7/21/13

Memetik Pucuk Kehidupan 1: Menegakkan Benang Basah(?)



Waktu saya kecil, ketika napas masih bau naga (sebutan orang rumah kalau baru bangun tidur) di hari Minggu, berangkatlah kami sekeluarga ke Gunung Mas di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor. Belum jam 7 pagi, kami biasanya sudah memesan sepiring besar pisang goreng (isinya 5, pas buat kami, ukurannya besar-besar, pas buat kantong kami hehe) dan satu teko teh hangat. Jauh-jauh dari Bojong ke Puncak cuman buat makan pisang dan ngeteh? Yeah, that's us. Sebenarnya gampang saja goreng pisang dan menyeduh teh. Namun suasana sejuk di Puncak lah yang tidak bisa kami dapatkan di rumah. Lagipula kami tidak perlu terjebak macet. Berangkat pagi sekali dari rumah benar-benar meyakinkan bahwa daerah Puncak masih milik orang Bogor, bukan orang Jakarta hahaha. Dan menjadi kebanggaan sendiri bagi saya bahwa selama Februari hingga Mei kemarin saya tidak menjadi penikmat agrowisata milik PT Perkebunan Nusantara VIII saja, tetapi juga peneliti sebagai mahasiswi tingkat akhir untuk menyelesaikan kuliah sarjana saya. Aamiin. Selain meneliti, yang paling berkesan adalah tiap dua (kadang tiga) hari selama tiga bulan saya merasakan hidup di lingkungan petani teh. Bahan minuman ini banyak diseduh manis. Setelah saya mengalami sendiri proses panjang dibelakangnya hingga terbungkus apik dalam berbagai kemasan, ia tidak semanis yang dicecap lidah.

Kepada saya dan Arini (teman satu penelitian selain Bang Ucok), kepala Gunung Mas yang baru berbincang, “Menjadi ketua di sini nggak gampang. Di satu sisi kita mau produksi teh kita tinggi. Pestisida disemprot besar-besaran karena serangan hama tidak ketulungan. Namun di sisi lain kita tahu teh kita nggak bisa menembus ekspor kalau ada pestisida. Tapi produksi kita kecil. Yaaaah, begini lah, bikin galau.” Di ujung kalimatnya ada tawa kami yang miris. Berlatar belakang pertanian, membuat kami merasa prihatin dengan kondisi kebun seluas 2551 hektar itu. Apalagi kalau masalah penting di kebun adalah hama dan penyakit. Waduh, bidang kami banget itu. Kami merasa terbebani dan bersalah karena sedikit sekali yang bisa kami lakukan.

Masalah utamanya adalah hama ulat jengkal Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae), kepik pengisap daun Helopeltis theivora (Hemiptera: Miridae), dan cacar daun teh yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans. Ulat jengkal bisa memakan habis daun teh, bahkan banyak pohon yang tersisa rantingnya saja, gundul segundul-gundulnya dilahap ulat ini. Laporan terakhir menunjukkan hama yang panjangnya kurang dari jari telunjuk itu mampu menurunkan 50% kuantitas produksi daun basah. Sedangkan kepik pengisap dan cacar daun menurunkan kualitas daun. Pucuk-pucuk teh yang terserang OPT ini tidak mungkin lolos seleksi untuk diolah lebih lanjut.

Tersisa Ranting
Ulat Jengkal

Gejala Helopeltis
 
Gejala Cacar Daun Teh

Selain ketiga OPT utama, kesehatan teh juga dibayang-bayangi oleh hadirnya berbagai OPT lain yang tentu menurunkan nilai teh pasca produksi. Hama Empoasca (Hemiptera: Cicadelidae), pengorok daun Liriomyza (Diptera: Agromyzidae), penggulung daun Homona dan Cydia (Lepidoptera: Totrycidae), akar merah, hawar daun, benalu, jamur upas, serta pengganggu lainnya.

Penggulung Daun

Gejala Pengorok Daun

Itu baru dari aspek pertanian secara langsung. Masalah lainnya adalah kurangnya tenaga kerja lapangan. Di kebun seluas itu, pekerja lapangan untuk penyemprotan pestisida dan pemupukan bisa dihitung jari, sehingga praktek pengendalian molor dan kerusakan besar telah terjadi. Belum ditambah cuaca yang tidak menentu. Pagi cerah namun siangnya hujan deras. Jadwal untuk menyemprot satu blok kebun tertunda. Perilaku cuaca ini juga berdampak pada kegiatan penelitian saya. Berangkat ambil sampel pagi cerah menyenangkan, pulang ke rumah basah kuyup menjengkelkan, haduh.

Kabut

Faktor penurun pemasukan perusahaan lainnya adalah ekonomi, khususnya pemasaran. Menurut salah satu pekerja, daya konsumsi teh di Indonesia saat ini termasuk rendah dibandingkan kopi. Maaf saya tidak mengecek statistikanya. Ini saya lakukan agar segala konten tulisan ini pure berasal dari penulis dan masyarakat saja. Lanjuuuuut. Padahal kopi dan teh adalah minuman wajib warung kecil. Apa yang salah? Menurut saya, mungkin angka konsumen tingkat bawah tidak berbeda tipis dengan penikmat kopi. Namun saya sangsi dengan jumlah konsumen tingkat atas. Tengok iklan-iklan, penikmat kopi banyak diiklankan secara eksklusif, seolah meyakinkan pembeli bahwa meminum kopi akan meningkatkan prestis Anda. Café-café kopi bertebaran dimana-mana. Lihatlah iklan teh. Kebanyakan menyajikan proses produksi di pabrik lalu dikemas dalam gelas plastik. Monoton. Tidak berkelas. Yah, mungkin banyak juga café yang menyajikan teh. Tapi apakah itu berasal dari Indonesia? Pamflet kedai teh yang saya dapat belakangan ini begitu bangga mempromosikan teh asli Jepang. Teh Indonesia jarang yang masuk ke mall-mall. Sedangkan kopi? Nama-nama Toraja dan Arabika masih Indonesia punya.

Bagaimana Gunung Mas menghadapi segala sesuatu yang mampu membuat rambut rontok itu? Gunung Mas mulai mengaplikasikan pestisida nabati dari campuran umbi gadung, sereh, EM4, dan tembakau. Pestisida non organik telah membuat hama kebal. Meskipun produksi menurun, penggunaan pestisida nabati diharapkan mampu mengembalikan harmonisasi alam. Perbanyakan virus Ht-NPV gencar dilakukan. Fasilitas laboratorium diperbaiki agar langkah itu semakin mudah. Tidak hanya pengendalian secara langsung. Pengendalian HPT Terpadu juga diimbangi dengan pengelolaan kebun yang baik. Tanaman bunga-bunga ditanam sebagai makanan musuh alami, seperti parasitoid. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan tidak lagi digalakkan.

Karena biaya operasional produksi tidak sebanding dengan pendapatan, maka pabrik teh Gunung Mas tidak lagi aktif menggiling sejak setahun lalu. Teh yang telah dipetik seluruhnya diangkut ke pabrik teh milik PTPN VIII di Gedeh, Cianjur. Kini Gunung Mas hanya serius di bidang agrowisata. Vila-vila dibangun. Sarana dan prasarana wisata diperbaiki. Trek-trek sepeda dibersihkan dari rumput yang menyembunyikan arah jalan. Rumah produksi sinetron monggo kapan saja buka lapak untuk syuting. Promosi wisata edukasi keliling kebun dan pabrik banyak dikomunikasikan ke sekolah-sekolah. Dengan kaki agrowisata inilah, Gunung Mas tetap berdiri hingga saat ini. Mudah-mudahan kunjungan keluarga saya menggendutkan kantong kebun ya hehehe. Saya dan Arini menyimpulkan bahwa orang yang bisa menjadi ketua kebun Gunung Mas adalah orang hebat yang mampu memutar otak mencari celah agar kebun tidak tutup.

Kiki Farel syuting kyaaaaaa >,<

Pesepeda

Potensi agrowisata Gunung Mas memang cukup baik. Yang saya sayangkan adalah sistem pengelolaan agrowisata di bidang kebersihan. Tidak jarang kami menemukan tumpukan-tumpukan sampah kardus nasi dan gelas plastik di kebun-kebun. Pasti itu sampah milik rombongan yang berwisata. Beberapa juga sampah makan siang pemetik teh. Sayang sekali hijaunya kebun harus bercampur dengan kotornya sampah berserakan. Jarang kami melihat tempat sampah. Kalaupun ada tidak cukup menampung sampah yang ada. Perbaikan fasilitas kebersihan itu salah satu masukan kami ya Gunung Mas selain nanti hasil penelitian ^^

Go Green katanya -.-'
“Pengelolaan kebun juga sebenarnya tergantung petinggi-petinggi negara. Kalau menterinya berlatar belakang teknologi, maka teknologi kebun yang jadi proposal utama pembangunan kami. Penggunaan alat potong mesin, misalnya. Kalau menterinya berlatar belakang pertanian, ya kami juga concern di bidang pertanian. Kami sekarang sedang menanam jeruk, manggis, jambu, dan pohon buah lain. Mudah-mudahan ada pemasukan juga dari produksi buah," kira-kira begitu lanjut Kepala Gunung Mas. Lalu kami menambahkan, “Lagipula kebun yang tidak melulu teh juga bagus untuk pengendalian hayati, Pak. Musuh alami hama lebih suka di pertanaman polikultur daripada monokultur. Semoga ada dampak positifnya ya, Pak."

Bakal Kebun Jeruk

Namun yang disayangkan Pak Kepala adalah sistem pemerintahan Indonesia yang berganti tiap lima tahun sekali membuat pembangunan kebun layaknya menegakkan benang basah. “Belum program mentri A berjalan dengan baik, eh sudah ganti mentri. Kita jadi punya PR program mentri B. Lah wong yang A belum beres, duitnya juga kurang, ditambah yang B." Beliau geleng kepala. Ia adalah orang kesekian yang saya temui yang mengakui bahwa ada yang aneh dengan sistem pemerintahan kita. Setiap orde berganti, petinggi-petingginya banyak yang mementingkan program baru supaya bisa terlihat kerjanya. Saya setuju. “Tapi ya kita bisa apa lagi?”

Menyesap teh tidak sesederhana kita menyeduh dan menikmati harumnya. Teh itu wujud kekompleksan dan kerumitan pertanian Indonesia yang harus berhasil dilalui meski dengan merangkak agar bisa mengalir bebas di tenggorokkan kita.

No comments:

Post a Comment