apa lo lihat-lihat?! |
Semakin kosong waktu kita yang ada,
semakin lengkap terlihat. Semakin lengkap kita, entah kenapa saya semakin
merasa akan ada yang hilang. Ya, saya paham bahwa segala sesuatunya butuh
pergerakan. Kamu pun butuh berpindah, tidak melulu tinggal di titik ini. Kamu
harus beranjak ke titik berikutnya, untuk menyiapkan perjalanan ke titik yang
lainnya lagi. Ketika Juli pun kian mendekat, kehilangan ini ternyata harus
mencekat.
Sore pada pertengahan bulan Rajab indah,
tapi ya seperti biasa. Gumpalan awan merah merefleksikan senja yang semakin
tua. Sementara langit di kananmu mendung membawa berita hujan. Kita sama-sama
tahu, langit itu biangnya paradoks, semua yang bertolak belakang bisa
terhidangkan di bawah tudung saji kuasa Allah.
“Aku bakal kangen banget sama Bogor, nih,
Kak,” ucapanmu terdengar sayup-sayup dari balik pintu.
“Halah, sok melankolis banget, sih,” ejek
saya sambil melanjutkan menyapu yang sempat terhenti oleh kalimatmu yang tidak
biasa.
Kamu duduk di kursi tua yang berkali-kali kita
lem di tukang reparasi rotan. Everything,
in this home, is getting older. Itu yang akhir-akhir ini saya ocehkan. Si
gesit irit kita mulai terbatuk-batuk. Dulu bunyinya bruuum bruuum gagah.
Sekarang tek tek tek kotek tek tek. Knalpot motor tua kita tidak sanggup lagi
terlentang tegak. Ia patah tulang, jaraknya tidak sampai 10 cm dari aspal
jalanan. Ayah tidak bosan mengingatkan, “Ayah ini sudah nggak bisa lagi minum
kopi dan makan yang pedas-pedas, nanti ujung-ujungnya ke kamar mandi terus. Kok
kayaknya gampang banget ya perut ini membersihkan diri?” Tuhan, apa waktu
beliau sudah dekat? Jangan dulu dong, saya belum bisa kasih apa-apa.
Sekali lagi, segalanya mulai menua di
rumah kita. Kamu juga, mulai tua. Kata Ayah, “Lihat, Kak, adikmu sudah segede
ini.”
Kamu mendongakkan kepala, menantang
langit, menebar rindu, mencuri-curi memori. Angin kadang menggoyangkan rambutmu
yang menggondrong. Ponimu 15 cm panjangnya. Saya suka memain-mainkan rambutmu.
Membelah tengah. Menyematkan kacamata bingkai persegi milik Mama. Membuatmu
terlihat culun. Sudahlah, kamu jadi culun saja ya.
“Aku mau pelihara kumis, ah. Kan, keren,
Kak. Laki!”
Jangan cepat tua dong, nanti nggak lucu
lagi.
Menjadi saya, sering saya ingin ketawa
sendiri. Ternyata menjadi kakak dari dua adik laki-laki itu seru. Apalagi mengikuti
perkembangan kedewasaan mereka.
“Kak, aku minta lagu-lagu di laptop Kakak
dong.”
“Lagu apa?”
“Apa aja. Efek Rumah Kaca. Payung Teduh.
Dialog Dini Hari enak nggak, Kak? Sore?”
“Ah, mau jadi anak kuliahan, kamu? Mulai
dengerin lagu indie nih ye. Ikut-ikut Kakak mulu.”
Dan siang tadi saya tertawa di boncenganmu
karena akhir-akhir ini kamu manja sekali. Memang biasanya manja, tapi sekarang
manja sekali. Kamu bertingkah kekanak-kanakan. Menelusup di tengah kemacetan
Jalan Sholeh Iskandar jadi tidak membosankan. Bahkan mungkin berhasil menaikkan
keimanan saya. Saya harus beristighfar berkali-kali karena hampir keserempet
mobil. Haduh.
“Kita makan dulu, yuk?”
“Aku nggak bawa duit.”
“Aku yang bayarin.”
“Asiiiiik.”
“Beli dua porsi aja.”
“Iya.”
“Piringnya dua, Bang.”
“Jangan, Kak, satu aja. Kita makan
sepiring berdua.”
“Nggak muat somay-nya.”
“Muat, kan, Bang?”
Abang tukang somay di hadapan kita
terpaksa masuk ke dalam percakapan tidak penting, antara satu piring atau dua.
“Piringnya gede, kok, Mbak.”
Kamu tersenyum menang. Maksa banget, sih nih bocah.
Ini bukan kali pertama kita menyempatkan
waktu bersama. Kamu pasti tahu, kalau sudah begini, saya akan berbicara apa
saja. Tidak bosan, kah mendengar yang itu-itu lagi? Apa kamu sengaja?
“Jadi mahasiswa itu nggak gampang,” mulai
saya. Kunyahan somay-mu melambat, saya harus masuk di jeda yang kamu buat. “Kamu
bakal menentukan jam berapa bangun tidur, dimana cari makan, menyiapkan baju,
mencari ikat pinggang sendiri. Nanti hidupmu akan jauh berbeda dengan hidup di
rumah. Nggak ada yang bisa ambilin handuk kamu karena kamu malas bawa handuk
sebelum mandi. Nggak ada yang teriak-teriak bangunin Subuh. Nggak ada yang
menyimpan piring bekas kamu makan di westafel. Nggak ada yang paksa kamu
belajar malam-malam. Semuanya harus kamu sendiri yang kerjain. Belajar mandiri.”
Kamu menyeruput kopi dingin saya. Hei,
minum punyamu sendiri -.-‘
“Kamu harus tangguh. Belajar yang rajin.
Lawan kemalasan. Ingat, kan kata Kak Azima kemarin? Anak-anak tahun pertama
banyak yang ngulang karena keasyikan main, nggak ada yang kontrol soalnya.
Kakak juga mau kontrol kamu gimana? SMS? Kakak nggak percaya, hehehe.”
Saya terus saja berbusa wangi. “Yang
penting mata kuliah yang kamu ambil saat itu harus lulus semester itu juga.
Jangan ngulang. Biayanya mahal.”
“Tapi pasti lulus, kan?”
“Ya lulus, kalo kamu belajarnya rajin. Bukan
kecerdasan yang bikin Kadek memperoleh nilai UN SMA tertinggi di Indonesia,
tapi ketekunan.”
“Iye.” – tidak ada cemberut di mukamu.
Hihihi tumben.
“Kalo sempat, naiklah ke gunung bareng
teman-teman kamu.” – hahaha, yang ini tetep ya broooo. Usaha banget nih biar
ada yang mau patungan beli tenda. Err.
Kamu menggeliat. “Yeee sih kakak, aku kan
bukan kakak.”
“Oh iya, kamu kuliah jangan bisnis mulu.
Keasyikan jualan waktu SMA ntar kebawa-bawa pas kuliah.”
“Kan lumayan buat nambah uang jajan.
Nambah relasi juga. Lagian di Bandung banyak distro bagus.”
Lalu gantian kamu menceramahi saya tentang
trik strategis berbisnis. Harus punya banyak teman. Link besar. Nggak perlu barang bagus yang penting lagi in dipakai anak muda. Harus berani
pasang harga tinggi biar negonya nggak bikin rugi. Hahaha apa kata sampeyan dah!
Kamu jadi orang kesekian yang saya temui
punya passion di bidang yang akhirnya
tidak bisa kamu pelajari di bangku kuliah. Kamu terjun ke Teknik
Telekomunikasi. Hei, sepertinya kamu harus berenang lebih deras dari arus air
kalo masih teguh dengan impianmu. Cita-cita kita sama: punya warung kopi.
Sederhana saja. Perpustakaan di sudut ruangan (kamu benci membaca, dan ini saya
yang paksa). Jajaran hasil jepretan dan lukisan saya di dinding kayu. Kamu
punya sense of coffee yang berlebihan,
menurut saya, tapi wajib dimiliki buat orang yang mau bikin warkop modern.
“Minum kopi itu airnya harus segini biar
kopinya menang. Pake gelas yang kecil. Aku lagi cobain rasa baru, nih.”
Chocochino. Dan saya tetap tidak suka
kopi instan yang isinya gula doang.
“Yang ini rasanya beda, Kak,” bela kamu.
Menurutku sama saja. Terlalu manis.
Percakapan makan siang kita terus
mengalir. Kalo aku kuliah disini kerjanya
ngapain? Kalo kerja itu kuliah apa? Mata kuliah yang aku ambil pasti nyambung
ke mata kuliah berikutnya? Kuliah yang aku ambil bakal dipakai pas kerja nggak?
Dan pertanyaan lainnya yang harus sabar saya jawab. Mudah-mudahan pengetahuan
kamu tentang dunia perkuliahan nggak nol lagi ya?
“Tampomas banyak nggak, Kak, di Bandung?”
– lagi-lagi kopi.
“Ya banyak lah. Kafe-kafe juga banyak.”
“Ngopi di kafe mah nggak nendang. Enakan
ngopi di Tampomas. Angkringan malam-malam, menikmati suasana Bandung. Apalagi
kalo habis hujan. Sedaaaap.”
“Kamu bisa ngopi sepuasnya deh. Tapi
jangan lupa belajar. Jangan suka pulang larut malam. Nanti dikunciin ibu kos
baru tahu rasa.”
Saya akui kamu punya selera yang tinggi.
Tapi kalo kulinari, ndeso tenan!
Hahaha. Bagus deh, makan tempe tahu terus mboten
nopo-nopo lho yo.
“Tapi Kakak nggak tahu di Bandung ada roti
gambang atau nggak?”
Kita tertawa. Roti dua ribuan itu selalu
kamu tunggu tiap Minggu pagi di depan pagar rumah. Apakah Minggu yang akan
datang kamu juga akan menanti tukang roti warna cokelat bertabur wijen itu di
kostanmu? Saya senang kalo kecintaan kamu dengan roti gambang juga berdampak
pada gaya hidupmu. Menjadi mahasiswa, maka mendesa lah, merakyat saja. Kamu
bisa kuliah begini juga pakai bayaran pajak orang susah. Kamu kuliah itu supaya
bisa menyejahterakan yang susah. Bersusah-susahlah, Dik, hitungan Tuhan akan
literan keringat yang kamu kucurkan mudah-mudahan menghadirkan
kebaikan-kebaikan.
No comments:
Post a Comment