7/28/13

Melepas dengan Reinkarnasi Kinanthi

Judul buku   : Kinanthi (Terlahir Kembali)
Penulis         : Tasaro GK
Penerbit       : Bentang Pustaka
Isi cerita       : 534 halaman
Harga           : Rp 64.000

Sampul Depan
Tidak sedikit jumlahnya Indonesia menelurkan novel-novel romantis dan dipajang di toko buku besar. Dari sekian novel cinta, katanya, yang pernah saya baca, sering saya mendapat gambaran bahwa memiliki cinta itu gampang. Cinta banyak diceritakan begitu gamblang. Murah. Seperti barang asongan. Cinta itu wajib saling memiliki. Cinta itu hanya berlaku kepada pasangan kekasih. Bah. Kita kehilangan esensi cinta itu sendiri, harusnya kita sadari. Cinta sejati layaknya jauh dari napsu. Itu yang diajarkan Tuhan kepada manusia. Baru dua novel fiksi yang saya baca cukup berhasil menjadi buku pelajaran tentang cinta. Pertama adalah Tahta Mahameru (mudah-mudah ada waktu bikin ulasan novel ini ^^). Yang kedua yaitu Kinanthi (Terlahir Kembali) yang tanpa sengaja saya beli dan mengharuskan saya makan siang hanya dengan biskuit dan segelas kopi di perpustakaan kampus.

Sepotong tembang Kinanthi menunggang angin Gunung Kidul mengawali kisah ini. Saya tidak tahu seperti apa nadanya, bagaimana menembangnya, apa maknanya. Tembang Jawa itu dilantunkan Ajuj kecil kepada sahabat perempuannya, Kinanthi, yang kemana-mana punggungnya selalu menggendong Hasto, adik kecilnya yang tidak sanggup (namun terlihat tidak mau) dijaga Simboknya di rumah. Persahabatan yang sulit antara Ajuj dan Kinanthi seolah tidak memberatkan keduanya ketika tembang itu dinyanyikan dengan kunci yang tepat. Sulit? Yeah, sulit dan rumit. Sesulit apakah? Sesulit dua kutub magnet yang berbeda untuk saling tarik-menarik. Ya, Kinanthi dan Ajuj adalah dua kutub magnet berlawanan yang menyalahi teori Maxwell. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Perbedaan antara Kinanthi dan Ajuj sangat besar. Orang Gunung Kidul asli tidak punya alasan agar mereka bisa bersama, setidaknya menjalani hari-hari persahabatan tanpa gunjingan penduduk desa. Kinanthi berasal dari keluarga penjudi dan pelacur. Ajuj dilahirkan dari rahim istri seorang rois (semacam kiai) yang disegani satu kampung. Bagaimana mungkin Ajuj bisa tenang-tenang saja mencari kepiting di gua atau mengunjungi Mbah Gogoh bersama gadis penuh aib yang sejak lama keberadaannya tidak diakui tetangga? Apalagi Ajuj kecil memiliki pikiran yang lebih matang tentang agama. Ajuj berani menentang bapaknya sendiri yang selalu menjadi pemimpin ritual penyerahan sesajen atas nama balas budi kepada Gusti Allah. Dengan lantang Ajuj memvokal bahwa Gusti Allah tidak perlu disogok dengan nasi tumpeng supaya hasil panen musim depan melimpah. Sang rois berkilah, “Ini pasti karena kamu berteman dengan Kinanthi.” Persahabatan mereka semakin rumit ketika akhirnya Kinanthi dijual orang tuanya sendiri menjadi pembantu rumah tangga. Kinanthi diiming-imingi masa depan yang cerah di Bandung agar keluarganya tidak lagi makan dengan gaplek. Semakin jauh saja jarak antara Kinanthi dan Ajuj. Kinanthi hanya yakin satu hal, dimanapun ia, Ajuj begitu dekat, sedekat rasi bintang layang-layang. Karena jika ia ingin bertemu Ajuj, tengok saja Galaksi Cinta tepat di bawah bintang Crux itu.

Novel ini tidak sepenuhnya fiksi. Meski mungkin tidak ada Kinanthi asli, namun segala permasalahan yang dihadirkan Tasaro GK menjadi bumbu cerita benar terjadi di sekitar kita, di Indonesia. Bahkan ia tidak hanya menjadi bumbu, tetapi juga bahan utama. Cara Tasaro ini begitu halus dan apik.

Nilai merah tidak pernah singgah di rapotnya. Namun miskinnya keluarga Kinanthi memaksa gadis sebelas tahun itu tidak melanjutkan pendidikan. Ia ditukar dengan lima puluh kilogram beras supaya menjadi pembantu. Walaupun di Bandung ia bisa sekolah juga, itu tidak sepenuhnya membebaskan. Kehidupan di kota mengguncang batinnya. Pengalihan budaya yang begitu mendadak membikin Kinanthi gelisah. Ia yang selalu unggul di sekolah putus asa dengan impiannya karena sang majikan membuka kartu, “Orang Arab lebih senang punya pembantu yang nggak bodoh-bodoh amat. Di sana kamu bakal laku.” Dipaksa terbanglah Kinanti ke Arab sebagai TKW. Ada cahaya terang dalam batinnya. “Bukankah Nabi Muhammad, manusia tersuci sepanjang sejarah lahir sebagai orang Arab? Apa yang harus dikhawatirkan?” Pertanyaannya terjawab setelah ia menjalani kehidupan keras di Riyadh. TKW adalah kasta terendah di tanah Arab. Hadirnya Kinanthi menambah daftar panjang korban kekerasan hingga pelecehan seksual. Kabur ke SIR pun tidak mengubah nasib buruknya. Ia ditipu oleh orang sebangsanya dijual kembali menjadi pembantu di Mesir.

Tasaro menggambarkan nasib para TKW Indonesia di negeri kilang minyak. Dipukuli. Disiksa. Dicemooh. Diperkosa. Direndahkan lebih rendah dari binatang. Diperbudak. Mencari bantuan ke KBRI pun layaknya mencari jerami dalam tumpukan jarum. Wakil Indonesia di sana bahkan tidak bisa menolong saudara sebangsanya sendiri. Sistem TKW Indonesia begitu bobrok di luar negeri. Mereka yang hampir gila hanya mendengar permintaan maaf yang begitu murah. Sangat menyayat hati.

Hidup di Mesir pun tidak mudah. Segala penyiksaan yang ia terima dari keluarga ber-burqa akhirnya mematikan hati Kinanthi. Kinanthi punya senjata rahasia, pisau kecil yang tersemat di kantung gamisnya. Pisau itu selalu ia keluarkan setiap kali majikannya hendak memerkosanya. Kinanthi, seperti TKW lainnya, mengancam akan bunuh diri sebagai perlindungannya. Mati menjadi tidak menakutkan lagi. Tidak jarang ia memamerkan kerudungnya memelas, “Kita saudara satu agama. Islam. Mengapa kalian memperlakukan saya begini buruknya?” Mesir sudah sekuler, Thi. Senyum menjijikkan mereka berkata, “Kamu pembantu. Saya majikan. Kamu selalu rendah di bawah saya.” Akhirnya Kinanthi tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya lagi dengan Tuhan. Toh ternyata Tuhan masih di bawah kasta majikan. Kinanthi tidak punya apa-apa lagi, bahkan Tuhan yang dulu ia yakini selalu bisa menolong di kala makhlukNya susah tidak datang. Hanya kepada berlembar-lembar suratlah ia tuangkan segala deritanya, amarahnya, keputusasaannya. Surat yang selalu dia alamatkan kepada orang yang sama. Surat yang selalu tidak pernah ia terima balasannya dari orang yang paling ia rindukan. Ajuj.

Kinanthi seperti barang ekspor. Dijual kesana kemari. Terpaksa ia ikut majikan Mesir ke Amerika. Menghampiri keburukan lain yang baginya sudah seperti menu sarapan pagi. Kenapa Kinanthi tidak memilih ke Indonesia saja? Ia menjawab sendiri, “Buat apa? Toh tidak ada yang menanti pulang.” Tidak orang tua, tidak Ajuj. Ajuj? Hah. Bagaimana mungkin lelaki yang pernah menjadi kebahagiaan masa lalunya itu menunggu kepulangannya? Sekadar membalas surat pun tak mampu. Menjalani hidup di Amerika layaknya menunggu hari kematian saja bagi Kinanthi. Dan ketika pertahanannya hancur, ia kabur. Di depan pusat aktivitas muslim Miami lah ia ambruk.

Entahlah. Sepenelitian saya, novel fiksi tidak pernah jauh dari yang namanya kebetulan. Ini yang saya sayangkan. Saya sudah hanyut dalam segala kenyataan pahitnya hidup seorang TKW namun harus ditampar dengan kondisi dimana tokoh utama akhirnya bertemu dengan malaikat penolong dan pemutus alur cerita sendu. Yaaah, kalau tidak begini, mungkin Tasaro juga tidak tahu bagaimana membuat cerita yang happy ending. Mungkin lho ya, Mas.

Dengan segala kebetulan-kebetulan (ya silahkan kalau mau dikatakan takdir pun), Kinanthi akhirnya menemukan pintu reinkarnasinya. Kesabaran sang ibu asuh, Asma, itulah lubang kunci pintu kelahirannya. Lantunan musik klasik dan surat kepada Ajuj adalah kuncinya. Kinanthi bangkit bersama Asma. Ia kini berani bercita-cita: menjadi dokter seperti Asma kecil. Hingga akhirnya ia harus berani kembali mengarungi hidup sendiri setelah tahu bahwa perbedaan antara dirinya dengan Asma begitu besar. Perbedaan-perbedaan melahirkan perpisahan, Kinanthi terbiasa dengan itu.

Saya menyukai bagian hidup Kinanthi bersama idealisme Asma. Tasaro mengiring saya pada kenyataan bahwa muslim di luar negeri pun tidak ada bedanya dengan Indonesia. Tuhan menciptakan manusia tidak hanya dengan warna kulit yang berbeda, tetapi juga membekali dengan otak yang tak sama. Fanatisme manusia menyikapi sesuatu, misalnya sifat feminisme Asma dan slogan hak asasi perempuan yang selalu ia lantangkan di stasiun kereta, menciptakan gesekan keras antar sesama pemeluk agama. Ditambah lagi muslim di Amerika termasuk minoritas, semakin peliklah agama satu-satunya yang diridhoi Allah SWT. Perpecahan ini akhirnya menjadi tontonan menarik di negara pemuja demokrasi. Sungguh nyata dirasa ketika saya membaca ini. Miris semakin mengiris. Semakin jauh pula esensi beragama bagi Kinanthi. “Terakhir kali aku cek, agama dicari orang untuk mencari kedamaian, sedangkan yang kulihat dari apa yang Ibu jalani, ini seperti pertunjukan sirkus saja.” Ini yang saya takutkan pada Indonesia sekarang. Televisi banyak menayangkan aksi fanatisme atas nama agama hingga berprilaku layaknya Tuhan. Menuduh sana melempar sini, fitnah disana sini. Hingga terbentuklah sistem pikiran kita, yang sengaja diasah dengan perang pemikiran Yahudi, bahwa agama toh tidak bisa menjamin hidup kita baik. Agama malah bikin rusuh. Izinkan saya meminjam kata Kinanthi, “Yang terjadi sekarang, justru orang-orang Islam yang ketakutan di mana pun mereka hidup karena sikap Islamophobia yang mewabah.” Astaghfirullahaladzim!

Hei, apakah kalian menyadari bahwa jalan berpikir Kinanthi semakin dewasa? Bagaimana mungkin terlahir pertentangan atas kenyataan yang melalaikan manusia dari seorang bekas TKW yang bahwa diprediksi tidak memiliki masa depan dan akan mati muda karena gila? Sudah saya bilang, Kinanthi telah bereinkarnasi! Belasan tahun kemudian Kinanthi benar telah berubah. Ia melayangkan sayapnya menunjukkan kepada Amerika bahwa dirinya adalah elang yang siap menguasa (dan Tasaro hanya menggambarkan perubahan waktu yang sangat panjang ini dengan tiga kata saja, ah menyebalkan). Yap. Kinanthi berkuasa. Namanya adalah bahan pembicaraan para intelektual Amerika. Dan ini jarang, bahkan mungkin tidak akan ada, saya temukan pada TKW non fiktif. Sekali lagi menyadarkan saya bahwa novel tetaplah novel.

Tasaro mengenalkan tokoh baru. Lelaki yang gemar bertopi koboi ini pandai sekali meyakinkan saya bahwa perubahan terjadi kalau kita banyak berinteraksi dengan orang lain. Namanya Zhaxi, lelaki metropolis yang baru dibongkar kedoknya kalau ia asli dari Tibet oleh Kinanthi setelah sekian tahun bekerja sama mengorbitkan tulisan spektakulernya. Menurut saya, orang yang banyak berpengaruh pada kehidupan Kinanthi selanjutnya adalah Zhaxi. Dan yeah, saya terkagum dengannya dan berharap ada lelaki seperti Zhaxi di kehidupan nyata. Bukan karena ia metroseksual. Hahaha, saya suka malas kenal dengan orang yang terlalu memperhatikan penampilannya. Melainkan karena kepala editor di penerbitan nomor wahid Amerika itu akhirnya bisa membuat Kinanthi yang keukeuh dengan kilahannya, “Kadang Anda sangat merindukan seseorang atau suatu tempat, tapi memutuskan untuk tidak menengoknya demi memelihara kerinduan itu.” hingga akhirnya Kinanthi luluh untuk melakukan pelepasan terakbar dari hidupnya. Kembali ke Indonesia. Mengetahui kabar Hasto. Menengok kembali Galaksi Cinta yang semakin samar cahayanya. Dan yang paling penting mendapatkan jawaban mengapa Ajuj tidak pernah membalas 113 surat Kinanthi. Di titik itulah rahasia judul novel ini terungkap. Kinanthi benar-benar terlahir kembali. Perlahan ia mulai menemukan kembali Tuhan yang semasa kecilnya selalu ia agung-agungkan bersama Ajuj di langgar.

Bagi saya, pelepasan yang ditawarkan Zhaxi kepada Kinanthi untuk menemui Ajuj sebetulnya juga merupakan pelepasan perasaannya kepada Kinanthi. Saya bisa menebak bahwa hubungan yang Zhaxi ambil kepada Kinanthi lebih dari hubungan editor dengan penulis saja. Hanya, caranya memendam begitu halus sampai tidak terlihat di permukaan hingga akhirnya Tasaro harus memaksa Zhaxi mengutarakan perasaannya. Bagaimana akhir kisah mereka? Mungkin kalian bisa menebak kalau saya mengutip dua kalimat dari bab Perseus berikut: “Kebahagiaan ternyata tidak selalu berarti dua keinginan itu bertemu, bukan?” Kalimat terakhir adalah “tidak semua perasaan harus diperjuangkan.”

Pada sampul belakang novel ini, Tasaro memperingatkan saya, juga mungkin kalian. “Beginilah cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta. Engkau bertemu seseorang, lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh, dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memperhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila. Berhati-hatilah …” Hei, sepertinya saya harus belajar melepas dengan Kinanthi nih, belajar melepas untuk berhati-hati ^^

7/24/13

Satu Tubuh Versus Toleransi


Tersimpul Kuat

Pernah iseng bertanya kepada teman SMA, “Apa bedanya sih Kristen Katolik dengan Protestan?” Dia menjelaskan perbedaannya dengan menekankan bahwa Protestan itu menyimpang dari Kristen murni. Maklum, dia Katolik taat. Waktu kuliah juga pernah iseng bertanya hal yang sama. Dari mulut Protestan taat terketoklah palu bahwa Protestan itu benar, Katolik salah.

Saya tidak perduli mana yang benar mana yang salah. Yang saya perdulikan karena mengusik saya sehingga saya menulis tulisan ini adalah kalimat terakhir yang saya dengar dari orang kedua. “Ya Katolik dan Protestan itu sama kayak Islam, Nis. Ada Muhamadiyah, ada NU.” Saya tercengang dan buru-buru menjelaskan, “Islam itu cuman satu. Nggak ada Islam Muhamadiyah, Islam NU. Mereka itu cuman organisasi aja. Sama kayak di kampus, ada KSR, Lawalata, organisasi mahasiswa lain. Tapi intinya sama.”

Islam itu satu. Beberapa yang paham mungkin sudah maklum bahwa nama-nama tersebut hanya organisasi. Bukan aliran. Bukan cabang-cabang. Sehingga perbedaan itu kita terima sebagai fitrah manusia yang condong berkelompok kepada yang memang kita sreg di dalamnya. Sepemahaman saya, setiap manusia punya kecondongan masing-masing terhadap sesuatu. Saya lebih suka A. Kalian lebih demen yang B. Itu fitrah. Mesti disyukuri. Karena kalau semua lebih suka pada satu yang sama, bisa tidak seimbang, mudah untuk terjadi chaos. Misalnya, semua manusia di dunia ini hanya mau jadi tentara. Lalu siapa yang jadi dokter untuk mengobati tentara yang sakit? Lagipula perbedaan ini juga tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Dengan segala konstelasi perbedaan, Allah Sang Pengatur mudah menyeimbangkan segalanya. Tugas manusia adalah memanajemen perbedaan dan Allah sudah memberi kita modal akal dan penuntun hidup untuk melakukannya.

Lalu apa yang mengusikmu, Nis?

Adalah kalimat bahwa Muhamadiyah dan NU adalah Islam yang beda. Meskipun pendapat ini keluar dari teman saya yang pengetahuannya mungkin nol tentang hal ini. Oh iya, sebenarnya tulisan ini tidak hanya ingin membahas tentang dua organisasi besar bertitel Islam itu. Tapi juga tentang organisasi-organisasi Islam yang lain. Kalau ditelisik lebih dalam, tulisan ini juga tidak hanya membahas perbedaan organisasi Islam saja, tapi juga organisasi-organisasi lain. Contohnya, berbagai organisasi yang intinya sama-sama ingin menyejahterakan rakyat. Siapa saja mereka, saya yakin kalian punya nama-nama organisasi yang lebih banyak kalian tahu daripada saya.

Pertanyaan pertama: kok bisa ya ada orang berpikiran bahwa organisasi-organisasi Islam yang marak muncul di televisi itu adalah dari Islam yang beda? Lah wong tuhannya sama. Nah, bisa beda urusannya kalau tuhannya beda. Kalau udah keluar syariat, ya salah sih intinya, bukan Islam lagi itu. Pertanyaan ini, menurut saya, selaras dengan pertanyaan: kok bisa ya ada orang yang berpikiran bahwa PAN, Demokrat, PDI, PKS, Gerindra itu beda? Bukannya kata membangun Indonesia sama-sama ada di visi dan misi mereka? Maaf kalau ada yang tersinggung, tapi selayaknya sih tidak tersinggung, buat apa toh le?

We always just judge the book by its cover. Saya punya berbagai jawaban menurut analisis saya yang cetek ini. Pertama: media terlalu membesar-besarkan perbedaan yang ada. Kedua: memang organisasi itu sendiri yang membesarkan perbedaan mereka. Ketiga: organisasi itu saklek dengan pendapatnya sendiri dan mengesampingkan organisasi lain, pokoknya yang di luar AD/ART kelompok mereka maka itu salah. Keempat: kombinasi semuanya. Izinkan saya menguliti pendapat saya tersebut satu per satu.

Indonesia punya media. Banyak. Besar-besar. Juga bermulut besar. Apa saja yang beda, dibesarkan. Bahkan di dalam satu organisasi yang sama. Menjadi acara tiga jam tersendiri. Mengundang mulut-mulut yang tahan berkoar-koar. Seperti miskin acara, yatim berita, padahal banyak hal yang tidak terberitakan. Fungsi media saat ini sudah kabur. Ia yang seharusnya menjadi penengah, eh malah jadi hakim yang memutuskan ini benar ini salah sesuai ideologi media itu sendiri tanpa pengkajian lebih lanjut, matang, dan adil. Kini media sudah jadi alat promosi calon pemenang 2014. Ia adalah spanduk bersuara. Lebih gahar. Membajir ludah-ludah. Media adalah juri perlombaan akbar. Ini teroris, ini bukan teroris. Yang ekstrem sesat. Yang mulus baik-baik. Media sudah jadi tuhan. Yo modar!

Jawaban kedua dan ketiga sebenarnya saling mendukung. Karena organisasi itu saklek dengan ideologinya, maka mereka yang tidak segaris lurus dianggap hina, mainnya membanggakan kelompok sendiri. Cuman organisasi saya yang benar. Partai kami saja yang murni membela rakyat miskin. Hanya kelompok X yang sesuai dengan syariat tuhan. Mereka yang tidak sejalan, diberantas habis-habisan. Berperilaku seenaknya. Bunuh sana. Bom sini. Mereka berperang atas nama yang sama: rakyat, agama, sambel kacang, apapun. Dan kombinasi semua jawaban bisa memberangus sifat kemanusiaan kita. Naudzubillahi min dzalik!

Mungkin kita lupa kalau Indonesia itu satu. Mungkin kita lupa hadist Rasulullah yang mengatakan bahwa setiap Muslim itu ibarat satu tubuh. Kalau yang satu sakit, yang lain ikutan sakit. Lah sekarang, masing-masing anggota tubuh menyerang anggota tubuh yang lain. Aneh. Yaaaah, mungkin kita lupa. Atau pura-pura lupa? Atau dilupakan sistem? Atau memang tidak tahu? Yaaaah, mungkin saja selama ini kita beromong kosong. Tong kosong nyaring bunyinya. Kita banyak bicara tanpa tahu ilmunya. Manusia kah kita? Mungkin kita ingat kita satu tubuh tapi malas mengurusi. Halah, ngurus kantong sendiri saja belum betul, kok ya ngurus orang lain? Mungkin kita tidak malas, tapi mau berbuat juga susah. Bilang A tidak digubris. Menulis surat ke presiden hanya jadi pemenuh brangkas berdebu. Ini lebih menyakitkan dibanding bilang A tapi besoknya hilang.

Pertanyaan kedua: sepenglihatan saya, kenapa ya kita lebih gampang bertoleransi dengan yang memang beda 100% dengan kita ketimbang yang sama 99%? Perbedaan 1% ini bahkan mampu memecah belah inti ideologi yang sama. Toleransi menjadi begitu mahal bila kita melalui jalan yang beda untuk tujuan yang sama, dibanding kepada mereka yang memang tujuannya beda.

Pertanyaan terakhir dan paling penting: kenapa sih saya menulis ini? Kenapa sih kamu membaca ini? Mboh!

7/21/13

Memetik Pucuk Kehidupan 1: Menegakkan Benang Basah(?)



Waktu saya kecil, ketika napas masih bau naga (sebutan orang rumah kalau baru bangun tidur) di hari Minggu, berangkatlah kami sekeluarga ke Gunung Mas di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor. Belum jam 7 pagi, kami biasanya sudah memesan sepiring besar pisang goreng (isinya 5, pas buat kami, ukurannya besar-besar, pas buat kantong kami hehe) dan satu teko teh hangat. Jauh-jauh dari Bojong ke Puncak cuman buat makan pisang dan ngeteh? Yeah, that's us. Sebenarnya gampang saja goreng pisang dan menyeduh teh. Namun suasana sejuk di Puncak lah yang tidak bisa kami dapatkan di rumah. Lagipula kami tidak perlu terjebak macet. Berangkat pagi sekali dari rumah benar-benar meyakinkan bahwa daerah Puncak masih milik orang Bogor, bukan orang Jakarta hahaha. Dan menjadi kebanggaan sendiri bagi saya bahwa selama Februari hingga Mei kemarin saya tidak menjadi penikmat agrowisata milik PT Perkebunan Nusantara VIII saja, tetapi juga peneliti sebagai mahasiswi tingkat akhir untuk menyelesaikan kuliah sarjana saya. Aamiin. Selain meneliti, yang paling berkesan adalah tiap dua (kadang tiga) hari selama tiga bulan saya merasakan hidup di lingkungan petani teh. Bahan minuman ini banyak diseduh manis. Setelah saya mengalami sendiri proses panjang dibelakangnya hingga terbungkus apik dalam berbagai kemasan, ia tidak semanis yang dicecap lidah.

Kepada saya dan Arini (teman satu penelitian selain Bang Ucok), kepala Gunung Mas yang baru berbincang, “Menjadi ketua di sini nggak gampang. Di satu sisi kita mau produksi teh kita tinggi. Pestisida disemprot besar-besaran karena serangan hama tidak ketulungan. Namun di sisi lain kita tahu teh kita nggak bisa menembus ekspor kalau ada pestisida. Tapi produksi kita kecil. Yaaaah, begini lah, bikin galau.” Di ujung kalimatnya ada tawa kami yang miris. Berlatar belakang pertanian, membuat kami merasa prihatin dengan kondisi kebun seluas 2551 hektar itu. Apalagi kalau masalah penting di kebun adalah hama dan penyakit. Waduh, bidang kami banget itu. Kami merasa terbebani dan bersalah karena sedikit sekali yang bisa kami lakukan.

Masalah utamanya adalah hama ulat jengkal Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae), kepik pengisap daun Helopeltis theivora (Hemiptera: Miridae), dan cacar daun teh yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans. Ulat jengkal bisa memakan habis daun teh, bahkan banyak pohon yang tersisa rantingnya saja, gundul segundul-gundulnya dilahap ulat ini. Laporan terakhir menunjukkan hama yang panjangnya kurang dari jari telunjuk itu mampu menurunkan 50% kuantitas produksi daun basah. Sedangkan kepik pengisap dan cacar daun menurunkan kualitas daun. Pucuk-pucuk teh yang terserang OPT ini tidak mungkin lolos seleksi untuk diolah lebih lanjut.

Tersisa Ranting
Ulat Jengkal

Gejala Helopeltis
 
Gejala Cacar Daun Teh

Selain ketiga OPT utama, kesehatan teh juga dibayang-bayangi oleh hadirnya berbagai OPT lain yang tentu menurunkan nilai teh pasca produksi. Hama Empoasca (Hemiptera: Cicadelidae), pengorok daun Liriomyza (Diptera: Agromyzidae), penggulung daun Homona dan Cydia (Lepidoptera: Totrycidae), akar merah, hawar daun, benalu, jamur upas, serta pengganggu lainnya.

Penggulung Daun

Gejala Pengorok Daun

Itu baru dari aspek pertanian secara langsung. Masalah lainnya adalah kurangnya tenaga kerja lapangan. Di kebun seluas itu, pekerja lapangan untuk penyemprotan pestisida dan pemupukan bisa dihitung jari, sehingga praktek pengendalian molor dan kerusakan besar telah terjadi. Belum ditambah cuaca yang tidak menentu. Pagi cerah namun siangnya hujan deras. Jadwal untuk menyemprot satu blok kebun tertunda. Perilaku cuaca ini juga berdampak pada kegiatan penelitian saya. Berangkat ambil sampel pagi cerah menyenangkan, pulang ke rumah basah kuyup menjengkelkan, haduh.

Kabut

Faktor penurun pemasukan perusahaan lainnya adalah ekonomi, khususnya pemasaran. Menurut salah satu pekerja, daya konsumsi teh di Indonesia saat ini termasuk rendah dibandingkan kopi. Maaf saya tidak mengecek statistikanya. Ini saya lakukan agar segala konten tulisan ini pure berasal dari penulis dan masyarakat saja. Lanjuuuuut. Padahal kopi dan teh adalah minuman wajib warung kecil. Apa yang salah? Menurut saya, mungkin angka konsumen tingkat bawah tidak berbeda tipis dengan penikmat kopi. Namun saya sangsi dengan jumlah konsumen tingkat atas. Tengok iklan-iklan, penikmat kopi banyak diiklankan secara eksklusif, seolah meyakinkan pembeli bahwa meminum kopi akan meningkatkan prestis Anda. Café-café kopi bertebaran dimana-mana. Lihatlah iklan teh. Kebanyakan menyajikan proses produksi di pabrik lalu dikemas dalam gelas plastik. Monoton. Tidak berkelas. Yah, mungkin banyak juga café yang menyajikan teh. Tapi apakah itu berasal dari Indonesia? Pamflet kedai teh yang saya dapat belakangan ini begitu bangga mempromosikan teh asli Jepang. Teh Indonesia jarang yang masuk ke mall-mall. Sedangkan kopi? Nama-nama Toraja dan Arabika masih Indonesia punya.

Bagaimana Gunung Mas menghadapi segala sesuatu yang mampu membuat rambut rontok itu? Gunung Mas mulai mengaplikasikan pestisida nabati dari campuran umbi gadung, sereh, EM4, dan tembakau. Pestisida non organik telah membuat hama kebal. Meskipun produksi menurun, penggunaan pestisida nabati diharapkan mampu mengembalikan harmonisasi alam. Perbanyakan virus Ht-NPV gencar dilakukan. Fasilitas laboratorium diperbaiki agar langkah itu semakin mudah. Tidak hanya pengendalian secara langsung. Pengendalian HPT Terpadu juga diimbangi dengan pengelolaan kebun yang baik. Tanaman bunga-bunga ditanam sebagai makanan musuh alami, seperti parasitoid. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan tidak lagi digalakkan.

Karena biaya operasional produksi tidak sebanding dengan pendapatan, maka pabrik teh Gunung Mas tidak lagi aktif menggiling sejak setahun lalu. Teh yang telah dipetik seluruhnya diangkut ke pabrik teh milik PTPN VIII di Gedeh, Cianjur. Kini Gunung Mas hanya serius di bidang agrowisata. Vila-vila dibangun. Sarana dan prasarana wisata diperbaiki. Trek-trek sepeda dibersihkan dari rumput yang menyembunyikan arah jalan. Rumah produksi sinetron monggo kapan saja buka lapak untuk syuting. Promosi wisata edukasi keliling kebun dan pabrik banyak dikomunikasikan ke sekolah-sekolah. Dengan kaki agrowisata inilah, Gunung Mas tetap berdiri hingga saat ini. Mudah-mudahan kunjungan keluarga saya menggendutkan kantong kebun ya hehehe. Saya dan Arini menyimpulkan bahwa orang yang bisa menjadi ketua kebun Gunung Mas adalah orang hebat yang mampu memutar otak mencari celah agar kebun tidak tutup.

Kiki Farel syuting kyaaaaaa >,<

Pesepeda

Potensi agrowisata Gunung Mas memang cukup baik. Yang saya sayangkan adalah sistem pengelolaan agrowisata di bidang kebersihan. Tidak jarang kami menemukan tumpukan-tumpukan sampah kardus nasi dan gelas plastik di kebun-kebun. Pasti itu sampah milik rombongan yang berwisata. Beberapa juga sampah makan siang pemetik teh. Sayang sekali hijaunya kebun harus bercampur dengan kotornya sampah berserakan. Jarang kami melihat tempat sampah. Kalaupun ada tidak cukup menampung sampah yang ada. Perbaikan fasilitas kebersihan itu salah satu masukan kami ya Gunung Mas selain nanti hasil penelitian ^^

Go Green katanya -.-'
“Pengelolaan kebun juga sebenarnya tergantung petinggi-petinggi negara. Kalau menterinya berlatar belakang teknologi, maka teknologi kebun yang jadi proposal utama pembangunan kami. Penggunaan alat potong mesin, misalnya. Kalau menterinya berlatar belakang pertanian, ya kami juga concern di bidang pertanian. Kami sekarang sedang menanam jeruk, manggis, jambu, dan pohon buah lain. Mudah-mudahan ada pemasukan juga dari produksi buah," kira-kira begitu lanjut Kepala Gunung Mas. Lalu kami menambahkan, “Lagipula kebun yang tidak melulu teh juga bagus untuk pengendalian hayati, Pak. Musuh alami hama lebih suka di pertanaman polikultur daripada monokultur. Semoga ada dampak positifnya ya, Pak."

Bakal Kebun Jeruk

Namun yang disayangkan Pak Kepala adalah sistem pemerintahan Indonesia yang berganti tiap lima tahun sekali membuat pembangunan kebun layaknya menegakkan benang basah. “Belum program mentri A berjalan dengan baik, eh sudah ganti mentri. Kita jadi punya PR program mentri B. Lah wong yang A belum beres, duitnya juga kurang, ditambah yang B." Beliau geleng kepala. Ia adalah orang kesekian yang saya temui yang mengakui bahwa ada yang aneh dengan sistem pemerintahan kita. Setiap orde berganti, petinggi-petingginya banyak yang mementingkan program baru supaya bisa terlihat kerjanya. Saya setuju. “Tapi ya kita bisa apa lagi?”

Menyesap teh tidak sesederhana kita menyeduh dan menikmati harumnya. Teh itu wujud kekompleksan dan kerumitan pertanian Indonesia yang harus berhasil dilalui meski dengan merangkak agar bisa mengalir bebas di tenggorokkan kita.