26 April 2013
Sudah diputuskan kami harus
kumpul di Terminal Baranangsiang, Bogor jam 07.00 pagi. Kurang dari jam yang
ditentukan saya sudah sampai di terminal. Kenek bus tujuan Bandung menyergapi
saya. “Neng Bandung neng Bandung.” Saya ikutan teriak, “Bentar, Pak, beli pulsa
dulu.” Beres beli pulsa ternyata kenek bus masih anteng di belakang saya, “Neng
Bandung neng Bandung.” Saya gerah, “Bentar, Pak, tunggu teman dulu.” Dan saya
tidak melihat calon penumpang yang lagak-lagaknya bakal naik gunung. Ini kemana
yang lain? Yang satu masih di Botas, Diska masih di dalam bus tinggal muter,
Kak Rahmi dan Fahmi datang setelah saya, rombongan yang berangkat dari IPB
masih di kampus. Maaaaak bakal telat nih sampai Bandung. Kunci kosannya Elok
hilang, makanya mereka telat. Ya Allah, bisa ngejar Jum’atan di Bandung nggak
ya?
Mendekati jam 08.30 bus
berangkat ke Terminal Leuwipanjang, Bandung. Naik bus AC bayar Rp 40.000. Tidur
deh sepuasnya di bus, lumayan ngisi tenaga. Lagi pula semalam saya tidur larut
banget, sebelum mendaki harus membereskan penelitian dulu, udah janji sama
dosen PS kalo mau mendaki gunung jangan sampai mengganggu penelitian hahaha
*sesicurhat*. Alhamdulillah sampai Leuwipanjang jam 12.10an. Memang Allah saja
lah Sang Pemilik Waktu. Fahmi dan Kak Sule bisa Jum’atan dulu. Yang cewek-cewek
gantian sholat Dzuhur dijamak Ashar. Makan siang bisa beli ketupat tahu
harganya Rp 8.000 dan es teh manis Rp 2.000.
Dari Terminal Leuwipanjang,
kami melanjutkan perjalanan menuju Cisurupan (kaki Gunung Papandayan),
Kabupaten Garut menaiki Elf, tapi dibaca elep *nyengirbabon*. Elf ini ada di
luar terminal, karena kami membawa carrier
banyak dan berat, maka kalau elf diajak masuk terminal, harus siap-siap
dimintain duit sama preman terminal. Sabaaaar boiiii.
Bawaan saya nge-pink sendiri ihiy |
Mencari elf-nya juga harus
benar. Cari elf jurusan Leuwipanjang – Cikajang untuk ke Garut. Nah, untuk
sampai dengan tenang ke Cisurupan, carilah elf jurusan Leuwipanjang – Cikajang
yang ada tulisan GMT (atau juga Cheroke, atau tulisan apapun yang penting kaca
depannya rame *serius*). Kami menaiki elf yang nggak ada tulisan GMT-nya, jadi
diturunin di Kota Garut, dan dioper (keneknya sih bilangnya, “Mobilnya mau
diservis dulu”) ke elf lain. Alhasil dimintain bayaran lagi. Biasanya hanya Rp
15.000 naik elf sampai Cisurupan, maka kami harus membayar tambahan Rp 3.000.
Ya sudah lah ya, yang penting sampai dengan selamat. Di elf menuju Cisurupan,
kami bertemu dengan rombongan dari Unpad yang juga mau mendaki ke Papandayan.
Yihiiii, rame euy. Tapi ya namanya juga naik elf, kesabaran kami tetap diuji
oleh asap rokok, lampu merah di Garut yang nggak hijau-hijau, dan kenek elf
yang bersikeras mencari penumpang padahal itu elf tinggal disentil doang udah
doyong kali tuh kepenuhan penumpang. Sabar sabar. Kalo kata supir elf, “Di
Garut emang gini, neng.” Garut Garut ckckckckck. Kegaringan joke jenius Kak Sule ikut-ikutan menguji
kesabaran kami, terutama Kak Rahmi hahaha.
Pasar Cisurupan |
Tapi rasa dongkol di hati
terbayarkan oleh pemandangan dataran Garut yang subhanallah sekali. Setuju
banget saya dengan Bang Farry Gunawan, “Kalau Bandung adalah Paris van Java, maka Garut itu Swiss van Java!” Sepanjang perjalanan,
mata saya dimanjakan oleh pegunungan-pegunungan yang memeluk Garut. Saya kira
hanya Bogor saja yang dikelilingi gunung, ternyata Garut juga. Bahkan lebih
eksotis. Demen banget mak, pengen ih didaki satu-satu.
Sampai di Cisurupan jam 17.20.
Numpang ngaso dulu di fotokopian Al Mahabah, melihat adegan sinetron Anggun
yang baru meminta izin mendaki, foto-foto, sambil cari tumpangan ke pintu masuk
Papandayan.
Ngaso: difoto oleh Fahmi |
Dari Cisurupan, kami menyewa pick up alias kolbak. Ongkosnya Rp
15.000 per orang. Kami menumpang kolbak bersama rombongan Unpad. Naik kolbak
harus siap-siap diblender dengan kondisi jalan yang rusak. “Jalannya rusak udah
lama banget, dari pertama kali Papandayan dibuka untuk wisata,” kata supir
kolbak yang namanya sudah saya lupa dan Kak Rahmi berhasil mendapat nomor
hp-nya. Ciiiieeee hehehe. Lumayan lah ya, siapa tahu kita bisa nyewa kolbak dia
lagi kalau mau mendaki ke Cikurai. Aamiin. Sekitar 1.5 jam perjalanan ogel-ogelan,
sampailah kami di pintu masuk Gunung Papandayan.
Mendekati Magrib pendaki dilarang
memasuki kawah. Rawan cui. Sementara Kak Ifa melakukan registrasi, saya
mengobrol sebentar dengan rombongan Unpad. Mereka mendaki tidak seperti kami
yang hanya ingin senang-senang. Mereka ingin melakukan survey. Harapannya
dengan hasil survey nanti akan banyak lagi yang mendaki Gunung Papandayan. Wah,
misi mereka keren sekali. Mudah-mudahan makin banyaknya pendaki, keseimbangan
alam di Papandayan masih terjaga ya.
Selesai mengurus administrasi,
kami menggelar matras. Sholat magrib beratapkan langit malam memang bukan
pengalaman pertama saya. Tapi kalau beda suasana, juga beda banget kesannya.
Langit malam itu indah, luas, dan nggak hitam kosong. Bulan dengan baiknya
memperlihatkan gaun halo keputihan mirip kue donat. Pertama datang ke
Papandayan sambutan alamnya elok sekali, makasih ya Allah. Sambil menunggu
Isya’, Kak Sule ‘ceramah’ dadakan tentang lampu senter, bintang di langit, dan
tujuan hidup. Makin filosofis lah malam berlakon.
Halo Bulan |
Papandayan malam itu ramai
sekali. Selain kami dan rombongan dari Unpad, juga ada rombongan besar dari Draco
(kami mengira itu nama perusahaan). Tenda berjumlah 130 sudah terpasak rapi. Di
sebelah kantor registrasi dibangun dapur besar khusus Draco. Maaaak, enak
banget itu. Mau tidur tenda sudah jadi, mau makan tinggal ambil. Lah kita?
Mendirikan tenda aja pusingnya minta ampun. Mau makan, eh, kudu pasang kompor
dulu. Hahaha. Tapi itu seninya mendaki men, apa-apa harus mandiri. Dan karena
saya sudah privat menyalakan kompor dengan Bapak Gas, jadilah saya si tukang
pasang gas dan nyalain kompor. Ampun.
Kami menjauh dari keramaian
dan membangun tenda di dekat pos biru di parkiran. Asyik banget pendakian kali
itu. Tempat saya kemping di parkiran (atau disebut juga Camp David), dekat
toilet pula. Ada ‘panggilan alam’ tinggal jalan, nggak perlu gali lobang,
padahal saya sudah siap-siap bawa sekop hahaha. Namun yang patut diwaspadai
adalah air di toilet ini sudah terkontaminasi besi dan material kawah lainnya.
Jadi ya agak bau-bau dikit. Kumur-kumur pas wudhu bikin saya mencak-mencak.
Susah sekali kalo butuh air bersih yang gratis di Papandayan. Meskipun banyak
warung, beli air mineral lumayan mahal. Harus bawa air mineral banyak sekali
dari kota. Kalo mau mengambil di gunung, ya harus naik ke Pondok Salada. Jauh.
Dalam gelap kami semua bekerja
apa saja yang bisa dan penting untuk dilakukan. Pembagian kerja terjadi begitu
saja. Ada yang mendirikan tenda, membuat makan malam, dan memasak air panas.
“Makan malam apa kita
sekarang?”
“Nugget aja nungget, kan kita
beli. Sosis juga ada.”
Grusuk grusuk bongkar tas.
“Eh, kayaknya nuggetnya ketinggalan di kosan Elok deh.”
Eng ing eng. Makanan berat
yang sudah kami beli kemarin sore tidak terbawa. Untungnya ada tempe,
satu-satunya lauk yang kami punya. Namun tempe tidak dimasak sebagai bekal
untuk pendakian besok. Dari calon pendaki Brahmana, kami turun kasta jadi
pendaki Sudra. Hahaha. Makan mie instan deh. Jujur, pendakian ke Papandayan ini
satu-satunya pendakian dimana saya rajin banget makan mie (ya karena memang
adanya itu hehehe).
Karena tidak kenyang,
teman-teman saya membeli nasi dan telor dadar di warung. Alhamdulillah ya,
Allah beri kemudahan kami mendapatkan makanan. Harganya Rp 7.000 kayaknya.
Mahal banget. Saya memang niat jadi pendaki Sudra. Bekal pendakian yang saya
bawa hanya coklat, air mineral, susu Ultra, dan kacang Turbo. Mie instan pun
tidak bawa. Saya hanya mengandalkan nugget dan sosis yang eh ternyata tidak
terbawa Elok hehe. Yo wes, saya comot sana-sini menghabiskan makanan
teman-teman yang tersisa. Alhamdulillah perut terisi. Nggak kenyang sih, tapi
setidaknya nggak bikin masuk angin.
Catatan buat saya dan calon
pendaki lain: makanan berat lebih baik dibagi-bagi. Kalo ada yang ketinggalan,
setidaknya masih ada makanan di teman yang lain. Sip insya Allah. Pesan saya
untuk teman-teman pendaki pemula: santai aja cui kalo mau trekking. Nggak usah
terlalu dibawa heboh, nanti malah bikin grusak-grusuk, lupa bawa ini, lupa beli
itu. List barang yang harus dibawa,
yang sudah lengkap, dan yang belum ada. Penting untuk packing tiga atau dua hari sebelum pendakian. Jadi kalian bisa
istirahat full sebelum hari H. Jangan
seperti saya, berkemas pas tengah malam. Ckckck, nggak baik untuk kesehatan.
Untungnya bisa tidur sepuasnya di dalam bus.
Malam itu dingin yang
dikhawatirkan Bapak Gas tidak terjadi. Alhamdulillah. Entah karena terbiasa
dingin di Gunung Mas atau karena suhu di parkiran Papandayan tidak begitu
rendah, malam itu terasa hangat. Mungkin ini juga efek memakai sleeping bag sendirian, jadi saya bisa
melungker semau saya. Di pendakian saya ke Salak dan Gede sebelumnya, satu sleeping bag dipakai bertiga, hahaha,
membeku sudah! Waaaah, begini toh nikmatnya memakai sleeping bag sendirian, hangaaaat. Jaket yang saya bawa akhirnya
hanya menjadi bantal. Riuh ramai pendaki lain pun membentuk sugesti kalo everything is gonna be ok. Ceilah.
Bersiaplah kami semua mengisi tenaga untuk pendakian besok pagi.
Di tengah keheningan malam dan
alam bawah sadar yang mulai mengawang, sayup-sayup saya mendengar suara gaduh
di luar tenda.
“Eh kita foto-foto di depan tenda
ini aja. Tendanya lucu.”
“Ada orangnya nggak?”
“Kayaknya nggak ada deh.”
“Ayo yuk foto-foto.”
“Gaya gaya.”
“Cheeeers.”
Saya melambai-lambaikan tangan
dari dalam tenda, berharap bayangan yang saya buat menyadarkan mereka kalo
tenda itu ada penghuninya: saya dan teman-teman yang tidurnya agak terganggu.
Eh, nggak tahu sih yang lain pada sadar apa nggak ada orang lagi asyik
foto-foto di depan tenda kita. Yang jelas, saya susah banget mau tidur. Saya
yakin sekali itu rombongan Draco yang riweuh-nya minta ampun, kayak anak SD
baru pertama kali kemping, berisik!.
So please siapa pun yang mau kemping, kalian tuh bakal singgah di
tempat yang baru kalian datangi, cuman selewat doang lagi. Jangan kayak
rombongan demo, datang bentar bikin rusuh lalu pulang. Selain pendaki lain,
kalo kalian berisik juga akan mengganggu serangga, tumbuhan, dan berbagai
makhluk yang ada di gunung. Kalo ada jangkrik mati mendadak karena jantungan
mendengar kalian tertawa lupa amplitudo, siapa yang mau tanggung jawab?
No comments:
Post a Comment