5/28/13

See You

Nowhere to Go
Saya ingin sekali pergi ke suatu tempat, dimana tidak ada orang di sana. Saya hanya sendirian saja. Jangan ada siapa-siapa.

Ya, tidak mungkin lah.

Kenapa? Tentu saja mungkin.

Tentu saja tidak mungkin. Memang dunia ini hanya ada kamu seorang?

Memang tidak. Tapi masa di dunia seluas ini tidak ada tempat kosong? Harusnya ada satu tempat yang saya hanya manusia seorang, sejauh apapun itu.

Kenapa harus sendirian?

Kamu tahu, kan saya bukan orang yang bisa lepas dengan orang lain?  Saya tidak mudah mengutarakan apa saja, bahkan kepada orang terdekat sekalipun. Biar semua saya yang rasakan. Tidak dengan orang lain. Biar saya lepaskan semua kepada Tuhan.

Ya ya, saya tahu. Kamu memang begitu. Ramai bersama orang padahal jiwa minta sendiri. Maaf saya bertanya.

Saya mau sendirian saja mendaki hingga puncak gunung, tidak harus yang tertinggi. Atau sendirian merasa desau angin pantai, mendengar desis deru ombak. Sendirian saja. Dan, yeah, dengan Tuhan, yang selalu mengamati saya dari Arsy-nya yang tinggi di atas sana. Saya ingin berdua saja dengan Tuhan.

Kamu mau ngapain memang?

Saya mau sendirian saja ke tempat yang jauh, berbicara dengan Tuhan. Mengadu semuanya dari A sampai Z. Saya mau bilang kalau perahu saya ingin segera melabuh. Saya kira saya sudah menemukan dramaganya. Saya perlu angin dari Tuhan agar meniupkan layar saya kesana.


Tapi saya tidak tahu apakah pelabuhan ingin saya menjangkar kepadanya. Harapan kami jelas sama, tapi apakah masing-masing jelas kepada masing-masing yang lain? Saya tidak tahu. Kalau saya sih iya. Kalau dia, saya tidak tahu.

Makanya kamu memilih menghindar?

Mungkin menghindar. Saya tidak tahu pasti. Saya merasa waktunya belum sekarang. Tidak tahu kapan. Saya tahu kamu tahu, jika belum terikat syariat, tidak boleh kami tidak menjauh satu sama lain. Kekuatan Tuhan itu besar. Saya takut kenapa-kenapa kalau melanggar.

Tapi kamu manusia, bukan makhluk suci. Kenapa bila melanggar?

Toh kalau bisa dihindari, kenapa pelanggaran harus kita jalani? Ya, sebagai manusia ini tidak mudah. Saya pelan-pelan sedang menghindar.

Hm … Tapi kalau ternyata ia memang bukan pelabuhanmu, bagaimana?


Bagaimana?

Tidak tahu. Saya belum pernah merasakan yang sebesar ini. Saya terlalu yakin. Bukankah keyakinan itu baik?

Yakin atau napsu?


Sebelum kamu melabuh, selamilah kedalaman hatimu dulu. Apakah ia pelabuhan yang tepat?

Mana saya tahu. Saya rasa ia tepat. Tapi saya tidak tahu apakah memang dia? Makanya saya mau pergi ke sepi yang jauh. Ke tempat dimana tidak ada desakan orang-orang. Atau tidak ada perasaan bersalah saya kepada orang lain. Saya mau sendirian bertanya kepada Tuhan, “Apakah ia pelabuhan yang tepat? Dimanakah sebenarnya ia berada? Ia yang katanya sudah digariskan bahkan ketika saya belum bisa mengunyah.”

Lalu kalau Tuhan menjawab pertanyaan itu, apa kamu siap?

Jujur saja, saya belum siap menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi. Namun kenyataan yang selama ini mengambang, membuat saya capek. Mau tidak mau saya harus siap, meski saya belum siap. Selama berjalannya waktu, mudah-mudahan saya jadi siap.

Apa menghindar itu membuat capek?

Lebih tepatnya membuat saya tidak tahan. Kamu tahu, kan maksud saya? Ini sulit. Sekali.

Kalau begini saja kamu sudah menyerah, bagaimana nanti?

Kamu tidak tahu sih bagaimana menjadi saya?

Tentu saja saya tahu. Saya kan kamu. Kamunya saja yang selalu menolak.


Saya kira ini cara Tuhan mengujimu. Menguji kita, maksudku. Apakah kamu, eh kita, eh saya, eh siapa pun, saya pakai kamu saja ya?

Terserah.

Saya kira ini cara Tuhan menggiringmu dalam sebuah perjalanan. Bahkan semua ini mungkin perjalanan itu. Bagaimana kamu benar-benar teguh pada tujuanmu, yang menurutku, suci itu. Saya tahu kamu benar ingin melabuhkan diri. Tapi apakah kamu teguh kepadanya? Hei, selain perahu, bukannya kamu juga pendaki? Harusnya kamu paham bagaimana proses mencapai puncak, dong. Tanjakan terjal, batu licin, tertusuk duri, kehujanan, banjir keringat. Seharusnya ini mudah.

Hei, mendaki gunung itu tidak sesulit ini. Ketika mendaki gunung, saya dalam keadaan terdesak harus selalu melawan kesusahan karena saya juga harus pulang dengan selamat. Nah, kalau ini? Kenikmatan-kenikmatan yang ada malah melalaikan saya.

Makanya, Tuhan menguji keteguhanmu. Ternyata memang benar, kenikmatan itu ujian yang paling berat. Berjuang melawan kenikmatan dunia demi kenikmatan akhirat itu keren!

Dan sulit. Jangan lupa itu.

Mungkin juga ini cara Tuhan untuk membuatmu lebih siap. Kamu tahu, bukan berarti setelah melabuh, kamu bisa menjangkar dimana pun. Banyak batu-batu besar yang akan menyulitkan jangkarmu menancap. Setelah menjangkar pun, kamu akan dihadapi dengan kenyataan bahwa tidak kamu saja yang berlabuh, tapi juga kapal-kapal lain, ya walaupun kamu punya lisensi khusus. Toh dunia ini tidak hanya ada satu perahu dan pelabuhan saja. Akan banyak kapal yang berlabuh di pelabuhan. Datang. Pergi. Bahkan mungkin segera pergi, tapi mampu membuatmu sesak lagi. Akan banyak pelabuhan yang menawarkan peristirahatan untukmu, padahal kamu sudah punya pelabuhan khusus.

Tapi kan nanti kami akan terikat perjanjian. Itu tidak akan sesulit sekarang.

Lho. Mana kamu tahu? Memangnya kamu Tuhan yang bisa tahu akan bagaimana nanti? Bukan, toh? Jalan kamu masih panjang. Dan jalan yang sedang kamu tapaki ini, segala prosesnya, harus menjadi bekal untuk perjalanan selanjutnya.

Hei, sadarkah kamu pembicaraan ini terlalu jauh? Saya hanya ingin ke suatu tempat dimana saya bisa berbincang sepuasnya sendirian. Itu saja. Ada tidak? Dimana? Kenapa jadi ke pelabuhan?

Lho, bukankah kamu ingin mengadu tentang pelabuhan makanya butuh tempat menyendiri?

Iya. Dimana?

Bisa dimana saja, menurutku. Tidak harus jauh. Tidak di ketinggian gunung atau kedalaman laut. Tidak harus teriak-teriak. Tidak juga ditulis pada kertas yang dilarungkan ke riak-riak. Tuhan Melihatmu, kamu sendirian atau di keramaian pasar. Ia Mendengar ke kedalaman hatimu tanpa harus kamu ucapkan. Kamu hanya perlu menghadirkanNya dalam dirimu. Terbukalah. Mintalah ke Tuhanmu di mana saja dengan siapa saja kapan saja. Mintalah agar hatimu terbuka.


Pergulatan hatimu ini jangan membikin kamu lupa kalau Tuhan itu baik. Sembilan puluh sembilan nama baikNya jangan kamu sebut saja. Kenali, pahami, hidupkan dalam hidupmu. Sabarlah. Bersabarlah dalam menghindar agar tercipta ikatan yang terbaik. Bukankah Tuhan bersama orang-orang yang sabar? Bagaimana Tuhan menjawab nanti, itu adalah harga yang harus kamu terima. Maka jual belilah hanya kepada Tuhanmu dengan baik-baik.

Hei, terima kasih, ya. Malam ini bagus. Saya merasakan ketenangan. Percakapan kita bolehkah saya jadi pengingat bila saya lalai?

Hei, saya, kan kamu. Mari kita saling mengingatkan.


And see you at the top of nowhere to go.

4 comments:

  1. itulah, sebenarnya manusia sendiri sudah tau mana yg seharunya mana yg memang itu mengikuti keinginannya. Apa yg dijalankan maka itu lah yg ia pilih, hidup adl tentang pergulatan, pergulatan pemikiran, hati dan sebuah pilihan.. Gw juga pernah bergulat kyk gitu nis,,hag,hag.

    ReplyDelete
  2. curhat nih? hahaha. sebagai pegulat, pergulatan itu biasa, tapi gimana kita memenangkan pergulatan itulah yang luar biasa *kelesekmelinjo*

    ReplyDelete
  3. yups, di situlah batas seorang manusia diuji,. apalagi pas menjalani apa yg kita menangkan dlm pergulatan

    ReplyDelete