5/24/13

Papandayan bagian 2: Welcome to Swiss van Java!



26 April 2013

Sudah diputuskan kami harus kumpul di Terminal Baranangsiang, Bogor jam 07.00 pagi. Kurang dari jam yang ditentukan saya sudah sampai di terminal. Kenek bus tujuan Bandung menyergapi saya. “Neng Bandung neng Bandung.” Saya ikutan teriak, “Bentar, Pak, beli pulsa dulu.” Beres beli pulsa ternyata kenek bus masih anteng di belakang saya, “Neng Bandung neng Bandung.” Saya gerah, “Bentar, Pak, tunggu teman dulu.” Dan saya tidak melihat calon penumpang yang lagak-lagaknya bakal naik gunung. Ini kemana yang lain? Yang satu masih di Botas, Diska masih di dalam bus tinggal muter, Kak Rahmi dan Fahmi datang setelah saya, rombongan yang berangkat dari IPB masih di kampus. Maaaaak bakal telat nih sampai Bandung. Kunci kosannya Elok hilang, makanya mereka telat. Ya Allah, bisa ngejar Jum’atan di Bandung nggak ya?

Mendekati jam 08.30 bus berangkat ke Terminal Leuwipanjang, Bandung. Naik bus AC bayar Rp 40.000. Tidur deh sepuasnya di bus, lumayan ngisi tenaga. Lagi pula semalam saya tidur larut banget, sebelum mendaki harus membereskan penelitian dulu, udah janji sama dosen PS kalo mau mendaki gunung jangan sampai mengganggu penelitian hahaha *sesicurhat*. Alhamdulillah sampai Leuwipanjang jam 12.10an. Memang Allah saja lah Sang Pemilik Waktu. Fahmi dan Kak Sule bisa Jum’atan dulu. Yang cewek-cewek gantian sholat Dzuhur dijamak Ashar. Makan siang bisa beli ketupat tahu harganya Rp 8.000 dan es teh manis Rp 2.000.

Dari Terminal Leuwipanjang, kami melanjutkan perjalanan menuju Cisurupan (kaki Gunung Papandayan), Kabupaten Garut menaiki Elf, tapi dibaca elep *nyengirbabon*. Elf ini ada di luar terminal, karena kami membawa carrier banyak dan berat, maka kalau elf diajak masuk terminal, harus siap-siap dimintain duit sama preman terminal. Sabaaaar boiiii.

Bawaan saya nge-pink sendiri ihiy

Mencari elf-nya juga harus benar. Cari elf jurusan Leuwipanjang – Cikajang untuk ke Garut. Nah, untuk sampai dengan tenang ke Cisurupan, carilah elf jurusan Leuwipanjang – Cikajang yang ada tulisan GMT (atau juga Cheroke, atau tulisan apapun yang penting kaca depannya rame *serius*). Kami menaiki elf yang nggak ada tulisan GMT-nya, jadi diturunin di Kota Garut, dan dioper (keneknya sih bilangnya, “Mobilnya mau diservis dulu”) ke elf lain. Alhasil dimintain bayaran lagi. Biasanya hanya Rp 15.000 naik elf sampai Cisurupan, maka kami harus membayar tambahan Rp 3.000. Ya sudah lah ya, yang penting sampai dengan selamat. Di elf menuju Cisurupan, kami bertemu dengan rombongan dari Unpad yang juga mau mendaki ke Papandayan. Yihiiii, rame euy. Tapi ya namanya juga naik elf, kesabaran kami tetap diuji oleh asap rokok, lampu merah di Garut yang nggak hijau-hijau, dan kenek elf yang bersikeras mencari penumpang padahal itu elf tinggal disentil doang udah doyong kali tuh kepenuhan penumpang. Sabar sabar. Kalo kata supir elf, “Di Garut emang gini, neng.” Garut Garut ckckckckck. Kegaringan joke jenius Kak Sule ikut-ikutan menguji kesabaran kami, terutama Kak Rahmi hahaha.

Pasar Cisurupan

Tapi rasa dongkol di hati terbayarkan oleh pemandangan dataran Garut yang subhanallah sekali. Setuju banget saya dengan Bang Farry Gunawan, “Kalau Bandung adalah Paris van Java, maka Garut itu Swiss van Java!” Sepanjang perjalanan, mata saya dimanjakan oleh pegunungan-pegunungan yang memeluk Garut. Saya kira hanya Bogor saja yang dikelilingi gunung, ternyata Garut juga. Bahkan lebih eksotis. Demen banget mak, pengen ih didaki satu-satu.

Sampai di Cisurupan jam 17.20. Numpang ngaso dulu di fotokopian Al Mahabah, melihat adegan sinetron Anggun yang baru meminta izin mendaki, foto-foto, sambil cari tumpangan ke pintu masuk Papandayan.

Ngaso: difoto oleh Fahmi

Dari Cisurupan, kami menyewa pick up alias kolbak. Ongkosnya Rp 15.000 per orang. Kami menumpang kolbak bersama rombongan Unpad. Naik kolbak harus siap-siap diblender dengan kondisi jalan yang rusak. “Jalannya rusak udah lama banget, dari pertama kali Papandayan dibuka untuk wisata,” kata supir kolbak yang namanya sudah saya lupa dan Kak Rahmi berhasil mendapat nomor hp-nya. Ciiiieeee hehehe. Lumayan lah ya, siapa tahu kita bisa nyewa kolbak dia lagi kalau mau mendaki ke Cikurai. Aamiin. Sekitar 1.5 jam perjalanan ogel-ogelan, sampailah kami di pintu masuk Gunung Papandayan.

 
Gunung Cikurai


Mendekati Magrib pendaki dilarang memasuki kawah. Rawan cui. Sementara Kak Ifa melakukan registrasi, saya mengobrol sebentar dengan rombongan Unpad. Mereka mendaki tidak seperti kami yang hanya ingin senang-senang. Mereka ingin melakukan survey. Harapannya dengan hasil survey nanti akan banyak lagi yang mendaki Gunung Papandayan. Wah, misi mereka keren sekali. Mudah-mudahan makin banyaknya pendaki, keseimbangan alam di Papandayan masih terjaga ya.

Selesai mengurus administrasi, kami menggelar matras. Sholat magrib beratapkan langit malam memang bukan pengalaman pertama saya. Tapi kalau beda suasana, juga beda banget kesannya. Langit malam itu indah, luas, dan nggak hitam kosong. Bulan dengan baiknya memperlihatkan gaun halo keputihan mirip kue donat. Pertama datang ke Papandayan sambutan alamnya elok sekali, makasih ya Allah. Sambil menunggu Isya’, Kak Sule ‘ceramah’ dadakan tentang lampu senter, bintang di langit, dan tujuan hidup. Makin filosofis lah malam berlakon.

Halo Bulan

Papandayan malam itu ramai sekali. Selain kami dan rombongan dari Unpad, juga ada rombongan besar dari Draco (kami mengira itu nama perusahaan). Tenda berjumlah 130 sudah terpasak rapi. Di sebelah kantor registrasi dibangun dapur besar khusus Draco. Maaaak, enak banget itu. Mau tidur tenda sudah jadi, mau makan tinggal ambil. Lah kita? Mendirikan tenda aja pusingnya minta ampun. Mau makan, eh, kudu pasang kompor dulu. Hahaha. Tapi itu seninya mendaki men, apa-apa harus mandiri. Dan karena saya sudah privat menyalakan kompor dengan Bapak Gas, jadilah saya si tukang pasang gas dan nyalain kompor. Ampun.

Kami menjauh dari keramaian dan membangun tenda di dekat pos biru di parkiran. Asyik banget pendakian kali itu. Tempat saya kemping di parkiran (atau disebut juga Camp David), dekat toilet pula. Ada ‘panggilan alam’ tinggal jalan, nggak perlu gali lobang, padahal saya sudah siap-siap bawa sekop hahaha. Namun yang patut diwaspadai adalah air di toilet ini sudah terkontaminasi besi dan material kawah lainnya. Jadi ya agak bau-bau dikit. Kumur-kumur pas wudhu bikin saya mencak-mencak. Susah sekali kalo butuh air bersih yang gratis di Papandayan. Meskipun banyak warung, beli air mineral lumayan mahal. Harus bawa air mineral banyak sekali dari kota. Kalo mau mengambil di gunung, ya harus naik ke Pondok Salada. Jauh.

Dalam gelap kami semua bekerja apa saja yang bisa dan penting untuk dilakukan. Pembagian kerja terjadi begitu saja. Ada yang mendirikan tenda, membuat makan malam, dan memasak air panas.

“Makan malam apa kita sekarang?”
“Nugget aja nungget, kan kita beli. Sosis juga ada.”
Grusuk grusuk bongkar tas. “Eh, kayaknya nuggetnya ketinggalan di kosan Elok deh.”

Eng ing eng. Makanan berat yang sudah kami beli kemarin sore tidak terbawa. Untungnya ada tempe, satu-satunya lauk yang kami punya. Namun tempe tidak dimasak sebagai bekal untuk pendakian besok. Dari calon pendaki Brahmana, kami turun kasta jadi pendaki Sudra. Hahaha. Makan mie instan deh. Jujur, pendakian ke Papandayan ini satu-satunya pendakian dimana saya rajin banget makan mie (ya karena memang adanya itu hehehe).

Karena tidak kenyang, teman-teman saya membeli nasi dan telor dadar di warung. Alhamdulillah ya, Allah beri kemudahan kami mendapatkan makanan. Harganya Rp 7.000 kayaknya. Mahal banget. Saya memang niat jadi pendaki Sudra. Bekal pendakian yang saya bawa hanya coklat, air mineral, susu Ultra, dan kacang Turbo. Mie instan pun tidak bawa. Saya hanya mengandalkan nugget dan sosis yang eh ternyata tidak terbawa Elok hehe. Yo wes, saya comot sana-sini menghabiskan makanan teman-teman yang tersisa. Alhamdulillah perut terisi. Nggak kenyang sih, tapi setidaknya nggak bikin masuk angin.

Dinner Time

Catatan buat saya dan calon pendaki lain: makanan berat lebih baik dibagi-bagi. Kalo ada yang ketinggalan, setidaknya masih ada makanan di teman yang lain. Sip insya Allah. Pesan saya untuk teman-teman pendaki pemula: santai aja cui kalo mau trekking. Nggak usah terlalu dibawa heboh, nanti malah bikin grusak-grusuk, lupa bawa ini, lupa beli itu. List barang yang harus dibawa, yang sudah lengkap, dan yang belum ada. Penting untuk packing tiga atau dua hari sebelum pendakian. Jadi kalian bisa istirahat full sebelum hari H. Jangan seperti saya, berkemas pas tengah malam. Ckckck, nggak baik untuk kesehatan. Untungnya bisa tidur sepuasnya di dalam bus.

Malam itu dingin yang dikhawatirkan Bapak Gas tidak terjadi. Alhamdulillah. Entah karena terbiasa dingin di Gunung Mas atau karena suhu di parkiran Papandayan tidak begitu rendah, malam itu terasa hangat. Mungkin ini juga efek memakai sleeping bag sendirian, jadi saya bisa melungker semau saya. Di pendakian saya ke Salak dan Gede sebelumnya, satu sleeping bag dipakai bertiga, hahaha, membeku sudah! Waaaah, begini toh nikmatnya memakai sleeping bag sendirian, hangaaaat. Jaket yang saya bawa akhirnya hanya menjadi bantal. Riuh ramai pendaki lain pun membentuk sugesti kalo everything is gonna be ok. Ceilah. Bersiaplah kami semua mengisi tenaga untuk pendakian besok pagi.

Di tengah keheningan malam dan alam bawah sadar yang mulai mengawang, sayup-sayup saya mendengar suara gaduh di luar tenda.
“Eh kita foto-foto di depan tenda ini aja. Tendanya lucu.”
“Ada orangnya nggak?”
“Kayaknya nggak ada deh.”
“Ayo yuk foto-foto.”
“Gaya gaya.”
Cheeeers.”

Saya melambai-lambaikan tangan dari dalam tenda, berharap bayangan yang saya buat menyadarkan mereka kalo tenda itu ada penghuninya: saya dan teman-teman yang tidurnya agak terganggu. Eh, nggak tahu sih yang lain pada sadar apa nggak ada orang lagi asyik foto-foto di depan tenda kita. Yang jelas, saya susah banget mau tidur. Saya yakin sekali itu rombongan Draco yang riweuh-nya minta ampun, kayak anak SD baru pertama kali kemping, berisik!.

So please siapa pun yang mau kemping, kalian tuh bakal singgah di tempat yang baru kalian datangi, cuman selewat doang lagi. Jangan kayak rombongan demo, datang bentar bikin rusuh lalu pulang. Selain pendaki lain, kalo kalian berisik juga akan mengganggu serangga, tumbuhan, dan berbagai makhluk yang ada di gunung. Kalo ada jangkrik mati mendadak karena jantungan mendengar kalian tertawa lupa amplitudo, siapa yang mau tanggung jawab?

Walaupun susah tidur, mata harus terpejam. Besok adalah waktu yang ditunggu-tunggu: pendakian ke Papandayan!

No comments:

Post a Comment