“Hahahaha.”
Bara hampir saja tersedak teh manis hangat
ketika perempuan di depannya menggoyangkan ujung kerudung hijau toskanya,
kerudung yang sama dipakai ketika pertama kali mereka bertemu di Ranu Kumbolo.
Bara menggeleng lalu kembali menyesap minuman favoritnya yang tertunda.
“Selalu saja begini.” Ya. Selalu saja
begitu. Perempuan di hadapannya itu gemar melakukan sesuatu yang tidak
disangka-sangka. Bertingkah aneh pada ruang dan waktu yang tidak semestinya.
Seperti tadi. Sedang hening-heningnya, tiba-tiba tertawa. Membuat pasangan lain
di warung kecil itu menoleh. “Kenapa, sih?” Bara akhirnya menyerah. Penasaran.
Perempuan itu menutup mulutnya. Kembali
tertawa. Bara melotot dan memaksanya menerka sekeliling. Mata-mata menyipit.
Bibir-bibir berbisik. “Kila. Lihat. Mereka menganggapmu aneh.”
Tawa Kila semakin menjadi. “Maaf maaf.”
Kila berdeham. Bara menunggu jawaban.
“Aku … suka lucu aja sama hujan yang reda.
Kamu perhatiin nggak tadi? Bumi seketika sunyi. Padahal sebelumnya berisik
minta ampun saking derasnya. Lucu, kan?”
Bara terbengong sebelum akhirnya giliran
ia yang tertawa. “Seharusnya kamu jadi penulis.” Lelaki itu mengacungkan
sedotan ke ujung hidung mancung Kila.
“Ha? Kenapa ujungnya jadi ke penulis? Aku
kan cuman menertawakan hujan.” Kila menepis sedotan itu. “Kamu kan penulisnya.”
“Kamu tuh,” Bara terdiam sebentar. Mencari
kata yang pas untuk menggambarkan perempuan yang kini halal menjadi bagian
hidupnya hampir sewindu ini. “Kamu tuh peka. Suka membaca. Bukan membaca buku
ya. Itu sih abang-abang asongan juga bisa. Maksud aku, kamu suka membaca
situasi, memperhatikan setiap gerak di sekitarmu, mengingat segala hal, mencari
tahu yang membuatmu penasaran.”
Lubang hidung Kila kembang kempis. Matanya
kedap-kedip mencari perlindungan. Otot rahangnya menegang, menahan senyum yang
tidak mau Kila layangkan. Bara tahu, kalau mukanya bertambah aneh seperti itu,
Kila sedang gugup. Gugup yang malu diungkapkan. Malu yang menyenangkan.
Bara persis tahu label ekspresi aneh Kila.
Lelaki yang memilih memanjangkan sedikit janggutnya itu juga gemar membaca.
Seperti yang Bara bilang sendiri, penulis harus rajin membaca. Khususnya
membaca ekspresi. Seorang pejalan (ia paling malas kalau disebut penjelajah)
seperti Bara telah mengenal berbagai ekspresi dari setiap orang yang ia temukan
dalam setiap perjalanan. Bagaimana orang marah, menangis, tertawa, pura-pura
tertawa, pura-pura marah, Bara paham betul, dan akan mudah memindahkan segala
ekspresi ke dalam deretan kata-kata.
“Jam berapa daun trembessi menangkup saja
kamu tahu. Sudahlah, kamu jadi penulis aja ya? Aku punya teman penerbitan kok.”
Hawa sejuk yang diterbangkan angin
menelusup ke sela tenda warung yang terbuka. Melayangkan kenangan Bara dengan
Kila sehari setelah hari penyatuan dua hati dan dua keluarga itu berlangsung. Ah.
Hujan memang memiliki kemampuan untuk menghipnotis manusia meresonansikan
ingatan masa lalu
***
Ketika itu Bara bertanya, “Mau kemana
setelah ini?” Kila menjawab, “Aku mau tunjukkin kamu sesuatu yang magis!”
Pasangan yang baru menikah mungkin akan pergi ke Bali atau tempat-tempat yang
romantis, tapi Kila malah mengajak Bara ke kampus lamanya di bilangan Dramaga.
“Waktu aku kuliah dulu, aku suka banget
lewat sini. Namanya Node Soekarno. Bukan karena namanya, tapi karena itu.” Kila
menunjuk ke sebuah pohon tepat di depan Node Soekarno Fakultas Pertanian.
“Pohon apa itu?”
“Berbulan-bulan aku cari informasi,
akhirnya aku tahu nama pohon itu. Trembessi. Orang Sunda menyebutnya Ki Hujan.”
Bara mendongakkan kepala. “Pohonnya gede
banget.” Sebersit cahaya matahari menyelinap di antara jari-jari anak daun.
Terang. Tapi tidak menyilaukan.
“Iya. Kayak pohon-pohon di Hutan
Terlarang-nya Harry Potter. Raksasa. Dulu aku berkhayal kalau ada kurcaci yang
tinggal di pohon itu. Hahaha. Nggak guna banget khayalanku. Tapi aku suka.
Walaupun daunnya kecil, namun karena daunnya banyak dan dekat-dekat, bikin kita
enak berteduh di bawah pohon trembessi. Adeeem.”
“Iya. Adeeem.” Bara mengangkat tangan,
membiarkan sejuk merayapi tubuhnya. Tidak malu ikut bertingkah aneh seperti
Kila. Minggu di ujung sore memang kampus tidak begitu ramai. Setidaknya tidak ada manusia lain yang tahu
aku mulai ketularan anehnya Kila, bisik Bara dalam hati sambil sesekali
tengok kanan-kiri, siapa tahu ada yang sedang menertawakan mereka.
“Jadi …” Kila memandang lekat lelaki tegap
di sampingnya. “Walaupun daunku kecil, nggak melingkupi seluruh ruang yang
panas, kalau kamu bisa melengkapi daunku, kita bisa saling meneduhkan. Nggak
cuman meneduhkan kita, melindungi akar-akar kita dari panas yang berlebihan,
tapi juga sekitar kita, rumput-rumput di sekeliling kita, orangtua kita,
saudara-saudara kita.” Kila benar-benar memenjarakan pandangan Bara. “Aku harap
kita bisa menjadi pohon yang meneduhkan.”
Bara tercekat. Perempuan ini selalu punya
cara jitu membuatnya terbujur kaku. Tangan Bara membelai tudung kerudung Kila. Merasakan
tiap jalur rajutan benang penutup kepala itu. Sebuah kain yang dulu sering
diremehkan Bara. “Insya Allah, Kila.” Aku
nggak salah pilih kamu. “Sekarang kita pulang?”
“Ntar dulu.” Kila mengecek jam di
ponselnya. “Tunggu lima menit lagi.”
“Mau ngapain?”
“Kamera kamu keluarin.”
“Mau ngapain?”
“Video pencet yang ini kan? Ini buat
zoom?”
“Iyaaaa. Mau ngapain sih?” Dengan tingkah
aneh Kila, Bara harus terbiasa akan hal ini.
“Kamu lihat ke atas. Buruan lihat!” Kila
berteriak kegirangan. “Magis banget, kan?”
Tangan Kila sibuk mengambil gambar sedangkan
Bara mengikuti petunjuknya. Entah ada sihir apa, setiap pasang anak daun
trembessi perlahan-lahan saling menangkup hingga akhirnya menutup sempurna.
Kila hapal sekali keunikan pohon ini. Pada pukul lima sore daun-daun pohon
trembessi akan menutup. Mereka akan membuka lagi pada pukul tujuh pagi ketika
matahari mulai bersinar. Sebenarnya, tidak melulu pukul lima sore. Daun-daun
juga akan menutup kalau langit mendung. Menutupnya daun dianggap orang Sunda
sebagai pertanda akan turun hujan sehingga pohon bernama ilmiah Samanea saman ini disebut Ki Hujan.
“Aaah gila, magis banget!”
Kila menyenggol sikut Bara. “Gila?”
Merengut. “Subhanallah dong subhanallah. Kuasa Allah kok dibilang gila?”
Bara terkekeh. “Eh iya subhanallah!”
***
“Yeee malah senyam-senyum sendiri.” Kila
menghentikan kenangan Bara yang berlarut-larut. “Nggak mau ah. Nulis kan pakai
mikir. Malas. Mikirin kamu aja aku udah mumet. Gimana kalau ditambah mikir buat
nulis? Bisa-bisa kepala aku berasap, kayak kawah Candradimuka.”
“Yeee genit. Siapa suruh mikirin aku?
Hahaha. Lagian menulis nggak harus mikir. Cukup duduk di depan laptop aja atau
berhadapan dengan kertas, nanti tangan kamu juga gerak sendiri. Percaya deh.”
Kila menggeleng tegas. Bara mengibarkan
tisu bekas di mejanya, tanda menyerah. Beradu argumen dengan orang keras kepala
seperti Kila, kamu harus siap kecapekan sendiri mencari kalimat penyanggah.
Kalau tidak mau capek, ya menyerah saja seperti Bara. Nanti juga Kila luluh
sendiri. Bara tahu, akhir-akhir ini Kila juga sedang asyik menulis. Meskipun
bukan menulis cerita perjalanan seperti Bara. Lelaki yang nyaman berkemeja
dengan bagian lengan digulung hingga ke sikut itu menerka Kila sedang asyik
menulis kegiatannya di Langgar Payung Pelangi.
Hujan memang sudah reda, tapi belum
benar-benar berhenti. Langit masih memiliki sisa rintik yang terus saja disebar
ke bumi. Dua payung milik Kila dan Bara terduduk kedinginan di luar warung.
Mereka biarkan terbuka. Hujan di Bogor hari ini diramalkan tidak membuat badai.
Mereka tidak perlu khawatir kalau payungnya terbang terbawa angin sehingga Bara
tidak perlu repot menggulung payung. Apalagi ini masih pagi, hujan masih
malu-malu. Dan mumpung masih pagi, Bara ingin berlama-lama di warung itu.
Berlama-lama untuk menanyakan sesuatu yang ia timbun selama ini. Sebuah
pertanyaan yang melatarbelakangi Bara bersusah payah mencari keberadaan Kila di
Kota Hujan tersebut.
Segelas teh manis hangat baru tersaji di
depannya. Asapnya yang mengulum ke wajah memberikan kehangatan tersendiri
untuknya. “Kamu masih ingat ini?” Bara mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya.
Lagi-lagi hidung Kila kembang kempis.
“Kamu masih menyimpannya?”
“Gara-gara tulisan ini, aku hampir mati
waktu turun dari Mahameru. Aku memang nggak begitu ngerti. Tapi kalimat-kalimat
ini melengkapi kegundahan aku saat itu, bahwa apa yang kulakukan selama ini
sia-sia. Aku bertebaran ke penjuru Indonesia, tapi …” Bara tidak sanggup
melanjutkan kalimatnya.
“Maaf.”
“Kenapa, Kila?”
Kila tertunduk.
“Kenapa kamu kasih aku kertas ini
sedangkan menyebut namamu saja aku masih salah?”
“Nggak harus kenal dekat untuk
menyampaikan kebaikan, toh?”
“Iya, kamu benar.”
“Lagipula, aku sebal aja sama kamu. Aku
tuh iri sama orang yang bisa bepergian kemana-mana, melihat budaya luar,
mencicipi peradaban, seperti kamu. Aku iri sama kamu. Aku pengen banget melakukan
perjalanan. Kamu pasti tahu kan, banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari
perjalanan.”
“Jangan Kila. Kalau kamu juga berjalan,
berpindah, bepergian, aku akan kehilangan tempat pulang. Lalu kemana lagi aku
harus kembali?”
Entah apakah ada kepiting rebus dalam pipi
Kila, Bara yakin tidak. Namun tiba-tiba pipi istrinya itu memerah. “Tuh kan,
kamu tuh yang cocok jadi penulis. Tukang gombal,” ejek Kila.
Bara melemparkan tisu bekasnya ke wajah
Kila. “Yeee, aku serius kok dibilang lagi ngegombal.”
“Dekat-dekat ini aku sedang pengen banget
ke suatu tempat. Aku sudah memastikan jadwal penelitianku kosong. Anak-anak di
Langgar Payung Pelangi juga sedang fokus ujian.” Kila bersiap membayar sarapan
mereka.
Bara mendengus. Dia tahu Kila akan
mengatakan hal ini, tapi tidak menyangka akan secepat ini.
“Kerjamu bagaimana? Bisa cuti seminggu,
kan?”
Bara membuntuti Kila keluar warung dengan
diam. Tentu saja bisa. Sebulan juga boleh. Prestasi kerjanya selama ini
memungkinkan Bara mengambil cuti kapanpun dan selama apapun ia mau. Malah
pemimpin redaksi majalahnya meminta Bara pergi secepatnya, karena kemanapun
Bara pergi, di situlah tulisan-tulisan perjalanan yang menarik akan dilahirkan.
Bara menjelajah adalah sesuatu yang ditunggu orang banyak.
“Bulukumba. Tempat pengarung samudera
lahir. Kapal pinisi yang baru kulihat pada lembar uang seribu. Apakah di sana
sering hujan seperti di sini?” Kila menoleh dan melihat lelaki itu tidak
semangat menggulung payung. Matahari mulai berani menebar benih cahaya. Sudah
dipastikan hujan berhenti hari itu. “Aku tahu ini ide yang tidak menyenangkan
buatmu.”
Bara memilih jalan duluan dari pada
bersisian dengan Kila. Saat itu, berada di dekatnya hanya akan menambah rasa
bersalahnya kepada Kila. Bara tahu Kila ingin sekali pergi ke tempat
kelahirannya di Bira. Tempat dimana matahari sangat hangat. Ombak-ombak
mengulum rendah. Semilir angin pantai pandai bercengkrama dengan helai nira,
mengabarkan berita para nelayan menjaring ribuan ikan. Biru di seluruh
lingkaran mata. Kila ingin sekali membuat istana pasir di Tanjung Bira. Dan
hingga hari itu, Bara meyakinkan bahwa itu adalah satu-satunya keinginan Kila
yang tidak bisa Bara wujudkan.
“Kalau diulur terus, kapan masalah ini
akan selesai?”
Sebenarnya, ini bukan tentang Kila yang sangat
ingin membuat istana pasir atau foto-foto di dalam dek pinisi yang baru
didempul. Ini tentang sebuah perjalanan yang berat. Perjalanan maaf. Kila
mengejar langkah Bara yang terburu.
“Untuk orang sepertiku, meminta maaf
adalah sesuatu yang sulit, Kila. Apalagi meminta maaf untuk sesuatu yang bukan
kesalahanku.”
“Bagaimana kamu tahu rasanya kalau belum
mencoba? Itu hanya ketakutanmu saja.” Kila mengambil lengan kiri Bara.
Mengapitnya. Menggenggamnya erat-erat. “Seperti yang kamu bilang. Kekuatan sugesti.
Jangan sampai ia mengalahkanmu.”
Bara melirik Kila. Merasa bangga memiliki
pendamping yang sangat hafal kalimat yang ia tulis. Wanita yang selalu
mengingatkannya bahwa menulis untuk diri sendiri lebih penting dari pada
mengoceh hingga berbusa kepada orang lain.
“Kurasa …,” Bara melepas genggaman Kila.
Kini giliran ia yang menguasai tangan Kila. “… ada penerbangan murah Juni
nanti.”
Jadi begini ya cara menulis deskripsi perasaan. Baiklah, mari kita terapkan
ReplyDeleteyang mana? hidung kembang kempis? hahaha. boleh juga tuh latihan deskripsi ekspresi dengan sering perhatiin ekspresi orang. misalnya pas lagi dimarahin bos, daripada gondok mending mimik mukanya ditulis di kertas eh
DeleteSemuanya,
ReplyDeleteUntung nya gak pernah lagi dimarahi boss, kan gue bossnya, sampe desember nanti
pamer nih -____-
ReplyDeleteberarti kalo lagi marah-marah kak imam minta anak buah tulis ekspresi kak imam *maksa*
Dan untung nya, gue nya gak suka marah2. Klo kerja mereka jelek, tegur atau pecat. Gampang.
ReplyDelete