Waktu saya kecil, ketika napas masih bau naga (sebutan orang rumah kalau baru bangun tidur) di hari Minggu,
berangkatlah kami sekeluarga ke Gunung Mas di Jalan Raya Puncak, Cisarua,
Bogor. Belum jam 7 pagi, kami biasanya sudah memesan sepiring besar pisang
goreng (isinya 5, pas buat kami, ukurannya besar-besar, pas buat kantong kami
hehe) dan satu teko teh hangat. Jauh-jauh dari Bojong ke Puncak cuman buat
makan pisang dan ngeteh? Yeah, that's us. Sebenarnya gampang saja goreng
pisang dan menyeduh teh. Namun suasana sejuk di Puncak lah yang tidak bisa kami
dapatkan di rumah. Lagipula kami tidak perlu terjebak macet. Berangkat pagi
sekali dari rumah benar-benar meyakinkan bahwa daerah Puncak masih milik orang
Bogor, bukan orang Jakarta hahaha. Dan menjadi kebanggaan sendiri bagi saya
bahwa selama Februari hingga Mei kemarin saya tidak menjadi penikmat agrowisata
milik PT Perkebunan Nusantara VIII saja, tetapi juga peneliti sebagai mahasiswi
tingkat akhir untuk menyelesaikan kuliah sarjana saya. Aamiin. Selain meneliti,
yang paling berkesan adalah tiap dua (kadang tiga) hari selama tiga bulan saya
merasakan hidup di lingkungan petani teh. Bahan minuman ini banyak diseduh manis. Setelah
saya mengalami sendiri proses panjang dibelakangnya hingga terbungkus apik
dalam berbagai kemasan, ia tidak semanis yang dicecap lidah.
Kepada saya dan Arini (teman satu penelitian selain Bang Ucok), kepala
Gunung Mas yang baru berbincang, “Menjadi ketua di sini nggak gampang. Di satu
sisi kita mau produksi teh kita tinggi. Pestisida disemprot besar-besaran
karena serangan hama tidak ketulungan. Namun di sisi lain kita tahu teh kita
nggak bisa menembus ekspor kalau ada pestisida. Tapi produksi kita kecil.
Yaaaah, begini lah, bikin galau.” Di ujung kalimatnya ada tawa kami yang miris.
Berlatar belakang pertanian, membuat kami merasa prihatin dengan kondisi kebun
seluas 2551 hektar itu. Apalagi kalau masalah penting di kebun adalah hama dan
penyakit. Waduh, bidang kami banget itu. Kami merasa terbebani dan bersalah
karena sedikit sekali yang bisa kami lakukan.
Masalah utamanya adalah hama ulat jengkal Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae), kepik pengisap daun Helopeltis theivora (Hemiptera:
Miridae), dan cacar daun teh yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans. Ulat jengkal bisa memakan habis daun teh,
bahkan banyak pohon yang tersisa rantingnya saja, gundul segundul-gundulnya
dilahap ulat ini. Laporan terakhir menunjukkan hama yang panjangnya kurang dari
jari telunjuk itu mampu menurunkan 50% kuantitas produksi daun basah. Sedangkan
kepik pengisap dan cacar daun menurunkan kualitas daun. Pucuk-pucuk teh yang
terserang OPT ini tidak mungkin lolos seleksi untuk diolah lebih lanjut.
Tersisa Ranting |
Ulat Jengkal |
Gejala Helopeltis |
Gejala Cacar Daun Teh |
Selain ketiga OPT utama, kesehatan teh juga dibayang-bayangi oleh
hadirnya berbagai OPT lain yang tentu menurunkan nilai teh pasca produksi. Hama
Empoasca (Hemiptera: Cicadelidae),
pengorok daun Liriomyza (Diptera:
Agromyzidae), penggulung daun Homona
dan Cydia (Lepidoptera: Totrycidae),
akar merah, hawar daun, benalu, jamur upas, serta pengganggu lainnya.
Penggulung Daun |
Gejala Pengorok Daun |
Itu baru dari aspek pertanian secara langsung. Masalah lainnya adalah
kurangnya tenaga kerja lapangan. Di kebun seluas itu, pekerja lapangan untuk
penyemprotan pestisida dan pemupukan bisa dihitung jari, sehingga praktek
pengendalian molor dan kerusakan besar telah terjadi. Belum ditambah cuaca yang
tidak menentu. Pagi cerah namun siangnya hujan deras. Jadwal untuk menyemprot
satu blok kebun tertunda. Perilaku cuaca ini juga berdampak pada kegiatan
penelitian saya. Berangkat ambil sampel pagi cerah menyenangkan, pulang ke
rumah basah kuyup menjengkelkan, haduh.
Kabut |
Faktor penurun pemasukan perusahaan lainnya adalah ekonomi, khususnya
pemasaran. Menurut salah satu pekerja, daya konsumsi teh di Indonesia saat ini termasuk
rendah dibandingkan kopi. Maaf saya tidak mengecek statistikanya. Ini saya lakukan agar segala
konten tulisan ini pure berasal dari
penulis dan masyarakat saja. Lanjuuuuut. Padahal kopi dan teh adalah minuman wajib warung kecil. Apa yang
salah? Menurut saya, mungkin angka konsumen tingkat bawah tidak berbeda tipis
dengan penikmat kopi. Namun saya sangsi dengan jumlah konsumen tingkat atas.
Tengok iklan-iklan, penikmat kopi banyak diiklankan secara eksklusif, seolah
meyakinkan pembeli bahwa meminum kopi akan meningkatkan prestis Anda. Café-café
kopi bertebaran dimana-mana. Lihatlah iklan teh. Kebanyakan menyajikan proses
produksi di pabrik lalu dikemas dalam gelas plastik. Monoton. Tidak berkelas.
Yah, mungkin banyak juga café yang menyajikan teh. Tapi apakah itu berasal dari
Indonesia? Pamflet kedai teh yang saya dapat belakangan ini begitu bangga
mempromosikan teh asli Jepang. Teh Indonesia jarang yang masuk ke mall-mall.
Sedangkan kopi? Nama-nama Toraja dan Arabika masih Indonesia punya.
Bagaimana Gunung Mas menghadapi segala sesuatu yang mampu membuat
rambut rontok itu? Gunung Mas mulai mengaplikasikan pestisida nabati dari
campuran umbi gadung, sereh, EM4, dan tembakau. Pestisida non organik telah
membuat hama kebal. Meskipun produksi menurun, penggunaan pestisida nabati
diharapkan mampu mengembalikan harmonisasi alam. Perbanyakan virus Ht-NPV
gencar dilakukan. Fasilitas laboratorium diperbaiki agar langkah itu semakin
mudah. Tidak hanya pengendalian secara langsung. Pengendalian HPT Terpadu juga
diimbangi dengan pengelolaan kebun yang baik. Tanaman bunga-bunga ditanam
sebagai makanan musuh alami, seperti parasitoid. Konversi lahan hutan menjadi
perkebunan tidak lagi digalakkan.
Karena biaya operasional produksi tidak sebanding dengan pendapatan,
maka pabrik teh Gunung Mas tidak lagi aktif menggiling sejak setahun lalu. Teh
yang telah dipetik seluruhnya diangkut ke pabrik teh milik PTPN VIII di Gedeh,
Cianjur. Kini Gunung Mas hanya serius di bidang agrowisata. Vila-vila dibangun.
Sarana dan prasarana wisata diperbaiki. Trek-trek sepeda dibersihkan dari
rumput yang menyembunyikan arah jalan. Rumah produksi sinetron monggo kapan saja buka lapak untuk syuting.
Promosi wisata edukasi keliling kebun dan pabrik banyak dikomunikasikan ke
sekolah-sekolah. Dengan kaki agrowisata inilah, Gunung Mas tetap berdiri hingga
saat ini. Mudah-mudahan kunjungan keluarga saya menggendutkan kantong kebun ya
hehehe. Saya dan Arini menyimpulkan bahwa orang yang bisa menjadi ketua kebun
Gunung Mas adalah orang hebat yang mampu memutar otak mencari celah agar kebun
tidak tutup.
Kiki Farel syuting kyaaaaaa >,< |
Pesepeda |
Potensi agrowisata Gunung Mas memang cukup baik. Yang saya sayangkan
adalah sistem pengelolaan agrowisata di bidang kebersihan. Tidak jarang kami
menemukan tumpukan-tumpukan sampah kardus nasi dan gelas plastik di
kebun-kebun. Pasti itu sampah milik rombongan yang berwisata. Beberapa juga
sampah makan siang pemetik teh. Sayang sekali hijaunya kebun harus bercampur
dengan kotornya sampah berserakan. Jarang kami melihat tempat sampah. Kalaupun
ada tidak cukup menampung sampah yang ada. Perbaikan fasilitas kebersihan itu
salah satu masukan kami ya Gunung Mas selain nanti hasil penelitian ^^
Go Green katanya -.-' |
“Pengelolaan kebun juga sebenarnya tergantung petinggi-petinggi
negara. Kalau menterinya berlatar belakang teknologi, maka teknologi kebun yang
jadi proposal utama pembangunan kami. Penggunaan alat potong mesin, misalnya.
Kalau menterinya berlatar belakang pertanian, ya kami juga concern di bidang pertanian. Kami sekarang sedang menanam jeruk,
manggis, jambu, dan pohon buah lain. Mudah-mudahan ada pemasukan juga dari
produksi buah," kira-kira begitu lanjut Kepala Gunung Mas. Lalu kami
menambahkan, “Lagipula kebun yang tidak melulu teh juga bagus untuk
pengendalian hayati, Pak. Musuh alami hama lebih suka di pertanaman polikultur
daripada monokultur. Semoga ada dampak positifnya ya, Pak."
Bakal Kebun Jeruk |
Namun yang disayangkan Pak Kepala adalah sistem pemerintahan Indonesia
yang berganti tiap lima tahun sekali membuat pembangunan kebun layaknya
menegakkan benang basah. “Belum program mentri A berjalan dengan baik, eh sudah
ganti mentri. Kita jadi punya PR program mentri B. Lah wong yang A belum beres,
duitnya juga kurang, ditambah yang B." Beliau geleng kepala. Ia adalah orang
kesekian yang saya temui yang mengakui bahwa ada yang aneh dengan sistem
pemerintahan kita. Setiap orde berganti, petinggi-petingginya banyak yang
mementingkan program baru supaya bisa terlihat kerjanya. Saya setuju. “Tapi ya
kita bisa apa lagi?”
Menyesap teh tidak sesederhana kita menyeduh dan menikmati harumnya. Teh
itu wujud kekompleksan dan kerumitan pertanian Indonesia yang harus berhasil
dilalui meski dengan merangkak agar bisa mengalir bebas di tenggorokkan kita.
No comments:
Post a Comment