Waktu itu remang berlompatan.
Berkenalan dengan sisi mana pun. Karung tanaman, tali sepatu orang di
sebelahmu, pegangan tangga, spanduk orasi mahasiswa, barisan semut rangrang di
pohon jambu, ujung kukumu. Semuanya disalami. Sampai tidak ada yang tiba-tiba
terang sendiri, atau juga gelap sendiri.
Wajahmu juga. Remang-remang.
Di lorong kampus yang mulai jarang orang, kamu duduk-duduk bersama yang lain.
Ketika temanmu – kamu memanggil mereka teman – grusak-grusuk membicarakan
tumpangan, kamu diam-diam diskusi. Dengan kamu sendiri. Pita suaramu bergetar,
“Saya akan ke Ujung Genteng.”
Tidak ada yang mendengarmu.
Tidak ada yang meminta pendapatmu. Kamu juga malas berpendapat.
Tahukah kamu apa Ujung Genteng
itu?
Langit. Kerak lumut. Antena
tivi. Burung-burung. Kebebasan. Itu kiramu. Kamu mau merenggangkan kakimu
menjumpa surya. Jari-jarimu bergerak mengikuti alur anyaman tanah liat yang
membatasi langit dan nyaman. Teraba kasar. Lalu lembap menyergap akibat
tetumbuhan hijau singgah – mungkin menjadi tinggal – di susunan genteng yang
kamu pantati. Kamu mengira bisa duduk-duduk di atas genteng di Ujung Genteng
nanti.
Hei, payah. Ujung Genteng itu
pantai! Lalu? Lalu? Lalu kamu tetap
mau duduk di atas genteng? Genteng siapa? Genteng orang yang mana? Tidak ada
yang kamu kenal. Kenalan dulu hanya agar diberi izin duduk di atas ujung
genteng rumah mereka? Mungkin seharusnya kamu duduk di ujung kewarasanmu.
Dan ketika kamu harus
membayangkan matahari, jaring ikan, tambatan perahu, kerang merah, dan pohon
kelapa, bibirmu menyerupai angka tiga. Kenapa
gunung selalu tentang matahari terbit dan pantai adalah tempat terbenamnya?
It’s Dinner Time
KODAK
EASYSHARE M1093, f/5.1, 1/30 sec., ISO-800, FL 15 mm, with Photo Filter, Curve
and Font from Photoshop CS4 |
Dan bukannya mengejar teman-temanmu yang telah
bercinta dengan matahari terbenam, kamu malah mengejar anak-anak yang
berkejaran di atas badan-badan perahu yang tengkurap. Salah satu temanmu
perduli, mengajakmu bergegas ke bibir pantai. Sembari menyusup di antara dua
perahu, kamu berteriak, “Besok juga bisa!”
Aku akan Menangkapmu
KODAK
EASYSHARE M1093, f/4, 1/125 sec., ISO-80, FL 10 mm, with Curve and Font from
Photoshop CS4
|
Dalam tembangmu, matahari tidak pernah pergi
lama-lama. Ia hanya menghilang sementara ratu malam merajai angkasa bumi. Laut
tidak menelannya lumat-lumat. Besok pagi pasti dimuntahkan lagi. Matahari juga
akan menemuimu tanpa kamu cari. Makanya, kamu mengejar apa yang tak mungkin bisa
kamu kejar besok-besok. Kambing dan anak pantai.
Laksana Laskar Pelangi
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/125 sec., ISO-80, FL 6 mm, with Photo Filter, Curve
and Font from Photoshop CS4 |
Yang sejenismu sedang mengoles krim malam di wajah
mereka, sewaktu kamu mengoles mentega pada ikan bakar kalian. Tubuhmu sudah berias
losion anti nyamuk seperlunya. Malam itu kamu mendeklarasikan persahabatanmu
dengan Ujung Genteng, meski awalnya kecewa karena tidak bisa naik ke atas
genteng. Kamu bersahabat dengan Pantai Ujung Genteng, walaupun belum pernah
menyentuh air asinnya dan menyapa sang rawi terbenam. Wajahmu belepotan kuah
kangkung tumis.
Persahabatan itu menguatkan
KODAK
EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/50 sec., ISO-320, FL 6 mm, with Curve and Font from
Photoshop CS4 |
Fajar violet bersembunyi di
balik penginapan-penginapan pinggir pantai. Ribuan gulungan ombak menderu halus
melantunkan kidung selamat pagi. Semilir angin yang menggoyangkan dedaunan
kelapa, mempersilahkan cahaya baskara menghangatkan umang-umang yang mulai
berani keluar dari singgasana pasir mereka penuh rahasia.
Dahi-dahi berkerut. Kamu mengenakan
rok batik lebar menutupi mata kaki. Salah satu si pemilik dahi berceletuk, “Mau
ke kondangan di pantai, Bu?” Kamu senyam-senyum. Berharap betulan ada hajatan
di pantai.
Dan benar. Langit sedang kawin
dengan laut. Kamu bahkan harus menyipitkan matamu, guna menemukan batas di
antara mereka. Samar. Begitu lengket. Seolah tidak mau diceraikan.
Batu karang terdampar. Agaknya
sedang merayu kerang laut. Ia tidak membawa cincin. Kamu pikir batu karang mau
melamar si kerang. “Mungkin kerang tidak perlu perhiasan, karena ialah
perhiasan itu.” Burung-burung laut mencumbu udara. Daun kejinggaan rebahan di
hamparan pasir putih. Justru inilah hajatan itu. Kamu tidak salah kostum.
Ikan-ikan? Ikan-ikan tidak
kelihatan. Sepertinya mereka malu menghadiri perhelatan akbar ini. Malu memperkenalkan
pasangannya masing-masing. Kamu tertawa. Bahkan kamu tidak berpendamping. Hihihi.
Oh tidak, pendampingmu ada di antara jari-jarimu. Sebuah tali hitam yang
menjadi mak comblang antara kamu dengan kamera sakumu.
Lalu
kamu berlari, memenuhi undangan itu. Menjadi bagian dari hajatan paling agung
di 140 kilometer dari Kota Sukabumi. Agung dan senyap. Hanya kamu, khayalan
tingkat tinggimu, dan penghuni pantai. Pada menit ke sembilan, orkes tanpa
konduktor pun dimainkan. Suara kameramu menjadi yang paling menggairahkan. Para
ombak menari-nari. Meski tidak selaras dengan nada jepretanmu, semua terbilang
harmonis. Lagi, kamu dan duniamu yang tak terdefinisi.
Perkawinan Langit dan Laut
KODAK
EASYSHARE M1093, f/14.3, 1/250 sec., ISO-400, FL 15 mm, with Curve and Font from
Photoshop CS4
|
Langit mengenakan kopiah putih dengan rajutan awan tipis dekat pelipis. Laut bergaun hijau toska favoritmu. Gedung pernikahan bernuansa biru dalam bayanganmu. Seperangkat alat memancing dibayar tunai. Sah? Sah? Sah! Riuh ombak bertepuk tangan. Kamu hampir menangis.
Prosesi Lamaran
KODAK
EASYSHARE M1093, f/4, 1/250 sec., ISO-64, FL 10 mm, with Curve and Font from
Photoshop CS4
|
Dan di tengah perkawinan massal itu, kamu menemukan yang sepertimu. Tak berpasangan. Namun kamu tidak langsung mengajaknya kawin seenak udelmu. Dia orang asing. Lagi pula, udelmu juga tidak lezat.
No comments:
Post a Comment