11/29/13

Finally, Pangrango's Peak!



Lima tahun berlalu setelah mencicip puncak Gunung Gede, 23-24 November 2013 kemarin saya bisa menapaki puncak gunung saudaranya Gunung Gede, alias Gunung Pangrango. Walaupun masa istirahat muncak gunungnya alot banget, Alhamdulillah badan bisa diajak kompromi dan bisa munggah juga ^^ Tapi agak sedih juga sih karena janji saya kepada Anggun dan Elok untuk mengajak mereka ke Lembah Mandalawangi belum bisa ditepati. Keluarga mereka berdua sedang terkena musibah. Yeah, kita hanya bisa berencana, perkara takdir hanya Allah SWT yang Maha Tahu. Tenang aja cui, insya Allah ada waktu yang paling baik buat kita menapaki jejak puisi Soe Hok Gie. Aamiin ^^

Perjalanan keteguhan, begitulah saya menyebut perjalanan ke Pangrango kemarin. Mulai dari awal keluar dari pintu rumah sampai kembali ke pintu rumah, keteguhan saya untuk menjejak puncak gunung tertinggi kedua di Jawa Barat itu benar-benar diuji.

Pasalnya rombongan saya janjian berkumpul di kampus jam 5 pagi dan saya jam 04.30 masih jebar-jebur di rumah. Khawatir bakal ditinggal, saya memutuskan menyusul saja ke Terminal Baranangsiang. Berangkat diantar Ayah. Tadinya mau naik mobil, tapi mobilnya (lagi-lagi) mogok, maklum sudah bau bengkel. Akhirnya diantar naik motor. Di bilangan Salabenda, ban depan motor kami robek. Maklum sudah bau bengkel juga hahaha. Jam 05.30 masih menunggu motor ganti ban. Saya terus menghubungi Fahmi dan Kak Sule, “Pliiiis, jangan tinggalin gue.” Sebenarnya nggak mungkin mereka meninggalkan saya, mereka kan setia (hahaha cuih, mentang-mentang saya bawa kamera, nggak jadi ditinggal deh). Dalam hati saya berkata, “Ya Allah, diuji banget nih. Apa ini pertanda sebaiknya nggak usah ke Pangrango aja? Tapi sayang banget, elo tinggal angkat kaki doang, Nis.” Malaikat dan setan berantem di kepala saya. Lima belas menit kemudian motor kami sudah berdiri gagah dengan ban barunya. Sesampainya saya di Baranangsiang, ternyata rombongan kampus belum datang juga. Yaelah, ini saya yang ngaret mereka yang belum nongol -__-. Sambil menunggu mereka, saya dan Ayah sarapan bubur ayam Cianjur dulu (padahal sebelum berangkat sudah sarapan juga di rumah). Di Baranangsiang juga banyak rombongan yang gotong-gotong carrier, sepertinya Cibodas bakal rame dua hari ini. Hampir pukul 06.30 kepala Fahmi nongol dari dalam angkot carteran kami. Capcuuus deh. Makasih Ayah udah mau repot pagi-pagi begitu ^^

Di dalam angkot saya berkenalan dengan mereka yang akhirnya menjadi teman baru saya selama pendakian ini. Awalnya kami akan naik 2 kelompok berjumlah 16 orang. Namun setelah tarik ulur anggota, terkumpullah 10 orang yang desak-desakan dalam satu angkot bersama bawaan kami yang segede gaban. Mulanya hanya tahu Fahmi (GFM 46) dan Kak Sule (AGH 45) saja, karena akhir April kemarin sempat mendaki Gunung Papandayan bareng (ke Papandayan ini nggak sampai puncak, makanya puncak kedua saya adalah Pangrango). Akhirnya saya kenal dengan 7 orang lainnya. Mereka adalah Galih (MTK 46, kami pernah jadi tim sukses salah satu calon ketua BEM TPB), Nataliya alias Natali (TIN 48), Dziqi (TIN 46), Kak Devi (kakaknya Dziqi), Faris (adiknya Dziqi dan menjadi anggota termuda karena masih SMA kleas 2), Nurdin (SBRC IPB), dan Aji (SBRC IPB plus ‘pasangannya’ Nurdin eh).

Perjalanan menuju Cibodas via Puncak ramai lancar bersama guyonan garing Kak Sule yang hanya bisa ditelaah dengan otak tingkat tinggi, hingga akhirnya kami merasa aneh dengan polisi yang dari tadi mengikuti angkot kami. Dan yeah, seperti perkiraan, angkot kami kena tilang. Halah, ono meneh masalah’e. Perkara pertama karena angkot kami berjalan pada jalur yang bukan trayeknya (yaeyalah, wong kami carter kok). Perkara kedua karena supir kami tidak punya SIM. Nah alasan kedua ini  bikin kami harus menunggu lama di pos polisi dan merogoh kocek dalam agar bisa melanjutkan perjalanan. Aiiih, minta dijitak nih supirnya. Tapi nggak apa-apa deh, kami jadi punya waktu untuk menghirup udara segar Puncak saking sesaknya di dalam angkot.

Di jadwal kami harus mulai mendaki jam 09.30, namun kenyataannya jam segitu kami sedang leha-leha di warteg sambil mengisi perut karena semuanya belum sarapan kecuali saya, hahaha. Eh tapi saya makan lagi deng. Lah ini kenapa saya jadi banyak makan begini? Kan mau mendaki gunung, asupan gizinya harus banyak dong (ngeles, padahal emang dasarnya cepat lapar). Setelah itu kami bersih-bersih dan re-packing di mushola belakang kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

“Yakin mau naik?” tanya Dziqi ke Natali. “Kalau nggak yakin ya nggak apa-apa. Nggak usah dipaksain.”

Natali geleng-geleng meyakinkan kalau dia baik-baik saja. Tapi ketika saya mengecek jidatnya, widih, panas banget. Matanya juga merah. Natali memang sudah demam sejak kemarin sore tapi keukeuh mau mendaki hingga puncak Pangrango. Saya salut sama tuh bocah. Ini pengalaman pertamanya mendaki gunung. Langsung mencoba Pangrango. Apalagi dalam keadaan tidak fit. Jempooool ^^

“Aku udah latihan fisik sejak Oktober kok,” katanya.

“Waaah, niat banget. Gue latihan fisik naik sepeda doang. Itu juga cuman sekali.” Sekarang giliran saya yang tidak yakin bakal bisa sampai puncak. Ah elo, Nis. Payah! “Kita pelan-pelan aja,” ujar saya menenangkan diri hahaha.

Kami angkat kaki dari mushola jam 10.30 karena dapat kabar kalau jalur pendakian dibuka jam 11.00 (padahal menurut pendaki lain pintu pendakian nggak ditutup, hei ini dapat kabar dari siapa hei). Sebelum berangkat ya biasa berdoa dulu dipimpin Galih. Dia mengingatkan kalau pendakian ini niatnya bukan untuk aneh-aneh. Agak bingung juga sih, niat aneh-aneh itu kayak gimana ya? Hahaha. Mungkin maksudnya kami harus meluruskan niat bahwa mendaki gunung bukan untuk pamer fisik dan mental. Setuju setuju. Allah lah Sang Maha Pengendali Alam, semua dalam kuasaNya. Kuatnya kaki kita melangkah. Tebalnya pertahanan mental kita. Semua dalam genggaman Allah, berkat pertolongan Allah. Tiada daya dan upaya kecuali pertolongan Allah deh pokoknya.

Berdoa


Menuju jalur pendakian


Here we are! Dari kiri ke kanan: Kak Sule, Fahmi, Kak Devi, Natali, Nurdin (belakang), Dziqi (belakang), Galih, Faris, saya, Aji

Sepuluh menitan kami sampai di Resort PTN Mandalawangi. Disini kami menyerahkan Simaksi (semacam surat izin mendaki) yang sebelumnya sudah diurus Fahmi. Barang-barang yang mengandung bahan kimia seperti odol, minyak wangi, sabun cuci yang bisa merusak alam TNGGP tidak boleh dibawa dan dititip disini. Bongkar-bongkar tas lagi nih yang bawa barang begituan. Beres sortir barang, Fahmi mengatur posisi jalan kami. Awalnya Dizqi jadi leader, lalu diikuti keluarganya, saya dan teman lainnya baru Fahmi menjadi sweeper. Namun karena banyak hal yang terjadi selama perjalanan, urutan jalan berubah. Saya jalan di depan diikuti Kak Devi, dan Faris. Tim belakang saya tidak tahu bagaimana urutannya. Alhamdulillah jalur pendakian via Cibodas sangat jelas dan ramai pendaki, jadi nggak takut bawa rombongan nyasar hahaha. Walaupun pernah kesini, tapi itu 5 tahun lalu, saya mana ingat -__-

Sebagai informasi buat kalian yang belum pernah mendaki Pangrango via Cibodas, jalur ini jelas banget. Jalannya berbatu dan pemandangannya asli hutan hujan tropis. Sepanjang perjalanan telinga kami dimanjakan oleh cicitan berbagai jenis burung. Retina kami berhias ratusan tumbuhan dan bunga yang jarang terlihat di kota dan bermacam-macam binatang lucu seperti kalajengking (ha? Kalajengking lucu, Nis? Iya lucu kalo dia nggak nyapit ^^). Lima menit berjalan, kami melihat pohon Rasamala raksasa yang dilindungi TNGGP. Cuaca sedang cerah-cerahnya, tidak mendung, tidak juga terlalu terik. Udara di bawah tajuk hutan begitu sejuk. Sangat direkomendasikan deh buat menetralisir paru-paru dari polusi kota ^^

Tapi ya gitu, resiko jalan berbatu adalah kaki kami harus keras terpijak. Sebagai adaptasi ‘medan perang’, kaki mulai berkontraksi, minta berhenti terus, padahal belum setengah jam kami berjalan, dan posisi kami masih dekat sekali dengan Resort Mandalawangi. Keluh mulai mengusik. Carrier 60 liter saya seakan bertambah berat dua kali lipat. Kalau dibiarkan terus akan mengganggu semangat mendaki. Dan hal menyenangkan untuk menambah semangat mendaki adalah foto-foto hahaha ^^.

Susah senang foto-foto


Sekitar jam 11.40 saya, Kak Devi, Faris, dan Galih sampai duluan di Pos Telaga Biru. Telaga yang berada di ketinggian 1575 mdpl ini berada agak ke dalam, jadi harus masuk melewati jembatan dulu kalau mau melihat. Kadangkala airnya tampak berlendir hijau kecoklatan, pada saat lain berwarna biru jernih yang magis. Warna telaga ini tergantung pada pertumbuhan alga. Air Telaga Biru kaya akan nutrisi (euthropic) atau mineral yang berasal dari pertumbuhan bahan organik dan batuan serta tanah vulkanis yang terlarutkan.

Telaga Biru


11.50 rombongan depan sampai di Jembatan Rawa Gayonggong. Seperti yang pernah saya tulis di postingan sebelumnya bahwa jembatan ini sudah dipoles dengan semen dan berdiri di sebuah rawa-rawa. Rawa Gayonggong berada di ketinggian 1400 mdpl, sedikit menurun dari Telaga Biru. Rawa ini merupakan cekungan yang terbentuk dari kawah mati kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah telah menyebabkan sedimentasi lumpur untuk media tumbuh berbagai jenis rumput-rumputan terurama didominasi oleh rumput Gayonggong. Rawa ini merupakan daerah jelajah macan tutul serta tempat hidup berbagai jenis burung khas rawa pegunungan. Pemandangan indah bisa kalian nikmati ke arah barat ketika pucuk pohon Puspa memerah di Gunung Pangrango.

Berpose di Jembatan Rawa Gayonggong


Sepuluh menit mendaki ‘tangga’ batu, kami tiba di Pos Panyangcangan. Di persimpangan ini jalan terbagi dua arah. Belok kanan menuju Curug Cibeureum. Kalau mau tahu seperti apa keindahan Curug Cibeureum, monggo baca di postingan ini. Belok kiri melanjutkan pendakian. Dari pos ini harus melangkah sejauh 2.8 km lagi menuju Air Panas, 8.5 km menuju Puncak Gede, dan 10.5 km menuju Puncak Pangrango. Waduh, Pangrango masih jauh booo. Banyak pendaki lain yang juga istirahat di pos ini seperti kami. Benar kata Fahmi, kalau Sabtu-Minggu begini Cibodas sudah kayak pasar. Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana ramainya Kandang Badak nanti. Eh, apa itu Kandang Badak? Hahaha penasaran? Keep reading brosist ^^

Pos Panyangcangan


Jalur dari Panyangcangan masih berbatu. Hanya saja, jalannya tidak selandai sebelumnya. Betis saya bekerja lebih keras sementara pundak mulai merasakan sakit menahan beban carrier. Matahari meninggi. Keringat deras mengucur dari balik kerudung. Kondisi teman-teman yang lain pun sama. Nurdin memilih melepas bajunya dan mendaki dengan memperlihatkan jaket kulitnya yang menggelembung (hahaha, gue nggak bilang elo gendut kok, eh udah disebut, ampun ampun). Natali semakin melemah. Sakit demamnya tidak mampu ditahan. Mau tidak mau, Fahmi mengambil alih daypack Natali. Memang bakat jadi porter tuh bocah.

13.30 kami memutuskan istirahat di sebuah pos tanpa nama. Kami bertemu dengan mas-mas dari Backpacker Indonesia yang gembolannya raksasa sekali. Beginilah nikmatnya mendaki gunung. Saya bisa bertemu dengan orang lain, berbagi minum, berbagi cerita perjalanan. Meminjam kalimatnya Dziqi, “Dengerin nih, kita lagi kuliah.” Yap, mas-mas itu banyak memberi saya ilmu yang tidak mungkin saya dapatkan di kampus, bahwa, “Naik gunung itu santai aja. Nggak usah terburu-buru. Nggak akan lari gunung dikejar.” Saya tertawa mendengar kalimat ketiganya, “Ya serem juga mas kalo gunungnya lari.” Mas-masnya menimpali, “Yaaah, nikmatin aja prosesnya.”

kuliah alam bersama Backpacker Indonesia


Setelah bercerita tentang pengalamannya mendaki Gunung Kerinci dan Arjuna yang penuh kisah horror, mereka kembali meneruskan perjalanan. Kami masih gogoleran sambil membahas cerita mas-mas tadi. Pasalnya, mereka pernah nge-camp di Arjuna terus digangguin gitu. Masa tiba-tiba ada tangan masuk dari kain tenda dan mengambil roti yang sedang mereka makan. Ya ampuuun, kalo saya ada di sana pasti langsung jerit-jerit minta pulang. Hahaha bohong deng, ngapain pulang, sayang lah. Selain cerita ke Arjuna, mereka juga cerita pengalamannya ke Kerinci. Menurut mereka hutan di Gunung Kerinci itu masih perawan. Jangan kaget kalo misalnya tiba-tiba ada macan lewat. “Hiiii, nggak minat deh gue ke Kerinci dan Arjuna, mistis gitu,” ujar saya. Selama ini saya sangat tertarik mendaki Rinjani dan Wetar, mudah-mudahan diberi kesempatan oleh Allah untuk mendaki puncaknya. Aamiin ^^

Kembali saya memimpin perjalanan diikuti Kak Devi dan Faris. Biasanya Galih yang berada di belakang kakak beradik itu, tapi entah kenapa malah Kak Sule yang nongol. Yang lain tetap tenteram di belakang sambil menuntun Natali. Semangat semangat! Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan mas-mas Backpacker Indonesia lagi. Ternyata jarak kami tidak terlalu jauh meskipun kami jalan belakangan.

“Wah, udah mau kebalap nih kita,” kata mas-masnya. Aduh mas namanya siapa? Saya lupa. Bayu? Rojak? Hendra? Nah lho..

Saya cengengsan saja. “Emang biasanya begini, Mas. Kalo dilambat-lambatin malah capek. Bukannya nggak setia sama yang di belakang. Takut malah nambah kerjaan juga hehe.”

“Iya, jalurnya masih enak kok.” Lalu mas-masnya memperhatikan saya gitu. Aduh, jadi risih. “Tapi… Maaf ya, Mbak. Saya nggak recommend kamu pake itu buat muncak.” Oh, I see. Lagi-lagi dikomentarin begini. Ya nggak apa-apa sih, itu artinya mereka perhatian sama kamu, Nis. Iya sih, tapi kan …

Berlaga SKSD saya bertanya walau hati agak gondok, “Emang kenapa, Mas? Susah ya?”

“Iya susah, tinggi banget naiknya.” Mas-masnya memeragakan gaya mendaki tanjakan hingga sedada. Waduh tinggi bener.

“Nggak apa-apa, Mas, kan saya pakai celana juga.” Tapi tetap naiknya pakai gamis, insya Allah. Mudahkan ya Allah.

Di jalan saya juga ‘main balap-balapan’ sama dua pendaki yang melihat saya dengan pandangan yang tidak terdefinisi. Hahaha apaan sih bahasa lo. Atuh da, kayak nggak pernah lihat orang mendaki pakai rok aja. Jadi gimana gitu sayanya. Hahaha jadi curhat gini. Lain kali naik gunung jangan pas ramai deh. Dua pendaki itu bertanya, “Makan apa sih, Mbak? Cepet bener.” Saya menjawab, “Gula jawa,” sambil memperlihatkan gula jawa yang belum habis dikemut.

Menurut saya, membiarkan rasa capek, pegal, dan haus merajai otak dan perasaan kita malah akan memanjakan diri sendiri, dan itu malah membuat capek makin terasa. Ada saatnya kita nggak boleh sayang sama diri kita, tapi ya tetap jangan diporsir di luar kemampuan badan. Ini seperti pepatah yang mengatakan, “Keluar dari zona amanmu!” Bukan capek yang mengendalikan kita, melainkan kita yang mengendalikan rasa capek. Selama saya masih bisa berlari, kenapa saya harus berjalan? *elus betis*

14.25 Alhamdulillah kami sampai di Pos Air Panas (1250 mdpl). Pos ini sekitar 30 meter dari jalur air panas. Sebelum melewati air panas, kami istirahat sebentar setelah 1 jam tidak istirahat. Banyak juga rombongan pendaki yang istirahat ataupun tetap melanjutkan perjalanan. Menuju sore di pos ini mulai dingin. Saya saja sampai kedinginan saking lamanya istirahat (hampir setengah jam, otot saya sudah dingin lagi ini -__-). Sebenarnya mau lanjut jalan, namun teman-teman yang lain masih ingin istirahat, ya ngikut saja lah. Dari pos ini terlihat kepulan asap putih yang sangat pekat di antara hijaunya rimba hutan. Yeah, jalur air panas semakin dekat, saya semakin deg-deg-an.

Pos Air Panas


Asapnya Jalur Air Panas


14.50 kami menurun mendekati air panas. Jujur, dari sekian banyak tipe jalan yang harus saya tapaki menuju puncak Pangrango, jalur air panas lah yang menyeramkan. Namanya saja jalur air, jalan ini didominasi oleh batu besar yang licin karena dilalui air panas. Jika berangkat dari awal pendakian, maka sebelah kiri saya terdapat tebing tinggi yang di sela-selanya mengalir air panas. Di seberangnya menganga sebuah jurang yang dekat sekali dengan mata kaki kanan saya. Jurang yang tidak bisa dilihat dasarnya. Melewati jalur ini, pipi kiri saya panas, sedangkan pipi kanan saya dingin, kontras sekali. Pandangan mata saya di jalur ini sangat terhalang oleh asap yang sangat putih dan tebal. Saya seperti berada di kerajaan awan, hanya putih yang terlihat. Bersyukur sekali kalau tiba-tiba ada angin yang lewat dan membuyarkan kepulan asap. Untungnya pihak TNGGP memasang tali webbing dan tambang sebagai pegangan agar kita tidak jatuh. Namun tetap harus hati-hati dan fokus pada batu yang akan ditapaki. Jangan memilih batu yang goyah. Carilah batu yang lurus permukaannya. Tapi, mau sefokus apapun, saya berkali-kali terpeleset. Pasalnya sepatu yang saya gunakan sangat tidak cocok dipakai untuk mendaki gunung (ini saya simpulkan dari pernyataan Dziqi, “Gile lu naik gunung pakai sepatu kets). Atuh da gimana, nggak punya sepatu lagi. Ini juga pinjam punya Dika. Masa mau pakai sepatu cantik? Hahaha. Apalagi saya mengenakan gamis. Tangan kiri pegang tali, tangan kanan pegang baju supaya nggak keselimpet. Lengkap sudah!

Jalur air panas


Berkali-kali saya terpeleset, berkali-kali juga saya menyemangati diri, “Ini yang elo mau, Nis. Elo yang mau. Kalo gitu, harus elo kejar!” Di tengah jalur air panas, jari kaki saya keram. Kebiasaan banget nih kalau melewati air pasti kaki saya keram.  Saya paksa melangkah dan Alhamdulillah terlampaui juga. Di ujung jalur air panas, terdapat sumber air. Biasanya pendaki istirahat disana, mulai dari cuci muka hingga berendam. Saya mengajak Kak Devi dan Faris terus berjalan. Namun saya melipir dulu untuk mengoles Fresh Care di sekujur kaki saya untuk meredakan keram (ya ampun, iklan banget ini!). Teman-teman yang lain memilih main air dulu. Kita bertiga lanjuuuutt.

15.15 kami bertiga sampai duluan di Pos Kandang Batu (2220 mdpl). Lagi-lagi ramai. Sebagai pemimpin rombongan depan, saya bertanya, “Mau break dulu nggak?” Kak Devi dan Faris geleng-geleng. Baiklah, kami permisi-permisi saja sama kelompok lain sambil terus memaksa kaki mengalahkan hasrat untuk istirahat lama. Salut lah saya sama mereka berdua, padahal persediaan air kami menipis. Masih ada sih 1 botol air penuh di carrier saya, tapi itu disimpan untuk perjalanan pulang besok. Semangat semangat! Mari kepalkan tangan!

Pos Kandang Batu


Jalur dari Kandang Batu menuju pos selanjutnya mulai tidak didominasi batu namun masih tetap jelas. Menurut saya, jalannya agak licin karena berupa kerikil dan tanah. Meskipun capek, fokus pandangan harus tetap bekerja. Ada beberapa batang pohon tumbang yang menghalang sehingga saya harus menunduk. Agak sulit juga menunduk sedangkan ada carrier di punggung saya.

Namun, sesulit apapun jalan yang saya tapaki, mulut ini tidak berhenti mengucap kebesaran penciptaanNya. Saya membayangkan bagaimana raksasanya ‘tangan’ Allah mengendalikan semua yang ada di bumi dan di langit. Di tengah rimba yang jauh dari hiruk-pikuk manusia, segerombolan semut masih terpegang kehidupannya, tidak luput dalam kuasaNya. Mereka asyik berjajar mengangkut makanan di antara lumut yang tumbuh di atas pohon tumbang. Semakin masuk ke dalam hutan, semakin terasa bahwa diri ini begitu kecil. Meminjam celetukan Nurdin, “Memang gue siapa atuh?” Yeah, memang saya siapa atuh? Bukan siapa-siapa. Hanya seonggok daging hidup yang bisa berjalan hingga posisi sekarang. Hanya seonggok daging yang tetap tidak bisa meyakinkan diri apakah bisa mencapai puncak Pangrango? Apakah bisa menelusuri jejak Soe Hok Gie di Mandalawangi? Ataukah hanya mampu meringkuk kedinginan di dalam tenda?

Jalur menuju Kandang Badak


16.00 saya dan Kak Sule sampai di Pos Kandang Badak (2393 mdpl). Saya tercengang melihat persinggahan ini. Sumpah, ramai bangeeeett melebihi ramainya pasar malam! Kalau sudah begini, filosofi “mendaki gunung juga harus mementingkan orang lain” tidak berlaku lagi. Pasalnya kami akan beringas berebutan tempat untuk mendirikan tenda. Saya dan Kak Sule mencari tempat kosong hingga ke sumber air di Kandang Badak, tetap saja tidak ketemu. Kalaupun ada, sudah di-booking orang. Kalaupun masih kosong, tidak cukup untuk 3 tenda kami berdekatan. Akhirnya kami mendirikan tenda di lokasi yang agak ke bawah. Tenda kami pun berdiri di tanah yang menurun, sehingga nanti ketika kami tidur agak merosot-merosot mengenaskan gitu hahaha.

Pos Kandang Badak


Hawa petualangan menelusuri jejak puisi Mandalawangi-nya Soe Hoek Gie makin tercium. Banyak pendaki yang sengaja menyalakan lagu original soundtrack-nya film Gie. “Berbagi waktu dengan alam ... Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya …” Aaaah, rasanya semakin tidak sabar menyapa Lembah Mandalawangi. Sabar sabar. Insya Allah kami akan munggah besok pagi. Sekarang saatnya pembagian tugas untuk sholat, mendirikan tenda, dan memasak. Saya membantu Fahmi di dapur alam. Sebenarnya ada warung di Kandang Badak. Seduh minuman saset harganya Rp 5.000. Namun rasanya tidak keren kalau harus membeli di warung, ya kami masak saja. Hahaha keren? Padahal, tahu ada warung, saya nggak usah patungan beli bahan makanan, hahaha. Bohong deng bohong. Menikmati mengembangnya mie rebus dingin dan kopi yang terlalu panas buatan sendiri, kapan lagi? Kalau di kota ada candle light dinner, maka di gunung akan sangat romantis makan malam ditemani lampu senter hahaha.

Headlamp light dinner


20.00 saya, Kak Devi, dan Natali sudah masuk tenda. Niatnya mau tidur cepat, namun tetangga sebelah berisiknya minta ampun. Mulai dari lagu Power Ranger, JKT 48, sampai tausiyah ustad aneh dinyalakan keras-keras. Kak Devi sudah naik pitam. Apalagi Natali. Saya malah tertawa-tawa mendengar omelan mereka berdua yang tidak mungkin terdengar oleh tenda sebelah. “Besok pagi kita ikat aja, biar kapok,” usul saya yang tidak mungkin kami lakukan karena tidak ada yang membawa tali.

22.00an Natali gemetaran di sebelah saya. Waduh, nih anak kedinginan. Jangan sampai dia kena hipotermia seperti teman saya waktu mendaki ke Gede dulu, bisa berabe. Dan kayaknya demam Natali makin tidak bisa diajak kompromi. Saya mendekatkan diri berusaha memberi kehangatan walau sendirinya juga kedinginan. “Nat, elo mau pakai sleeping bag gue? Ntar gue pakai jaket aja,” tawar saya. Namun Natali menggeleng. Dia mau berjuang sendiri melawan dingin. Mari kita saling tindih-menindih saja ya.

01.00an mata saya terbelalak. Selain karena tidak bisa dipaksakan untuk tidur lebih lama, saya sudah janjian sama Fahmi untuk memasak mengisi energi sebelum muncak. Kami membuat minuman hangat dan mie rebus untuk teman-teman. Tajuk pohon hutan yang tersibak angin memperlihatkan pemandangan langit yang bertaburan bintang dan bulan yang terang. Pagi buta itu cuaca sangat cerah. Kami berharap akan tetap cerah hingga mencapai puncak nanti.

02.30 kami sudah beranjak dari tenda, berdoa dengan sangat khidmat, dan mengatur urutan jalan. Fahmi memimpin jalan karena di antara kami baru dia saja yang pernah muncak ke Pangrango. Lalu diikuti Natali yang notabene-nya sedang lemah sehingga intonasi jalan kami tergantung dia. Di belakang Natali ada saya, jaga-jaga kalau Natali butuh dorongan. Di belakang saya ada Faris, Kak Devi, Kak Sule, Nurdin, Aji, Dziqi dan Galih sebagai sweeper, karena headlamp Dziqi sedang manja tidak mau menyala, hahaha sempat-sempatnya manja di saat genting seperti ini -__-.

Perlengkapan selama muncak hanya bawa 2 carrier yang dibawa gantian oleh para lelaki. Tips logistik selama muncak ya bawa saja seperlunya, seperti headlamp atau senter kalau mau mengejar matahari terbit di tanah tertinggi (oh iya, makasih banget buat Kak Ravi yang meminjamkan headlamp-nya, berguna sekali ^^), jangan lupa pakai jaket karena udara tengah malam di gunung sangat dingin, air minum secukupnya (seingat saya kami membawa 2 botol penuh dan beberapa botol kosong untuk diisi di Mandalawangi), perlengkapan masak dan bahan makanan untuk sarapan baik di puncak ataupun di Lembah Mandalawangi. Oh iya, bawa masker juga diperkenankan agar hidung kita tetap hangat dan pernapasan kita lancar. Ditempel koyo juga boleh. Kalau saya seperti biasa membawa pasmina yang digunakan merangkap syal, penutup hidung, dan penutup telinga.

Mungkin sekitar 5 menit mendaki dari Kandang Badak, kami dihadapkan pada persimpangan, kalau belok kanan menuju puncak Pangrango, sedangkan belok kiri menuju puncak Gede. Tujuan kami adalah Pangrango dan Mandalawangi, belok kanan lah kami. Tepat di belokan kami dihadang sekelompok pendaki yang mendirikan tenda. Kasihan sekali mereka, nggak kedapetan tempat di Kandang Badak jadi nge-camp di jalur pendakian. Kami istirahat sebentar sambil numpang minta kehangatan dari api unggun yang mereka buat.

03.00 Saya membayangkan Ayah pasti sedang mematikan alarm hp-nya dan beranjak sholat tahajud di rumah. Penduduk Bogor lainnya mungkin ada yang masih mendengkur atau baru saja pulang dari kantor, sedangkan saya beserta sembilan teman sedang menantang dingin dan rasa kantuk demi bisa menengok kebesaran Allah pada 3019 mdpl.

Berjalan di gelapnya malam sangat mengandalkan satu cahaya petunjuk dari lampu pemimpin kami. Sebenarnya ada petunjuk berupa tali rapia yang menuntun kami ke jalan yang benar. Tapi tetap saja, tali rapia begitu kecil, tidak bisa menyala dalam gelap, dan ada yang tersembunyi di antara ranting pohon. Kami harus berjalan beriringan sesuai aba-aba pemimpin agar tidak tersesat. Kedislipinan dan kepercayaan anggota terhadap pemimpin sangat diuji disini.

Bunyi serangga malam sedikit menenangkan saya, bahwa tidak hanya kami bersepuluh yang berada di posisi sekarang. Saya memang tidak takut gelap. Tapi kalau ingat cerita mistis mas-mas Backpacker Indonesia jadi merinding sendiri. “Tenang, Nis, tenang. Allah Maha Pelindung. Laa haula wa laa quwwata ilabillah.” Walaupun Sabtu-Minggu TNGGP ramai, mendaki Gunung Pangrango tidak seramai Gunung Gede. “Pemandangan memang lebih indah di Puncak Gede. Makanya Pangrango sepi.”

04.00 Saya paham kenapa mas-mas Backpacker Indonesia tidak merekomendasikan saya muncak pakai gamis. Banyak sekali pohon tumbang mulai dari jalur dekat Kandang Badak hingga jalur akar pohon. Kalau tidak mungkin merayap di kolong pohon, ya mau tidak mau harus memanjat. Wah, keren banget. Jangan sampai halangan begini saja membuat saya harus ganti kostum. Nehi nehi ^^ Oh iya, hati-hati kalau mau memanjat pohon tumbangnya karena sangat licin, dan yeah memakai sepatu kets sangat tidak dibenarkan hehehe.

Subuh makin menjelang. Tajuk pohon tidak memendek juga. Kata Fahmi, tanda-tanda kami mendekati puncak adalah pohon yang semakin pendek. Namun kenyataannya, pohon masih saja tinggi di kepala kami. Puncak masih tidak terjamah. Harapan melihat matahari terbit di puncak Pangrango pelan-pelan terkikis. Galih mendaki duluan demi merekam megahnya fajar menguasai Kota Hujan. Kami bersembilan tetap dengan irama yang sama, tidak terburu-buru bertemu raja bintang keluar dari peraduannya. Kami saling menghibur diri, “Yaelah, matahari terbit juga ada di depan kostan gue.” “Matahari terbit di puncak gunung mah biasa, lihat di internet juga bisa.” Semesta berwarna biru terang. Kami memutuskan berhenti untuk sholat Subuh di jalur pendakian.

Tidak mendapat matahari terbit di puncak Pangrango, kami menikmatinya di perjalanan. Dan pemandangan ini, menurut saya, lebih lezat dari apapun! Bayangkan saja. Kami sedang capek-capeknya mendaki, persediaan air menipis, roti habis, betis meringis, dan menyemangati diri sendiri adalah sesuatu yang klise, tiba-tiba sebersit cahaya oranye mengintip dari celah ranting pohon, menyinari punggungan Gunung Gede, membelah lautan awan. “Subhanallah, kita di atas awan! Kita di atas awan! Ya Allah keren bangeeett!” Pemandangannya boleh jempol, tapi yang membumbui suasana itu adalah kami menikmatinya bersama-sama. Rasanya seperti menemukan sungai jernih di tengah gurun!

Sunrise above sky ocean: difoto oleh Aji


“Itu jalur menuju puncak Gede, kan? Ya Allah, kita lebih tinggi dari Gunung Gede! Hai yang ada di puncak Gede, kalian lihat kami tidak?” Saya melambai ke puncak Gunung Gede dan dibilang tidak waras oleh yang lain. Woooo, bilang aja pada senang. Kami berhenti sejenak, sekedar foto-foto, merebut kembali semangat yang sempat tercuri rasa pesimis dan lelah.

Berhenti sejenak: difoto oleh Aji


05.00 Jalan menuju puncak tidak lagi berupa pohon tumbang dan akar, melainkan jalur air. Jalan ini hanya bisa dilewati satu pendaki dengan satu kaki. Saya berjalan di antara tanah yang terbelah. Saya membayangkan, kalau bumi tiba-tiba menyusut, saya akan terhimpit oleh tanah, lalu mati, hiiii~

05.20an Tajuk pohon memendek. Alhamdulillah. Jalan melandai. Hore bisa lari-lari ^^ Jejeran pohon cantigi memberi tanda bahwa puncak semakin dekat.

05.30an Saya bingung melihat kerumunan orang di depan saya. Kenapa mereka berkumpul? Orang-orang itu foto-foto di sebuah batu setinggi manusia yang digunakan sebagai titik triangulasi. Di sebelahnya terdapat sebuah bangunan tak terawat. Saya melambai kepada Galih. Dia kok ada di sini? Tempat apa ini? “Puncak Pangrango, Nis.” Haaa? Puncaknya begini doang? Hahaha benar kata Fahmi, “Jangan mengejar pemandangan indah di Pangrango. Nikmatnya mendaki gunung ini bukan di pemandangan puncaknya, melainkan jalurnya yang menantang.” Iya sih, cuman agak aneh aja, lagi santai jalan tiba-tiba sudah sampai puncak.

Disorientasi lokasi ini tidak mengurangi rasa syukur saya telah mencapai tanah tertinggi di daerah tempat saya dibesarkan. Tanah tertinggi yang menyadarkan saya kalau saya hanya makhluk rendah yang tanpa bantuan Allah tidak mungkin sampai ke titik ini. Yeah, rendah di ketinggian puncak gunung.

Pangrango’s peak



3019 mdpl
Samudera awan

Bibir kawah Gede dari puncak Pangrango


Pangrango’s peak sunrise: difoto oleh Galih


06.00 Setelah mengabadikan senyum puas bersama plang tanda puncak Pangrango, kami berjalan menuju Lembah Mandalawangi. Dari belakang bangunan tidak terawat di puncak Pangrango, ada jalan masuk ke rimbun cantigi, berjalan menurun melalui jalur air sekitar 10 menit, dan sampailah kami di sebuah padang edelweiss yang sangat fenomenal dan menjadi tempat bersejarah bagi para pemuda. Lembah Mandalawangi atas puisi karya Soe Hok Gie.

Ini bulan November, bukan saatnya bunga abadi itu bermekaran. Kami hanya melihat daun edelweiss layaknya pedang menghunus ke langit kehijauan. Ada beberapa bunga yang layu kecoklatan. Padang edelweiss di Mandalawangi ini tidak seluas Surya Kencana di Gunung Gede maupun Tegal Alun di Gunung Papandayan. Lagi-lagi saya ingatkan, bukan keindahan yang dicari kesini, melainkan romantisme filosofis puisi lelaki etnis Cina itu. Mari putar memori lama kita, mari sesap kembali napas lembah kasih milik pejuang hak manusia itu.

Lembah Mandalawangi


Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali ke dalam ribaanmu,
Dalam sepimu, dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangarango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu, ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“Hidup adalah soal keberanian menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah.”
Dan di antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu, Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
(Mandalawangi: Soe Hok Gie – Jakarta, 19 Juni 1966)

Kami duduk di sebuah sudut Mandalawangi yang dekat dengan sumber air, berhadapan langsung dengan Gunung Salak. Puncak-puncaknya begitu tajam di antara awan yang melindunginya. Saya tidak yakin Soe Hok Gie dulu duduk di tempat kami istirahat sekarang, tapi dia pernah di sini, dan puisinya bergaung di telinga para pendaki. Saya sudah tidak sabar melakukan prosesi yang saya idamkan sejak jauh hari, foto pre-wisuda di Lembah Mandalawangi. Terima kasih kepada Kak Sule yang bersedia meminjamkan pakaian kebesaran itu ^^

Pre-wisuda di Mandalawangi


Menyebalkan adalah ketika sedang asyik menikmati keindahan Mandalawangi dengan teriknya yang sejuk, saya ingat kalau besok adalah hari Senin. Kami harus pulang. Puncak gunung kadang melenakan saya untuk kembali pulang, kembali bekerja, kembali dikejar tugas yang menyesakkan. Tapi inilah hidup. Seperti kata Gie, kita harus berani menghadapi tanda tanya, tanda tanya keadaan kita besok bahkan sedetik kemudian.

Selesai membersihkan alat masak, kami naik lagi ke puncak. Kami melakukan selebrasi. Tidak ada yang lebih bahagia dari siapapun, karena kadar bahagia kami semua pasti sama. Sebelum berdoa untuk turun puncak dan menghadapi terjalnya punggung Pangrango, Fahmi mengingatkan kami sebuah kalimat yang saya dan Fahmi tahu dari papan quote ketika mendaki Kawah Ratu Gunung Salak September lalu. Gaston Rebuffat berkata begini, “Manusia cuman bisa menjejak puncak, tapi tak pernah bisa menaklukan gunung.” Lalu Fahmi menambahkan, “Tidak ada yang perlu kita sombongkan.” Yeah, setuju! Kami bisa begini mutlak karena pertolongan Allah. Sang Penguasa Bumi dan Langit menolong kami dengan memberikan cuaca yang cerah, gunung yang anteng tidak tiba-tiba gempa, juga hati yang terus teguh pada tujuan mentadaburi kuasaNya. Coba kalau tiba-tiba Allah menitah Kawah Gunung Gede batuk-batuk saat kami mendaki, beres sudah kami semua saat itu juga. Alhamdulillaaaaah ^^

Saya berjalan pulang bersama tim cepat lapar alias Nurdin, Aji dan Kak Sule mendahului teman lainnya. Janjiannya adalah yang sampai duluan lah yang menyiapkan makan siang untuk bekal turun dari Kandang Badak. Karena kami berempat belum pernah ke Pangrango dan perjalanan mendaki puncak dilakukan tengah malam, maka untuk mencari jalan pulang kami mengikuti rombongan depan. Tapi lama-lama rombongan depan tak terlihat. Saya mengikuti Nurdin saja.

“Pelan-pelan, Din, ada cewek juga,” teriak Aji di belakang saya.
“Aaah biarin aja, Kak Nisa kan strong,” teriak Nurdin di depan.
Saya mengomel. “Tetap aja gue pake rok.” Hahaha manjanya keluar nih, sekali-sekali lah -__-

Ada yang mengganggu pikiran saya. Jalannya kok jadi bertanah begini? Bagus, sih. Tapi licin. Kayaknya tadi pagi nggak lewat sini deh. Kayaknya kami nyasar deh. Jeng jeng. Dan benar saja, kami nyasar. Nurdiiiiinn. Hahahaha. Nah loh, gimana ini?

“Jangan lewat situ!” Terdengar teriak seseorang entah dari mana. Di belakang kami memang ada rombongan pendaki lain, tapi suara itu bukan dari mereka. Dimana-mana hutan lebat, dan saya tidak melihat manusia siapapun kecuali kami. “Jalannya ekstrim, jangan lewat situ. Lewat jalan biasa saja. Kalian naik lagi. Melipir aja. Ada ceweknya, kan?”

Yang suara maksud cewek itu pasti saya, karena tidak ada perempuan lain selain saya. Nurdin tetap mau melanjutkan jalan ekstrim yang entah bagaimana bentuknya itu, saya tidak mau melihat, takut mentalnya turun hahaha. Aji menolak. Saya ikutan menolak. Pendaki lain memaksa melanjutkan perjalanan. Kak Sule naik lagi mencari jalan ke rute yang benar, menerobos pohon-pohon berduri. Akhirnya kami menemukan jalan yang benar. Eh, malah ketemu Fahmi dan Kak Devi. Lah, ini tim cepat lapar yang duluan turun kenapa mereka berdua yang sampai di bawah? Sepertinya jalan nyasar kami memutar, walaupun kami sudah lari-lari tapi tetap ketinggalan. Ini kenapa tiap kali saya turun gunung harus ada adegan nyasarnya sih? -__- Tim cepat lapar mendahului mereka berdua yang menunggu rombongan Dziqi di belakang banget.

Alhamdulillah, tim cepat lapar sampai duluan di Kadang Badak. Langsung kami gerak cepat membuat makan siang karena perut kami tidak berhenti mengoceh. Makan besar kami adalah makan ternikmat selama kami mendaki Pangrango. Nugget dan spageti adalah penutup yang mengenyangkan. Berterima kasihlah kalian kepada Nurdin yang bisa menghancurkan pertahanan saya hingga akhirnya saya membuka spageti yang niatnya mau saya nikmati di rumah hahaha. “Aku maunya makan spageti.” Iiiiih, manja banget tuh bocah.

Perjalanan turun dari Kandang Badak menuju Resort Mandalawangi pun ramai lancar, walaupun kaki saya sempat keram sebelum melewati jalur Air Panas. Hahaha kebiasaan. Aji dan Nurdin belingsatan turun duluan karena menunggu angkot carteran. Tadinya saya jalan tepat di belakang Natali buat jaga-jaga dia kenapa-napa, tapi Natali bilang, “Kak Nisa duluan aja juga nggak apa-apa. Kayaknya dari tadi udah nahan-nahan pengen jalan.” Hehehe maaf ya Natali, saya nggak betah jalan pelan-pelan, suka cepat pegal. Karena jalan menuju meter pertama pendakian sangat jelas, saya tidak khawatir jalan sendirian menyusul Aji dan Nurdin. Lagipula di jalan bisa say hi dengan pendaki lain. Tapi ya gitu, karena saya tidak membawa bekal minum dan makanan, perjalanan turun saya percepat karena tenggorokkan kering, hadeeeeh mikir-mikir dulu makanya kalau mau turun sendirian, Nis. Resort Mandalawangi berkabut pada petang hari. Kami menunggu angkot carteran yang terkena buka-tutup hingga pukul 8.

Sampai rumah saya tepat jam 12 malam, sudah kayak Cinderella saja. Bongkar carrier. Siap-siap kerja besok paginya. Yeah, menurut saya, keteguhan dan fisik serta mental yang kuat tidak hanya dibutuhkan ketika kamu mendaki puncak gunung, tetapi juga ketika kamu harus bekerja setelahnya ^^

Di akhir review perjalanan yang super panjang ini, saya ingin berterima kasih kepada Allah SWT, orang tua, teman sependakian, teman baru yang ketemu di jalan, dan pastinya Gunung Pangrango yang menerima saya begini adanya. Atas kurangnya saya, maafkan saja ya ^^