9/1/12

Blur is the Ultimate Prize

Saya pernah beranggapan, “Menyukai fotografi, kantongmu harus siap dirogoh sangat dalam.”
Entah sejak kapan saya mulai suka kegiatan potret-memotret ini. Yang saya ingat, saya berkenalan dengan kata ‘fotografi’ itu ketika saya kelas 2 SMA. Saya baru tahu kalau kegiatan memotret itu punya istilah ‘fotografi’. Pertama kali mengucapkannya, getaran elegan tersentil di telinga.

Dan benar. Fotografi itu kegiatan yang mahal. Makanya terasa elegan. Punya prestis tersendiri kalau sudah memasuki dunia ini.

Tentu saja alatnya mahal. Saya kira dengan uang seratus ribu rupiah sudah bisa mendapatkan kamera. Hahaha. Menemukan kamera seharga satu juta saja sudah Alhamdulillah sekali saya. Kamera-kamera gede harganya Subhanallah. Tidak pernah saya memegang uang sebanyak harga kamera, kecuali pas bayaran kuliah. Peralatan mendukung lainnya, seperti kaki tiga, lensa, tas kamera, dan sekawanannya juga tidak mampu saya beli sendiri. Minta uang dari orang tua juga malu.

Walau banyak teman yang mengatakan, “Sekarang mah banyak toko online yang jual kamera murah.”

Yayaya. Manusia bukan kamus. Pengertian murah tiap manusia itu relatif.

Saya anak yang beruntung, karena Ayah mau membelikan saya kamera saku. Harganya? Mahal. Itu karena sampai sekarang saya belum pernah menghasilkan uang seharga kamera saku dengan jerih payah saya sendiri.

Memiliki senjata kamera saku, kadang suka membuat iri. Teman-teman bayak yang menggunakan kamera gede. Namanya DSLR ataupun SLR. Baik itu di klub fotografi kampus yang saya ikuti pada tahun pertama kuliah, maupun di klub fotografi jurusan. Saya pernah sedih karena tidak bisa menghasilkan jepretan yang bagus. Meskipun ada photoshop, tetap saja rasanya berbeda.

Foto saya suka buram. Kurang fokus. “Murahan banget foto gue.”

Tapi, seseorang yang pernah hadir dalam hidup saya, yang secara tidak langsung mengenalkan fotografi, menepis semua kerendahdirian saya. Melalui foto-fotonya, ia mengatakan, “Blur is the ultimate prize.”

Uhm. Mari kita sebut dia ‘Mr. Colorless’.

Kenapa harus menghapus foto buram, kalau foto yang jelas tidak benar-benar menjelaskan? Selalu ada cerita di balik setiap foto yang ditangkap. Itulah nilai paling mahal dari fotografi. Fotografer tidak selamanya bisa menciptakan momen, sehingga sebuah gambar foto memiliki nilai. Kadang fotografer juga perlu memutar otak untuk memberi nilai pada cetakan momen yang tidak pernah ia duga.

Saya pernah mengalaminya. Monitor kamera kadang adalah tokoh pemberi harapan palsu paling jagoan di dunia. Hahaha. Saya selalu mengira, apa yang terlihat di monitor kamera, maka itulah yang akan tercetak setelah saya memencet tombol rana. Objek saya sudah saya atur dengan baik. Setiap sisinya saya perhitungkan dengan matang. Bahkan, saya harus rela jongkok maupun berjinjit demi mendapatkan sudut gambar yang menarik. Lalu, segalanya tampak tidak menarik ketika melihat foto saya goyang. Juga buram. Sangat tidak fokus. Itulah kelemahan bersenjata kamera saku tanpa mempunyai tripod.

Awalnya saya menganggap itu foto murahan. Tapi setelah melihat ratusan karya Mr. Colorless, saya menyadari, bahwa tidak semua yang jelas itu benar-benar menjelaskan.

Maka inilah beberapa foto buram saya, yang untungnya tidak saya hapus.



Fajar buram di Pananjakan.
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/2 sec., ISO-400, FL 6 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4

Sangat sulit mengangkap fajar yang sangat jelas di Pananjakan, Gunung Bromo, Probolinggo. Apalagi saya harus berdesak-desakan diantara para pencari fajar lainnya di 2770 mdpl, bermodalkan kamera saku, tanpa kaki tiga, dan saya adalah orang dengan tingkat kesabaran rendah. Maka saya mendapatkan dunia subuh buram pada hasil cetakan saya.


Menyesal? Awalnya sih begitu. Tapi kalau dipikir-pikir, menarik juga foto ini.


Punya foto fajar dengan matahari bulat sangat jelas memang incaran para turis.Mereka susah payah menapaki tangga sambil memeluk tubuhnya sendiri. Udara dingin di komplek Taman Nasional Gunung Bromo-Semeru Tengger menusuk tanpa perasaan. Bahkan, tidak sedikit yang menduduki pagar pembatas agar menempati tempat tertinggi, dan langsung berhadapan dengan maha karya Tuhan yang luar biasa indah. Mana ada yang mau dapat foto matahari terbit buram begitu?

Tapi hebatnya saya mendapatkannya. Tebak, foto apa yang di atas itu? Hihihi. Kalau ada yang bertanya darimana asalnya permainan tebak-tebakan. Mungkin dari ketidakjelasan jawabannya.

Saya berusaha memotret seorang anak kecil berkerudung. Ia digendong oleh bapaknya, supaya bisa melihat matahari terbit tanpa halangan kaki, punggung, dan kepala turis lainnya. Anak itu sedang memandang hasil jepretannya di layar kamera. Latar belakangnya berupa langit biru bergradasi orange, dengan di beberapa tampakannya terhalangi pohon-pohon yang tidak saya tahu namanya.

Langit saat itu sangat indah. Perlahan-lahan selongsong orange merekah. Seperti kembang kuncup yang baru mekar. Menguasai sisa langit malam yang enggan kunjung menghindar. Gelapnya malam kini dimakan subuh. Subuh menyantap fajar. Sebulat benda merah kecil menampakkan diri di balik pegunungan. Naik. Puluhan lampu blitz menyapa. Pelan-pelan. Makin tinggi. Ratusan "klik" atau "jepret" terdengar. Wajah-wajah terlihat. Sumringah. Seolah baru bertemu artis kesayangan. Suara-suara kagum didendangkan. Pagi. Waktu subuh semakin di penghujung jalan.

Ketika pagi benar-benar menguasai, para pencari fajar pulang. Kursi-kursi panjang kosong. Pagar pembatas bebas dari cengkraman tangan-tangan pengunjung agar tidak jatuh ke jurang. Pananjakan hening. Fajar yang dicari tidak lagi merajai. Ia menghilang tanpa bekas. Hanya membawa pagi yang cerahnya tak menarik sebagian besar turis. Kepergiannya diikuti langkah-langkah pulang para manusia.

Kalau saja fajar itu buram, apakah ia tetap menjadi artis papan atas? Karena fajar tak mungkin buram, maka saya bersyukur memiliki fajar yang tidak jelas di kamera saya. Dan ia tetap menjadi artis papan atas bagi saya.


Para pencari fajar. Bergoyang. Beriringan. Pulang. Penuh ketidakjelasan.
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 1/40 sec., ISO-64, FL 6 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4

Foto diambil ketika saya menjadi bagian dari keterdesakan.


Sebuah lorong buram di Museum Bank Mandiri, Jakarta.
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.1, 2 sec., ISO-64, FL 6 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
 
Foto diambil di atas meja museum, dan tidak sengaja kamera saya senggol.


Jalan yang Tidak Jelas
NOKIA XPRESSMUSIC, 2.0 megapixels, with Curve and Font from Photoshop CS4
 
Sedikit putih memberi kejelasan di teras Kantor Berita Antara, Jakarta.
Foto diambil sambil berjalan. Mungkin, saya lah pencari ketidakjelasan ini.


Pacarnya Lubang Kejelasan adalah Kunci Ketidakjelasan
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.5, 1/2 sec., ISO-400, FL 8 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4
  
Kunci-kunci ini mungkin merasa tidak jelas. Mengapa mereka tidak dilenyapkan. Sedangkan tidak ada lagi lubang kunci untuk mereka diperjodohkan. Kalaupun ada, itu tidak akan membuka penjelasan, karena brangkas-brangkas penyimpanan uang hanya jadi tontonan pengunjung Museum Bank Mandiri, Jakarta.


Cahaya Ketidakjelasan
KODAK EASYSHARE M1093, f/3.5, 2 sec., ISO-64, FL 8 mm, with Font from Photoshop CS4
  
Seterang apapun lampu itu bercahaya, tetap tidak bisa menyinari setiap sudut gudang penyimpanan di Museum Bank Mandiri, Jakarta. Cahaya ketidakjelasannya menerangi yang jelas saja jangkauannya. Kita juga begitu, kan? Hanya menjangkau yang mampu terjangkau. Kata Mama, "Tidak apa-apa." Hanya Tuhan yang Maha Menjangkau.


Tatap Ketidakjelasan Menuntut Kejelasan
KODAK EASYSHARE M1093, f/5.1, 1/60 sec., ISO-250, FL 15 mm, with Curve and Font from Photoshop CS4

Beliau adalah salah satu korban dari letusan Gunung Merapi. Banyak warga yang berdiri di pinggir jalan, menengadah tangan mereka, mengangkat-angkat kardus kosong ke jendela mobil-mobil yang merayap di Jalan Kebulusan, Kebumen, Jawa Tengah. Mereka menuntut yang telah hilang, meskipun yang baru tidak mungkin menggantikan yang lama.

Menurut saya, foto buram itu memaksa saya mencari penjelasan atas ketidakjelasan. Jangan menyesal kalau foto kamu buram, karena buram adalah seninya.

No comments:

Post a Comment