11/6/13

Ketika Hujan Reda



“Hahahaha.”

Bara hampir saja tersedak teh manis hangat ketika perempuan di depannya menggoyangkan ujung kerudung hijau toskanya, kerudung yang sama dipakai ketika pertama kali mereka bertemu di Ranu Kumbolo. Bara menggeleng lalu kembali menyesap minuman favoritnya yang tertunda.

“Selalu saja begini.” Ya. Selalu saja begitu. Perempuan di hadapannya itu gemar melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Bertingkah aneh pada ruang dan waktu yang tidak semestinya. Seperti tadi. Sedang hening-heningnya, tiba-tiba tertawa. Membuat pasangan lain di warung kecil itu menoleh. “Kenapa, sih?” Bara akhirnya menyerah. Penasaran.

Perempuan itu menutup mulutnya. Kembali tertawa. Bara melotot dan memaksanya menerka sekeliling. Mata-mata menyipit. Bibir-bibir berbisik. “Kila. Lihat. Mereka menganggapmu aneh.”

Tawa Kila semakin menjadi. “Maaf maaf.” Kila berdeham. Bara menunggu jawaban.

“Aku … suka lucu aja sama hujan yang reda. Kamu perhatiin nggak tadi? Bumi seketika sunyi. Padahal sebelumnya berisik minta ampun saking derasnya. Lucu, kan?”

Bara terbengong sebelum akhirnya giliran ia yang tertawa. “Seharusnya kamu jadi penulis.” Lelaki itu mengacungkan sedotan ke ujung hidung mancung Kila.

“Ha? Kenapa ujungnya jadi ke penulis? Aku kan cuman menertawakan hujan.” Kila menepis sedotan itu. “Kamu kan penulisnya.”

“Kamu tuh,” Bara terdiam sebentar. Mencari kata yang pas untuk menggambarkan perempuan yang kini halal menjadi bagian hidupnya hampir sewindu ini. “Kamu tuh peka. Suka membaca. Bukan membaca buku ya. Itu sih abang-abang asongan juga bisa. Maksud aku, kamu suka membaca situasi, memperhatikan setiap gerak di sekitarmu, mengingat segala hal, mencari tahu yang membuatmu penasaran.”

Lubang hidung Kila kembang kempis. Matanya kedap-kedip mencari perlindungan. Otot rahangnya menegang, menahan senyum yang tidak mau Kila layangkan. Bara tahu, kalau mukanya bertambah aneh seperti itu, Kila sedang gugup. Gugup yang malu diungkapkan. Malu yang menyenangkan.

Bara persis tahu label ekspresi aneh Kila. Lelaki yang memilih memanjangkan sedikit janggutnya itu juga gemar membaca. Seperti yang Bara bilang sendiri, penulis harus rajin membaca. Khususnya membaca ekspresi. Seorang pejalan (ia paling malas kalau disebut penjelajah) seperti Bara telah mengenal berbagai ekspresi dari setiap orang yang ia temukan dalam setiap perjalanan. Bagaimana orang marah, menangis, tertawa, pura-pura tertawa, pura-pura marah, Bara paham betul, dan akan mudah memindahkan segala ekspresi ke dalam deretan kata-kata.

“Jam berapa daun trembessi menangkup saja kamu tahu. Sudahlah, kamu jadi penulis aja ya? Aku punya teman penerbitan kok.”

Hawa sejuk yang diterbangkan angin menelusup ke sela tenda warung yang terbuka. Melayangkan kenangan Bara dengan Kila sehari setelah hari penyatuan dua hati dan dua keluarga itu berlangsung. Ah. Hujan memang memiliki kemampuan untuk menghipnotis manusia meresonansikan ingatan masa lalu

***

Ketika itu Bara bertanya, “Mau kemana setelah ini?” Kila menjawab, “Aku mau tunjukkin kamu sesuatu yang magis!” Pasangan yang baru menikah mungkin akan pergi ke Bali atau tempat-tempat yang romantis, tapi Kila malah mengajak Bara ke kampus lamanya di bilangan Dramaga.

“Waktu aku kuliah dulu, aku suka banget lewat sini. Namanya Node Soekarno. Bukan karena namanya, tapi karena itu.” Kila menunjuk ke sebuah pohon tepat di depan Node Soekarno Fakultas Pertanian.

“Pohon apa itu?”

“Berbulan-bulan aku cari informasi, akhirnya aku tahu nama pohon itu. Trembessi. Orang Sunda menyebutnya Ki Hujan.”

Bara mendongakkan kepala. “Pohonnya gede banget.” Sebersit cahaya matahari menyelinap di antara jari-jari anak daun. Terang. Tapi tidak menyilaukan.

“Iya. Kayak pohon-pohon di Hutan Terlarang-nya Harry Potter. Raksasa. Dulu aku berkhayal kalau ada kurcaci yang tinggal di pohon itu. Hahaha. Nggak guna banget khayalanku. Tapi aku suka. Walaupun daunnya kecil, namun karena daunnya banyak dan dekat-dekat, bikin kita enak berteduh di bawah pohon trembessi. Adeeem.”

“Iya. Adeeem.” Bara mengangkat tangan, membiarkan sejuk merayapi tubuhnya. Tidak malu ikut bertingkah aneh seperti Kila. Minggu di ujung sore memang kampus tidak begitu ramai. Setidaknya tidak ada manusia lain yang tahu aku mulai ketularan anehnya Kila, bisik Bara dalam hati sambil sesekali tengok kanan-kiri, siapa tahu ada yang sedang menertawakan mereka.

“Jadi …” Kila memandang lekat lelaki tegap di sampingnya. “Walaupun daunku kecil, nggak melingkupi seluruh ruang yang panas, kalau kamu bisa melengkapi daunku, kita bisa saling meneduhkan. Nggak cuman meneduhkan kita, melindungi akar-akar kita dari panas yang berlebihan, tapi juga sekitar kita, rumput-rumput di sekeliling kita, orangtua kita, saudara-saudara kita.” Kila benar-benar memenjarakan pandangan Bara. “Aku harap kita bisa menjadi pohon yang meneduhkan.”

Bara tercekat. Perempuan ini selalu punya cara jitu membuatnya terbujur kaku. Tangan Bara membelai tudung kerudung Kila. Merasakan tiap jalur rajutan benang penutup kepala itu. Sebuah kain yang dulu sering diremehkan Bara. “Insya Allah, Kila.” Aku nggak salah pilih kamu. “Sekarang kita pulang?”

“Ntar dulu.” Kila mengecek jam di ponselnya. “Tunggu lima menit lagi.”

“Mau ngapain?”

“Kamera kamu keluarin.”

“Mau ngapain?”

“Video pencet yang ini kan? Ini buat zoom?”

“Iyaaaa. Mau ngapain sih?” Dengan tingkah aneh Kila, Bara harus terbiasa akan hal ini.

“Kamu lihat ke atas. Buruan lihat!” Kila berteriak kegirangan. “Magis banget, kan?”

Tangan Kila sibuk mengambil gambar sedangkan Bara mengikuti petunjuknya. Entah ada sihir apa, setiap pasang anak daun trembessi perlahan-lahan saling menangkup hingga akhirnya menutup sempurna. Kila hapal sekali keunikan pohon ini. Pada pukul lima sore daun-daun pohon trembessi akan menutup. Mereka akan membuka lagi pada pukul tujuh pagi ketika matahari mulai bersinar. Sebenarnya, tidak melulu pukul lima sore. Daun-daun juga akan menutup kalau langit mendung. Menutupnya daun dianggap orang Sunda sebagai pertanda akan turun hujan sehingga pohon bernama ilmiah Samanea saman ini disebut Ki Hujan.

“Aaah gila, magis banget!”

Kila menyenggol sikut Bara. “Gila?” Merengut. “Subhanallah dong subhanallah. Kuasa Allah kok dibilang gila?”

Bara terkekeh. “Eh iya subhanallah!”

***

“Yeee malah senyam-senyum sendiri.” Kila menghentikan kenangan Bara yang berlarut-larut. “Nggak mau ah. Nulis kan pakai mikir. Malas. Mikirin kamu aja aku udah mumet. Gimana kalau ditambah mikir buat nulis? Bisa-bisa kepala aku berasap, kayak kawah Candradimuka.”

“Yeee genit. Siapa suruh mikirin aku? Hahaha. Lagian menulis nggak harus mikir. Cukup duduk di depan laptop aja atau berhadapan dengan kertas, nanti tangan kamu juga gerak sendiri. Percaya deh.”

Kila menggeleng tegas. Bara mengibarkan tisu bekas di mejanya, tanda menyerah. Beradu argumen dengan orang keras kepala seperti Kila, kamu harus siap kecapekan sendiri mencari kalimat penyanggah. Kalau tidak mau capek, ya menyerah saja seperti Bara. Nanti juga Kila luluh sendiri. Bara tahu, akhir-akhir ini Kila juga sedang asyik menulis. Meskipun bukan menulis cerita perjalanan seperti Bara. Lelaki yang nyaman berkemeja dengan bagian lengan digulung hingga ke sikut itu menerka Kila sedang asyik menulis kegiatannya di Langgar Payung Pelangi.

Hujan memang sudah reda, tapi belum benar-benar berhenti. Langit masih memiliki sisa rintik yang terus saja disebar ke bumi. Dua payung milik Kila dan Bara terduduk kedinginan di luar warung. Mereka biarkan terbuka. Hujan di Bogor hari ini diramalkan tidak membuat badai. Mereka tidak perlu khawatir kalau payungnya terbang terbawa angin sehingga Bara tidak perlu repot menggulung payung. Apalagi ini masih pagi, hujan masih malu-malu. Dan mumpung masih pagi, Bara ingin berlama-lama di warung itu. Berlama-lama untuk menanyakan sesuatu yang ia timbun selama ini. Sebuah pertanyaan yang melatarbelakangi Bara bersusah payah mencari keberadaan Kila di Kota Hujan tersebut.

Segelas teh manis hangat baru tersaji di depannya. Asapnya yang mengulum ke wajah memberikan kehangatan tersendiri untuknya. “Kamu masih ingat ini?” Bara mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya.

Lagi-lagi hidung Kila kembang kempis. “Kamu masih menyimpannya?”

“Gara-gara tulisan ini, aku hampir mati waktu turun dari Mahameru. Aku memang nggak begitu ngerti. Tapi kalimat-kalimat ini melengkapi kegundahan aku saat itu, bahwa apa yang kulakukan selama ini sia-sia. Aku bertebaran ke penjuru Indonesia, tapi …” Bara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

“Maaf.”

“Kenapa, Kila?”

Kila tertunduk.

“Kenapa kamu kasih aku kertas ini sedangkan menyebut namamu saja aku masih salah?”

“Nggak harus kenal dekat untuk menyampaikan kebaikan, toh?”

“Iya, kamu benar.”

“Lagipula, aku sebal aja sama kamu. Aku tuh iri sama orang yang bisa bepergian kemana-mana, melihat budaya luar, mencicipi peradaban, seperti kamu. Aku iri sama kamu. Aku pengen banget melakukan perjalanan. Kamu pasti tahu kan, banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari perjalanan.”

“Jangan Kila. Kalau kamu juga berjalan, berpindah, bepergian, aku akan kehilangan tempat pulang. Lalu kemana lagi aku harus kembali?”

Entah apakah ada kepiting rebus dalam pipi Kila, Bara yakin tidak. Namun tiba-tiba pipi istrinya itu memerah. “Tuh kan, kamu tuh yang cocok jadi penulis. Tukang gombal,” ejek Kila.

Bara melemparkan tisu bekasnya ke wajah Kila. “Yeee, aku serius kok dibilang lagi ngegombal.”

“Dekat-dekat ini aku sedang pengen banget ke suatu tempat. Aku sudah memastikan jadwal penelitianku kosong. Anak-anak di Langgar Payung Pelangi juga sedang fokus ujian.” Kila bersiap membayar sarapan mereka.

Bara mendengus. Dia tahu Kila akan mengatakan hal ini, tapi tidak menyangka akan secepat ini.

“Kerjamu bagaimana? Bisa cuti seminggu, kan?”

Bara membuntuti Kila keluar warung dengan diam. Tentu saja bisa. Sebulan juga boleh. Prestasi kerjanya selama ini memungkinkan Bara mengambil cuti kapanpun dan selama apapun ia mau. Malah pemimpin redaksi majalahnya meminta Bara pergi secepatnya, karena kemanapun Bara pergi, di situlah tulisan-tulisan perjalanan yang menarik akan dilahirkan. Bara menjelajah adalah sesuatu yang ditunggu orang banyak.

“Bulukumba. Tempat pengarung samudera lahir. Kapal pinisi yang baru kulihat pada lembar uang seribu. Apakah di sana sering hujan seperti di sini?” Kila menoleh dan melihat lelaki itu tidak semangat menggulung payung. Matahari mulai berani menebar benih cahaya. Sudah dipastikan hujan berhenti hari itu. “Aku tahu ini ide yang tidak menyenangkan buatmu.”

Bara memilih jalan duluan dari pada bersisian dengan Kila. Saat itu, berada di dekatnya hanya akan menambah rasa bersalahnya kepada Kila. Bara tahu Kila ingin sekali pergi ke tempat kelahirannya di Bira. Tempat dimana matahari sangat hangat. Ombak-ombak mengulum rendah. Semilir angin pantai pandai bercengkrama dengan helai nira, mengabarkan berita para nelayan menjaring ribuan ikan. Biru di seluruh lingkaran mata. Kila ingin sekali membuat istana pasir di Tanjung Bira. Dan hingga hari itu, Bara meyakinkan bahwa itu adalah satu-satunya keinginan Kila yang tidak bisa Bara wujudkan.

“Kalau diulur terus, kapan masalah ini akan selesai?”

Sebenarnya, ini bukan tentang Kila yang sangat ingin membuat istana pasir atau foto-foto di dalam dek pinisi yang baru didempul. Ini tentang sebuah perjalanan yang berat. Perjalanan maaf. Kila mengejar langkah Bara yang terburu.

“Untuk orang sepertiku, meminta maaf adalah sesuatu yang sulit, Kila. Apalagi meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanku.”


“Bagaimana kamu tahu rasanya kalau belum mencoba? Itu hanya ketakutanmu saja.” Kila mengambil lengan kiri Bara. Mengapitnya. Menggenggamnya erat-erat. “Seperti yang kamu bilang. Kekuatan sugesti. Jangan sampai ia mengalahkanmu.”

Bara melirik Kila. Merasa bangga memiliki pendamping yang sangat hafal kalimat yang ia tulis. Wanita yang selalu mengingatkannya bahwa menulis untuk diri sendiri lebih penting dari pada mengoceh hingga berbusa kepada orang lain.

“Kurasa …,” Bara melepas genggaman Kila. Kini giliran ia yang menguasai tangan Kila. “… ada penerbangan murah Juni nanti.”


5 comments:

  1. Jadi begini ya cara menulis deskripsi perasaan. Baiklah, mari kita terapkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. yang mana? hidung kembang kempis? hahaha. boleh juga tuh latihan deskripsi ekspresi dengan sering perhatiin ekspresi orang. misalnya pas lagi dimarahin bos, daripada gondok mending mimik mukanya ditulis di kertas eh

      Delete
  2. Semuanya,
    Untung nya gak pernah lagi dimarahi boss, kan gue bossnya, sampe desember nanti

    ReplyDelete
  3. pamer nih -____-
    berarti kalo lagi marah-marah kak imam minta anak buah tulis ekspresi kak imam *maksa*

    ReplyDelete
  4. Dan untung nya, gue nya gak suka marah2. Klo kerja mereka jelek, tegur atau pecat. Gampang.

    ReplyDelete