8/21/13

Menunggu: Menemukan Rasa Baru


Menunggu

Menunggu adalah aktivitas yang menjemukan, menjengkelkan, juga menyenangkan. Menunggu bisa jadi penguji keteguhan kita dalam mendapatkan sesuatu. Apakah kita bisa sabar demi hasil yang diinginkan atau menyerah dan tidak mendapatkan apa-apa?

Saya terbiasa hidup menunggu. Sejak SMP saya sering menunggu jemputan sepeda Mama di kemang sepulang saya sekolah hampir 1 jam. Maklum perjalanan dari jalan raya ke rumah sangat jauh. Tidak ada angkutan umum. Naik ojek pun mahal. Kalau aktivitas menunggu saat ini bisa lebih tidak menjemukan karena ada teknologi HP. Kita bisa sms’an atau masuk ke jejaring sosial selama menunggu. Namun menunggu saat SMP dulu saya belum boleh pegang HP. Alhasil saya harus punya kesibukan lain supaya menunggu tidak menciptakan amarah kepada Mama yang susah payah bersepeda dan harus menggonceng saya ke rumah.

Kesibukan apa itu? Membaca buku. Hahaha sok banget masih SMP kerjannya baca buku. Keren kan saya? Eh tapi baca bukunya buku komik deh, hasil pinjam dari gerai buku dekat sekolah. One piece, Detective Conan, dan komik basket I’ll adalah bacaan wajib. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Serial pembajak laut dan detektif yang tidak ada akhirnya itu membuat saya bosan juga untuk meneruskan membaca komik. Kebiasaan membaca buku saat menunggu itu terbawa sampai sekarang. Bahkan saya mempersiapkan buku dulu sebelum bepergian yang akan mempertemukan saya dengan proses menunggu.

Dua hari terakhir, kemacetan Bogor sedang menguji kesabaran saya. Biasanya pergi ke tempat tertentu hanya butuh setengah jam, eh ini satu setengah jam masih belum sampai tujuan. Untungnya pasokan buku baru lagi banyak banget. Yeah, you know lah, buku baru itu pun menjejali tas punggung saya. Perjalanan saya ke toko Kataraft kemarin siang mampu membuat saya menghabiskan satu majalah Getaway! (ini majalah recommended banget buat kamu yang demen travelling, kamu juga bisa menulis catatan perjalanan kamu di majalah itu ^^) dan setengah buku Habits-nya Ustad Felix. Ampun dah, saking lamanya macet yang menghadang itu -_____-

Menunggu tidak hanya dilakukan saat kita berada dalam kemacetan. Menanti gaji di awal bulan, menunggu sayur sop matang, menunggu yang dirindukan merantau di ranah seberang, menunggu hasil revisi skripsi dosen pembimbing (*curhat*), menunggu cucian kering, semuanya menunggu. Hidup kita juga menunggu. Menunggu waktu kita mati. Menunggu di alam kubur. Menunggu saat hari penimbangan amal. Semua menunggu. Menunggu mengantarkan kita kepada hasil, baik itu yang diinginkan atau di luar ekspektasi. Sekali lagi, menunggu mengantarkan kita kepada hasil. Yang memberikan apakah hasil yang kita dapat sekedar tujuan atau ada hasil lain (pelajaran hidup misalnya) adalah proses kita mengisi jeda ketika menunggu. Ini ribet banget ya bahasanya? Hahaha. Ibaratnya gini, saya menunggu macet sambil membaca buku, maka saya tidak hanya akan sampai ke tujuan tapi juga mendapatkan pelajaran dari buku yang saya baca. Nah gitu ^^

Mengantar Ayah check up ke rumah sakit kemarin malam juga menyajikan proses menunggu yang harus saya telan habis. Pasalnya Ayah dapat nomor antrian 50, sedangkan pasien yang baru masuk itu urutan 9. Masih harus menunggu 40 orang lagi. “Mungkin jam dua belas, Pak masuknya.” Dan jam di ponsel masih menunjukkan pukul 08.32. Petugas administrasi menawarkan kami untuk pulang ke rumah dulu. Dengan pertimbangan rumah yang sangat jauh dari pusat kota, akhirnya Ayah mengetok palu untuk menunggu saja.

Rumah sakit ramai sekali. “Maklum hari Senin,” kata Ayah. Saya tidak paham hubungannya hari Senin dengan penuhnya rumah sakit. Mungkin banyak orang sakit di hari Senin. Hahaha ngaco. Karena ramai, hampir tidak ada bangku kosong untuk diduduki. Menunggu lama sambil berdiri adalah keputusan yang salah. Saya meminta menunggu di mushola, Ayah memutuskan menunggu di depan Ruang Persalinan.

“Ayah mau baca?” Malam itu saya sengaja bawa dua buku, biar masing-masing kami punya bacaan selama menunggu. Namun Ayah memilih merebahkan badannya di sofa panjang. Saya tenggelam dalam lembaran Habits yang belum saya selesaikan.

Satu jam pertama, membaca adalah kegiatan yang menyenangkan. Tapi lama-lama bosan juga. Mata mulai mengantuk. Antrian poliklinik masih di angka belasan. Ayah berjalan-jalan sekitar rumah sakit. Saya menggantikan posisi Ayah sejam yang lalu: rebahan di sofa panjang depan Ruang Persalinan. Malu tidak ada dalam kamus saya kalau saya sudah mengantuk berat. Maklum seharian tadi banyak mengeluarkan peluh. Tanpa malu, saya selonjoran dan akhirnya tertidur entah berapa lama. Dasar kebo -_____-

Bising putaran roda kereta bayi membangunkan saya. Pintu Ruang Persalinan dibuka.
“Itu ada bayinya?” Ini bunyi lain dari mulut seorang ibu di samping saya. Eh ini ibu kapan datangnya?
Masih dengan mata setengah saya mengangguk. “Kayaknya bu, itu selimutnya bergerak.”
“Nggak keliatan ya.”
“Iya, bayinya kecil banget.”

Saya teringat pada diri saya sendiri. Sebelum sebesar sekarang, dulu saya juga sekecil adik bayi itu. Kuasa Allah Sang Maha Pencipta lah yang membuat saya menjadi seperti ini kini. Dari telunjuk saya yang lebih pendek dibandingkan dengan tutup pulpen hingga sepanjang sekarang, apa saja yang telah saya lakukan? Apakah hal baik? Atau hanya main-main saja? Tidak lama saya mengetahui bahwa adik bayi yang baru lahir itu memiliki gangguan pada paru-parunya. Kasihan. Baru juga menikmati hawa bumi, ia sudah memiliki kelainan. Beruntunglah saya memiliki paru-paru yang hingga saat ini tanpa cacat. Alhamdulillah.

Suasana perenungan yang tiba-tiba itu membuat saya tidak mengantuk lagi. Mengobrol dengan ibu sebelah memberikan rasa baru ketika saya menunggu.
“Lagi nunggu persalinan, Dek?” tanya ibu mengawali perenungan lain malam itu.
“Nggak bu, lagi nunggu Ayah check up. Dapat urutan terakhir. Masih lama banget.”
“Oh, emang biasanya lama ya?”
“Iya, bisa sampai tengah malam. Ibu nunggu persalinan?”
“Iya, anak saya yang melahirkan. Anak pertama cucu pertama.”
“Kenapa nggak nunggu di dalam aja bu?”
“Ada suaminya di dalam. Ibu mah nggak tega lihat anak jerit-jerit.” Beliau mengelus dada.

Ada kekhawatiran seorang ibu menunggu nyawa anaknya di ujung persimpangan: antara bertahan hidup atau akan berakhir jihad. Yap. Jihadnya seorang perempuan adalah bertemu Allah saat melahirkan anak, insya Allah. Kini, menunggu tidak lagi menjemukan atau menyenangkan, tetapi menyakitkan. Sang ibu berdiri, mondar-mandir sepanjang Ruang Persalinan, mengintip dari celah tirai pintu, berharap ada kabar baik dari putrinya.

“Anaknya umur berapa bu?”
“Dua puluh dua.”
Saya melongo. Lho, seumuran saya. Udah menikah? Udah hamil pula? Jagoaaaan. “Wah, keren banget, bu.”
Beliau bingung. Keren dari mananya, Nis? Ya keren lah. Di saat remaja lain memilih untuk berhubungan berasaskan napsu sesaat, putrinya memiliki hubungan berdasarkan keimanan. Subhanallah.
“Ya kalau anaknya siap masa mau ditunda-tunda?”
Saya mengangguk. “Kuat berarti anak ibu ya. Masih dua dua sudah harus melahirkan. Kan sakit bu.” Saya mengelus perut. Agak lapar memang -____-
“Makanya ibu nggak tega ke dalam. Udah pernah ngerasain soalnya. Bapaknya mah tenang-tenang aja dari tadi. Laki-laki mana tahu rasanya melahirkan. Dapatnya enak doang, bisa gendong gendong.”
Saya tertawa. Juga miris sih mengingat seorang anak kecil pernah diantar ke rumah saya karena ditinggal bapaknya kabur. Apalagi angka bapak kabur tidak bertanggung jawab di Indonesia juga tidak rendah. Aduh itu laki-laki hatinya batu apa ya? Nggak bisa merasakan sakitnya melahirkan. Nggak bisa mensyukuri seorang anak lahir dari perbuatannya. Pakai kabur segala. Saya getok nih pake palu!

Lama sekali kami mengobrol. Belum ada tanda-tanda makhluk Allah lain akan menghuni bumi-Nya.

“Memang jadwalnya sekarang bu?”
“Iya katanya sih jam sebelas malam. Tapi sampai sekarang belum keluar.”
“Hasil USG-nya laki-laki atau perempuan bu?”
“Perempuan. Tapi kan kita nggak tahu kuasa Allah gimana.”
“Iya yang mana aja juga berkah bu.”

Obrolan kami ngalor ngidul dari keputusan sang anak melahirkan normal dan tidak disesar, hingga ke perkuliahan dan dunia kerja. Hingga akhirnya seorang suster membuka pintu Ruang Persalinan. Sang ibu langsung menghampiri suster.
“Bagaimana, sus?”
“Bentar lagi bu. Sabar.”
Suster meloyor ke lelaki yang baru duduk di sebelah saya. Sepertinya lelaki itu pacar atau suaminya. Suster malah mengurusi lelaki itu mencari colokan listrik karena HP-nya mati. Aduh suster, itu ibu dari tadi nungguin cucunya, eh malah ngurusin HP. Ya seperti kata suster, kita harus sabar.

Tepat tengah malam, di saat manusia lain tidur terlelap atau pemuda-pemudi merasakan hingar bingar harum wiski sebuah klub malam, seorang manusia lain siap menjadi khalifah di bumi. Tangis seorang perempuan mungil membunuh kekhawatiran seorang nenek dengan bahagia yang tak berbilang jumlahnya.

“Alhamdulillah!” Teriak ibu di sebelah saya lega. Tangannya gemetaran mengambil ponsel menghubungi suaminya. “Pak, cucu pertama lahir!” Saya tidak bisa berkata-kata. Mata saya perlahan basah. Saya memang tidak tahu bahkan nama ibu di sebelah saya, namun menjadi orang pertama yang tahu cucunya lahir menciptakan haru tersendiri buat saya. Menunggu yang menyakitkan akhirnya berubah menjadi menyenangkan. Calon nenek yang menjadi nenek sungguhan itu masuk bersama suaminya. Ia meninggalkan saya yang berucap, “Semoga anaknya berkah ya bu.”

Saya sendiri. Menunggu lagi. Ayah yang entah keberadaannya dimana akhirnya mengajak makan malam di luar rumah sakit. Nasi goreng jawa lah menghapus rasa lapar yang mengenyangkan. Kami menunggu nasi matang. Dengan bahasa Jawa yang masih kental, Ayah berbincang dengan kokinya. Seketika saya lupa kalau saya berada di tanah Sunda.

Kami kira antrian pasien mendekati urutan akhir. Ternyata salah. Bingung mau melakukan apa, akhirnya televisi rumah sakit menjadi teman setia kami menunggu dipanggil suster. MNCTV sedang menyiarkan ulang pertandingan bulu tangkis dunia. Ikut dalam ketegangan final itu saya, Ayah, beberapa pasien, dan petugas kebersihan rumah sakit. Ketika menyaksikan Indonesia dalam kancah dunia, title yang kami punya tidak begitu penting. Petugas kebersihan asyik mengomentari jalannya pertandingan bersama pemimpin perusahaan yang sedang menunggu antrian pasien. Siapapun kita, kita membicarakan hal yang sama: kemenangan Indonesia ^^

Pukul 00.40an Ayah baru masuk Ruang Penyakit Dalam. Dokter yang sama setiap kali check up. Tapi kali ini tampilan dokter itu terlihat beda. Mungkin karena rambutnya yang dipotong pendek. Terakhir kali saya mengantar Ayah check up, rambutnya masih gondrong, mukanya penuh berewok. Lebih mirip penjahat daripada dokter, apalagi dengan postur tubuhnya yang tinggi besar. Kini, ia lebih cerah dan ceria. Padahal hari sudah berganti, malam mendekati pagi, dan dari tadi pasien tidak berhenti berobat dengan beliau, mengungkapkan keluhan kesehatan mereka. Ia mengumpulkan keluhan-keluhan dan memberi resep dengan senyum mengembang. Menjadikan pasien optimis bahwa penyakit seberat apapun yang diderita, pasti bisa disembuhkan. Hhmm, dokter ini selalu punya cara membuat orang terkagum dengannya, begitu profesional.

Tidak sampai lima menit konsultasi Ayah selesai. Saya terbengong. Hanya demi lima menit, kami harus menunggu hampir lima jam. “Aku pengen gigit orang,” kataku keluar ruangan. Ayah tertawa, “Sekarang kita harus mengantri obat.” Saya menepuk muka bantal saya. Kasur mana kasur?

Giliran Ayah yang tidur lagi di sofa. Saya harus mengurus biaya check up dan mengantri di apotek. Orang yang menunggu tidak begitu banyak, namun membutuhkan jeda lebih dari setengah jam untuk saya mendapatkan obat Ayah. Sambil menunggu, saya mengobrol dengan ibu berpasmina hitam di samping saya. Beliau sering membetulkan pasminanya agar rambutnya tertutup sempurna, hal yang tidak perlu saya lakukan kalau memakai kerudung bergo. Hidup bergo ^^

“Siapa yang sakit, bu?”
“Ibu saya. Ginjal. Dari gulanya.”
“Oohh.”
“Gula memang bisa menyerang kemana-mana, Mbak. Seram.”
Itu yang saya takutkan dengan kesehatan Ayah. “Ayah saya kena sampai mata, bu. Plusnya jadi bertambah 6.”
“Itu masih mending, kakak saya bahkan matanya buta sebelah. Sekarang sudah tidak ada.”
Angin malam juga kabar dari ibu membuat saya merinding. Hal-hal negatif mengisi pikiran saya.

“Obatnya banyak banget.” Lalu ibu menunjukkan bon obat yang baru ia tebus setengahnya. Satu juta sekian. Seharusnya ia menebus semua obat yang mencapai dua juta lebih. Astaghfirullah mahal banget. Harus jaga kesehatan nih. Jangan sampai sakit, biayanya mahal. Emang uang tinggal metik di kebon? Ia menambahkan, “Kata Dokter XXXX ada alat untuk memecah makanan sehingga tidak menumpuk di ginjal, harganya 800. Itu yang sekali pakai seumur hidup. Ada yang lebih murah, 36, tapi harus diganti tiap tiga bulan.”

“Tiga puluh enam ribu, bu? Murah tuh.”
“Ih si Mbak, mana ada alat ribuan gitu, jutaan Mbak, 36 juta, 800 juta.”
“Haaaaa.” Ya Allah, duit dari mana segitu banyaknya?
“Makanya kita coba pakai obat aja. Cuci darah juga. Itu aja bikin ngos-ngosan.”
“Nggak coba cara tradisional, bu?”
“Aduh, ibu nggak percaya. Takut. Kalo di rumah sakit kan ada ilmiahnya.”

Saya mengangguk saja. Beliau melanjutkan riwayat keluarganya. Bapaknya ternyata pemilik pesantren ZZZZ. Banyak saudara kandung dan bapaknya menderita penyakit gula dan berakhir dengan kematian. Saya meneguk ludah. Pagi buta begini membicarakan kematian bikin saya ingat dosa-dosa yang saya buat. Namun, kematian mereka selalu berakhir indah. Ada yang baru selesai umroh, bahkan belum sempat mengobrol dengan ibu, sudah dipanggil Allah. Ada yang meninggal di pangkuan istrinya. Ada yang baru mau sholat Shubuh ternyata tidak bisa bangun lagi dari duduknya. Bahkan ada yang meninggal ketika bersujud sholat Ashar. Waaaah, subhanallah banget!

“Indah banget, bu!”
“Iya. Nggak tahu deh nanti ibu meninggalnya gimana. Maunya sih ya seperti mereka.”
Setuju!
“Kata bapak saya, harus sering baca doa selamat, minimal tiga kali setelah sholat, atau minimal baca satu ayat Al Qur’an tiap hari.”
Catet tuh catet ^^

Saya lupa kenapa tapi akhirnya kami membicarakan Dokter XXXX, dokter langganan Ayah dan ternyata juga langganan keluarga ibu itu. “Dia kan mualaf.”
Saya bengong. Yeah, malam ini saya banyak bengong. Atuh da banyak banget yang mengejutkan saya. Menunggu ternyata mempertemukan saya dengan hal-hal di luar kemampuan.
“Lho, bukannya Kristen, bu?”
“Dulu. Belum lama ini masuk Islam.”
“Alhamdulillah.”

Obat yang ditunggu sudah di tangan. Pukul 01.30 saya dan Ayah keluar rumah sakit. Bogor tengah malam begitu menenangkan dan sepi. Ayah membawa ngebut motor kami. “Jangan tidur, Kak,” himbaunya. Saya menguatkan pegangan. “Yah, Dokter XXXX sudah mualaf.” Saya tidak mendengar tanggapannya. Mungkin suara saya kalah dengan deru knalpot yang kencang. Sepanjang perjalanan saya memikirkan bagaimana Dokter XXXX bisa terbuka hatinya. Siapa lagi kalau bukan karena Allah SWT, Sang Pembolak-balik hati.

Nama lengkapnya dr. XXXX YYYY, spPD. Sebelum beliau mualaf pun sebenarnya beliau sudah menunjukkan kepada pasiennya, termasuk Ayah, tentang kebenaran Islam, terutama cara hidup Rasulullah SAW yang sangat berhubungan erat dengan gaya hidup sehat. Di awal Ayah check up dengan beliau, bukannya menyarankan untuk meminum obat tepat waktu, beliau malah berkata, “Obat memang penting bagi orang sakit. Tapi yang penting bagaimana kita menahan napsu. Gula itu enak, tapi haram buat orang yang sakit gula, ya Pak. Cara makan Muhammad itu baik. Ikuti cara dia saja. Sepertiga perut kita harus diisi dengan makanan, lalu cairan, dan sisanya udara. Makan secukupnya saja. Bahkan lebih baik lagi kalau Bapak rajin puasa senin-kamis. Mudah-mudahan gulanya terkontrol.”

Waktu itu saya terkejut. Kristen taat seperti beliau bahkan memberi rekomendasi dari gaya hidup sehat Rasulullah dan kutipan ayat Al Qur’an. Subhanallah. Dari beliau lah saya semakin yakin bahwa Islam itu benar, apalagi setelah tahu beliau akhirnya mengakui Allah SWT sebagai tuhan yang Esa dan yang patut disembah. Allahu Akbar! Menunggu kadang menjemukan, kadang mengasyikan, kadang memberi banyak hikmah kehidupan bagi kita. Yang membedakan rasa yang akan kita dapatkan saat menunggu itu ya tergantung kita mengisi jeda dengan cara yang bagaimana ^^

4 comments:

  1. great :D
    aku nungguin ending cerita juga luar biasa
    terutama 5 jam untuk 5 menit

    ReplyDelete
  2. Mbak penulis, mohon untuk bisa diralat catatan nya, dengan segala hormat kalau perlu mohon untuk dihapus karena info yg mbak sampaikan dlm catatatn di atas tidak benar ada nya. dokter yg mbak sebut nama nya di atas tidak pernah berewokan muka nya, rambut nya jg tidak pernah gondrong. dan beliau masih seorang katolik, mohon untuk tidak mempublikasikan tulisan2 yg mbak tidak tahu dengan benar informasi2 nya, karena bisa sj tulisan2 itu akan menyinggung pihak yg bersangkutan. terimakasih

    ReplyDelete