Setelah memutuskan
ikut suami ke Jambi pada November 2014 lalu, saya baru merasakan bagaimana
menjadi anak rantau. Biasanya adem ayem aja tinggal di Bogor. Mulai dari TK
sampai kuliah di Bogor, nggak pernah jauh kemana-mana. Kalau pun kemana-mana,
itu hanya untuk jalan-jalan, nggak menetap hingga berbulan-bulan. Dan sebagai
orang yang selalu takjub dengan hal-hal baru, maka perkara merantau ini bikin
penasaran dan nggak sabar segera hengkang dari Kota Hujan. Apalagi akan
merasakan tinggal berdua seatap dengan suami. Huuuaaaa kek mana itu ya?
Kecamatan Rimbo
Bujang, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi tempat kami tinggal bagai lentera di
tengah kegelapan. Sekitar 5 jam dari Kota Jambi dan memasuki pekatnya gelap
kebun karet, sawit, dan hutan lindung, akhirnya kami menemukan keramaian
kelap-kelip lampu pemukiman. Kota di tengah hutan. Begitulah kami menjuluki
Rimbo Bujang walaupun ia adalah kecamatan.
Semalam setelah
istirahat dari perjalanan panjang, kami berkeliling mengenali kecamatan ini. Kami
ke pasar untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Aaaaakk rasanya seru sekali
memilih kasur, rak piring, kemoceng dan peralatan lainnya. Dengan dana
seadanya, kami membeli sesuai kebutuhan. Berbelanja di pasar dengan suami salah
satu kegiatan mempelajari sifat suami hahaha. Bagaimana seleranya mengenai
warna, kualitas dan harga. In the marriage
life, everyday is school day. Ihiw cintaaaaa.
Pasar Sarinah Unit 2, Rimbo Bujang |
Minggu-minggu awal
masih beradaptasi. Ternyata Rimbo Bujang adalah daerah transmigrasi yang
dibentuk pemerintah. Banyak penduduk dari pulau Jawa seperti Tegal, Semarang
dan Magelang. Ada juga perantau asli Sumatera, misalnya dari Palembang, Medan
dan lainnya. Semua logat bicara dan budaya campur aduk disini. Saya mulai
belajar mengenali kepribadian orang Makassar dan Palembang dari tetangga saya. Sedikit-sedikit
paham gaya bicara orang asli sini yang nggak bisa ngomong ‘R’. Orang asli sini
(kami menyebutnya orang dusun), menyebut ‘kiri’ dengan ‘kiyyi’, mengganti ‘pergi’
menjadi ‘peyygi’. Awalnya kaget dan agak risih, lama-lama dibawa enjoy aja hahaha.
Karena suami kerja di
dalam hutan dan jalannya payah banget kalau harus pulang setiap hari, maka
sering kali saya ditinggal di kontrakan. Tapi alhamdulillah, suami ini orangnya
suka kangen sama istri (hahaha ge er), yang harusnya pulang tiap weekend, bapak
ini memilih pulang 2-3 kali tiap minggu kalau tidak ada rapat atau harus jaga
gajah dan api. Uhuhuhuhu aye! *pijat suami*
Tapi ya tetap saja,
kalau sendirian di rumah itu rasanya agak gimana gitu ya hahaha. Pintu seringnya
terkunci. Rame hanya ketika anak-anak ngaji dan les di rumah. Semenjak hamil,
berhenti dulu ngajarnya karena bu guru ini gampang capek, hobinya mual dan
muntah (halaah alasan, bilang aja malas!).
Semenjak hamil pula,
hari-hari perantauan saya mulai terasa berbeda. Awalnya nelangsa banget, lagi morning sick nggak ada siapa-siapa di
rumah, itu pun harus segera menyiapkan sarapan buat janin. Hiks. Tapi lama
kelamaan mulai terbiasa dengan hobi baru itu (baca: mual dan muntah), ya
sudaaah laaah dinikmatin aja. Setelah USG dan bisa melihat janinnya, waaaah itu
bikin semangat naik lagi. Udah sadar bahwa ada kehidupan lain di dalam tubuh
saya. Bahagia deh. Apalagi sekarang mau 5 bulan kehamilan. Janin di perut
selalu aktif bergerak, apalagi kalo makan dan memasuki waktu adzan, wuuuiiiih
hebooh nian, geli-geli gitu di perut. Hehehe haloooo dedeeeek lagi apaaa?
Entah berapa lama lagi
kami harus merantau disini. Memang kayaknya lebih enak di kampung ya, nggak
perlu bayar kontrakan (yeee ini malah curhat). Tapi rejeki Allah sepertinya
masih harus kami jemput di Rimbo Bujang. Nikmati aja setiap takdirNya ^^
No comments:
Post a Comment