8/11/15

Merantau

Setelah memutuskan ikut suami ke Jambi pada November 2014 lalu, saya baru merasakan bagaimana menjadi anak rantau. Biasanya adem ayem aja tinggal di Bogor. Mulai dari TK sampai kuliah di Bogor, nggak pernah jauh kemana-mana. Kalau pun kemana-mana, itu hanya untuk jalan-jalan, nggak menetap hingga berbulan-bulan. Dan sebagai orang yang selalu takjub dengan hal-hal baru, maka perkara merantau ini bikin penasaran dan nggak sabar segera hengkang dari Kota Hujan. Apalagi akan merasakan tinggal berdua seatap dengan suami. Huuuaaaa kek mana itu ya?

Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi tempat kami tinggal bagai lentera di tengah kegelapan. Sekitar 5 jam dari Kota Jambi dan memasuki pekatnya gelap kebun karet, sawit, dan hutan lindung, akhirnya kami menemukan keramaian kelap-kelip lampu pemukiman. Kota di tengah hutan. Begitulah kami menjuluki Rimbo Bujang walaupun ia adalah kecamatan.

Semalam setelah istirahat dari perjalanan panjang, kami berkeliling mengenali kecamatan ini. Kami ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Aaaaakk rasanya seru sekali memilih kasur, rak piring, kemoceng dan peralatan lainnya. Dengan dana seadanya, kami membeli sesuai kebutuhan. Berbelanja di pasar dengan suami salah satu kegiatan mempelajari sifat suami hahaha. Bagaimana seleranya mengenai warna, kualitas dan harga. In the marriage life, everyday is school day. Ihiw cintaaaaa.

Pasar Sarinah Unit 2, Rimbo Bujang

Minggu-minggu awal masih beradaptasi. Ternyata Rimbo Bujang adalah daerah transmigrasi yang dibentuk pemerintah. Banyak penduduk dari pulau Jawa seperti Tegal, Semarang dan Magelang. Ada juga perantau asli Sumatera, misalnya dari Palembang, Medan dan lainnya. Semua logat bicara dan budaya campur aduk disini. Saya mulai belajar mengenali kepribadian orang Makassar dan Palembang dari tetangga saya. Sedikit-sedikit paham gaya bicara orang asli sini yang nggak bisa ngomong ‘R’. Orang asli sini (kami menyebutnya orang dusun), menyebut ‘kiri’ dengan ‘kiyyi’, mengganti ‘pergi’ menjadi ‘peyygi’. Awalnya kaget dan agak risih, lama-lama dibawa enjoy aja hahaha.

Karena suami kerja di dalam hutan dan jalannya payah banget kalau harus pulang setiap hari, maka sering kali saya ditinggal di kontrakan. Tapi alhamdulillah, suami ini orangnya suka kangen sama istri (hahaha ge er), yang harusnya pulang tiap weekend, bapak ini memilih pulang 2-3 kali tiap minggu kalau tidak ada rapat atau harus jaga gajah dan api. Uhuhuhuhu aye! *pijat suami*

Tapi ya tetap saja, kalau sendirian di rumah itu rasanya agak gimana gitu ya hahaha. Pintu seringnya terkunci. Rame hanya ketika anak-anak ngaji dan les di rumah. Semenjak hamil, berhenti dulu ngajarnya karena bu guru ini gampang capek, hobinya mual dan muntah (halaah alasan, bilang aja malas!).

Semenjak hamil pula, hari-hari perantauan saya mulai terasa berbeda. Awalnya nelangsa banget, lagi morning sick nggak ada siapa-siapa di rumah, itu pun harus segera menyiapkan sarapan buat janin. Hiks. Tapi lama kelamaan mulai terbiasa dengan hobi baru itu (baca: mual dan muntah), ya sudaaah laaah dinikmatin aja. Setelah USG dan bisa melihat janinnya, waaaah itu bikin semangat naik lagi. Udah sadar bahwa ada kehidupan lain di dalam tubuh saya. Bahagia deh. Apalagi sekarang mau 5 bulan kehamilan. Janin di perut selalu aktif bergerak, apalagi kalo makan dan memasuki waktu adzan, wuuuiiiih hebooh nian, geli-geli gitu di perut. Hehehe haloooo dedeeeek lagi apaaa?

Entah berapa lama lagi kami harus merantau disini. Memang kayaknya lebih enak di kampung ya, nggak perlu bayar kontrakan (yeee ini malah curhat). Tapi rejeki Allah sepertinya masih harus kami jemput di Rimbo Bujang. Nikmati aja setiap takdirNya ^^

No comments:

Post a Comment