasakan anomali tanah menuju musim dingin.” Gelombang suara yang tidak menyiratkan kesedihan itu melayang-layang bersama gerah angin musim kemarau hingga bertemu teduh musim gugur di persimpangan garis ekuator.

“Kakek harus berjuang. Ia hanya kanker di otak. Pasti bisa dilumpuhkan oleh hati yang tenang. Kakek yang bilang sendiri bahwa pikiran jahat akan kalah dengan hati yang bersih.”

“Kita tidak bisa menyangkal. Tanda-tandanya semakin jelas. Sebaiknya kita mulai menyewa ruangan di kuil atas. Kukira kakek terima saja bila jadi abu.”

“Sialan kamu! Memang sejak awal kamu ingin kakek cepat-cepat mati, kan? Taman seribu hektar itu, ambil saja semua, tapi jangan kakek. Enyah! Seharusnya wanita durhaka sepertimu yang mati lebih dulu, bukan kakek.”

“Lancang! Lagipula, kamu menunggu apa? Keajaiban? Peri-peri berpanah? Bah. Itulah mengapa aku tidak pernah setuju kamu menjadi pendongeng. Menghadapi realita saja kamu tidak realistis!”

“Kalian berdua hentikan,” keluh kakek setelah terbatuk empat kali. “Betul kata Lian-mu, Tan. Tidak ada keajaiban yang seharusnya kamu tunggu. Sejatinya, kakeklah yang menginginkan menggugur. Tidak ada alasan lagi untukku terombang-ambing angin pada cabangku yang renta.”

“Kami, Kek. Kamilah alasan kakek harus hidup.” Salah satu dari kami tidak sanggup menahan titik air di sudut mata. Kini titik itu memanjang, membentuk garis basah yang mengalir ke tengkuk.

Satu tetes tangisan mendarat di bukit urat lengan kakek. Dingin air mata itu sedingin air terjun yang selalu kakek kunjungi bersama kami di akhir musim panas. Dingin yang menyegarkan. Dingin air terjun yang bisa meleburkan perbedaan kutub kami, Lian dan Tan. Namun dingin kali itu adalah buah dari ketakutan dan bakal kehilangan yang memuncak.

“Kalian sudah tahu rasanya menjaga. Kamu sudah punya Xing, Tan. Kalian tidak perlu lagi kujaga.”

“Dengar itu, Tan? Sekarang sebaiknya kamu menelepon kuil. Kita butuh ruangan yang kecil saja. Tidak perlu mengundang orang banyak. Awal musim gugur orang-orang akan sibuk mengikuti festival, tidak akan ada yang datang melayat.”

“LIAN?!”

“Kamu tidak perlu menelepon kuil, Tan.”

“Tapi, Kek?”

“Kakek tidak mau dikremasi, menjadi abu, dimakan ikan laut. Tidak mau.” Kakek menggeleng.

Hari itu banyak sekali penolakan. Tentu saja tidak ada yang sanggup menerima kematian. Gila kali. “Lalu bagaimana? Dimasukkan ke dalam peti? Dipakaikan jas dan dasi?”

“Dibungkus kafan saja.”

Kami berdua sudah mengira bahwa kakek ingin dimakamkan secara Islam. Kami saling berpandangan. Masih tidak percaya bahwa kakek tidak memilih cara leluhur kami ketika kembali ke dewa. Masing-masing kami memancarkan padangan yang berbeda, marah atau sesal.

“Apalagi ini, Tan? Lihat. Kamu sudah mengacaukan semuanya. Keluarga kita. Terlebih, kepercayaan kakek. Ini semua karena dongengmu tentang Muhammad itu. Sialan!”

“Muhammad seorang Nabi, Lian. Itu bukan dongeng.”

“Dan kamu sudah membuat kakek ternoda di hari terakhirnya? Apa yang sudah kamu ceritakan? Dewa-dewa akan marah! Berhentilah menjadi pendongeng!”

“Dalam mendongeng aku tidak pernah menyalahkan dewa! Mana aku tahu kalau kakek jadi begini, Lian?! Berhenti menyalahkanku!”

“Tidak bisa kah kalian diam? Malu dilihat tamu di balik tirai itu.”

Kami menoleh ke jendela. Tidak ada siapa-siapa. Kakek mulai melantur. Ajalnya semakin dekat.

“Tapi, Kek, mengapa harus dikafan? Apa diformalin saja, ya?”

“Tenanglah, Tan. Ini bukan karena kamu. Tapi memang cerita-ceritamu itu, apalagi tentang Muhammad, menyadarkanku tentang hakikat hidup. Buat apa dimasukkan ke dalam peti, memakai jas, atau dasi mahal? Toh aku tidak ada kuasa menyeret-seret peti ke hadapan Tuhan. Lalu kalau kakek menjadi abu, hilang bersama angin, bagaimana kakek bertemu dengan Tuhan? Biarkan kakek yang awal ciptanya dari tanah ini kembali ke tanah. Biarkan kakek dikafan saja. Mudah kan? Kalian tidak perlu menghamburkan uang menyewa kuil atau membeli peti. Tuhan pasti menerima kakek apa adanya.”

“Dewa, Kek, bukan Tuhan.”

“Tuhan, Lian. Tuhan. Tuhan yang Esa. Satu. Tidak tiga. Tidak berkepala  singa. Tuhan yang Berdiri Sendiri. Yang Menciptakan aku, kamu, musim-musim. Tuhan yang Menggugurkan daun-daun di musim gugur pada seluruh penjuru dunia. Tuhan yang Berkuasa. Tuhan yang tidak perlu sesajian suci. Tuhan yang tidak perlu disarung. Tuhan yang tidak punya rasa lapar. Tuhan yang bukan manusia.”

Kakek melantur begitu tegasnya. Kami kalut bukan main sementara musim gugur bersiap mengetuk pintu rumah. “Sayang sekali, mengapa kakek baru sadar sekarang? Mengapa kamu baru cerita sebulan lalu, Tan? Apa Tuhan memaafkan aku? Apa kata Muhammad tentang orang-orang seperti kakek, Tan? Apa? Ceritakanlah, wahai anakku pencerita yang baik?”

“Tan tidak mau cerita, Kek. Tan takut dimarahi dewa.”

“Kakek rasa Tuhan akan memaafkan kakek. Kakek tidak mengharapkan surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai menurut kisahmu, Tan. Kakek hanya tidak mau masuk neraka yang minumannya adalah nanah yang panas, juga menurut kisahmu, Tan.”

“Hentikan, Kek!” Tidak disangka kami berteriak bersamaan. Sebesar apapun perbedaan kami, kalau masalah kepercayaan, kami sama-sama penurut dewa yang taat. Tidak kuasa kami terus mendengar ocehan kakek.

Dan benar saja, lanturan kakek terhenti. Tidak lagi kami mendengar paraunya. Selama-lamanya. Musim gugur berhasil mendobrak pintu rumah kami. Menggugurkan satu-satunya harapan kami untuk tetap bersama. Setelah Papa, Mamak, lalu Kakek. Musim gugur dengan keindahannya merenggut keindahan hidup kami.

Belajar dari musim gugur yang sudah-sudah, kami memutuskan untuk tidak membukakan pintu pada apapun dan siapapun yang berkunjung ke rumah kami. Baik itu membagi kue dango atau sekedar menyedekahkan tawa renyah. Maaf kami tidak menerima satu tamu pun. Lian menyuruhku, yeah dengan gaya congak sok sulung seperti biasanya, membeli gembok kemarin. Lian tak peduli apakah gembok kami anti karat atau ada relief tengkoraknya. Yang ia pedulikan hanyalah gembok itu tidak bisa dibuka oleh siapapun. Aku setuju. Tiba-tiba rumah kami tidak beda dengan Azkaban di film fiksi favorit Xing.

Tapi, siapa tamu itu? Ia tidak memiliki kunci. Bahkan tidak tahu kode rahasia gembok kami. Namun dengan mudahnya ia duduk di kursi rotan kesukaan kakek di beranda. Wajahnya putih kemasaman tapi teduh. Bajing-bajing yang tadinya sibuk mencuri biji-biji kami spontan tidak bergerak barang sesenti pun. Helai daun pepaya menjadi enggan bergoyang. Entah tunduk entah takut. Entah.

Napasku juga berhenti mendadak. Tirai jendela tanpa partisi kami terbuka setengah, tidak sempat kututup saking gugupnya.

“Ada apa?” Lian berbisik di telingaku. Tidak sampai ia menengok, nada terakhirnya tercekat.

“Tutup. Tutup. TUTUP TAN! TUTUP!”

Aku gemetaran. Neuron dalam otakku memerintah menutup tirai. Saraf tulang belakang yang terhubung dalam jemari dinginku memerintahkan sebaliknya. Bukannya tertutup, tirai tempatku bersembunyi di belakangnya sontak tersibak. Lebar. Selebar-lebarnya. Hingga tidak ada seincipun dari rumah kami tertutup.

Rumah seketika terang.

“Li … Lian … Dia. Tamu itu. Setahun lalu. Kakek. Dua orang itu.”

“Hentikan. Kita harus pergi. Mana kuncinya? Sial! MANA KUNCINYA?!”

“Sama. Mereka. Sama. Lian. Sama. Tamu musim gugur itu. Sama. Yang membawa kakek. Sama.”

“Diam kau, Tan. Kemasi barang-barangmu. Kita pergi lewat pintu belakang. Bawa Xing. CEPAT!”

Ayo Tan. Pergi. Ke kamarmu. Ambil Xing. Pergi dari sini. Kali ini turuti Lian. Cepat!

“Muhammad. Kamu jelas-jelas paham benar tentang lelaki itu, Tan. Tapi kenapa hatimu seperti terkunci? Tidakkah dadamu bergetar ketika mengisahkan lelaki keturunan Arab itu kepada kakek? Tan. Kenapa? Pergilah ke Indonesia. Ke Lasem. Datangi penjuru negeri. Kamu tidak akan menihilkan cerita-ceritamu, hai pendongeng baik.”

No comments:

Post a Comment