Jakarta Tumpang Tindih di Pelabuhan Sunda Kelapa (foto pribadi) |
Sebuah sudut di
Pelabuhan Sunda Kelapa mempresentasikan paras Jakarta yang layak dianalogikan
sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, gambar seksi Jakarta menggoda
investor-investor berkantong tebal untuk menanam beton di sana dan memukau wong ndeso menanam harapan mendapatkan
sesuap nasi untuk sanak keluarga di desa. Di sisi lain, Jakarta memiliki angka
kapasitas pendukung (carrying capacity)
yang seharusnya tidak diotak-atik seenak udel manusia. Teorinya, jika suatu
daerah menerima satu penghuni lagi dimana sudah tidak ada kapasitas untuk
mendukung penghuni tersebut, maka akan terjadi krisis ekologi. Salah satu bentuk
krisis ekologi yang sering terjadi di Jakarta yaitu banjir.
Dataran rendah
Jakarta adalah tujuan akhir aliran air dari dataran tinggi Bogor. Kalau banjir
sering bertamu ke Jakarta, ya jangan salahkan airnya. Memang sudah fitrahnya
air mengalir dari hulu ke hilir. Sudah fitrahnya Jakarta mendapatkan kiriman
air dari Bogor.
Nah, Jakarta sendiri
tidak memberikan ruang bagi air. Tidak ada lagi saluran bagi air bebas mengalir
ke laut. Tengok saja ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Pencakar langit bertebaran
tidak mengenal batas. Aturan izin membangun bangunan hanya menambah pekerjaan
saja. Mal-mal boleh dibangun asal menambah kesuburan dompet-dompet para pekerja
dinas. Masalah lingkungan? Hahaha, yang penting masalah perut dulu. Rumah-rumah
kumuh berjejer seperti pagar sehingga menghambat laju air. Semua
berdesak-desakkan di Jakarta. Makin tua Jakarta makin banyak bangunan yang
tumbuh, bagai jamur di musim penghujan. Belum lagi kebiasaan aneh warga yang
gemar membuang sampah di sungai. Hihihi.
Lalu yang paling nikmat di Jakarta adalah hawa gap-nya yang tidak bisa terlepas dari tanah Betawi ini. Apartemen dan rumah kolong jembatan berlomba-lomba berkembang biak untuk menunjukkan eksistensi mereka. Mirip mau mendapatkan sertifikasi bahwa Jakarta punya si kaya atau Jakarta milik sang miskin. Campur aduk duk duk di ibu kota.
Inilah Jakarta. Mau
bangunan gedong sampai rumah beratap spanduk pilkada, semua ada di situ. Ini
Jakartaku. Jakarta kamu. Jakarta kita semua yang tumpang tindih! Selamat
menikmati!
No comments:
Post a Comment