7/6/15

Sirup Cocopandan



“Apa yang paling membuatmu bahagia?”

Ia sontak mengalihkan pandangan dari buku tebalnya yang sedang ia baca menuju ke mataku. Iya aku sangat yakin, ia menatap mataku saat itu. Suatu peristiwa langka bisa menangkap tatapannya tepat di korneaku. Namun tidak sampai hitungan ketiga, ia sudah kembali menyibukkan diri dengan bukunya. Kukira ia akan kembali membaca dan tidak memperdulikan pertanyaanku. Kulihat ia melipat ujung halaman buku dan menutupnya pelan-pelan. Satu pertanyaan tiba-tiba itu ternyata mampu membuatnya kembali ke dunia nyata, sebuah halte bus yang penuh orang pada pukul lima menuju petang.

Ia tidak kembali bertanya, “Untuk apa bertanya seperti itu?” atau “Kenapa?” Ia terlihat sedang berpikir.

“Es sirup cocopandan di rumah ketika siang sedang terik-teriknya.” Sekilas terlihat samar, ada lengkung menyentuh pipi yang tersungging di bibirnya.

“Sirup?”

Sebagai perempuan yang menurutku sangat kompleks dan filosofis, jawabannya di luar anggapanku. Terdengar simple dan main-main. Tapi jika ia harus menghentikan aktivitas membacanya hanya untuk memberi jawaban semudah itu, kurasa itu bukan jawaban yang harus kuremehkan.

“Sebenarnya ada banyak hal di dunia ini yang membuatku bahagia.” Nah, dia kembali pada kompleksitas yang tak bisa dipisahkan dari urat nadinya. “Kopi dengan sedikit gula ...”

“Kutebak itu jawabanmu. Ternyata hanya sirup.”

Ia hampir tertawa, lalu buru-buru menyelesaikan kalimatnya yang kupotong. “ ... membaca buku, meneropong bintang, mengajar, dan banyak hal lainnya.”

“Dan sirup mengalahkan hal mulia seperti mengajar?” Bahkan yang kuterka hal yang membuatnya bahagia adalah yang menjadi alasan ia hidup pun bukan nomor pertama yang membuatnya bahagia.

“Hei, jangan salah. Coba kau bayangkan jika berada di tengah gurun yang sangat panas lalu kamu menemukan sebuah telaga. Beneran. Bukan fatamorgana. Betapa membahagaiakannya itu, kan?”

Aku lantang tertawa. “Tak perlu jauh-jauh ke gurun. Mereka yang kehabisan minum dan sangat lelah mendaki gunung, akan rela memberikan seluruh harta yang ia punya demi seteguk air.”

Ia menjentikkan jarinya. “Nah, seperti itu pula aku.”

Setahun berlalu setelah mengetahui namanya tak membuatku betul-betul mengenalnya secara utuh. Ada banyak hal ternyata yang tak ia kemukakan setelah ratusan percakapan yang menurutnya tak biasa ia lakukan dengan orang lain. Aku ingin sekali mengetahui semuanya.

“Hidup di hutan. Itu kan yang membuatmu bahagia?”

Tak perlu aku mengangguk, ia sendiri yang memberitahu alasannya. “Orion, empat tahun kau hidup bahkan tak tahu presiden sudah berganti, tak bisa kah kau menyudahi ini?”

Pertanyaanku ternyata menjebakku. Hanya perempuan itu yang bisa membuatnya begitu. Bus yang kami tunggu tetap belum datang. Ingin rasanya aku berlari ke terminal dan memarahi kenek yang gemar sekali berlama-lama mengetem padahal yang ia tunggu tak jauh di depan dari tempatnya menunggu.

“Aku sedang berusaha. Tapi aku tak bisa meninggalkannya.”

“Kamu bahkan nggak tahu di belahan hutan mana ia berada sekarang.” Sebuah palu besar seolah dihujam ke kepalaku. “Erga nggak minta kamu melayatnya setiap detik, Yon.” Nadanya mulai meninggi.

“Aira, siapa kamu?!” Kalau sudah bahasan begini, aku tak tahan lagi.

Ia bergeser menjadi lebih menjauhi. “Kamu butuh hidup.”

“Aku bisa makan dan minum di hutan. Aku jarang sakit. Aku hidup, Ra.” Aku mendekat berusaha meminta maaf. Aku sadar intonasiku tak selayaknya diucapkan kepadanya.

“Gunung itu sudah jadi kuburan raksasa buat Erga. Kamu mau apa lagi?”

“Setidaknya aku ingin memegang tangannya dan meminta maaf.”

Mungkin menurut kita takdir yang menimpa seseorang adalah karena campur tangan kita. Yang terjadi pada Erga, selalu kau anggap karena kesalahanmu. Salah, Orion. Takdir sepenuhnya hak Tuhan. Bukan karena kita, melainkan melalui kita. Seorang pengemis bisa mendapatkan setengah juta dalam seminggu bukan karena sedekah kita. Itu karena kasih sayang Tuhan diberikan kepadanya melalui tangan kita. Ada bagian rejeki orang lain dari rejeki yang kita dapat. Perantara adalah tugas kita. Tentang Erga, kamu nggak bisa terus menyalahkan dirimu sendiri, Orion.” Ada sesak di akhir kalimatnya.

Sebuah bus umum yang kami tunggu akhirnya datang juga. Sebelum ulat besi itu membawanya kembali ke rumah yang menyajikan hal yang membuatnya bahagia, sempat kutarik tasnya dan menyisakan diam hingga seminggu lamanya.

“Lalu kenapa harus aku yang menjadi perantara takdirnya meninggal, Ra? Mengapa hal yang membuatku menderita begini memaksaku bahagia? Hampir setiap bulan aku membawa mayat turun dari gunung, menurutmu mengapa aku masih bisa bertahan dengan kematian yang selalu kubawa di punggungku?”

Tak ada sepatah kata pun dari mulutnya. Ucapan salam perpisahan pun tidak kudengar.

“Ingin sekali aku mengucapkan hutan semudah kamu mengucapkan es sirup.”


- ide nulis ini lewati begitu aja setelah meneguk segelas sirup cocopandan penghilang mual setelah makan, bahagia banget itu ^^ hal kecil memang mampu membuat kita bersyukur jika kita jeli ya, hidup Aira ^^ -

No comments:

Post a Comment