9/4/12

Ujung Genteng Ujung Kewarasan

Waktu itu remang berlompatan. Berkenalan dengan sisi mana pun. Karung tanaman, tali sepatu orang di sebelahmu, pegangan tangga, spanduk orasi mahasiswa, barisan semut rangrang di pohon jambu, ujung kukumu. Semuanya disalami. Sampai tidak ada yang tiba-tiba terang sendiri, atau juga gelap sendiri.

Wajahmu juga. Remang-remang. Di lorong kampus yang mulai jarang orang, kamu duduk-duduk bersama yang lain. Ketika temanmu – kamu memanggil mereka teman – grusak-grusuk membicarakan tumpangan, kamu diam-diam diskusi. Dengan kamu sendiri. Pita suaramu bergetar, “Saya akan ke Ujung Genteng.”

Tidak ada yang mendengarmu. Tidak ada yang meminta pendapatmu. Kamu juga malas berpendapat.

Tahukah kamu apa Ujung Genteng itu?

Langit. Kerak lumut. Antena tivi. Burung-burung. Kebebasan. Itu kiramu. Kamu mau merenggangkan kakimu menjumpa surya. Jari-jarimu bergerak mengikuti alur anyaman tanah liat yang membatasi langit dan nyaman. Teraba kasar. Lalu lembap menyergap akibat tetumbuhan hijau singgah – mungkin menjadi tinggal – di susunan genteng yang kamu pantati. Kamu mengira bisa duduk-duduk di atas genteng di Ujung Genteng nanti.

Hei, payah. Ujung Genteng itu pantai! Lalu? Lalu? Lalu kamu tetap mau duduk di atas genteng? Genteng siapa? Genteng orang yang mana? Tidak ada yang kamu kenal. Kenalan dulu hanya agar diberi izin duduk di atas ujung genteng rumah mereka? Mungkin seharusnya kamu duduk di ujung kewarasanmu.

Dan ketika kamu harus membayangkan matahari, jaring ikan, tambatan perahu, kerang merah, dan pohon kelapa, bibirmu menyerupai angka tiga. Kenapa gunung selalu tentang matahari terbit dan pantai adalah tempat terbenamnya?

Berasas pada tafsiranmu yang dhoif itu, yang pertama kali kamu potret adalah para kambing tengah asyik memilih rumput dan plastik untuk dimakan. Ayolah, matahari keburu setengah.

It’s Dinner Time
KODAK EASYSHARE M1093, f/5.1, 1/30 sec., ISO-800, FL 15 mm, with Photo Filter, Curve and Font from Photoshop CS4
Dan bukannya mengejar teman-temanmu yang telah bercinta dengan matahari terbenam, kamu malah mengejar anak-anak yang berkejaran di atas badan-badan perahu yang tengkurap. Salah satu temanmu perduli, mengajakmu bergegas ke bibir pantai. Sembari menyusup di antara dua perahu, kamu berteriak, “Besok juga bisa!”

Aku akan Menangkapmu
KODAK EASYSHARE M1093, f/4, 1/125 sec., ISO-80, FL 10 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
Dalam tembangmu, matahari tidak pernah pergi lama-lama. Ia hanya menghilang sementara ratu malam merajai angkasa bumi. Laut tidak menelannya lumat-lumat. Besok pagi pasti dimuntahkan lagi. Matahari juga akan menemuimu tanpa kamu cari. Makanya, kamu mengejar apa yang tak mungkin bisa kamu kejar besok-besok. Kambing dan anak pantai.

Laksana Laskar Pelangi
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/125 sec., ISO-80, FL 6 mm, with Photo Filter, Curve and Font from Photoshop CS4
Yang sejenismu sedang mengoles krim malam di wajah mereka, sewaktu kamu mengoles mentega pada ikan bakar kalian. Tubuhmu sudah berias losion anti nyamuk seperlunya. Malam itu kamu mendeklarasikan persahabatanmu dengan Ujung Genteng, meski awalnya kecewa karena tidak bisa naik ke atas genteng. Kamu bersahabat dengan Pantai Ujung Genteng, walaupun belum pernah menyentuh air asinnya dan menyapa sang rawi terbenam. Wajahmu belepotan kuah kangkung tumis.

Persahabatan itu menguatkan
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/50 sec., ISO-320, FL 6 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
Fajar violet bersembunyi di balik penginapan-penginapan pinggir pantai. Ribuan gulungan ombak menderu halus melantunkan kidung selamat pagi. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan kelapa, mempersilahkan cahaya baskara menghangatkan umang-umang yang mulai berani keluar dari singgasana pasir mereka penuh rahasia.

Dahi-dahi berkerut. Kamu mengenakan rok batik lebar menutupi mata kaki. Salah satu si pemilik dahi berceletuk, “Mau ke kondangan di pantai, Bu?” Kamu senyam-senyum. Berharap betulan ada hajatan di pantai.

Dan benar. Langit sedang kawin dengan laut. Kamu bahkan harus menyipitkan matamu, guna menemukan batas di antara mereka. Samar. Begitu lengket. Seolah tidak mau diceraikan.

Batu karang terdampar. Agaknya sedang merayu kerang laut. Ia tidak membawa cincin. Kamu pikir batu karang mau melamar si kerang. “Mungkin kerang tidak perlu perhiasan, karena ialah perhiasan itu.” Burung-burung laut mencumbu udara. Daun kejinggaan rebahan di hamparan pasir putih. Justru inilah hajatan itu. Kamu tidak salah kostum.

Ikan-ikan? Ikan-ikan tidak kelihatan. Sepertinya mereka malu menghadiri perhelatan akbar ini. Malu memperkenalkan pasangannya masing-masing. Kamu tertawa. Bahkan kamu tidak berpendamping. Hihihi. Oh tidak, pendampingmu ada di antara jari-jarimu. Sebuah tali hitam yang menjadi mak comblang antara kamu dengan kamera sakumu.

Lalu kamu berlari, memenuhi undangan itu. Menjadi bagian dari hajatan paling agung di 140 kilometer dari Kota Sukabumi. Agung dan senyap. Hanya kamu, khayalan tingkat tinggimu, dan penghuni pantai. Pada menit ke sembilan, orkes tanpa konduktor pun dimainkan. Suara kameramu menjadi yang paling menggairahkan. Para ombak menari-nari. Meski tidak selaras dengan nada jepretanmu, semua terbilang harmonis. Lagi, kamu dan duniamu yang tak terdefinisi.
 
Perkawinan Langit dan Laut
KODAK EASYSHARE M1093, f/14.3, 1/250 sec., ISO-400, FL 15 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
Langit mengenakan kopiah putih dengan rajutan awan tipis dekat pelipis. Laut bergaun hijau toska favoritmu. Gedung pernikahan bernuansa biru dalam bayanganmu. Seperangkat alat memancing dibayar tunai. Sah? Sah? Sah! Riuh ombak bertepuk tangan. Kamu hampir menangis.
 
Prosesi Lamaran
KODAK EASYSHARE M1093, f/4, 1/250 sec., ISO-64, FL 10 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
Dan di tengah perkawinan massal itu, kamu menemukan yang sepertimu. Tak berpasangan. Namun kamu tidak langsung mengajaknya kawin seenak udelmu. Dia orang asing. Lagi pula, udelmu juga tidak lezat.