Sebutkan tempat wisata yang ada di
Jakarta! Ancol. Monas. Masjid Istiqlal. Dufan. Kota Tua. Yeah, nama-nama itu
pasti tidak asing lagi di telinga kita. Tapi kalau Pelabuhan Sunda Kalapa? Nah
loh. Memang itu tempat wisata, Nis? Iya lah. Tapi karena memang jarang ada
wisatawan yang mendatangi tempat ini, tidak banyak yang tahu kalau Pelabuhan
Sunda Kelapa juga mubah disebut tempat wisata. Nah, karena jarang orang itu
lah, ketika saya menapaki kaki di tempat melabuhnya kapal-kapal dagang antar
pulau itu saya seperti punya pelabuhan sendiri.
Hm … tapi mungkin aneh juga sih kalau
disebut tempat wisata. Kenapa? Pertama, tidak ada tempat parkir khusus bagi
kendaraan pribadi. Jadi parkir di mana saja boleh. Namun jangan khawatir, tetap
ada penjaga kendaraan yang akan memastikan keamanan kendaraan kita. Selain itu
tidak ada retribusi atau biaya karcis masuk ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Begitu
saya sampai disana, mau lari-lari atau joget sekali pun nggak akan diminta uang
tiket. Mungkin karena inilah orang merasa tidak ada yang spesial dengan
pelabuhan ini. Ya layaknya terminal bus, cuman jadi tempat pemberhentian
transportasi umum. Padahal kalau mau melangkah sebentar dan berbincang dengan
warga sekitar, kontan saya bisa menyimpulkan kalau Pelabuhan Sunda Kalapa bisa
menjadi alternatif destinasi wisata di Jakarta. Tempat ini keren bangeeeeettt
^^
Lanskap Pelabuhan Sunda Kalapa |
Namanya juga pelabuhan, bising mesin kapal
acap kali memanjakan gendang telinga kita. Oh iya, panasnnya udara pinggir laut
memaksa Anda harus membawa payung. Lumayan boo panasnya. Tapi karena kemarin-kemarin
saya dadakan mau ke sini dan sama sekali tidak ada pengetahuan tentang tempat
ini, jadi ya persiapan seadanya: kamera dan uang. Eeeerrr.
Banyak objek menarik yang membuat rana
kamera saja tidak berhenti menangkap cahaya. Kita boleh membawa sepeda atau
sekedar jalan kaki menyusuri tiap bata pinggir pelabuhan. Kapal-kapal besar
menepi. Pekerja sibuk membersihkan kapal, mendempul bagian kapal yang rusak,
atau mengecat kembali badan kapal agar terkesan gagah menantang ombak samudera.
Layar-layar digulung. Tiang penyangga diteliti kekuatannya. Jemuran-jemuran
menggantung di jendela ruang khusus nahkoda. Sekelompok pelayar berbincang
ringan ditemani kopi di sudut warkop yang berjejer. Seseorang asyik membaca
koran, mengejar berita aktual di darat sementara ia sibuk menerka arah angin di
lautan lepas.
'Parkiran' Kapal |
Tenggelam dalam Berita Darat |
“Mau keliling, Mbak?”
Seorang lelaki tambun dengan rokok yang ia
semat di antara bibirnya menyapa. Saya mengangguk saja. Tak lama kemudian, saya
mengekornya menjejak tangga yang bertengger di pinggir pelabuhan, menaiki
sebuah perahu sampan, menjelajah sisi lain Pelabuhan Sunda Kapala. Yeeeeaaahh,
kalau kalian berkunjung kesini, jangan lupa rasakan sensasi mengelilingi
pelabuhan dari jalur laut. Sepertinya memang ada perahu kecil khusus wisatawan.
Harga sewa perahu yang bisa dinaiki 3-5 orang ini hanya Rp 30.000 saja. Kalau
patungan, murah bangeeeet.
Lelaki 50 tahunan itu menyalakan generator.
Dengan sedikit goyangan, dan ini berhasil membuat saya ketakutan, perahu
berlayar perlahan. Pemandangan pelabuhan dari laut menarik perhatian. Deretan
kampung yang menyatu dengan laut dan hanya dibatasi oleh beton rendah.
Perahu-perahu kecil bersandar. Tiang-tiang kapal menjulang. Truk-truk besar
membongkar muatan.
Tiang Penyangga |
Senyum Penjaga Kapal |
Dari jendela-jendela tanpa tirai, saya
dengan leluasa bisa melihat keadaan rumah-rumah di perkampungan pinggir
pelabuhan. Anak-anak bermain lompat karet. Ada yang belajar. Menyetrika. Ibu-ibu membawa cucian. Seorang nenek
menggendong cucu. Ada yang melambaikan tangan kepada saya. Saya balas melambai.
Senyum dan sapa mereka meneduhkan meskipun panas terik di atas kepala semakin
menyengat.
Kampung Pasar Ikan |
Angkutan Laut |
Sambil sesekali mendayung, lelaki ubanan
di hadapan saya bercerita panjang. Keputusan mengelilingi pelabuhan dengan
kapal ternyata mengantarkan saya kepada suatu perjalanan akbar. “Perjalanan sejarah”,
katanya. Perjalanan yang mengisahkan sejarah panjang Pelabuhan Sunda Kalapa dari
zaman Kerajaan Pajajaran hingga zamannya Pak Beye. Deru mesin perahu yang
kencang memaksa saya berusaha keras menangkap penjelasan Bapak Pendayung yang
timbul-tenggelam.
“Dulu namanya Kalapa, Mbak, nggak ada
Sunda-nya. Tapi ya karena pelabuhan ini milik Kerajaan Pajajaran alias Kerajaan
Sunda, jadi dikenalnya Sunda Kalapa.”
“Wah, saya tahu tuh Kerajaan Pajajaran ibu
kotanya Pakuan lho, Pak, sekarang namanya Bogor, tempat saya tinggal.” Ada
gunanya juga nih saya belajar Basa Sunda belasan tahun ^^. Tapi yang saya hapal
itu doang -_____-
“Oh, Mbak dari Bogor?”
“Iya Pak. Terus terus?”
Bapak Pendayung mengisap rokoknya
dalam-dalam. Seolah mencari sejarah yang terlupa di antara serat tembakau dalam
gulungannya. Asap rokoknya yang mengulum ke udara tidak begitu saja menghilang.
Saya benci orang merokok, tapi saya tidak mungkin melarang bapak melakukan hal
itu. Biarlah, sebagai bayaran lebih yang harus saya keluarkan demi mengetahui
sejarah pelabuhan ini.
Bapak Pendayung |
Pelabuhan Sunda Kalapa atau juga dikenal
sebagai Pasar Ikan terletak di bilangan Penjaringan, Jakarta Utara. Dulunya
pelabuhan ini merupakan pelabuhan penting Kerajaan Pajajaran sejak abad ke-12.
Di antara berbagai pelabuhan Kerajaan Sunda lainnya, pelabuhan ini relatif
lebih dekat dari pusat kerajaan dan termasuk pelabuhan lada yang sibuk, makanya
disebut pelabuhan penting. Tepat di muara Sungai Ciliwung, pelabuhan ini
berada.
Konon menurut Bapak Pendayung,
perkampungan di pinggir pelabuhan yang saya lewati tadi merupakan cikal bakal
berdirinya Jakarta. Kala itu, Kerajaan Pajajaran begitu gigih mempertahakan
pelabuhan ini dari serangan musuh, khususnya dari Kerajaan Demak dan Kerajaan
Cirebon. Untuk itu kerajaan Hindu ini meminta bantuan Portugis dengan
memberikan loji (lokasi perkantoran dan perumahan yang dikelilingi oleh benteng
pertahanan). Namun dua kerajaan Islam itu, khususnya pasukan yang dipimpin oleh
Fatalehan berhasil mengusir Portugis dan menguasai daerah Sunda Kalapa. Maka
pada tanggal ditaklukannya daerah tersebut yakni 22 Juni 1527 (disebut juga
hari jadi kota Jakarta), bandar Sunda Kalapa diganti namanya dengan Jayakarta.
Nah, mulai saat itulah nama Jakarta berasal. Namun sebelumnya berganti nama
dulu menjadi Batavia oleh Belanda sebelum akhirnya diganti menjadi Jakarta oleh
Jepang.
“Sama seperti pelabuhan lainnya di
Indonesia, pelabuhan ini juga menjadi saksi bisu kemerdekaan Indonesia. Bapak
memang hanya sebentar hidup di zaman penjajahan. Namun mengetahui sejarah
pelabuhan ini dan merasakan lagi perjuangan negeri ini, membuat Bapak mengakui
bahwa pelabuhan ini sangatlah besar sejarahnya.”
Saya menegak ludah. Zaman dulu sekali, di
tempat saya berlayar terjadi pertempuran hebat demi mempertahankan kekuasaan
dari penjajah. Sungguh, sebuah tempat berdarah lain yang pernah saya kunjungi
selain situs-situs bersejarah yang pernah saya jelajahi bersama keluarga di
Jawa dan Bali. Dan sebagai wisatawan sejarah, saya seperti tidak punya kekuatan
apa-apa. Saya hanya mampu melihat-lihat. Merasa prihatin dengan pejuang dulu.
Menikmati keindahan alam yang pernah terjajah dan berhasil dimerdekakan. Yeah,
saya hanya seorang penikmat. Sedangkan menurut teman intelektual saya, negara
ini pun meski sudah merdeka tapi tetap terjajah. Soft war. Atau meminjam kalimat Mama saya, “Kita sedang mengalami
perang pemikiran.” Dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Miris kah?
Perahu saya berputar. Kami sudah sampai di
ujung trayek. Saatnya kembali menuju tempat perahu ini memulai menderu.
“Sekarang tempat ini menjadi tempat
melabuh kapal-kapal pengangkut kayu dari Kalimantan ke Jawa, atau sebaliknya.
Walau namanya tidak setenar Pelabuhan Tanjung Priok, pelabuhan ini juga turut
andil dalam perekonomian kita. Cuman ya itu, Mbak …”
Lautan Sampah |
Bapak Pendayung menggantungkan kalimatnya.
Oh, ternyata beliau sedang membetulkan mesin bagian bawah yang tersangkut oleh
botol plastik. Sepertinya saya tahu kalimat penyambungnya.
“Semuanya dari Ciliwung, ya Pak? Nggak
ngerti juga saya bagaimana bagusinnya. Kalau Fatalehan masih hidup, mungkin
kita bakal dimarahin. Pelabuhan sebegini pentingnya kok jorok.”
“Yah mau bagaimana lagi?” Sebagai generasi
tua, saya memaklumi beliau yang sudah menyerah dengan kebersihan Sungai
Ciliwung dari tumpukan sampah yang beribu ton beratnya. Harusnya sebagai anak
muda, saya bisa bergerak untuk … yah … setidaknya nggak bikin Fatalehan marah
lah. Tapi gimana ya?
Kapal Khusus Pembersih Sampah Laut |
Gampang menjawabnya.
Butuh campur tangan pemerintah, pihak swasta, organisasi perduli lingkungan,
dan masyarakat yang serius mengurus kesehatan sungai. Klise. Sampai saat ini
pun telah banyak agenda dan berbagai rencana kegiatan membersihkan Sungai
Ciliwung dari hulu ke hilirnya. Kita patut mengapresiasi. Apalagi kalau bisa
berkontribusi, pasti keren banget. Yeah, ini semua tanggung jawab kita.
Pasalnya warga penghuni kampung pinggir Pelabuhan Sunda Kalapa memanfaatkan
sebagian besar air laut yang tercemar sampah untuk kebutuhan hidup mereka. Yuk jaga kebersihan laut kita ^^
yang paling atas keren foto nya, kaya di film apa gtu, *garuk2 idung, mikir.
ReplyDeletefilm apa? keren dong fotografernya
Delete